Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

LIMFOMA NON-HODGKIN

SGD 7

Komang Noviantari (1302105006)


Luh Putu Utami Adnyani (1302105013)
Ni Komang Trisna Maha Natalya (1302105019)
Ida Ayu Inten Ratna Keswari (1302105029)
Putu Winda Mahayani (1302105051)
Ni Ketut Natalia Kristianingsih (1302105054)
Dewa Ayu Dwi Shintya Anggreni (1302105067)
I Ketut Dian Lanang Triana (1302105074)
Sagung Dyah Pridami Maheswari (1302105083)
Ni Made Eny Tisna Wati (1302105086)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2015
LEARNING TASK
SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI
Selasa, 14 April 2015

LIMFOMA NON HODGKIN (SGD 7 & 8)


Tn Rendi, 45 tahun, dirawat di RS dengan keluhan demam sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga
mengeluh merasa lemah di seluruh tubuh, sering berkeringat pada malam hari dan tidak nafsu
makan. Pasien mengatakan berat badannya turun banyak, karena pakaiannya semua longgar.
Hasil pemeriksaan fisik, didapatkan bahwa suhu 38,20C, nadi 88x/menit, TD 130/80 mmHg,
teraba massa padat pada leher bagian kanan dan kiri, membran mukosa pucat. Hasil
pemeriksaan penunjang, didapatkan: RBC=4,5 10e^6/uL, WBC=10,3 10e^3/uL, Hb=9 g/dl.

Pertanyaan :
1. Uraikan yang Anda ketahui mengenai limfoma non hodgkin (definisi, etiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis)!
2. Uraikan patofisiologi terjadinya limfoma non hodgkin dan buatlah pathwaynya!
3. Buatlah analisa data, rumusan diagnosa keperawatan, dan perencanaan sesuai dengan
kasus di atas (pedoman Nanda, NOC, NIC)!
4. Apa sajakah pendidikan kesehatan yang perlu diberikan pada pasien dengan limfoma
non hodgkin?
PEMBAHASAN
1. Konsep Dasar Penyakit Limfoma Non-Hodgkin
a. Definisi
Limfoma malignum non Hodgkin atau limfoma non Hodgkin adalah suatu
keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat (Soeparman, 1990).
Limfoma non-Hodgkin adalah suatu kelompok penyakit heterogen yang dapat
didefinisikan sebagai keganasan jaringan limfoid selain penyakit Hodgkin. (Brunner
and Sudarth, 2002).
Berdasar American Cancer Society (2013) NHL merupakan kanker yang
prosesnya dimulai pada sel yang disebut limfosit, yang merupakan bagian dari imun
sistem. Limfosit terletak di limfa nodul dan limfoid tissue lainnya seperti limfa
ataupun sumsum tulang. Tetapi beberapa tipe kanker seperti kanker paru ataupun
kanker kolon yang dapat menyebar ke jaringan limfa nodul, bukanlah merupakan
Non Hodgkin limfoma tetapi hanya merupakan metastase. Non hodgkin limfoma
merupakan suatu keganasan yang dimulai ketika limfosit berdiferensiasi menjadi sel
yang abnormal. Sel yang abnormal akan terus bereplikasi menggandakan dirinya
terus menerus dan bertambah banyak.
Abnormal sel tidak dapat melakukan apoptosis.
Mereka juga tidak bisa memproteksi tubuh dari
infeksi dan penyakit imun lainnya. Sel yang
abnormal akan membentuk ekstra sel yang
akan menjadi suatu massa di jaringan yang
disebut tumor ( U.S. Department of Health and
Human Service , 2007 )
Menurut Reksodiputro (2008) NHL adalah
kelompok keganasan primer limfosit yang dapat bersal dari limfosit B, limfosit T dan
kadang (amat jarang) berasal dari sel NK (natural killer) yang berada dalam sistem
limfe. Keganasan ini bersifat sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan
klinis, respon terhadap pengobatan,maupun prognosis. Sel limfosit akan berproliferasi
secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel NHL
berasal dari satusel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien NHL sel B
memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya.
Menurut Hoffbrand (2005) Limfoma non-Hodgkin (LNH) atau non-Hodgkin
Lymphomas merupakan penyakit yang sangat heterogen dilihat dari segi patologi dan
klinisnya. Penyebarannya juga tidak seteratur penyakit Hodgkin serta bentuk ekstra-
nodal jauh lebih sering dijumpai.
LNH merupakan proliferasi klonal yang ganas limfosit T dan B yang terdapat
bersama berbagai tingkat beban tumor. Keganasan ini tidak boleh diracunkan dengan
kelainan limfoproliferatif poliklonal. Kedua kelompok penyakit tadi terjadi dengan
frekuensi meningkat pada anak dengan status imunodefisiensi herediter seperti
ataksia-telangiektasia, sindrom Wiskott-Aldrich, imunodefisiensi campuran, dan
sindrom lomfoproliferatif terkait-X (XLP). (Behrman, dkk, 2012)
Jadi dapat disimpulkan bahwah NHL adalah kelompok keganasan limfosit yang
berasal dari limfosit B yang berdiferensiasi menjadi sel abnormal.
b. Epidemiologi
Insiden LNH terus mengalami peningkatan sekitar 3,4% setiap tahunnya. The
American Cancer Society memperkirakan terdapat 65.980 kasus baru setiap tahun dan
19.500 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 2009. Di Indonesia,
LNH menduduki peringat ke-6 kanker terbanyak, bahkan Badan Koordinasi Nasional
Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam Indonesia (BAKORNAS HOMPEDIN)
menyatakan, insiden Limfoma lebih tinggi dari leukemia dan menduduki peringkat
ketiga kanker yang tumbuh paling cepat setelah melanoma dan paru (Sutrisno, 2010).
c. Etiologi
Penyebabnya belum diketahui secara pasti yang kemungkinan disebabkan oleh
virus. Terdapat hubungan dengan keadaan imunosupresi (mis., AIDS dan terapi
imunosupresi untuk transplantasi organ). Pada penderita AIDS, semakin lama hidup
semakin besar risikonya menderita limfoma (Smeltzer & Bare, 2001).
Infeksi virus merupakan salah satu yang dicurigai menjadi etiologi NHL
contohnya ialah infeksi virus Epstein Barr dan HTLV (Human T Lymphoytopic Virus
type 1) yang berhubungan dengan limfoma Burkitt , yang merupakan limfoma sel B.
Selain itu abnormalitas sitogenik seperti translokasi kromosom juga ikut berperan
menyebabkan proliferasi dari limfosit. Pada limfoma sel B ditemukan abnormalitas
kromosom, yaitu translokasi lengan panjang kromosom nomor 8 (8q) ke lengan
panjang kromosom nomor 14 (14q). (Krisifu, et al., 2004).
Faktor resiko berhubungan juga dengan paparan lingkungan, pekerjaan, diet, dan
paparan lainnya. Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan resiko tinggi
adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan karena adanya
paparan herbisisda dan pelarut organik. Resiko NHL juga meningkat pada orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan terkena paparan
ultraviolet berlebihan. (Reksodiputro,2009).
Ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan terjadinya Limfoma Non-Hodgkin
menurut American Cancer Society:
 Umur dan gender
Limfoma Non-Hodgkin dapat terjadi pada semua umur. Sekitar 6-10 kasus (60%)
di diagnosa pada umur 65 tahun keatas. Pada semua kasus, NHL lebih sering
terjadi pada pria daripada wanita.
 Sistem imun yang lemah
Setiap orang yang memiliki sistem imun yang tidak bekerja dengan baik,
memiliki kemungkinan untuk perkembangan NHL. Termasuk pada orang-orang
yang mengonsumsi obat , pada penderita HIV/AIDS dan gangguan autoimun.
 Risiko lain
Infeksi virus dan bakteria dapat meningkatkan risiko perkembangan pertumbuhan
NHL. Namun beberapa kasus hanya sedikit yang dilaporkan diakibatkan oleh
infeksi virus.
d. Gambaran Klinis
Gejala pada sebagian besar pasien asimtomatik sebanyak 2% pasien dapat
mengalami demam, keringat malam dan penurunan berat badan (Mansjoer, 1999).
Pada pasien dengan limfoma indolen dapat terjadi adenopati selama beberapa bulan
sebelum terdiagnosis, meskipun biasanya terdapat pembesaran persisten dari nodul
kelenjar bening. Untuk ekstranodalnya, penyakit ini paling sering terjadi pada
lambung, paru-paru dan tulang, yang mengakibatkan karakter gejala pada penyakit
yang biasa menyerang organ-organ tersebut. Dengan menerapkan kriteria yang
digunakan oleh Rosenberg dan Kaplan untuk menentukan rantai-rantai kelenjar getah
bening yang saling berhubungan. Jones menemukan bahwa pada 81% di antara 97
penderita LNH jenis folikular dan 90% di antara 93 penderita LNH jenis difus,
penyebaran penyakit juga terjadi dengan cara merambat dari satu tempat ke tempat
yang berdekatan. Walaupun demikian hubungan antara kelenjar getah bening daerah
leher kiri dan daerah para aorta pada LNH jenis folikular tidak sejelas seperti apa yang
terlihat pada LNH jenis difus (Coleman, et al 1981).
Rosenberg melaporkan bahwa pada semua penderita LNH difus dengan jangkitan
pada sumsum tulang, didapati jangkitan pada kelenjar getah bening para aorta yang
terjadi sebelumnya atau bersamaan dengan terjadinya jangkitan pada sumsum tulang.
Di antara semua subjenis LNH menurut klasifikasi Rappaport subjenis histiotik difus
menunjukkan angka yang terendah dari jangkitan penyakit pada hati. (Coleman, et al
1981).
e. Klasifikasi
Formulasi Kerja (Working Formulation) membagi limfoma non-hodgkin menjadi tiga
kelompok utama, antara lain:
 Limfoma Derajat Rendah
Kelompok ini meliputi tiga tumor, yaitu limfoma limfositik kecil, limfoma
folikuler dengan sel belah kecil, dan limfoma folikuler campuran sel belah besar
dan kecil.
 Limfoma Derajat Menengah
Ada empat tumor dalam kategori ini, yaitu limfoma folikuler sel besar, limfoma
difus sel belah kecil, limfoma difus campuran sel besar dan kecil, dan limfoma
difus sel besar.
 Limfoma Derajat Tinggi
Terdapat tiga tumor dalam kelompok ini, yaitu limfoma imunoblastik sel besar,
limfoma limfoblastik, dan limfoma sel tidak belah keci. (Kumar, Abbas, dan
Fausto. 2005)
Menurut Stadiumnya, Limfoma Non-Hodgkin dapat diklasifikasikan menjadi:

Penetapan stadium penyakit harus selalu dilakukan sebelum pengobatan dan setiap
lokasi jangkitan harus di data dengan cermat. Strategi Terapi non hodgkin limfoma
akan berbeda pada setiap stadium penyakit tergantung penyebaran dari tumor.
Stadium yang sering di aplikasikan ialah kesepakatan Ann Arbor.

f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan limfoma non-Hodgkin
adalah (Handayani & Haribowo, 2008) :
1. Pemeriksaan Hematologi
Pada pemeriksaan hematologi dapat ditemukan :
a) Adanya anemia bersifat normositer normokromik
b) adanya leukopenia dan trombositopenia serta gambaran leukoeritroblastik
c) pada biopsi sumsum tulang menunjukan lesi fokal
2. Pemeriksaan kromosom ditemukan adanya kelainan yang khas (limfoma
burkitt’s, follicular lymphoma).
3. LDH, sering meningkat pada lomfoma non-Hodgkin dengan ploriferasi yang
cepat
4. Pemeriksaan pertanda imunologis dilakukan untuk menentukan jenis sel (sel T
atau B) serta perkembangannya.
Pendekatan diagnostik untuk menegakkan NHL ialah dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat diketahui
gejala sistemik umum berupa berat badan menurun 10 % dalam waktu 6 bulan,
demam tinggi 38o C 1 minggu tanpa sebab , keringat malam, keluhan anemia,
kelainan darah, malaise, dan keluhan organ (misalnya lambung, nasofaring). Pada
pemeriksaan fisik akan didapati pembesaran kelenjar getah bening dan kelainan atau
pembesaran organ. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan ialah pemeriksaan
laboratorium, biopsi, aspirasi sumsum tulang, dan radiologi. Pemeriksaan
laboratorium ialah memeriksa status hematologi berupa darah perifer lengkap dan
gambaran darah tepi. Dilakukan juga pemeriksaan urinanalisis dan kilmia klinik
seperti SGOT, SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat, elektrolit
(Na,K,Cl,Ca,P), dan gula darah puasa. Biopsi kelenjar getah bening hanya dilakukan
pada satu kelenjar yang paling representatif, superfisial, dan perifer. Jika terdapat
kelenjar perifer atau supefisial yang representatif, maka tidak perlu dilakukan biopsi
intra abdominal atau intratorakal.
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi sumsum tulang dari dua sisi spina iliaca
dengan hasil spesimen sepanjang 2 cm. Pada pemeriksaan radiologi rutin dapat dilihat
dari foto toraks PA dan lateral dan CT scan seluruh abdomen (atas dan bawah). Pada
pemeriksaan radiologi khusus dapat diperiksa CT scan toraks, USG abdomen, dan
limfografi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan histopatologi dan sitologi.
(Reksodiputro,2009)
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada non hodgkin dilakukan sesuai dengan klasifikasi dan
stadiumnya. Untuk NHL indolen stadium I dan stadium II standar pilihan terapinya
ialah iradiasi, kemoterapi dengan terapi radiasi, kemoterapi saja, dan sub total atau
total iridasi limfoid (jarang). Radioterapi luas tidak meningkatkan angka kesembuhan
dan dapat menurunkan toleransi terhadap kemoterapi lanjutan nantinya. (Bakta,2012).
Untuk Indolen stadium II/III/IV standar pilihan terapinya ialah: tanpa terapi,
pasien pada stadim lanjut dapat diobservasi dan dilaporkan tidak mempengaruhi
harapan hidup dan remisi sontan tidak terjadi. Terapi hanya diberikan bila ada gejala
sistemik. Dapat juga diberikan rituximab (anti CD 20 monoclonal antibodi. Obat ini
bekerja dengan cara aktivasi komplemen dan memperantarai sinyal intraseluler.
Pilihan terapi berikutnya ialah pemberian analog purin nukleosida (fludarabin atau 2
klorodoksiaadenosin kladribin) dan juga pemberian alkylating agent oral (dengan atau
tanpa steroid) yaitu siklofosfamid dan klorambusil. (Krisifu, et al, 2004)
Terapi pilihan yang banyak di pakai ialah terapi kombinasi. Terutama untuk
memberikan hasil yang cepat biasanya digunakan kombinasi klorambusil atau
siklofosfamid plus kortikosteroid, dan fludarabilplus mitoksantron. Kemoterapi
tunggal atau kombinasi menghasilkan respon yang cukup baik(60-80%). Terapi
diteruskan sampai hasil maksimum.
Terapi maintenance tidak dapat meningkatkan harapan hidup. Beberapa protokol
kombinasi antara lain : 1) CVP yaitu siklofosfamid , vinkristin dan prednison. 2)
C(M)OPP yaitu siklofosfamid, vinkristin, prokarbazin, dan prednison. 3) CHOP yaitu
siklofosfamid, doksorubisin, vinsikrin dan prednison. 4) FND yaitu fludarabin,
mitoksantron, dan dengan atau tidak deksametason. (Reksodiputro,2009).
NHL agresif merupakan NHL indolen yang bertransformasi menjadi lebih ganas
akan memiliki prognosis yang jelek dan dapat melibatkan sistem saraf pusat. Biasanya
memberikan respon terapi yang baik dengan protokol pengobatan NHL keganasan
derajat menengah atau tinggi yaitu dengan terapi radiasi paliatif, kemoterapi,
rituximab, dan transplantasi sumsum tulang. Kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi
sel induk untuk kasus ini harus dipertimbangkan. ( Schrijvers, 2011).
Pada pasien dengan penyakit limfoma non-hodgkin yang mendapat terapi radiasi,
sering mengalami oesofagitis, anoreksia, kehilangan pengecapan, mulut kering, mual
dan muntah, diare serta reaksi kulit dan letargi. Perhatian khusus diperlukan untuk
membantu klien menghadapi efek samping yang ditimbulkan terapi tersebut adalah
sebagai berikut(Handayani, Haribowo, 2008):
 Memberikan dukungan kepada pasien untuk makan dengan makanan yang
mereka sukai dan disajikan dalam kondisi hangat
 Memberikan permen anestesi tenggorokan untuk mengurangi ketidaknyamanan
saat sakit
 Memberikan oral higiene yang intensif, karena adanya penurunan air liur dapat
dapat meningkatkan risiko karies gigi.
 Pemberian obat antimuntah yang sudah diresepkan oleh dokter
h. Komplikasi
1. Akibat langsung penyakitnya yaitu penekanan terhadap organ khususnya jalamn
napas, saluran gastrointestinal dan saraf (Handayani & Haribowo, 2008 ).
2. Akibat efek samping pengobatan biasanya terjadi aplasia sumsum tulang, gagal
jantung, gagal ginjal, serta neuritis oleh obat vinkristin (Handayani & Haribowo,
2008)
i. Prognosis
Banyak pasien yang dapat mencapai respons sempurna, sebagian diantaranya
dengan limfoma sel besar difus, dapat berada dalam keadaan bebas gejala dalam
periode waktu yang lama dan dapat pula disembuhkan. Pemberian regimen kombinasi
kemoterapi agresif berisi doksorubisin mempunyai respons sempurna yang tinggi
berkisar 40-80% (Mansjoer, 1999).
Keefektifan terapi pada pasien limfoma non-Hodgkin sangat bervariasi. Hasil
yang baik dapat dicapai pada stadium I dan II. Akan tetapi, manifestasi limfoma non-
Hodgkin baru terlihat pada stadium III dan IV dimana prognosisnya sudah buruk
(Copstead & Banasik, 2013).

2. Patofisiologi terjadinya limfoma non hodgkin


Prekursor limfosit dalam sumsum tulang adalah limfoblas. Perkembangan
limfosit terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap yang tidak tergantung antigen (antigent
independent) dan tahap yang tergantung anrigent (antigent dependent). Pada tahap I,
sel induk limfoid berkembang menjadi sel pre-B, kemudian menjadi sel B imatur dan
sel B matur, yang beredar dalam sirkulasi, dikenal sebagai naive B-cell. Apabila sel B
terkena rangsangan antigen, maka proses perkembangan akan masuk tahap 2 yang
terjadi dalam berbagai kopartemen folikel kelenjar getah bening, dimana terjadi
immunoglobuline gene rearrangement. Pada tahap akhir menghasilkan sel plasma
yang akan pulang kembali ke sumsum tulang. Normalnya, ketika tubuh terpajan oleh
zat asing, sistem kekebalan tubuh seperti sel limfosit T dan B yang matur akan
berproliferasi menjadi suatu sel yang disebut imunoblas T atau imunoblas B. Pada
LNH, proses proliferasi ini berlangsung secara berlebihan dan tidak terkendali. Hal ini
disebabkan akibat terjadinya mutasi pada gen limfosit tersebut. Proliferasi berlebihan
ini menyebabkan ukuran dari sel limfosit itu tidak lagi normal, ukurannya membesar,
kromatinnya menjadi lebih halus, nukleolinya terlihat, dan protein permukaan selnya
mengalami perubahan. Terdapat bukti bahwa pada respons imun awal sebagian naiv B
cell dapat langsung mengalami transformasi menjadi immunoblast kemudian menjadi
sel plasma. Sebagian besar naiv B cell dapat langsung mengalami transformasi
menjadi immunoblast kemudian menjadi sel plasma. Sebagian besar naiv B cell
mengalami transformasi melalui mantle cell, follicular B-blast, centroblast,
centrocyte, monocyte B cell dan sel plasma. Perubahan sel limfosit normal menjadi sel
limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok
sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi menjadi imunoblas
(terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Proses ini terjadi di dalam kelenjar
getah bening, dimana sel limfosit tua berada dlluar "centrum germinativum"
sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari "centrum germinativum"
Beberapa perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1). Ukurannya makin
besar; 2). Kromatin inti menjadi lebih halus; 3). Nukleolinya terlihat; 4). Protein
permukaan sel mengalami perubahan reseptor (Setioyohadi, B. 2009).
Penataan ulang kromosom yang salah merupakan mekanisme mutasi yang
penting terhadap LNH sel B. Memahami mekanisme dasar yang berkontribusi
terhadap proses ini relevan dengan pembahasan epidemiologi saat ini. Sedikit yang
diketahui tentang agen yang mempengaruhi penyusunan ulang kromosom abnormal,
namun pada pertemuan ini Kirschhas telah memberikan bukti bahwa paparan kerja
pestisida dapat meningkatkan laju pembentukan rekombinasi yang salah [misalnya,
inv (7) PL3, Q35)] antara gen reseptor sel T. Sementara inversi ini tidak terkait
dengan aktivasi onkogen, ini menunjukkan bahwa faktor-faktor eksogen dapat
mempengaruhi proses rekombinasi dalam sel. telah dijelaskan penyusunan ulang
kromosom, termasuk translokasi stabil dalam aplikator fumigan (pengasapan) terpajan
fosfin. Gen Ig di B-sel (dan T-sel reaktivitas gen dalam sel-T) mengalami perubahan
struktural yang luas selama perkembangan normal. Ada dua proses penataan ulang
terpisah: V-(D)-J penyusunan ulang yang terjadi selama tahap pro-B/pre-B awal dan
berat rantai isotipe beralih yang terjadi di matang perifer B-sel. Dalam setiap proses
DNA rusak dan bergabung kembali, enzim yang berbeda mungkin terlibat dalam
kedua proses. V-(D)-J gen menata ulang langkah melibatkan gen Ig dalam tiga lokus
kromosom yang berbeda: DHJH, VH DHJH pada kromosome (chr) 14; VKJK
pada kromosom 2, dan V λJλ pada kromosom 22 (Potter M. 1992).
Disamping itu, BCL-6 represor transkripsi yang sering mengalami translokasi
dalam limfoma, mengatur deferensiasi germinal center sel B dan peradangan.
Skrining mikroangiopati DNA mengidentifikasi gen-gen yang ditekan oleh BCL-6,
termasuk banyak gen aktivasi limfosit, menunjukkan bahwa BCL-6 memodulasi
sinyal reseptor sel B. BCL-6 represi dari dua gen kemokin, MIP-1alpha dan IP-10,
juga mungkin meminimalkan respon inflamasi. Blimp-1, BCL-6 target lain, sangant
penting untuk diferensiasi plasmacytic. Sejak ekspresi BCL-6 tidak ada dalam sel
plasma, represi balon-1 oleh BCL-6 dapat mengontrol diferensiasi plasmacytic.
Memang, penghambatan BCL-6 fungsi melakukan perubahan indikasi diferensiasi
plasmacytic, termasuk penurunan ekspresi c-Myc dan peningkatan ekspresi siklus
inhibitor p27KIP1 sel. Data ini menunjukkan bahwa transformasi maligna oleh BCL-6
melibatkan penghambatan diferensiasi dan penigkatan proliferasi (Pasqualucci, at al.
2003).
3. Analisa Data, Rumusan Diagnosa Keperawatan, dan Rencana Keperawatan
a. Analisa data
No Data Analisa Data Masalah
1 DS: Limfoma non-Hodgkin Hipertermia
- Pasien mengeluh
demam sejak 3 hari Perubahan rangsangan
yang lalu imunologik
- Pasien mengatakan
sering berkeringat Mempengaruhi proses
pada malam hari metabolisme
DO:
- Suhu : 38,2°C Terjadi hipermetabolisme
- Nadi : 88 kali
permenit Produksi panas berlebihan
- TD: 130/80 mmHg

Hipertermia

2 DS: Limfoma non-Hodgkin Ketidakseimbangan


- Pasien mengatakan Nutrisi: Kurang dari
tidak nafsu makan pembesaran kelenjar getah Kebutuhan Tubuh
- Pasien mengatakan bening di abdomen
berat badannya turun
banyak karena semua penurunan nafsu makan
pakainya longgar
- Pasien mengeluh penurunan berat badan >20%
merasa lemah di
seluruh tubuh Ketidakseimbangan
DO: Nutrisi: Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
- Terlihat membran
mukosa pasien pucat

b. Diagnosa Keperawatan
a) Hipertermia berhubungan dengan penyakit Limfoma Non- Hodgkin dan
peningkatan laju metabolisme ditandai dengan pasien mengeluh demam sejak 3
hari yang lalu, pasien mengatakan sering berkeringat pada malam hari, suhu :
38,2°C, nadi : 88 kali permenit, TD: 130/80 mmHg.
b) Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan
faktor biologis (penyakit Limfoma Non-Hodgkin) ditandai dengan pasien
mengatakan tidak nafsu makan, pasien mengatakan berat badannya turun banyak
karena semua pakainya longgar, pasien mengeluh merasa lemah di seluruh
tubuh, terlihat membran mukosa pasien pucat.
c. Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1 Hipertermia Setelah dilakukan NIC Label : Fever Fever Treatment
berhubungan tindakan Treatment 1. Mengetahui
dengan penyakit keperawatan selama 1. Pantau intake banyaknya cairan
Limfoma Non- …x24 jam dan output yang masuk serta
Hodgkin dan diharapkan suhu cairan keluar masih
peningkatan laju tubuh pasien kembali 2. Pantau warna dalam keadaan
metabolisme normal. Dengan dan suhu kulit seimbang atau
ditandai dengan kriteria hasil : 3. Lakukan tidak.
pasien mengeluh NOC Label : kompres hangat 2. Mekanisme
demam sejak 3 hari Thermoregulation pada ketiak atau kompensasi dari
yang lalu, pasien 1. Suhu tubuh kipatan paha vaodilatasi
mengatakan sering dalam rentang pasien mengakibatkan
berkeringat pada normal (36,50- 4. Kolaborasikan kulit menjadi
malam hari, suhu : 37,50C) (skala : pemberian lebih hangat dan
38,2°C, nadi : 88 3) antipiretik berwarna
kali permenit, TD: 2. Suhu kulit tetap NIC Label : kemerahan
130/80 mmHg hangat (skala : Temperature merupakan
3) regulation karakteristik dari
3. Tidak ada 1. Monitor suhu hiperperfusi pada
perubahan warna minimal setiap 2 fase
kulit (skala : 3) jam hiperdinamik.
4. Tidak terjadi 2. Berikan informasi 3. Kompres hangat
dehidrasi (skala : mengenai penyebab akan membuat
3) hipertermia dan pembuluh darah
5. Ekskresi penatalaksanaan besar yang ada
keringat dalam kepada pasien dan pada ketiak dan
rentang normal keluarga. lipatan paha
(skala : 3) mengalami
6. Laju pernapasan NIC Label : Vital sign vasodilatasi
dan denyut nadi 1. Ukur tekanan sehingga panas
dalam rentang darah, denyut tubuh akan keluar
normal (RR = nadi, laju dengan cara
16-20 menit, respirasi dan konduksi ke
nadi = 60-100 suhu tubuh handuk yang
x/menit) pasien digunakan untuk
mengompres.
4. Pemberian
antipiretik
diberikan apabila
panas tidak turun
meskipun telah
dikompres.
Antipiretik
bekerja sentral
pada hipotalamus
yang merupakan
tempat thermostat
tubuh.
Temperature
regulation
1. Untuk memantau
peningkatan
ataupun
penurunan suhu
tubuh
2. Informasi
mengenai
hipertermi penting
diberikan kepada
keluarga dan
pasien untuk
penatalaksanaan
hipertermi oleh
keluarga terutama
saat di rumah.

Vital sign
1. Memantau TTV
dijadikan patokan
apabila terjadi
perubahan status
kesehatan dalam
tubuh serta dapat
mengevaluasi
respon pasien
terhadap tindakan
yang telah
diberikan
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan NIC Label :
Nutrisi: Kurang tindakan Nutrition Nutrition
dari Kebutuhan keperawatan selama management management
Tubuh ...x 24 jam, 1. Tanyakan apakah 1. Alergi terhadap
berhubungan diharapkan pasien memiliki makanan menjadi
dengan faktor kebutuhan nutrisi alergi terhadap indikator makanan
biologis (penyakit pasien terpenuhi, makanan tertentu. apa saja yang
Limfoma Non- dengan kriteria hasil 2. Kolaborasi dengan boleh dan tidak
Hodgkin) ditandai : ahli gizi untuk boleh dikonsumsi
dengan pasien NOC Label : menentukan jumlah oleh pasien dalam
mengatakan tidak Appetite kalori dan nutrisi pemenuhan
nafsu makan, 1. Memiliki yang dibutuhkan nutrisinya.
pasien mengatakan keinginan untuk pasien. 2. menentukan
berat badannya makan dan 3. Anjurkan asupan metode diet yang
turun banyak memiliki kalori yang tepat memenuhi asupan
karena semua keinginan sesuai umur, kalori dan nutrisi
pakainya longgar, terhadap makanan aktivitas dan gaya yang optimal.
pasien mengeluh Nutritional Status hidup 3. Asupan kalori
merasa lemah di 1. Asupan nutrisi 4. Sediakan makanan yang tepat sesuai
seluruh tubuh, yang adekuat pilihan yang dengan umur,
terlihat membran 2. Jumlah cairan dan disesuaikan dengan aktivitas dan gaya
mukosa pasien makanan yang keinginan dan hidup dapat
pucat diterima sesuai kondisi pasien. memenuhi intake
dengan kebutuhan 5. Monitor jumlah nutrisi yang
tubuh pasien nutrisi dan optimal.
3. Rasio berat badan kandungan kalori. 4. Jenis makanan
dan tinggi badan 6. Berikan informasi merupakan faktor
dalam rentang tentang kebutuhan yang
normal (IMT nutrisi. mempengaruhi
18,5-22,9) keinginan/nafsu
Nutrition Therapy makan seseorang.
Hidration 1. Lakukan 5. Jumlah asupan
1. Turgor kulit pengkajian lengkap nutrisi dan
normal (cubitan mengenai nutrisi kandungan kalori
kembali < 2 detik) klien. harus tepat sesuai
2. Membran mukosa 2. Pilih suplemen dengan kebutuhan
lembab nutrisi jika pasien.
3. Intake dan output diperlukan. 6. Pasien dapat
cairan seimbang mengetahui
mengenai
Fatigue Level Fluid Management kebutuhan atau
1. pasien tidak 1. Pantau berat badan kecukupan nutrisi
merasakan pasien setiap hari yang harus di
kelemahan (skala: 2. Pertahankan intake penuhi sehingga
3) yang akurat dan penting untuk
2. Pasien tidak catat output cairan memberikan
kehilangan nafsu 3. Monitor status informasi
makan hidrasi (membran
mukosa lembab, Nutrition Therapy
nadi normal (60-80 1. Mengetahui status
kali per menit)) nutrisi klien sangat
4. Berikan cairan penting sehingga
apabila diperlukan dapat melakukan
5. Tingkatkan intake intervensi yang
cairan peroral tepat.
6. Berikan cairan infus 2. Suplemen diberikan
(melalui IV) bila untuk
diperlukan meningkatkan
asupan nutrisi
pasien selain dari
intake makanan.

Fluid Management
1. 60% berat tubuh
adalah volume
cairan sehingga
apabila pasien
mengalami
kekurangan cairan
dapat tercermin
dari berat tubuh
pasien
2. Untuk menjaga
keseimbangan
cairan tubuh dan
mengetahui
perkembangan
cairan pasien
3. Status hidrasi
mencerminkan
keseimbangan
cairan di dalam
tubuh
4. Pemberian cairan
dilakukan untuk
memenuhi
kebutuhan cairan
pasien dan
menjaga
keseimbangan
cairan pasien
5. Pemberian cairan
peroral dapat
meningkatkan
intake cairan untuk
memenuhi
kebutuhan cairan
pasien
6. Pemberian cairan
infus dapat
dilakukan untuk
memenuhi
kebutuhan cairan
yang tidak mampu
dipenuhi dengan
intake peroral

4. Pendidikan Kesehatan Pada Pasien dengan Limfoma Non Hodgkin


 Menganjurkan pasien untuk istirahat yang cukup karena terapi menguras energi
juga melakukan aktivitas yang tidak terlalu memerlukan banyak energi untuk
menghindari kejenuhan.
 Menganjurkan pasien untuk segera menghubungi tenaga kesehatan bila
menemukan tanda-tanda infeksi seperti demam, adanya nyeri tekan, lesi, batuk,
dan sebagainya.
 Anjurkan klien untuk menghindari kontak dengan orang yang terkena infeksi
karena kondisi klien rentan terhadap infeksi atau memotivasi klien untuk selalu
menaati kunjungan tindak lanjut (Handayani, Haribowo, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Alshayeb, H. & Wall B.M., 2009. Non Hodgkin’s Lymphoma Associated


Membranoproliferative Glomerulonephritis : Rare case of Long Term Remission with
Chemotherapy. Department of Internal Medicine USA, 2 : 7201.

American Cancer Society. 2013. Non-Hodgkin Lymphoma. Atlanta: American Cancer society

Bakta, I Made. 2012. Hematologi Klinik Ringkas.Jakarta: EGC.

Bruce D. Cheson. 2007. Revised Response Criteria for Malignant Lymphoma. Journal Of
Clinical Oncology. Volume 25(5); 581
Bulechek, G.M., Butcher, H.W. & Dochterman, J.M. 2008.Nursing intervention classification
(NIC).(5th edition). St Louis: Mosby Elsevier.

Coleman CN, Cohen JR, Rosenberg SA. Adult lymphoblastik lymphoma result of a pilot
proto-col. Blood 1981; 4:679-84
Copstead, Lee-Ellen., Banasik, Jacquelyn. 2013. Pathophysiology Ed. 5. St. Louis: Saunders,
an imprint of Elsevier Inc.
Handayani, Wiwik., Haribowo, Andi Sulistyo. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika

Hauswirth, Alexander W., dkk., 2008. Autoimmune Thrombocytopenia In Non-Hodgkin’s


Storti Foundation, 90 (3) : 447 –450.
Herdman, T. Heather.2012. Nursing diagnoses : definitions and classification 2012-2014.
Jakarta : EGC.
Hoffbrand A.V. 2005. Limfoma maligna. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC

Krisifu, Santoso.2004. Diagnostik dan Penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin. Fakultas


Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta : 143-146.

Mansjoer A, Triyanti, Savitri R, et al. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi Ketiga.
Jakarta:Media Aes-culapius FKUI

Morrhead, S., Johnson, M., Maas, M.L. & Swanson, E. 2008.Nursing outcomes classification
(NOC) (5th edition). St.Louis: Mosby Elsevie
Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. “Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease
Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari dan Mahanani.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC

Schrijvers, Dirk. 2011. Management of Anemia in Cancer Patients: Transfusions, The


Oncologist. Avaliable from :http://theoncologist.alphamedpress.org/content/16.html. [
Accessed 4 May 2014].

Soeparman, Waspadji S. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta:Balai Penerbit FKUI
Sutrisno, H. 2010. Gambaran Kualitas Hidup Pasien Kanker Limfoma Non-Hodgkin Yang
Dirawat Di Rsup Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam volume 2; 96-102

Reksodiputro, A.Harryanto. dan Cosphiadi Irawan.2009. Limfoma Non-Hodgkin (LNH). In :


Sudoyo, Et al. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Jakarta: Interna Publising, 1251-1265.

Anda mungkin juga menyukai