Anda di halaman 1dari 40

CASE REPORT

STRUMA NODUSA NON TOKSIK

Oleh :

Defi Anggraini, S.Ked


Elfrida Sihaloho, S.Ked
Jayanti Supriyatin, S.Ked
Meta Gapila, S. Ked

Preceptor :
dr. Wien, Sp. PA

KEPANITERAAN KLINIK SMF PATOLOGI ANATOMI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNILA
RSUD DR. H. ABDOEL MULUK
AGUSTUS 2013

1
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AR
Umur : 10 tahun
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : Menggala, Tulang Bawang
Pekerjaan : Pelajar
Suku Bangsa : Lampung
Agama : Islam
Status : Belum menikah

II. ALLOANAMNESIS dan AUTOANAMNESIS


Keluhan Utama
Bercak kemerahan pada lengan kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri, pipi
kanan serta paha kanan sejak ± 6 bulan yang lalu.

Keluhan Tambahan
Kebas, gatal, panas, serta kulit terasa kering pada daerah tersebut.

Riwayat penyakit sekarang


Sejak ± 6 bulan yang lalu pasien mengeluh timbul bercak kemerahan pada
pipi kanan sebesar uang logam 100 – 500 rupiah, tidak terasa gatal, panas dan
nyeri. ± 4 bulan kemudian pasien merasakan timbul bercak kemerahan yang
serupa pada bagian lengan kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri serta kaki
kanan yang dirasakan semakin lama semakin luas. Keluhan ini disertai
dengan rasa kesemutan dan kebas, gatal, panas dan nyeri pada bercak
kemerahan. Kemudian, pasien memeriksakan dirinya ke RS Menggala dan
diberikan 3 macam obat tablet yang pasien lupa nama obat yang telah

2
diberikan. Setelah meminum obat, pasien merasakan keluhan panas, gatal,
dan nyeri berkurang. Rasa kebas dan kesemutan masih dirasakan pasien.

± 1 minggu yang lalu keluhan gatal, panas dan nyeri timbul kembali terutama
pada daerah bercak kemerahan. Selain itu keluhan rasa kebas dan kesemutan
serta kulit menjadi kering pada daerah bercak kemerahan tidak mengalami
perubahan. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal orang tua pasien.
Pasien kemudian berobat kembali ke RS. Menggala, namun karena
keluhannya tersebut akhirnya pasien disarankan untuk memeriksakan dirinya
ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Abdoel Muluk.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah menderita keluhan seperti ini sebelumnya, riwayat asma
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Orang tua pasien mengaku tidak ada keluarganya yang menderita penyakit
seperti pasien.

Riwayat Lingkungan
Menurut orang tua pasien, dilingkungannya tidak ada yang menderita
penyakit seperti ini.

Riwayat Pengobatan
Pengobatan yang pernah didapat:
 Rumah Sakit Menggala : 3 macam obat minum

III. STATUS GENERALIS


Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Gizi : Cukup

3
TD :-
Nadi : 86 x/menit
Respirasi : 21 x/menit
Suhu :-
Berat badan : 20 kg
Kepala : Alopesia pada rambut alis kanan dan kiri bagian lateral
Thoraks : Dalam Batas Normal
Abdomen : Dalam Batas Normal
KGB : Dalam Batas Normal
Extermitas : Tidak ditemukan deformitas
Saraf perifer : Tidak ditemukan penebalan

IV. STATUS DERMATOLOGIS


Lokasi : Regio Fascia Dekstra, antebrachii sinistra dekstra, dan
palmar dekstra sinistra
Inspeksi : Nampak makula eritema berukuran plakat, lesi multiple
sirkumskrip

Lokasi : Regio femoralis anterior 1/3 distal


Inspeksi : Nampak lesi punched out berukuran plakat, soliter

Tes manipulasi : Pemeriksaan saraf tepi dengan jarum dan kapas.

4.1 Pemeriksaan Saraf Tepi


1. N. Ulnaris
a. Pembesaran saraf (+) pada n. Ulnaris sinistra, disertai rasa nyeri.
b. Anestesi pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
(-)
c. Clawing kelingking dan jari manis (-)
d. Atrofi hipotenar dan otot interosseous dorsalis pertama (-)

4
2. N. Medianus
a. Pembesaran saraf (-)
b. Anestesi ujung jari bagian anterior ibu jari telunjuk dan jari tengah
(-)
c. Aduksi ibu jari (-)
d. Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah (-)
e. Kontraktur ibu jari (-)
3. N. Radialis
a. Anestesi dorsum manus (-)
b. Tangan gantung (-)
c. Ekstensi jari jari atau pergelangan tangan (-)
4. N. Poplitea lateralis
a. Kaki gantung atau foot drop (-)
5. N. Tibialis posterior
a. Anestesi pada telapak kaki (-)
b. Anestesi pada region cruris 1/3 distal bagian anterior (-)
c. Clow toes (-)
6. N. Facialis
a. Lagoftalmus (-)

4.2 Pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit


1. Tes raba halus dengan ujung jari kapas halus yang sudah dilancipkan
Hipoanestesi pada 1/3 distal antebrachii dekstra sinistra, dan pada
daerah olecranon sinistra dekstra.
Hipoanestesi pada 1/3 distal regio femoralis anterior.
2. Tes nyeri
Nyeri (+) pada 1/3 distal antebrachii dekstra sinistra, dan pada daerah
olecranon sinistra dekstra.
Nyeri (+) pada 1/3 distal regio femoralis anterior.

4.3 Pemeriksaan motorik


Dalam Batas Normal

5
4.4 Pemeriksaan komplikasi dan deformitas
Tidak terdapat tanda tanda komplikasi dan deformitas pada seluruh tubuh.

V. LABORATORIUM
Tidak dilakukan

VI. RESUME
Laki-laki 10 tahun datang bersama dengan orang tuanya dengan keluhan ± 6
bulan yang lalu timbul bercak kemerahan sebesar uang logam 100-500
rupiah, tidak terasa gatal, panas, dan nyeri pada lengan kanan dan kiri, tangan
kanan dan kiri, pipi kanan serta paha kanan. ± 4 bulan kemudian bercak
kemerahan meluas disertai rasa kebas dan kesemutan pada bercak kemerahan.
Pasien memeriksakan dirinya ke RS Menggala dan diberikan 3 macam obat
tablet minum. ± 1 minggu yang lalu keluhan gatal, panas dan nyeri timbul.
Selain itu keluhan rasa kebas, kesemutan pada bercak kemerahan tidak
mengalami perubahan. Riwayat alergi makanan dan obat disangkal orang tua
pasien.

Status generalis dalam batas normal, pemeriksaan fisik ditemukan alopesia


pada rambut alis kanan dan kiri bagian lateral. Status dermatologis, pada
regio fascia dekstra, antebrachii sinistra dekstra, dan palmar dekstra sinistra
nampak makula eritema berukuran plakat, lesi multiple sirkumskrip. Pada
regio femoralis anterior 1/3 distal nampak lesi punched out berukuran plakat,
soliter. Pada pemeriksaan saraf tepi ditemukan pembesaran n. Ulnaris sinistra.
Hipoanestesi ditemukan pada pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit
terutama pada daerah bercak kemerahan.

VII.DIAGNOSIS BANDING
Morbus Hansen tipe Multibasiler
Tinea versikolor
Psoriasis

6
VIII. DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe Multibasiler

IX. PENATALAKSANAAN
Umum
 Meningkatkan kebersihan
 Diet TKTP
 Merawat kesehatan kulit

Khusus
Multipel Drug Treatment (MDT)
Rifampisin 450 mg/bulan sebelum makan
Klofazimin (lamprene) 50 mg selang sehari dan 150 mg/bulan
DDS 50 mg/hari

X. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan Histopatologis

XI. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

7
ANALISIS KASUS

1. Apakah diagnosis pada kasus sudah tepat?


Untuk mendiagnosis lepra/kusta/morbus hansen dapat dilakukan dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan penunjang dapat dilakukan
selain untuk membantu menegakan diagnosis dapat juga untuk pengamatan
pengobatan, yaitu dapat berupa pemeriksaan bakteriologis dan histopatologis.

Pada kasus, dari hasil anamnesis didapatkan adanya bercak kemerahan yang
pada pipi kanan, lengan kanan dan kiri, tangan kanan dan kiri, serta paha
kanan yang dirasakan semakin lama semakin meluas. Pasien juga mengeluh
adanya rasa kebas/mati rasa dan kulit terasa kering pada daerah bercak
kemerahan tersebut. Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan fisik
ditemukan alopesia pada rambut alis kanan dan kiri bagian lateral, pada regio
fascia dekstra, antebrachii sinistra dekstra, dan palmar dekstra sinistra
nampak makula eritema berukuran plakat multiple dan sirkumskrip. Pada
femoralis anterior 1/3 distal nampak lesi punched out berukuran plakat,
soliter. Pemeriksaan saraf tepi diketahui terjadi pembesaran pada N. Ulnaris
dan pada pemeriksaan gangguan sensibilitas kulit didapatkan adanya
hipoanestesi pada daerah terdapatnya bercak kemerahan. Untuk pemeriksaan
penunjang tidak dilakukan.

Menurut Soenarto Kartowigno pada buku Sepuluh Besar Kelompok Penyakit


Kulit tahun 2011 diagnosis morbus hansen dapat ditegakan bila ditemukan 2
dari 3 tanda kardinal pertama atau ditemukannya BTA.
Adapun tanda kardinal pada penyakit morbus hansen :
 Anestesi, terutama pada daerah yang terkena.
 Pembesaran saraf pada tempat predileksi.

8
 Lesi kulit, lesi tuberkuloid pada pasien berkulit gelap,berwarna
hipopigmentasi baik makular atau infiltratif. Pada pasien berkulit
terang warna lesi seperti tembaga atau berwarna merah.
 Pemeriksaan laboratorium (slit skin smears) pada lesi lepra tipe
lepromatosa atau borderline ditemukan BTA

Untuk kepentingan pengobatan, menurut WHO, tipe kusta dibagi menjadi


multibasiler dan pausibasiler. Adapun perbedaannya dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.

Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)


Lesi Kulit  1-5 lesi  > 5 lesi
 Hipopigmentasi/eritema  Hipopigmentasi/eritema
 Distribusi tidak simetris  Distribusi simetris
Kerusakan  Hanya satu cabang saraf  Banyak cabang saraf
saraf
BTA  Negatif  Positif

Dari tanda kardinal diatas, pada kasus ini memenuhi ketiga tanda kardinal
pertama dan pada penentuan morbus hansen pada kasus ini memenuhi untuk
tipe multibasiler. Sehingga dapat disimpulkan pasien didiagnosis menderita
morbus hansen tipe multibasiler.

2. Apakah penatalaksanaan sudah tepat?


Obat anti kusta yang paling banyak digunakan saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulon), klofazimin dan ripamfisin. Selain itu terdapat
antibiotik lain sebagai pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minoksiklin,
dan klaritromisin. Untuk mencegah kemungkinan timbulnya resistensi
dilakukan pengobatan kombinasi atau Multi Drug Treatment (MDT). Selain
mencegah resistensi, penggunaan MDT aman, efektif serta mudah diberikan

9
dalam regimen terapi. Adapun regiemen terapi pada morbus hansen tipe
multibasiler sebagai berikut :

DDS Ripamfisin Klofamizin


100 mg/hari 600 mg/bulan 50 mg/hari
Dewasa
300 mg/bulan
50 mg/hari 450 mg/bulan 50 mg selang
Anak-anak
atau atau sehari
(10-14 tahun)
1 mg/KgBB/hari 10 mg/KgBB/bln 150 mg/bulan

Untuk penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat karena sudah sesuai
dengan pengobatan morbus hansen tipe multibasiler yaitu dengan
menggunakan Multi Drug Treatment (MDT) untuk anak-anak. Untuk
ripamfisin sebaiknya diberikan sebelum makan karena absorpsi ripamfisin
terganggu bila diberikan bersama makanan.

Selain meningkatkan kebersihan dan menjaga kebersihan kulit dan perlu


diedukasi terhadap pasien dan keluarganya untuk mencegah penularan,
terhadap anggota keluarga lain. Diet makanan tinggi kalori dan tinggi protein
baik untuk meningkatkan sistem imunitas dan nutrisi dari pasien sendiri,
sehingga dapat menunjang proses penyembuhan.

TINJAUAN PUSTAKA

10
A. SINONIM

Morbus Hansen juga dikenal dengan nama lepra, penyakit kusta, leprosy,
Hansen’s disease, dan Hanseniasis.

B. DEFINISI

Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada


manusia yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer
(Fauci, 2008). Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha
berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut
juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen (Zulkifli, 2:2003).

Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan


masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari
segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan
dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di
negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan
kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan
memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti
masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini
disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang
keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Hiswani, 1:2001).

C. ETIOLOGI

Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob


yang tidak membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik,
segera setelah diwarnai mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau
alkohol, oleh karena itu dinamakan basil “cepat asam” (Brooks, 453:2005).

11
Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini
berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas
dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan
mikobakterium lainnya (Isselbacher, 808:1999).

Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk
utuh, bentuk pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ),
bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih
utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya biasanya empat kali
lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian
atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular,
dimana kelihatan seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau
berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented
atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok – kelompok.
Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60 BTA sedangkan
kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk
clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau – pulau
tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni, 4-5:2009).

D. EPIDEMIOLOGI

1. Distribusi Menurut Geografi

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar kasus lepra
terjadi pada wilayah dengan iklim tropis. Berdasarkan data yang
diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien
kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut
didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah
pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India
merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak
dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan
negara dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk
terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah penduduk.

12
Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita
sebanyak 22.175 (WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr.
SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai tahun 2001 didapatkan
jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe
multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all,
21:2003).

2. Distribusi Menurut Waktu

Seperti terlihat pada tabel di bawah, ada 17 negara yang melaporkan


1.000 atau lebih kasus baru selama tahun 2005. Tujuh belas negara ini
memiliki kontribusi 94% dari seluruh kasus baru di dunia (Depkes,
7:2006).

Dari tabel terlihat bahwa secara global terjadi penurunan penemuan kasus
baru, akan tetapi sejak tahun 2002 pada berbagai negara terjadi
peningkatan kasus baru seperti di Republik Demokrasi Kongo, Indonesia,
dan Filipina (Depkes RI, 7:2006)

Tabel Penemuan kasus baru di 17 negara dengan jumlah pasien kusta


terbanyak

No Jumlah kasus baru ditemukan


Negara
. 1993 2002 2003 2004 2005
1 Angola 339 4.727 2.933 2.109 1.877
2 Bangladesh 6.943 9.844 8.712 8.242 7.882
3 Brazil 34.235 38.365 49.206 49.384 38.410
4 China 3.755 1.646 1.404 1.499 1.658
5 D. R. Congo 3.927 5.037 7.165 11.781 10.737
6 Egypt 1.042 1.318 1.412 1.216 1.134
7 Ethiopati 4.090 4.632 5.193 4.787 4.698
8 India 456.000 473.658 367.143 260.063 161.457
9 Indonesia 12.638.740 12.377 14.641 16.549 19.695
10 Madagascar 740 5.482 5.104 3.710 2.709
11 Mozambique 1.930 5.830 5.907 4.266 5.371
12 Myanmar 12.018 7.386 3.808 3.748 3.571
13 Nepal 6.152 13.830 8.046 6.958 6.150
14 Nigeria 4.381 5.078 4.799 5.276 5.024
15 Philippines 3.442 2.479 2.397 2.254 3.130

13
16 Sri Lanka 944 2.214 1.952 1.995 1.924
17 U.R.Of
2.731 6.497 5.279 5.190 4.237
Tanzania
555.307 599.945 495.074 389.027 279.664
Jumlah
(94%) (97%) (96%) (95%) (94%)
Jumlah Global 590.933 620.638 514.718 407.791 296.499
.

3. Distribusi Menurut Faktor Manusia

a. Etnik atau Suku


Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi
dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu
negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata
perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik.

Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada


etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia
juga mengindikasikan hal yang sama: kejadian kusta lepromatosa
lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau
India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan
Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau
Melayu (Depkes RI, 8:2006).

b. Faktor Sosial Ekonomi


Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting
dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa.
Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta
sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara
tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial
ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan
pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial
ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).

c. Distribusi Menurut Umur

14
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta
menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang
berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit
diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada
umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti
kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat
timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik
umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi
sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun
yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Depkes RI,
8:2006).

d. Distribusi Menurut Jenis Kelamin


Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan
sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan
wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan
kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti
kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki lebih banyak
terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya (Depkes RI,
8:2006).

4. Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta

a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai
sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada
armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak
mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006).

b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)


Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman.
Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak

15
diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah
terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe
Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam
lingkungan (Depkes RI, 9:2006).

c. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan
tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae
yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam
tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara
penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang
sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak menjadi
sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).

d. Cara Masuk ke Pejamu


Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini
belum dapat dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui
saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak
utuh (Depkes RI, 10:2006).

e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak
dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M.
leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan
yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi
dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi
keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi
tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI,
10:2009).

16
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir
sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut,
sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat
menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).

E. PATOGENESIS

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen


Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal
kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T
cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC
sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada
permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel
T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To
akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan
membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).

Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis


makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan
berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu
akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan
mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan
radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal
membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan
akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama
kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini
akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari


eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan

17
mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13
akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009).

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah
Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih
tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2
akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum
tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel
dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis
yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ
– organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk
bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan
diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu
dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan
CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke
sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu –
satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC
melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated
lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan
meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni, 8:2009).

1. Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein


laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor
dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu
mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1
dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M.
Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam

18
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja
terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga
akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan
fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan
APC non professional (Wahyuni, 8:2009).

2. Patogenesis Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit
kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi
penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan
reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non
nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan
BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan
mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari
reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction, dimana
terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas
selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan
downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (penurunan
sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni,
8:2009).

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoral tepatnya


hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema
nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M.
Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun
dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada
komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim
lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel (Wahyuni, 8:2009).

19
F. Gambaran Klinis

Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini
dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan,
kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar
keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi,
kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.

Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:


1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada
bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai
penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit
rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun
pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)


Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau
beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama
tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan
biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)


Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk
dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk
makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang
jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.

20
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul
lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul
nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering
tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti
punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul
dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy


Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan
mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan
ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis,
keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis
yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium
lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau
fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling


Lepromatous Borderline Mid Borderline
Sifat
Leprosy (LL) Lepromatous (BL) (BB)
Lesi
Bentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Plakat, Dome
Difus, Papul, Nodul Papul Shaped (Kubah),

21
Punched Out
Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit
Jumlah praktis tidak ada masih ada kulit sehat sehat jelas ada
kulit sehat
Distribusi Simetris Hampir Simetris Asimetris
Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Agak Kasar/berkilat
Batas Tidak Jelas Agak Jelas Agak Jelas
Anastesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas
BTA
Lesi Kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak Banyak
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif
Hidung
Tes Negatif Negatif Biasanya Negatif
Lepromin

Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan
Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe
Intermediate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
hipostesia atau sedikit penebalan saraf.

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada
dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung
oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus
respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,
tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari
anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan
atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada
N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot

22
lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung
proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi
jari–jari atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi
tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan
kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak
kaki, claw toes, dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada
N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
dan cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah
anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer


mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang
dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan
kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama-sama
akan menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan


keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering
dan alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus seminiferus testis.

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang
berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape resistent.
Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena

23
kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak
adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak
begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small
satelliteskin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi
kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.

Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi
organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan
berat.

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak
teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula,
terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk
jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal
iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil
M.leprae di endotel kapiler.

Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri


tekan dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama
satu atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi
demam, limfadenopati, dan athralgia.

G. Pemeriksaan Pasien

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga
harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan
dengan menggunakan alat-alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas
untuk rasa raba, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan es, pensil
tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di

24
daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat
membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat
sukar.

1. Pemeriksaan Saraf Tepi

Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri


atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis,
N.aurikularis magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea
lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat
dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak,
pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir
dapat dicari adanya nyeri atau tidak (Daili, 21:2003). Pada tipe
lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh
sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Untuk
mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan
saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak
(Daili, 21:2003).

2. Tes Fungsi Saraf

a. Tes Sensoris (Gunakan kapas, jarum, tabung reaksi berisi air hangat,
dingin)

Rasa Raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya
pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan
pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana
merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka
ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga

25
diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa
pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).

Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan
ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul
dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana
yang tumpul (Daili, 22:2003).

Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air
panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar
200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu
bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang
dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila
pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka
dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu (Daili,
22:2003).

b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis.

Tes dengan pensil tinta : Pensil tinta digariskan mulai dari bagian
tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.

Tes pilokarpin : Daerah kulit pada makula dan perbatasannya


disuntik dengan pilokarpin subkutan.Setelah beberapa menit tampak
daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.

c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)

26
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
- Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking
pasien. Peganglah jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis
pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya,
taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah
pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu
menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui
ketahanan ototnya.
- Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke
atas. Minta pasien mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan
ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya
lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau
dorong ibu jari pada bagian telapaknya.
- Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk
menggerakkna pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan
otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.
- Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien
melakukan gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga
pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan
ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.

3. Pemeriksaan Bakterioskopis

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau


usapan mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat
yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau

27
tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping
telinga didapati banyak M.leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah


sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP


2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan


jumlah solid dan non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %


Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus
mencari dalam 1.000 sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum
harus dicari 100 lapangan.

4. Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah


tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis
yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan
banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur

28
tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai
tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

5. Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis


serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan
serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML
dipstick.

6. Pemeriksaan Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari
ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah
48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda).
Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon
imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.

Reaksi Mitsuda bernilai :


0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+2 Papul berdiameter 7 – 10 mm
+3 Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

H. Diagnosis

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena


memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign),
yaitu:

29
1. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh
yang lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus,
mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat
total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit
pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit
atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan
satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya
dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa
ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan.

I. Diagnosis Banding

Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis


versikolor, Ptiriasis alba, Tinea korporis, dll. Pada lesi papul, Granuloma
annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea,
psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi
saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.

Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang

30
ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada
beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis
autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.

Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia


pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit
terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil
metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk
intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada
beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon
transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme
tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk
dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia,
adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada
detergen.

Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang


paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari,
periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan
tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena,
kadang – kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan
ginggiva.

Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat
dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak
segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang
distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat
pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo
acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan
muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris
adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo

31
campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh
merupakan vitiligo total.

Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah


terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu
Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan
fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan
faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita
dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang
diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap
enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.

Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak


berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai
difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning
muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara
mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous


skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama,
kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan
krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak terpisah satu dengan
yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.

Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna
dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama,
dan berbentuk siku – siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput
lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2
tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.

32
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai
dengaadanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar,
berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz,
Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum,
gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang
meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan
merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi
yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat konfluen.

Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang


umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah
sering polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo,
papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif tersebut, baik jaringan
parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.

Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan


saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak
menunjukkan gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan
saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf dapat berupa
kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari
tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi
ereksi dll.

Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis,


glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka
penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur,
refleks achilles menurun atau tidak ada.

Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi


kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien
mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.

33
J. Pengobatan

Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan


insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah
timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg
dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi


atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis
kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan
PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adlah
anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan
vertigo.

Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan


reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor
dari NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi
berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut
dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan


cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus


untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk
penderita kusta tipe PB I.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh


WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan
menjadi:

34
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug


treatment.Kegunaan MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin
meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan
angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi


tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat
sekali saja langsung RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan
petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum
tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila
lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-
5).

Rifampicin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg


(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)

PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama


(6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From
Treatment) yaitu berhenti minum obat.

35
Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di


Diminum di depanrumah
petugas kesehatan

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum di


(10-14 th) Diminum di depanrumah
petugas kesehatan

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama
12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa
pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun
dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan


diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas kesehatan petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari diminum 150 mg/bulan


(10-14 th) diminum di depan di rumah diminum di depan
petugas petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari diminum
di rumah

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat
maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw
hand , drop foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut
diatas dilakukan pengobatan  “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu
immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat
anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

36
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1
selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik


dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah,
pemberian obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid
misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg
setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon
yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara
selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai
oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita
(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50
mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan


prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari
lebih baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan
perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.
K. Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus

Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO


expert committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus,
yaitu:

1. Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin


Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit
penyerta atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini,
adalah:

Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis


6 Bulan Klofazimin 50 mg/hari

37
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg.hari
Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan 50 mg/hari
Ofloksasin atau 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari

Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy


menyatakan klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin
atau minosiklin pada regimen di atas.

2. Penderita yang menolak kofazimin


Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit.
Untuk itu klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin
400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12
bulan.

Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy


merekomendasikan juga regimen MDT-MB alternatis selama 24 bulan:
-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan

3. Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS


Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB
maupun MB, obat ini harus dihentikan.

Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:


Rifampisin Klofazimin
Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan
Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

L. Komplikasi

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan


infeksi kronik sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun

38
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang
ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan
non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan
menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan
penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.

M. Prognosis

Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan
kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah,
prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum
adalah secondaryamyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. Kusta. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 5. Jakarta.
FK UI. 2007 : 73-88

Siregar RS. Kusta. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, edisi 2. Jakarta
2005.

Warouw W. Penyakit kulit oleh karena mikobakteri. Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. Dermatologi Umum. Manado. 2004 :13-20

Kosasih A, dkk. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta.FKUI.
2007 : 73-88

39
Modul Orientasi Program P2 Kusta bagi Co Ass.DinKes SULUT. Manado.
2007

40

Anda mungkin juga menyukai