Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada penelitian dari 229 resep yang ditemukan 226 resep dengan
medication error yang terjadi di instalasi rawat jalan pada rumah sakit
pemerintahan di Yogyakarta. Dari 226 medication error, 99,12% adalah
prescribing errors, 3,02% merupakan pharmaceutical errors dan 3,66% adalah
pada proses dispensing. Sebagian besar kesalahan peresepan merupakan akibat
dari resep yang tidak lengkap. Dokter melakukan kesalahan terbanyak yakni
99.12%. kesalahan farmasetik meliputi overdosis atau dosis rendah yang
inadekuat. Penyerahan obat meliputi preparasi obat yang tidak tepat dan
pemberian informasi yang tidak lengkap. Monitoring keamanan dan efikasi obat
secara adekuat dapat mencegah terjadinya efek samping. Di Rumah Sakit,
pemberian informasi dan kontrol administrasi obat merupakan tantangan yang
berat. Selain itu, pada pasien rawat jalan, kontrol penggunaan obat dan keparahan
efek samping juga belum dimonitor dengan baik. Interaksi obat dengan obat,
makanan, dan bahan kimia dapat mempengaruhi terapeutik pasien(Perwitasariet
al., 2010).
Insiden medication error yang dilaporkan di RSUD Anwar Makkatutu
Bantaeng yaitu sebanyak 18 kasus (0,038 % dari total 46660 lembar resep yang
dilayani) pada tahun 2010 dan 16 (0,031 % dari total 51513 lembar resep yang
dilayani) kasus pada tahun 2011, kejadian ini antara lain disebabkan karena
pemberian obat yang salah, dosis yang tidak rasional, kesalahan rute pemakaian,
adanya kegagalan komunikasi/salah interpretasi antara prescriber dengan
dispenser dalam "mengartikan resep" yang disebabkan oleh tulisan tangan
prescriber yang tidak jelas terutama bila ada nama obat yang hampir sama serta
keduanya mempunyai rute pemberian obat yang sama pula, dan penulisan aturan
pakai yang tidak lengkap. Tahun 2012 angka kejadian medication error di RSUD
Prof Dr. H.M. Anwar Makkatutu Kabupaten Bantaeng mengalami peningkatan
menjadi 21 kasus (0,027 % dari total 77571 lembar resep yang dilayani).
Patient safety adalah bebas dari cidera aksidental atau menghindarkan
cidera pada pasien akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan. Patient
safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assesment resiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insident dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
dilakukan.
Tujuan utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan
tujuan agar pasien segera sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak
dapat ditoleransi bila dalam perawatan di rumah sakit pasien menjadi lebih
menderita akibat dari terjadinya risiko yang sebenarnya dapat dicegah, dengan
kata lain pasien harus dijaga keselamatannya dari akibat yang timbul
karena error. Bila program keselamatan pasien tidak dilakukan akan berdampak
pada terjadinya tuntutan sehingga meningkatkan biaya urusan hukum,
menurunkan efisisiensi, dll.
Oleh sebab itu, dibutuhkan kemampuan patient safety baik di Rumah
sakit, apotek maupun industri untuk mengurangi tingkat medication error yang
sering terjadi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Medication Error di Rumah Sakit, Komunitan dan Industri


2.1.1 Kasus Medication Error di Rumah Sakit
Pelayanan farmasi merupakan area pelayanan yang berisiko tinggi
dalam menunjang mutu layanan kesehatan di rumah sakit. RSI Ngk
merupakan rumah sakit yang merespon program pelayanan yang berfokus
pada keselamatan pasien dan salah satunya adalah meminimalkan risiko
terjadinya medication errors yang kejadiannya terbanyak daripada insiden
keselamatan pasien yang lain di ruang rawat inap RSI Ngk.
RSI Ngk adalah salah satu rumah sakit swasta kelas D yang
didirikan oleh salah satu organisasi dakwah di kota Nganjuk. Program
patient safety dimulai dengan terbitnya SK direktur pada tanggal 23
November 2013 tentang pembentukan sub tim KPRS dibawah kendali
Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP). Salah satu program yang
menjadi dasar keselamatan pasien adalah menekan atau menurunkan angka
insiden keselamatan pasien yang diantaranya adalah kejadian medication
errors.
Di RSI Ngk angka medicaton errors didapatkan dari laporan
internal sub tim KPRS RSI Ngk sebagaimana tabel di bawah ini:

Tabel 1 Kejadian insiden keselamatan pasien Januari- Desember 2014.


Error Prosentase
Medication errors 70.4 %
Savety errors lainnya 29.6 %
Sumber : Laporan Sub Tim Kprs Rsi Ngk Tahun 2014
Dari seluruh laporan insiden keselamatan pasien di RSI Ngk,
kejadian medication errors dilaporkan yang paling banyak terjadi daripada
jenis insiden lainnya (Tabel 1). Lokasi terjadinya insiden medication errors
yang dilaporkan, berasal dari tempat pelayanan yang melakukan kegiatan
pemberian obat kepada pasien, meliputi pelayanan rawat jalan, rawat
inap,instalasi farmasi, instalasi gawat darurat (IGD), kamar bersalin dan
ruang high care unit (HCU).
Jumlah insiden yang dilaporkan bervariasi dari setiap ruang
pelayanan, sebagaiman bisa dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2 Insiden keselamatan pasien menurut lokasi kejadian Januari-
Desember 2014
Lokasi Prosentase
Rawat Inap 51%
Instalasi Farmasi 17%
IGD 14%
Kamar Bersalin 11%
HCU 3%
Sumber : Laporan Sub Tim Kprs Rsi Ngk Tahun 2014
Berdasar data kejadian insiden keselamatan pasien di RSI Ngk pada
tahun 2014 yang bisa dilihat pada tabel 1.2, menunjukkan bahwa mayoritas
insiden yang terjadi adalah kejadian medication errors di ruang rawat inap
sebesar 51% dari seluruh kejadian di RSI Ngk.
Dari hasil telusur dokumentasi, didapatkan bahwa kejadian
medication errors paling banyak berupa Kejadian Nyaris Cidera (KNC)
sebagaiman ditunjukkan tabel berikut :
Tabel 3 Jenis Safety Errors pada Pelayanan Pemberian Obat di Ruang
Rawat Inap RSI Ngk tahun 2014
Jenis Jumlah %
Kejadian nyaris cidera (knc) 22 96
Adverse drug event 1 4

Dari seluruh kejadian medication errors tersebut, kesalahan yang


paling banyak terjadi yaitu pada fase prescribing. Pada fase prescribing
bisa terjadi kesalahan berupa penulisan dosis atau memberikan dosis,
penulisan resep tidak jelas dan tidak lengkap, pada fase transcribing bisa
terjadi kesalahan pembacaan resep yang diminta sedangkan fase dispensing
bisa terjadi kesalahan penyerahan obat kepada pasien atau keluarganya
terutama obat- obat high alert, jumlah dan jenis obat salah, dosis yang
tidak sesuai. Sementara dalam fase administering bisa terjadi kesalahan
waktu memakai obat, salah pasien karena mempunyai identitas mirip.
Tabel 4 Fase terjadinya medication errors di ruang rawat inap RSI
Ngk tahun 2014
Fase Jumlah %
Prescribing 11 50
Transcribing 5 23
Dispensing 6 27
Administering 0 0

Dari seluruh faktor yang berkontribusi dalam kejadian medication


errors di RSI Ngk, yang dianggap cukup berpengaruh atau sebagai akar
masalahnya adalah faktor komunikasi terutama komunikasi tertulis berupa
ketidak lengkapan penulisan resep dokter. Ketidak lengkapan penulisan di
resep mengakibatkan petugas di layanan farmasi gagal melakukan proses
transcribing dengan baik karena mempunyai persepsi yang keliru. Kasus
ini tidak sampai menciderai pasien dikarenakan kewaspadaan dan
ketertiban petugas di ruang rawat inap untuk melakukan double check
terhadap obat-obat yang diterima pasien di ruang rawat inap RSI Ngk.
2.1.2 Kasus Medication Error dalam Bidang Farmasi Komunitas
Terkait kasus yang diduga salah pemberian obat oleh apoteker di
Indonesia belum lama ini terjadi di puskesmas waykandis. Berita yang
diterbitkan oleh radartvnews.com pada tanggal 26 februari 2016 dimana
seorang pasien bernama Elisia Santika remaja berusia 17 tahun, warga
kampung Sinar Mulia, kelurahan labuhan dalam, kecamatan
Tanjungsenang, Bandar Lampung. Korban mengalami kebutaan pada
bagian mata kanannya. Dugaan kuat hal tersebut disebabkan karena
kesalahan pemberian obat oleh petugas apoteker puskesmas setempat
dimana seharusnya pasien menerima obat tetes mata, tetapi justru korban
diberikan obat tetes telinga. Dokter Itan Kusuma Dewi menegaskan jika
pihaknya telah bertanggung jawab dengan melakukan pendampingan
pengobatan terhadap pasien Elisia Santika, termasuk melakukan kontrol ke
dokter mata hingga sakit yang diderita remaja putri yang duduk dibangku
SMA tersebut sembuh.
Kepala Puskesmas mengatakan bahwa itu merupakan masalah
penyakit awal yang diderita pasien seraya membantah jika korban
mengalami kebutaan, melainkan terjadi penurunan pengelihatan pada mata
bagian kanan korban. Klarifikasi Plt Kepala Ombudsman RI Perwakilan
Lampung, Ahmad Seleh David Faranto, menilai adanya dugaan
malapraktek oleh dokter atau malaadministrasi oleh apoteker. Menurut
beliau masih diselidiki terlebih dahulu apakah resep yang diberikan dokter
kepada apotekernya benar atau tidak penulisannya, sesuai dengan botol
yang diberikan atau tidak. Apabila dari resep itu salah berarti ini
malapraktek yang dilakukan oleh dokter. Akan tetapi jika apoteker yang
mendistribusikan obat kepada pasien yang salah dimana seharusnya
mendapatkan obat mata namun yang diberikan adalah obat telinga, maka
kesalahan ini ada pada apoteker yang melakukan malaadministrasi dalam
pelayanan. Ini kelalaian yang menyebabkan seseorang mengalami kerugian
materil dan immateril. Korban bisa menuntut kerugian seperti yang
tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, atas
kelalaian yang menyebabkan seseorang mengalami kebutaan.
Selain terjadi di dalam negeri medication error juga terjadi di luar
negeri yaitu di Birmingham, Inggris. Berita dilansir oleh healthdetik.com
pada tangga 28 november 2014 dimana pasien bernama Edlie George
Masters 83 meninggal beberapa hari setelah apoteker langganannya keliru
memberikan obat resep. Masters yang merupakan seorang pensiunan ini
awalnya meminta parasetamol untuk meredakan nyeri pada kakinya yang
sakit. Karena tidak sanggup berjalan untuk membeli obat, ia pun
menelepon apotek di area dekat rumahnya untuk memesan obat. Apoteker
yang bertugas kala itu, Matthew Hurcomb, menerima resep tersebut. Ia
datang beberapa jam kemudian, tapi kemudian tak ada jawaban dari rumah
Masters. Hurcomb pun kembali ke apotek. Malam harinya, Hurcomb
berniat mengantarkan kembali obat pesanan ke rumah Masters. Namun
sayangnya, ia keliru mengambil obat dan tak memeriksa nama pasien yang
tertera. Hurcomb tidak memberikan paracetamol justru memberikan obat
Verapamil. Obat ini sendiri biasanya diresepkan untuk mengobati tekanan
darah tinggi. Ketika kemudian Hurcomb menyadari kesalahannya, ia
kembali melaju ke rumah Masters dan meyakinkannya bahwa meskipun
salah tapi obat Verapamil tersebut tidak akan memberi efek yang
merugikan. Namun beberapa jam kemudian Masters mengeluh sesak napas
dan dilarikan ke Birmingham City Hospital keesokan harinya. Tragisnya,
kakek dari 8 orang cucu ini meninggal dunia sekitar lima hari kemudian
karena kerusakan pada ginjalnya. Koroner setempat menyatakan Masters
meninggal sebagai akibat dari adanya interaksi antara Verapamil dan obat-
obatan yang biasanya ia konsumsi.
2.1.3 Kasus Medication Error dalam Bidang Farmasi Industri
Ditengah adanya Negara yang masih berkembang dalam jumlah
yang sedikit pada masa lalu, menyebabkan jumlah obat yang berada
dipasaran menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan, obat menjadi tantangan
besar bagi para pelaku industry. Kemudian, seiring dengan adanya
pelaksanaan National Pharmacovigilance Program di India mengenai
penetapan amandemen Y of the Drugs and Cosmetics Act 1945 yang berisi
tentang perusahaan pembuatan obat generic di india (memonitoring dan
melaporkan reaksi obat yang memberikan efek merugikan pada rentang
waktu biasa, mempersiapkan pelaporan untuk update keamanan secara
berkala, pelaporan harus dipercepat jika terjadi reaksi samping serius yang
tidak diharapkan, menganalisis keuntungan kerugian dari produk yang
dipasarkan, adanya regulasi keamanan data dan management serta adanya
signal pendeteksi yang efektif) dan juga melakukan klinikal trial.
Medication Error didefinisikan sebagai adanya kesalahan/insiden yang
terjadi selama proses pengobatan sehingga menimbulkan kerugian bagi
pasien.
Medication error yang umumnya terjadi di industry, disebabkan
karna banyaknya kesalahan yang terjadi dalam pelabelan dan pengemasan.
Salah satu contoh kesalahan pengemasan yaitu dalam hal design produk
biasanya disebabkan karna sulitnya membedakan produk yang satu dengan
yang lain karna kode imprint yang digunakan sebagai pengidentifikasi
suatu produk hampir sama. Contohnya saja pada penggunaan produk
topical yang dikemas pada wadah yang terlihat sama untuk mata, telinga,
hidung ataupun oral.

Kesalahan dalam hal pelabelan yang sering terjadi misalnya produk


look alike pada label wadah dan label karton yang ditempatkan saling
berdekatan.
2.2 Upaya Pemerintah/WHO/IAI dalam Mengurangi Medication Error
Upaya pemerintah dalam meminimalkan kejadian kesalahan pengobatan
oleh seorang apoteker dalam pelayanan kefarmasian sudah diatur dalam peraturan
menteri kesehatan RI No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian
di Apotek. Pada pasal 2 disebutkan bahwa pengaturan standar pelayanan
kefarmasian di Apotek bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan
kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, dan
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Pada pasal 3 dijelaskan standar pelayanan kefarmasian di Apotek
meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai serta pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
Sedangkan pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian resep, dispensing,
Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah
(home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan Monitoring Efek
Samping Obat (MESO).
Selain itu terdapat peratuan menteri kesehatan RI No. 58 tahun 2014
tentang standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Pada permenkes pasal 3
tersebut juga dijelaskan tentang pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, serta administrasi. Sedangkan pelayanan farmasi klinik meliputi
pengkajian resep dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsiliasi obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan
Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi
Penggunaan Obat (EPO), dispensing sediaan steril, Pemantauan Kadar Obat
dalam Darah (PKOD).
Tidak hanya mengurangi terjadinya medication error, pememrintah juga
mempertimbangkan keselamatan pasien. Upaya pemerintah dalam menjamin
keselamatan pasien, antara lain adalah dengan memilih seorang direktur yang
memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Seorang pemimpin menciptakan
budaya dalam setiap pemikiran, perkataan dan perbuatannya. Kepemimpinan
menghasilkan budaya keselamatan pasien yang terdiri dari budaya non blaming,
budaya pelaporan dan budaya belajar dari insiden keselamatan pasien. Salah satu
konsep pemikiran yang penting tentang keselamatan pasien yaitu pemikiran
leadership (kepemimpinan), merupakan langkah untuk mengoptimalkan gerakan
keselamatan pasien di rumah sakit, dilakukan dengan cara membentuk kerjasama
antara seluruh pembuat kebijakan di Rumah Sakit. Kepemimpinan menghasilkan
budaya keselamatan pasien, sehingga seorang pemimpin harus senantiasa
melakukan upaya secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya cedera pada
pasien maupun karyawannya (Yuni kartika dkk, 2015).
Menurut peraturan menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 58
tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit :
a. bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, diperlukan suatu standar yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian;
b. bahwa Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Pasal 21 ayat (4)
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Pada Pasal 2 mengenai Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
2.3 Upaya Untuk Mencegah Medication Error
Medication error dapat terjadi disebabkan karna 4 sumber permasalahan
utama diantaranya:
 Penulisan resep menggunakan tulisan tangan
 Kesamaan kemasaan/penamaan/ kekuatan/ penulisan dosis yang tidak tepaat
 Kurangnya pengontrolan yang efektif dalam label resep dan obat-obatan
 Kurangnya konsentrasi yang terdapat pada obat akibat adanya kontaminan.
Medication error dapat dicegah dengan memaximalkan proses
pengobatan secara klinis. Proses pengobatan ada lima tahap ; pertama, peresepan
obat ; kedua, pemberian obat termasuk rekonsiliasi obat; ketiga, mempersiapkan
obat untuk administrasi; keempat, melakukan administrasi dosis menggunakan
metode dan rute yang sesuai; terakhir, memonitoring efek pengobatan pada
pasien.
Medication error juga dapat dicegah dengan memaximalkan evaluasi
terhadap produk yang telah dipasarkan. Misalnya dengan merubah label dan
merubah design obat.
Aplikasi Patient Safety dalam kefarmasian tidaklah berdiri sendiri. Hal
ini dikarenakan tanggung jawab atas keamanan pasien bukan hanya milik
apoteker, melainkan seluruh tenaga kesehatan yang terlibat akan pengobatan
pasien. Saat ini sedang dikembangkan metode untuk mendapatkan kerjasama
antar tenaga kesehatan yang disebut Interprofesional Colaboration (IPC). IPC
adalah Interaksi kolaboratif antara berbagai elemen profesi. IPC dicapai melalui
keterampilan berbagi dan pengetahuan untuk meningkatkan kualitas perawatan
pasien, dalam hal ini juga meningkatkan keamanan pasien (Bridges, 2011).
Untuk menggapai IPC yang ideal maka para calon tenaga kesehatan dilatih untuk
dapat bekerjasama satu sama lain dengan metode yang dinamakan
Interprofessional Education (IPE). IPE melatih kerjasama para calon tenaga
kerja kesehatan sebelum turun ke lapangan. Pada tahun 2002 di Amerika, The
Joint Comission menerbitkan ‘National Patient Safety Goal’ untuk meningkatkan
keselamatan pasien dengan membantu organisasi kesehatan untuk mengatasi
daerah-daerah tertentu keprihatinan sehubungan dengan keselamatan pasien.
Fokus tujuan di dalamnya adalah pada masalah dalam keselamatan kesehatan dan
bagaimana menyelesaikannya (The Joint Comission, 2013). National Patient
Safety Goal secara holistik menunjukkan bahwa seluruh tenaga kesehatan
memiliki andil dalam keamanan pasien. Peran apoteker terutama terdapat pada
peningkatan penggunaan obat dengan baik.
Gambar 1. The Joint Commission 2014 National Patient Safety Goals for
Hospitals and Ambulatory Health Care (The Joint Comission, 2013)

Patient Safety tentunya juga berada tidak hanya di farmasi rumah sakit
ataupun komunitas, tetapi juga terdapat di industri walaupun dalam prakteknya
farmasi industri tidak berhubungan langsung dengan pasien/konsumen. Upaya
Food and Drug Administration (FDA) baru-baru ini mengusulkan inisiatif
keselamatan dan menerbitkan dokumen draft guideline yang menganjurkan
pendekatan sistemik untuk pencegahan kesalahan pengobatan yang berjudul
“FDA Guidance for Industry: Safety Considerations for Product Design to
Minimize Medication Errors,”. Kesalahan pengobatan tidak dapat diprediski
terjadinya, namun kesalahan dapat diminimalkan dengan menilai, sebelum
pemasaran, bagaimana pengguna berinteraksi dengan produk obat dalam sistem
penggunaan obat atau lingkungan penggunaan. FDA telah mengatur desain
produk yang ideal yang mana terdiri dari banyak aspek seperti bahan aktif,
kekuatan, bentuk sediaan, produk penampilan, warna, ukuran, bentuk,
palatabilitas, dll. Hal ini bertujuan untuk menjamin produk obat yang dipasarkan
aman dan digunakan dengan benar sehingga dapat meminimalkan peluang untuk
tenaga kesehatan dan pasien.
Disegala bidang kefarmasian aplikasi patient safety juga dapat berwujud
SPO (Standar Prosedur Operasional). SPO dibuat oleh masing-masing institusi
bertujuan untuk memastikan proses yang dilakukan oleh institusi sudah ideal
dalam menjaga keamanan pasien, sehingga apabila terdapat kesalahan dapat
dilakukan evaluasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Medication error merupakan kejadian yang merugikan pasien, akibat
pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya
dapat dicegah. Farmasis memiliki tanggung jawab besar dalam mencegah
terjadinya medication error khususnya dalam hal transcription, prescribing,
dispensing, dan administrasi. Tidak hanya farmasis, pencegahan medication
error seharusnya menjadi tanggung jawab bersama baik dokter, perawat maupun
petugas kesehatan lainnya. Kebijakan dan prosedur pengelolaan, pengendalian,
pelayanan yang memadai serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM menjadi
aspek penting dalam mencegah terjadinya medication error.
DAFTAR PUSTAKA
Alsaraf Khulood Majid et al. (2012). The Roles Of Clinical Pharmacy In Reducing
Medication Errors. Iraq : International Research Journal Of Pharmacy.
Bridges DR, Davidson RA, Odegard PS, Maki IV, Tomkowiak J. Interprofessional
collaboration: three best practice models of interprofessional education.
Medical Education Online. 2011;16:10.3402/meo.v16i0.6035.
doi:10.3402/meo.v16i0.6035.
FDA Guidance for Industry: Safety Considerations for Product Design to Minimize
Medication Errors;” Food and Drug Administration: Drug Safety; December
2012 www.fda.gov.
Fitriani. (2011). Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Medication Error Di Rumah
Sakit Umum Haji Makassar Tahun 2010. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Isha Patel and R. Balkrishnan. (2010). Medication Error Management around the
Globe: An Overview. The University of Michigan, College of Pharmacy, 428
Church Street, Ann Arbor, MI, 48109-1065, USA.
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Hukum
Kesehatan.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah
Sakit. Proceedings of expert lecture of medical student of Block 21st of
Andalas University, Indonesia
Permenkes. 2014. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Permenkes.
Perwitasari DA, Abror J, Wahyuningsih I. Medication errors in outpatients of a
government hospital in Yogyakarta Indonesia. Int J Pharm Sci Rev and Res.
2010;1(1):8–10.
P Knudsen, H Herborg, A R Mortensen, M Knudsen, and A Hellebek. (2010).
Preventing medication errors in community pharmacy: root‐cause analysis
of transcription errors. Pharmakon a/s, Danish College of Pharmacy
Practice, DK‐3400 Hillerød, Denmark.
The Joint Commission. (2013). National patient safety goals: 2014 national patient
safety goals. Chicago, IL: Author. Retrieved from
http://www.jointcommission.org/standards_information/npsgs.aspx
Yelena Maslov, Pharm.D et al.. (2015). Medication Error: A CDER Perspective.
Yuni Kartika, Sudiro, dan Lucia Ratna Kartika Wulan. 2015. Analisis Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Direktur terhadap Budaya Keselamatan Pasien di RS Hermina
Pandanaran. Vol. 3 No. 02, Agustus 2015. Diambil dari
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jmki/article/download/10447/8322. pada 4
Maret 2017.

Anda mungkin juga menyukai