Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN TERPASANG TRAKSI

Disusun oleh:
1. Yanuar Estu Widodo NIM. 0201300077
2. Anita Fitriani NIM. 0301300042
3. Dyah Ekawati NIM. 0301300054
4. Erna Susanti NIM. 0301300057
5. Eva Lativa Lestari D. S. NIM. 0301300059
6. Krisnawati NIM. 0301300064
7. Niken Damayanti NIM. 0301300073
8. Pria Budi Jatmika NIM. 0301300076

PRODI KEPERAWATAN BLITAR


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKES DEPKES MALANG
2005
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN TERPASANG TRAKSI

A. Definisi
Traksi atau penarikan adalah:
 Suatu tindakan untuk memindahkan lokasi tulang yang patah atau
yang mengalami dislokasi ke tempat normal kembali, dengan menggunakan
daya tarik tertentu yang berturut-turut.
 Suatu tindakan penarikan secara kontinue untuk menarik bagian tubuh
atau tulang dengan menggunakan kerekan atau beban.

TRAKSI TULANG TRAKSI KULIT


B. Tujuan
a. Perbaikan dan pelekatan tulang panjang yang patah.
b. Mengurangi atropi otot.
c. Pencegahan dari kehancurang atau dislokasi sendi yang
bersifat tidak normal.
d. Perbaikan atropi sendi.
e. Mengurangi nyeri.
f. Mengurangi dan imobilisasi fraktur.
g. Mengurangi spasme otot.
h. Mencegah deformitas.

C. Cara Penarikan/Traksi
a. Penarikan kulit, daya penarikan bekerja melalui jaringan
lunak sekitar sambungan tulang dengan menggunakan perban atau sponge
(speed traction band), yang umumnya digunakan untuk mempertahankan
lokasi yang telah dikoreksi.
b. Penarikan tulang, daya penarikan langsung mengena pada
tulang, maka penarikannya kuat. Karena penarikannya kuat, hal ini dilakukan
pada orang dewasa yang pergeserannya besar dan patah tulang yang sudah
lama.

D. Macam Traksi
a. Fixed Traction (penarikan tetap), penarikan diantara 2 titik
yang tetap.
b. Balance Traction (penarikan keseimbangan), penarikan
diadakan dengan menggunakan penarikan balik dari beban.
c. Combined Fixed dan Balanced Traction (penarikan
kombinasi), sambil diadakan penarikan tetap, dilakukan penarikan
keseimbangan dengan menggunakan penarikan balik dengan pemberat dan
kerekan.
d. Penarikan Dengan Tempat Tidur yang Bergerak, tempat tidur
ditinggikan pada bagian kaki. Penarikan diadakan dengan baban dan berat
badan dengan menggunakan kemiringan. Ada jarak diantara tempat tidur dan
berat badan.

 Prinsip traksi efektif:


o Kontraksi harus dipertahankan agar traksi tetap
efektif.
o Traksi skeletal tidak boleh terputus.
o Pemberat tidak boleh diambil, kecuali bila traksi
dimaksudkan intermiten.
 Beban Traksi:
o Beban harus seuai dengan
petujak. Dalam penarikan kulit, umumnya beban adalah 1/8 – 1/10 dari berat
badan. Pada penarikan tulang, kebanyakan petujaknya 7-8 Kg atau 10-12
Kg.
o Pemberat (beban) jangan terlalu
berat, karena:
- Rasa sakit pasien besar.
- Kembalinya ke tempat
semula akan terhalang, karena ujung tulang yang patah terpisah.
- Atropi pada otot tungkai
yang sehat karena refleksi otot dilampaui.
- Gangguan pada sendi
tungkai.
E. Etiologi
 Fraktur.
 Tuberculosis tulang.
 Tuberculosis sendi.
 Dislokasi.

F. Patofifologi
Fraktur, Dislokasi, TBC Tulang dan Sendi

Traksi
Skeletal traksi
Imobilisasi lama Gangg. Mobilisasi

Luka terbuka Kx
terpasang traksi

Pintu masuk kuman

Resiko Tinggi
Infeksi

Intergumen Gastrointestinal Paru-paru Muskuloskeletal

Penekanan lama Peristaltik usus Penumpukan Kekuatan otot


pada lokasi secret
gangguan sirkulasi Konstipasi Pneumonia Kelemahan
darah Hipostatik

Nekrosis jaringan (hitam, lengket pada kulit) Gangguan


mobilitas fisik

Dekubitus Ketidaknyamanan Resiko Trauma

G. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen, menentukan lokasi/luas fraktur atau
trauma.
b. Scan tulang/tomogram/CT scan/MRI, memperlihatkan
fraktur, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram, dilakukan bila dicurigai terjadi kerusakan
vaskuler.
d. Hitung darah lengkap, Ht mungkin meningkat atau menurun,
peningkatan SPD adalah respon normal setelah trauma.
e. Keratin, trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk
klirens ginjal.
f. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi dapat kehilangan
darah, tranfusi multipel atau cedera hati.

H. Pengkajian
a. Biodata.
b. Keluhan utama : nyeri karena fraktur.
c. Keluhan penyakit sekarang : fraktur pada kaki sebelah kiri.
d. Data dasar pasien:
 Aktifitas/istirahat, klien lemah, klien hanya berbaring di tempat tidur
dengan aktivitas yang terbatas, perlu bantuan keluarga dan perawat.
 Makanan atau cairan, klien makan makanan kurang berserat.
 Gastrointestinal, bunyi peristaltik usus menurun.
 Hygiene, klien sangat bergantung pada orang lain untuk memenuhi
perawatan diri.
 Neurosensori, adanya penurunan reflek patella dan hilangnya gerakan
atau spasme otot.
 Nyeri/kenyamanan, klien mengatakan nyeri pada daerah fraktur dan
punggung.
 Pernafasan, suara nafas ronchi basah, RR meningkat, klien tampak
gelisah dan batuk mengeluarkan sputum.
 Keamanan, kelemahan pada tonus otot dan adanya gangguan sensasi.
 Pola defekasi, konstipasi.
I. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko kerusakan integritas kulit b.d penekanan pada kulit.
b. Resiko trauma b.d efek terpasang traksi.
c. Pneumonia b.d adanya penumpukan secret.
d. Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus.
e. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka
neuromuskuler.
f. Resiko tinggi infeksi b.d adanya luka terbuka akibat
pemasangan pen.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa I : Resiko kerusakan integritas kulit b.d penekanan pada kulit.


Tujuan : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil : Menunjukkan perilaku/tekhik untuk mencegah kerusakan kulit.
Intervensi:
1. Kaji kulit untuk luka, benda asing, kemerahan, perubahan warna,
kelabu/putih. R: memberi informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang
mungkin disebabkan oleh alat dan atau pemasangan traksi.
2. Masase kulit dan penonjolan tulang, pertahankan tempat tdur kering,
tempatkan bantalan air/bantalan lain di bawah siku/tumit sesuai indikasi. R:
menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko abrasi/kerusakan kulit.
3. Ubah posisi dengan sering. Dorong penggunaan trapeze bila mungkin. R:
mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan resiko
kerusakan kulit.
4. Kaji posisi cincin tepat pada alat traksi. R: posisi yang tidak tepat dapat
mengakibatkan kerusakan/cedera kulit.
5. Bersihkan kuli dengan air sabun hangat. R: menurunkan kadar kontaminasi
kulit.
6. Berikan tingtur benzoin. R: mengurangi komplikasi pemasangan traksi.
7. Gunakan plester traksi kulit memanjang pada sisi tungkai yang sakit. R:
plester traksi melingkari tungkai dapat mempengaruhi sirkulasi.
8. Lebarkan plester sepanjang tungkai. R: traksi dimasukkan dalam garis dengan
akhir plester bebas.
9. Letakkan bantalan pelindung di bawah kaki dan di atas tonjolan tulang. R:
meminimalisasi tekanan pada area ini.
10. Palpasi jaringan yang diplester tiap hari dan catat adanya nyeri. R: bila area di
bawah plester nyeri tekan, diduga ada iritasi kulit.
11. Lepaskan traksi kulit setiap 24jam, sesuai protocol, inspeksi, dan berikan
perawatan. R: mempertahankan integritas kulit.
Kolaborasi:
1. Gunakan tempat tidur busa bantal apung/kasur udara sesuai indikasi. R:
kerena imobilisasi bagian tubuh akan mengakibatkan penurunan sirkulasi.

Diagnosa II : Resiko trauma b.d efek terpasang traksi.


Tujuan : Agar tidak terjadi trauma, klien mampu memertahankan stabilitas
dan posisi fraktur.
Kriteria hasil : Menunjukkan mekanisme tubuh yang meningkatkan stabilitas pada
posisi fraktur, menunjukkan pembentukan kalus atau mulai
penyatuan fraktur yang tepat.
Intervensi:
1. Pertahankan posis atau integritas traksi. R:
traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi
tegangan otot/pemendekan untuk memudahkan posisi atau penyatuan
2. Yakinkan bahwa semua klem berfungsi,
minyaki katrol, dan periksa tali terhadap tegangan, amankan dan tutup ikatan
dengan plester perekat. R: untuk menghindari interupsi penyambungan fraktur.
3. Pertahankan katrol tidak terhambat dengan
bebas menggantung, hindari mengangkat atau menghilangkan berat. R: jumlah
beban traksi optimal dipertahankan.
4. Kaji ulang tahanan yang mungkin timbul. R:
mempertahankan integritas tarikan traksi.
5. Kaji integritas alat fiksasi eksternal. R:
memantau keadaan fiksasi.

Diagnosis III : Pneumonia b.d adanya penumpukan secret


Tujuan : Mempertahankan fungsi pernafasan yang adekuat.
Kriteria hasil : Tidak ada dipsneu dan sianosis, frekuensi pernafasan dan GDA
dalam batas normal.
Intervensi:
1. Awasi frekuensi pernafasan dan perhatian
penggunaan otot Bantu, retraksi serta sianosis sentral. R: status pernafasan klien
dapat berubah secara cepat, perubahan yang tergantung pada respon terhadap
pengobatan, tingkat kelelahan, dan beratnya serangan.
2. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan terjadinya
ketidaksamaan, adanya ronchi, inspirasi sesak nafas. R: perubahan dalam/adanya
bunyi adventisius menunjukkan terjadinya komplikasi pernafasan. Inspirasi
mengorok menunjukkan edema jalan nafas atas.
3. Instruksikan dan Bantu latihan nafas dalam dan
batuk. Reposisi dengan sering. R: meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.
Reposisi meningkatkan drainase secret dan menurunkan kongesti pada area paru
dependen.
4. Perhatikan peningkatan kegelisahan, kacau,
letargi. R: gangguan dapat menyebabkan hiposekmia.
5. Pertahankan hidrasi adekuat peroral atau
intravena. R: status hidrasi yang baik membantu mengencerkan lendir yang
kental.
Kolaborasi:
1. Berikan terapi O2 bila diperlukan. R: meningkatkan sediaan O2 untuk
oksigenasi optimal jaringan.

Diagosis IV : Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus


Tujuan : Tidak terjadi konstipasi.
Kriteria hasil : Peristaltik usus normal, pola defekasi normal.
Intervensi:
1. Auskultasi bising usus, awasi kebiasaan
eliminasi dan berikan keteraturan defekasi. R: tondakan keperawatan yang
memudahkan eliminasi dapat membatasi konstipasi.
2. Dorong peningkatan masukan cairan 2000-3000
ml perhari. R: mempertahankan hidrasi tubuh dan menurunkan konstipasi.
3. Berikan diet tinggi protein, karbohidrat,
mineral, vitamin. Pertahankan penurunan kandungan protein samapi setelah
defekasi pertama. R: makanan protein meningkatkan kandungan di dalam usus
halus, sehingga merangsang fungsi GI sebelum makanan berprotein meningkat.
4. Batasi makanan pembentuk gas. R: makanan
pembentuk gas dapat menyebabkan distensi abdomen, khususnya penurunan
motilitas usus.
Kolaborasi:
1. Lakukan program defekasi (pelunakan feses,
laksatif) sesuai indikasi. R: dilakukan untuk meningkatkan evakuasi usus.

Diagnosis V : Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka neuromuskuler.


Tujuan : Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat
optimal, mempertahankanposisi fungsional, meningkatkan fungsi
yang sakit.
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan teknik mampu melakukan aktivitas.
Intervensi:
1. Kaji derajat imobilissi yang dihasilkan oleh cedera dan perhatikan
persepsi pasien terhadap mobilisasi. R: pasien mungkin dibatasi oleh pandangan
diri atau persepsi diri tentang keterbatasan fisik.
2. Dorong partisipasi pada aktivitas terapiutik. R: memberikan
kesempatan untuk mengeluarkan energi, mengeluarkan rasa kontrol diri, dan
menurunkan isolasi diri.
3. intruksikan untuk menggerakkan ekstremitas yang sakit atau yang
tidak sakit. R: meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan
tonus otot. Mempertahankan gerak sendi. Mencegah kontraktur atau atropi dan
resorbsi kalsium karena tidak digunakan.
4. Dorong penggunaan latihan isometric menekuk sendi atau
menggerakkan tungkai dapat membantu mempertahankan kekuatan dan massa
otot.
5. Berikan papan kaki, bebat pergelangan kaki dengan bebatan yang
sesuai.
6. Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodik bila mungkin traksi
digunakan untuk menstabilkan fraktur tungkai bawah. R: menurunkan fraktur
tungkai bawah.
7. Awasi tekanan darah. R: hipotensi adalah masalah umum yang
menyertai tirah baring lama dan memerlukan intervensi khusus.
8. Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan nafas dalam. R:
mencegah komplikasi kulit atau pernafasan.
Kolaborasi:
1. Konsultasikan dengan ahli terapi fisik/rehabilitasi spesialis. R:
berguna dalam membuat aktivitas individual atau program latihan.

Diagnosa VI : Resiko tinggi infeksi b.d adanya luka terbuka akibat pemasangan.
Tujuan : Mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat pemasangan pen.
Kriteria hasil : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada luka.
Intervensi:
1. Kaji terhadap kemungkinan infeksi pada luka pemasangan pen. R:
deteksi dini terhadap timbulnya penyakit.
2. Pantau status neurovaskuler ekstremitas tiap 2 jam. R: untuk
mengetahui adanya spasme neuro ekstremitas.
3. Kaji timbulnya kemerahan, cairan, nyeri tekan, dan longgarkan pin. R:
potensial terjadinya komplikasi pada kulit, saraf atau pembuluh darah.
4. Jaga kebersihan fiksator. R: untuk menghindari kemungkinan
kontaminasi dengan bahan infektan.

Daftar Pustaka:
 Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI, 1990, Perawatan
Pasien yang Merupakan Kasus-Kasu Bedah, Jakarta: Depkes RI
 Smeltzer Susanne C. 2001, Buku Ajar Keperawatan medical Bedah,
Bruner&Suddartd, Ed. 8, Jakarta: EGC
 Marylinn E. Doengoes, Edisi 3, Rencana Asuhan Keperawatan E.
Doengoes.

Anda mungkin juga menyukai