Neurodegeneratif
1) Penyakit Alzheimer
Ada beberapa teori tentang patofisiologi dari alzheimer, salah satunya adalah teori tentang
neurotransmiter kolinergik. Sistem neurotransmiter kolinergik berperan dalam pembentukan memori,
dan pada defisiensi kolinergik terjadi perubahan kognitif dan tingkah laku seperti yang terjadi pada
penyakit alzheimer. Aktifitas dari enzim anabolik yakni enzim choline acetyltranserase (CAT) dan enzim
katabolik asetilkolinesterase menurun secara signifikan pada korteks, hipokampus dan amigdala pasien
dengan penyakit alzheimer.
ALS merupakan penyakit degeneratif yang paling sering terjadi pada sistem neuron motorik.
Meskipun ALS tak dapat disembuhkan dan fatal dengan jangka waktu rata-rata 3 tahun, penyembuhan
dapat memperpanjang dan meningkatkan kualitas hidup dari penderita.
ALS tidak dapat dikatakan sebagai suatu penyakit tunggal, tapi merupakan diagnosis klinis
terhadap patofisiologi-patofisiologi yang berbeda namun memiliki akibat yang sama yakni terjadi
penurunan fungsi progresif dari neuron motorik. meskipun demikian, ada obat yang dapat
memperpanjang umur pasien yaitu antagonis jalur glutamat, riluzole. Sebagai terapi simptomatik
beberapa obat juga dapat digunakan seperti muscle relaxant untuk menurunkan spastisitas,kombinasi
dekstrometrofan dan quinidin untuk menurunkan labilitas emosi dan efek pseudobulbar, Antikolinergik
dan simpatomimetrik untuk sialorea, lorazepam untuk ansietas, selective serotonin reuptake inhibitor
(SSRIs) untuk depresi dan obat-obatan anti-nyeri seperti obat anti inflamasi non-steroid, tramadol,
morfin atau fentanil transdermal.
b. Golongan obat ALS
a. Neurologik (Rizole)
Mekanisme kerja : Rizole berkompetisi untuk menekan eksitasi jalur glutaminergik,
secara non-kompetitif memblok respon mediasi N-Methyl-D-Aspartate (NMDA), dan
menginaktifasi voltage dependent sodium channels, yang merupakan beberapa
mekanisme yang diketahui tentang ALS
i. Rizole
Dosis : 50mg PO tiap 12 jam pada perut kosong
Efek samping : Asthenia, nausea, penurunan fungsi paru-paru
Interaksi obat : Ciprofloxacin, dichorpheniamide, fluoxamine, isoniazid, pefloxiacin,
teriflunomide
b. Muscle relaxant
Mekanisme kerja : menurunkan spasititas dan spasme otot dengan pasien yang memiliki
gejala kekakuan ekstremitas dengan cara menghabat transmisi sinaptik melalui
lengkung refleks spinalis, melalui hiperpolarisasi dari terminal serat aferen primer
sehingga terjadi penurunan spasititas otot
i. Baclofen
Dosis : 5mg PO setiap 8 jam; dapat dinaikan 5mg/dosis setiap 3hari sampai maksimum
8mg/hari
Efek samping : mengantuk, pusing, nausea
Interaksi obat : Sodium oxybate
c. Agonis adrenergik Alfa2
Mekanisme kerja : Agonis adrenergik alfa2 menurunkan input eksitatori menuju motor
neuron alfa(yang merupakan tipe lower motor neuron (LMN)). Efek dari alfa2 adrenergik
adalah menurunkan perilisan asetilkolin dan norepinerfin, kontraksi otot spinter pada
sistem gastrointestinal, dan inhibisi lipolisis
i. Tizanidine
Dosis : 4mg PO setiap 6-8jam , tak boleh lebih dari 3 dosis setiap 24 jam
Efek samping : Mulut kering, somnolen, pusing, Asthenia
Interaksi obat : amobarbital, armodafinil, butabarbital, butalbital,carbamazepine,
rokok, cimetidine, ciprofoxacin, diltiazem, erytromicin,flovoxamine, isoniazid,
mefloquine,modafiniil, pefloxacin,asam pipemidic,primidone, rifampisin, tacrine,
verapamil, zileuton
Referensi :
Medscape.com
PubMed (http://www.ncbi.nlm.gov/)
ISO Indonesia