Oleh :
Preceptor :
dr. Wien, Sp. PA
1
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AR
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : Menggala, Tulang Bawang
Pekerjaan : Pelajar
Suku Bangsa : Lampung
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Keluhan Tambahan
Kebas, gatal, panas, serta kulit terasa kering pada daerah tersebut.
2
diberikan. Setelah meminum obat, pasien merasakan keluhan panas, gatal,
dan nyeri berkurang. Rasa kebas dan kesemutan masih dirasakan pasien.
± 1 minggu yang lalu keluhan gatal, panas dan nyeri timbul kembali terutama
pada daerah bercak kemerahan. Selain itu keluhan rasa kebas dan kesemutan
serta kulit menjadi kering pada daerah bercak kemerahan tidak mengalami
perubahan. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal orang tua pasien.
Pasien kemudian berobat kembali ke RS. Menggala, namun karena
keluhannya tersebut akhirnya pasien disarankan untuk memeriksakan dirinya
ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Abdoel Muluk.
Riwayat Lingkungan
Menurut orang tua pasien, dilingkungannya tidak ada yang menderita
penyakit seperti ini.
Riwayat Pengobatan
Pengobatan yang pernah didapat:
Rumah Sakit Menggala : 3 macam obat minum
3
TD :-
Nadi : 86 x/menit
Respirasi : 21 x/menit
Suhu :-
Berat badan : 20 kg
Kepala : Alopesia pada rambut alis kanan dan kiri bagian lateral
Thoraks : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
KGB : Dalam Batas Normal
Extermitas : Tidak ditemukan deformitas
Saraf perifer : Tidak ditemukan penebalan
4
2. N. Medianus
a. Pembesaran saraf (-)
b. Anestesi ujung jari bagian anterior ibu jari telunjuk dan jari tengah
(-)
c. Aduksi ibu jari (-)
d. Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah (-)
e. Kontraktur ibu jari (-)
3. N. Radialis
a. Anestesi dorsum manus (-)
b. Tangan gantung (-)
c. Ekstensi jari jari atau pergelangan tangan (-)
4. N. Poplitea lateralis
a. Kaki gantung atau foot drop (-)
5. N. Tibialis posterior
a. Anestesi pada telapak kaki (-)
b. Anestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior (-)
c. Clow toes (-)
6. N. Facialis
a. Lagoftalmus (-)
5
4.4 Pemeriksaan komplikasi dan deformitas
Tidak terdapat tanda tanda komplikasi dan deformitas pada seluruh tubuh.
V. LABORATORIUM
Tidak dilakukan
VI. RESUME
Laki-laki 10 tahun datang bersama dengan orang tuanya dengan keluhan ± 6
bulan yang lalu timbul bercak kemerahan sebesar uang logam 100-500
rupiah, tidak terasa gatal, panas, dan nyeri pada lengan kanan dan kiri, tangan
kanan dan kiri, pipi kanan serta paha kanan. ± 4 bulan kemudian bercak
kemerahan meluas disertai rasa kebas dan kesemutan pada bercak kemerahan.
Pasien memeriksakan dirinya ke RS Menggala dan diberikan 3 macam obat
tablet minum. ± 1 minggu yang lalu keluhan gatal, panas dan nyeri timbul.
Selain itu keluhan rasa kebas, kesemutan pada bercak kemerahan tidak
mengalami perubahan. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal orang tua
pasien.
VII.DIAGNOSIS BANDING
Morbus Hansen tipe Multibasiler
Tinea versikolor
Psoriasis
6
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe Multibasiler
IX. PENATALAKSANAAN
Umum
Meningkatkan kebersihan
Diet TKTP
Merawat kesehatan kulit
Khusus
Multipel Drug Treatment (MDT)
Rifampisin 450 mg/bulan sebelum makan
Klofazimin (lamprene) 50 mg selang sehari dan 150 mg/bulan
DDS 50 mg/hari
X. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan Histopatologis
XI. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
7
ANALISIS KASUS
Pada kasus, dari hasil anamnesis didapatkan adanya bercak kemerahan yang
pada pipi kanan, lengan kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri, serta paha
kanan yang dirasakan semakin lama semakin meluas. Pasien juga mengeluh
adanya rasa kebas/mati rasa dan kulit terasa kering pada daerah bercak
kemerahan tersebut. Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan fisik
ditemukan alopesia pada rambut alis kanan dan kiri bagian lateral, pada regio
fascia dekstra, antebrachii sinistra dekstra, dan palmar dekstra sinistra
nampak makula eritema berukuran plakat multiple dan sirkumskrip. Pada
femoralis anterior 1/3 distal nampak lesi punched out berukuran plakat,
soliter. Pemeriksaan saraf tepi diketahui terjadi pembesaran pada N. Ulnaris
dan pada pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit didapatkan adanya
hipoanestesi pada daerah terdapatnya bercak kemerahan. Untuk pemeriksaan
penunjang tidak dilakukan.
8
Lesi kulit, lesi tuberkuloid pada pasien berkulit gelap,berwarna
hipopigmentasi baik makular atau infiltratif. Pada pasien berkulit
terang warna lesi seperti tembaga atau berwarna merah.
Pemeriksaan laboratorium (slit skin smears) pada lesi lepra tipe
lepromatosa atau borderline ditemukan BTA
Dari tanda kardinal diatas, pada kasus ini memenuhi ketiga tanda kardinal
pertama dan pada penentuan morbus hansen pada kasus ini memenuhi untuk
tipe multibasiler. Sehingga dapat disimpulkan pasien didiagnosis menderita
morbus hansen tipe multibasiler.
9
dalam regimen terapi. Adapun regiemen terapi pada morbus hansen tipe
multibasiler sebagai berikut :
Untuk penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat karena sudah sesuai
dengan pengobatan morbus hansen tipe multibasiler yaitu dengan
menggunakan Multi Drug Treatment (MDT) untuk anak-anak. Untuk
ripamfisin sebaiknya diberikan sebelum makan karena absorpsi ripamfisin
terganggu bila diberikan bersama makanan.
TINJAUAN PUSTAKA
10
A. SINONIM
Morbus Hansen juga dikenal dengan nama lepra, penyakit kusta, leprosy,
Hansen’s disease, dan Hanseniasis.
B. DEFINISI
C. ETIOLOGI
11
Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini
berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas
dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan
mikobakterium lainnya (Isselbacher, 808:1999).
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk
utuh, bentuk pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ),
bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih
utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya biasanya empat kali
lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian
atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular,
dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau
berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented
atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok – kelompok.
Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60 BTA sedangkan
kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk
clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau
tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni, 4-5:2009).
D. EPIDEMIOLOGI
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar kasus lepra
terjadi pada wilayah dengan iklim tropis. Berdasarkan data yang
diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien
kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut
didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah
pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India
merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak
dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan
negara dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk
terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah penduduk.
12
Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita
sebanyak 22.175 (WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr.
SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai tahun 2001 didapatkan
jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe
multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all,
21:2003).
Dari tabel terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan kasus
baru, akan tetapi sejak tahun 2002 pada berbagai negara terjadi
peningkatan kasus baru seperti di Republik Demokrasi Kongo, Indonesia,
dan Filipina (Depkes RI, 7:2006)
13
16 Sri Lanka 944 2.214 1.952 1.995 1.924
17 U.R.Of
2.731 6.497 5.279 5.190 4.237
Tanzania
555.307 599.945 495.074 389.027 279.664
Jumlah
(94%) (97%) (96%) (95%) (94%)
Jumlah Global 590.933 620.638 514.718 407.791 296.499
.
14
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta
menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang
berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit
diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada
umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti
kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat
timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik
umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi
sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun
yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Depkes RI,
8:2006).
a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai
sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada
armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak
mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006).
15
diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah
terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe
Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam
lingkungan (Depkes RI, 9:2006).
c. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan
tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae
yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam
tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara
penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang
sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).
e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak
dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M.
leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan
yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi
dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi
keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi
tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI,
10:2009).
16
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir
sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut,
sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat
menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
E. PATOGENESIS
17
mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13
akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah
Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih
tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2
akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum
tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel
dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis
yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ
– organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk
bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan
diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu
dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan
CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke
sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu –
satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC
melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated
lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan
meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni, 8:2009).
18
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja
terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga
akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan
fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan
APC non professional (Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit
kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi
penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan
reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non
nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan
BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan
mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari
reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction, dimana
terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas
selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan
downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (penurunan
sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni,
8:2009).
19
F. Gambaran Klinis
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini
dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,
kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar
keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi,
kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
20
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul
lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul
nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering
tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul
dibandingkan dengan tipe LL.
21
Punched Out
Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit
Jumlah praktis tidak ada masih ada kulit sehat sehat jelas ada
kulit sehat
Distribusi Simetris Hampir Simetris Asimetris
Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Agak Kasar/berkilat
Batas Tidak Jelas Agak Jelas Agak Jelas
Anastesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas
BTA
Lesi Kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak Banyak
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif
Hidung
Tes Negatif Negatif Biasanya Negatif
Lepromin
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan
Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe
Intermediate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipostesia atau sedikit penebalan saraf.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada
dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung
oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus
respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari
anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan
atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada
N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot
22
lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung
proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi
jari–jari atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi
tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan
kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak
kaki, claw toes, dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada
N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
dan cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah
anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang
berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent.
Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena
23
kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak
adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya.
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak
begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small
satelliteskin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi
kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi
organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan
berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak
teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula,
terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk
jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal
iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil
M.leprae di endotel kapiler.
G. Pemeriksaan Pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga
harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan
dengan menggunakan alat-alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas
untuk rasa raba, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan es, pensil
tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di
24
daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat
membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat
sukar.
a. Tes Sensoris (Gunakan kapas, jarum, tabung reaksi berisi air hangat,
dingin)
Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya
pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan
pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana
merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka
ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga
25
diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa
pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).
Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan
ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul
dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana
yang tumpul (Daili, 22:2003).
Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air
panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar
200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu
bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang
dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila
pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka
dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu (Daili,
22:2003).
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis.
Tes dengan pensil tinta : Pensil tinta digariskan mulai dari bagian
tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.
26
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
- Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking
pasien. Peganglah jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis
pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya,
taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah
pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu
menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui
ketahanan ototnya.
- Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke
atas. Minta pasien mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan
ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya
lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau
dorong ibu jari pada bagian telapaknya.
- Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk
menggerakkna pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan
otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.
- Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien
melakukan gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga
pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan
ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.
3. Pemeriksaan Bakterioskopis
27
tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping
telinga didapati banyak M.leprae.
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus
mencari dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum
harus dicari 100 lapangan.
4. Pemeriksaan Histopatologis
28
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai
tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
5. Pemeriksaan Serologis
6. Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari
ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah
48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon
imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.
H. Diagnosis
29
1. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh
yang lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus,
mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat
total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit
atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya
dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa
ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan.
I. Diagnosis Banding
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang
30
ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada
beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis
autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat
dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak
segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang
distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat
pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo
acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan
muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris
adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo
31
campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh
merupakan vitiligo total.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna
dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama,
dan berbentuk siku – siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput
lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2
tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.
32
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai
dengaadanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar,
berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz,
Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum,
gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang
meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan
merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi
yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat konfluen.
33
J. Pengobatan
34
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
35
Rifampicin Dapson
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama
12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa
pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun
dan tipe MB selama 5 tahun.
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat
maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw
hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut
diatas dilakukan pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu
immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat
anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
36
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1
selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
37
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg.hari
Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan 50 mg/hari
Ofloksasin atau 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari
L. Komplikasi
38
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang
ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan
non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan
menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan
penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.
M. Prognosis
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan
kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah,
prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum
adalah secondaryamyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda A. Kusta. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 5. Jakarta.
FK UI. 2007 : 73-88
Siregar RS. Kusta. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, edisi 2. Jakarta
2005.
Warouw W. Penyakit kulit oleh karena mikobakteri. Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Dermatologi Umum. Manado. 2004 :13-20
Kosasih A, dkk. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta.FKUI.
2007 : 73-88
39
Modul Orientasi Program P2 Kusta bagi Co Ass.DinKes SULUT. Manado.
2007
40