Anda di halaman 1dari 13

KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pancasila

Disusun oleh:

Mahisma Driya Karenggani 165060601111044

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam pelaksanaannya selalu
berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara pada sila
kelima berbunyi “Keadilam Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Selain sebagai dasar
negara Pancasila juga sebagai sumber dari segala sumber hukum, sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia, dan sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Dalam UUD 1945 alinea
keempat menjelaskan mengenai fungsi dan tujuan Negara Indonesia dimana tujuan Negara
Indonesia yaitu perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan dan ketertiban atau perdamaian
yang merupakan turunan dari Pancasila sendiri.
Sila keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia mengandung nilai-nilai yang luhur.
Penegakan hukum yang adil merupakan kesejahteraan manusia lahir dan batin.
Kesejahteraan rakyat lahir batin yaitu terjaminnya sandang, pangan, papan, rasa keamanan,
dan keadilan serta kebebasan dalam memeluk agama. Pancasila sila kelima, Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mempunyai makna bahwa seluruh rakyat Indonesia
berhak mendapatkan keadilan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik dan kebudayaan
sehingga terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.
Saat ini, cita-cita serta tujuan Bangsa Indonesia belum dapat diraih sepenuhnya. Hal
tersebut dibuktikan oleh munculnya konflik-konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia
akhir-akhir ini yang berhubungan dengan keadilan sosial. Implementasi kegiatan menuju
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dirasa belum dapat dirasakan oleh berbagai
elemen masyarakat. Maka dari itu, diperlukan kajian serta diskusi khusus terkait bunyi sila
kelima Pancasila dengan pembedahan makna setiap kata agar dapat diresapi maknanya
sehingga dapat membuka pintu menggacapi cita-cita bangsa yang sudah dirumuskan
sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah tercantum sebelumnya, adapun
rumusan masalah dalam penulisan makalah berikut.
1. Apakah yang menjadi tujuan berdirinya suatu negara?
2. Apa saja unsur-unsur hakikat keadilan sosial?
3. Bagaimana penerapan keadilan sosial dalam bidang ekonomi?
4. Bagaimana contoh kasus terkait keadilan sosial di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Negara dan Tujuan Negara


2.1.1 Negara
Aristoteles menyebutkan bahwa negara adalah perkumpulan dari keluarga dan
desa untuk meraih kehidupan yang sebaik-baiknya, sedangkan menurut Prof. Miriam
Budiarjo negara berartikan organisasi yang ada didalam suatu wilayah yang mampu
memaksakan kekuasaannya secara sah dengan semua golongan kekuasaan ainnya serta
mampu menetapkan dari berbagai tujuan bersama. Maka dapat disimpulkan bahwa negara
merupakan suatu organisasi yang ada di suatu wilayah dengan memiliki kekuasaan tertinggi
yang sah serta dipatuhi oleh masyarakat yang berada di dalamnya (rakyat). Suatu wilayah
dapat diartikan sebagai negara jika telah memenuhi beberapa unsur. Berikut merupakan
unsur-unsur terbentuknya suatu negara:
A. Penduduk
Penduduk merupakan komponen dalam unsur negara. Merupakan warga negara
yang bertempat tinggal di wilayah tersebut dan menjadi penggerak kehidupan
negara.
B. Wilayah
Wilayah merupakan daerah/kawasan tertentu yang dikuasai dan menjadi territorial
dari sebuah negara untuk menjalankan kegiatan dan kehidupannya. Wilayah terdiri
atas wilayah darat, laut dan udara. Diperlukan batas-batas wilayah yang jelas dalam
suatu negara agar keberlangsungan kehidupan berjalan lancar.
C. Pemerintah yang Berdaulat
Pemerintah merupakan pelaksana dari sistem pemerintahan yang terstruktur dalam
menyelenggarakan kegiatan negaran dan pencapaian tujuan pembangunan
nasional suatu negara.
D. Pengakuan dari Negara Lain
Syarat terakhir dari berdirinya suatu negara adalah keberadaan negara tersebut
harus diakui oleh negara lain. Pengakuan dari negara lain terbagi menjadi dua jenis
yaitu pengakuan de facto dan pengakuan de jure.
1) Pengakuan De Fact
De Facto berasal dari Bahasa latin yang memiliki arti yaitu ‘berdasarkan
kenyataan’ sehingga pengakuan de facto merupakan pengakuan yang
diberikan oleh negara lain yang telah memenuhi unsur terbentuknya negara
yaitu pengakuan terhadap keberadaan dari sekumpulan rakyat yang
meninggali suatu kawasan tertentu yang terorganisir oleh pemerintah yang
berdaulta dan terstruktur.
2) Pengakuan De Jure
De Jure merupakan Bahasa yang berasal dari Bahasa Latin dengan arti kata
yaitu ‘berdasarkan hukum’. Maka, pengakuan de jure merupakan pengakuan
secara resmi suatu negara terhadap negara baru dengan berdasarkan pada
hukum negara yang mengakui dengan menanggung segala konsekuensi
berdasarkan asas-asas hukum publik internasional yang berlaku.
2.1.2 Tujuan Negara
Setiap negara memiliki tujuan negara yang ingin dicapai dalam kehidupan
bernegara. UUD 1945 alinea keempat mencantumkan fungsi Negara Indonesia yatu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan
kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; mewujudkan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Adapun tujuan Negara
Indonesia yang tertera pada UUD 1945 alinea keempat yaitu tujuan perlindungan,
kesejahteraan, pencerdasan dan ketertiban atau perdamaian.

2.2 Unsur-unsur Keadilan Sosial


Keadilan sosial merupakan salah satu unsur yang terkandung dalam Pancasila
khususnya sila kelima. Berbeda dengan sila yang lain, sila kelima ini merupakan satu-
satunya sila yang memiliki makna atau nilai yang didasari oleh sila-sila sebelumnya. Menurut
Notonegoro (1980) yang dikutip dalam buku “Paradigma Baru Pendidikan Pancasila”,
mengatakan bahwa sila keadilan sosial merupakan tujuan dari keempat sila lainnya. Secara
ontologis hakikat keadilan sosial juga ditentukan oleh adanya hakikat keadilan sebagaimana
yang terkandung dalam sila kedua. Hakikat keadilan yang terkandung dalam sila kedua
merupakan keadilan yang terkandung dalam hakikat manusia monopluralis yaitu
kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, sesama, dan Tuhan. Pelaksanaan keadilan
social pada dasarnya mengacu pada beberapa unsur, sebagai berikut.
A. Struktur Ekonomis, Politis, Sosial-Budaya, dan Ideologis Masyarakat
Pelaksanaan keadilan dalam hal ini terpengaruh oleh adanya struktur proses-proses
ekonomis, politis, social budaya, dan ideologis seluruh masyarakat. Hal tersebut
diungkapkan oleh Magnis (1987) dalam buku “Etika Politik” yang memberikan suatu
contoh kasus dimana dalam suatu industri tekstil, seorang buruh mendapat gaji yang
sebenarnya jauh dari upah minimum. Namun pemilik industri yang sebenarnya sadar dan
ingin menaikkan gaji para buruh tidak dapat melakukannya, karena apabila ia menaikkan
gaji seluruh buruh supaya adil, maka ia sendiri akan mengalami kebangkrutan. Jadi yang
dapat diambil dari contoh kasus tersebut bahwa suatu keadilan disini tidak tergantung
pada kehendak individu yang terlibat, melainkan dari adanya struktur-struktur ekonomis,
sosial, dan politik masayarakat. Hal tersebut disebut dengan ketidakadilan struktur.
Struktur-struktur itu bersifat sedemikian rupa sehingga kelas-kelas itu, berapa pun
mereka berusaha, tetap tidak memperoleh apa yang menjadi hak mereka (Magnis,
1987).
B. Demokrasi
Ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur-struktur ekonomi, politik, maupun
sosial budaya mendorong pemikiran bahwa masyarakat harus mengusahakan keadilan
mereka sendiri. Hal tersebut seperti yang menjadi pemikiran Karl Marx dimana hakekat
keadilan sosial ialah apabila suatu masyarakat telah terciptanya perwujudan diri melalui
kasih saying, dan kerjasama suatu masyarakat tanpa kelas (classless society), tanpa
kekerasan, tanpa penindasan, serta manusia yang terbebas dari segala macam bentuk
alienasi diri manusia. Tanpa usaha dari berbagai golongan yang tertindas oleh
ketidakadilan, maka tidak mungkin untuk menghapus suatu ketidakadilan. Maka dari itu
adanya sistem politik demokrasi dapat mengangkat keadilan, karena golongan-golongan
yang tertindas oleh ketidakadilan dapat menyuarakan harapan dan cita-cita mereka.
C. Hak Asasi Manusia
Suatu keadilan tidak bisa hanya mengharapkan dari negara, sehingga dalam hal ini
mengusahakan keadilan erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Konsep keadilan
berkaitan erat dengan pembentukan struktur kehidupan masyarakat yang didasarkan
atas prinsip-prinsip persamaan (equality) dan solidaritas. Maka dari itu, dalam konsep
keadilan sosial terkandung dimensi pengakuan akan martabat manusia yang dilekati
hak-hak yang bersifat asasi (Asshiddiqie, 2012). Keadilan sosial tidak bisa
mengandalkan pada golongan tertentu (kaum elite), sehingga jelas bahwa keadilan
sosial tidak dapat terwujud tanpa hak-hak asasi manusia.
2.3 Keadilan Sosial dalam Bidang Ekonomi
Salah satu cita-cita pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila yaitu keadilan
sosial bagi seluruh Indonesia, berkaitan dengan perubahan-perubahan yang di lakukan oleh
pemerintah salah satunya perubahan mendasar terhadap proses pembangunan ekonomi.
Hal ini dikarenakan pemerintah ingin mengembalikan esensi tujuan pembangunan ekonomi
pada jalur semestinya dengan berdasarkan Pancasila terutama sila ke-5.
Keadilan sosial merupakan sebuah nilai hakikat tujuan pembangunan ekonomi,
serta tidak dapat diingkari oleh siapapun warga bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa
di dunia bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri di atas suatu landasan pokok
kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm) yakni Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang kemudian
dikonsepsikan sebagai sila kelima dari dasar negara Indonesia bila dilihat dari segi fungsinya
dapat dikatakan sebagai sila yang berkedudukan sebagai tujuan. ‘.sila kelima bukanlah
dasar negara, tetapi adalah tujuan paling utama, tujuan pokoknya, yaitu mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ (Hazairin, 1970). Pernyataan seperti itu
sejalan dengan pendapat Notonagoro (1968) yang menyatakan ‘Tempatnya di dalam
Pancasila sebagai sila yang terakhir itu ialah karena menjadi tujuan dari empat sila yang
mendahuluinya, menjadi tujuan bangsa kita bernegara’.
Adapun prinsip keadilan yang dikemukakan Rawls menitikberatkan kepada: pertama,
setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas
kebebasan yang sama bagi semua orang; kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus
diatur sedemikian rupa sehingga (a) memberi keuntungan bagi setiap orang dengan
mengutamakan mereka yang paling tidak beruntung, dan (b) semua jabatan dan posisi
terbuka bagi semua orang (Jamasy,2004).
Frederickson (1997) mengungkapkan bahwa isu keadilan sosial menempati posisi
yang penting dalam pembuatan kebijakan publik. Sebagai salah satu instrumen yang nyata
dalam proses pembangunan, hendaknya kebijakan publik (ekonomi) harus menempatkan
keadilan sosial sebagai suatu nilai penting dalam pembobotan nilai yang digunakan, karena
keadilan sosial (social equity) dapat digunakan : (1) as the basis for a just democratic society
(sebagai dasar untuk masyarakat yang demokratis), (2) as in influencing the behaviour of
organizational man (seperti dalam mempengaruhi perilaku manusia organisasi), (3) as the
legal basis for distributing public services (sebagai dasar hukum untuk mendistribusikan
layanan public), (4) as the practical basis for distributing public services (sebagai dasar
praktis untuk mendistribusikan layanan public), (5) as understood in coumpound federalism
(sebagaimana dipahami dalam federalisme coumpound) , and (6) as a challenge for
research and anlyasis (sebagai tantangan untuk penelitian dan anlisis). Oleh karenanya
dalam membuat dan mengimplementasikan suatu kebijakan, secara khusus kebijakan
ekonomi, pemerintah haruslah mampu memperhatikan nilai keadilan sosial dalam setiap
keputusan dan tindakan yang dilakukan, sehingga tidak merugikan masyarakat, tidak terjadi
ketimpangan dalam masyarakat akibat ketidakadilan dalam distribusi maupun alokasi
sumber daya.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan sosial merupakan hal yang
terpenting guna mencapai suatu masyarakat yang berkemakmuran dan berkeadilan. Maka
bagi bangsa Indonesia yang beradab dan menempatkan nilai keadilan sosial dalam pokok
kaidah negara yang fundamental serta dasar negara sebagaimana dibicarakan terdahulu,
sudah semestinyalah seluruh strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi yang dipilih
haruslah menuju kepada cita-cita tersebut. Negara berkewajiban untuk menciptakan
kemaslahatan bersama. Inilah hakikat pembangunan ekonomi yang seharusnya menjadi
titik pijak (stand point) bagi pemerintah dan birokrasinya dalam upaya menghasilkan
kebijakankebijakan dalam pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi di Indonesia yang berdasarkan nilai keadilan sosial dalam
proses pembangunan ekonomi bangsa Indonesia bila secara jelas atau sesungguhnya baru
mulai diperhatikan semenjak rezim Orde Baru berkuasa, di mana hal tersebut tergambar
dalam trilogi pembangunan yakni dalam poin pemerataan. Sayangnya nilai tersebut hanya
merupakan pernyataan verbal belaka bagi penguasa Orde Baru. Praktek menunjukkan
bahwa orientasi pembangunan ekonomi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi,
sedangkan pemerataan jauh dari perhatian pemerintah dan birokrasinya. Pertumbuhan
ekonomi yang terjadi begitu pesat dalam prakteknya tidak menimbulkan permasalahan
ketimpangan sosial ekonomi (ketidakadilan) secara meluas. Seperti terjadinya ketimpangan
antara masyarakat desa dan kota maupun antar daerah (Jawa maupun luar Jawa).
Ketimpangan tersebut dapat dilihat dari faktor prosentase jumlah penduduk miskin,
pendapatan perkapita, dan ketimpangan investasi.
Gambaran lain nilai keadilan yang bertolak belakang dalam pembangunan ekonomi
terutama pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat dilihat pula dari besarnya angka
statistik yang menunjukkan aktivitas konversi dari lahan pertanian ke non-pertanian
(industri). Bukti lain yang kiranya cukup mempertanyakan pemerintah dan birokrasinya
tentang keberpihakan kepada nilai keadilan adalah ketika pemerintah dan kaki tangannya
secara berulang terus menggusur pelaku ekonomi kecil dan menggantikannya dengan
pusat-pusat kegiatan ekonomi yang hanya berpengaruh terhadap masyarakat kelas
menengah hingga atas. Negara juga digugat rasionalitasnya ketika dengan kepercayaan diri
penuh, rela menafkahi segelintir orang untuk membuka sentra-sentra industri besar dan
padat teknologi dengan jalan memotong subsidi untuk pelaku ekonomi di sektor pertanian.
Sehingga dalam pembangunan ekonomi yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi telah
meminggirkan nilai keadilan bagi masyarakat miskin dan tak berdaya. Bahkan yang lebih
menyakitkan adalah pemerintah dan birokrasinya telah memberikan peluang yang luar biasa
kepada kaum pemilik modal (elite-pengusaha) untuk menguasai aset-aset ekonomi bangsa.
Kemudian muncul kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pemilik modal. Akibat
dari itu, terbentuklah suatu struktur perekonomian yang bersifat eksploitatif terhadap
golongan tak bermodal. Oleh Adriono (dalam Sulistiyani;2004,52), struktur ekonomi yang
demikian disebut sebagai struktur perekonomian oligarkis. Keseluruhan eksploitasinya
menghasilkan rente ekonomi, sebagaimana gambar berikut.

Inilah keadaan yang membuat peran pemerintah dengan birokrasinya tidak sensitif
terhadap nilai-nilai pembangunan, khususnya nilai keadilan yang sebetulnya merupakan
cerminan dari perilaku etis para birokrat yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Apalagi
bangsa Indonesia menempatkan nilai keadilan tersebut, sebagai tujuan daripada
pembangunan itu sendiri. Seharusnya pemerintah sudah menyadari peran yang harus
dijalani demi memenuhi dan/atau menjamin tujuan mendasar pembangunan ekonomi yang
telah dicita-citakan oleh pendiri bangsa kita dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Kebijakan-kebijakan ekonomi, cukup jelas dan bagus tetapi jika tidak ada pemerintah
yang adil maka tidak ada gunanya konsep-konsep yang brilian dalam kebijakan tersebut.
Karena akan selalu saja dimanipulasi dan dimanfaatkan demi kepentingan kelompok
tertentu yang diistimewakan sebagaimana pemaparan pada bagian sebelumnya. Maka dari
itu perlu pemerintah yang tidak berpihak atau pemerintah yang demokratis dan berkeadilan.
Untuk menempatkan pemerintah pada posisi yang tidak memihak, secara teoritis syarat
yang diperlukan adalah menciptakan struktur relasi yang seimbang di antara ketiga pemain
utama dalam proses pembangunan ekonomi. Atau istilah yang trend saat ini adalah
menyelenggarakan dan mengelola pemerintahan dan pembangunan dengan pendekatan
kemitraan. Kedudukan negara, pemilik modal, dan rakyat dalam posisi yang seimbang,
bukan dominasi negara dan pemilik modal saja, sehingga tidak berpotensi salah satu aktor
mendominasi aktor yang lain. Ketiganya harus check and balances.
Hal ini menjadi relevan, apabila kita melihat neoliberalisasi dan globalisasi yang
sudah masuk dan berkembang di tanah air saat ini, di mana modal atau pasar menjadi
instrumen yang sangat perkasa mengatur sirkulasi kemakmuran bersama, tanpa negara
diperbolehkan ikut campur. Padahal, dalam realitasnya, pasar tidak akan pernah berfungsi
dengan baik bila tidak didukung oleh infrastruktur fisik, sosial, mental, pendidikan, dan
organisasi; yang semuanya baru terwujud bila pemerintah ikut terlibat didalamnya (Thurow
(1996), dalam Yustika 2003).
2.4 Studi Kasus
Sejumlah narapidana korupsi kepergok memiliki fasilitas-fasilitas mewah, mulai AC
hingga TV layar datar, di dalam selnya. Kondisi itu berbeda jauh dengan kondisi napi umum
yang juga ada di Lapas Sukamiskin. Kondisi sel napi umum itu disorot Najwa Shihab dan
tim 'Mata Najwa' yang ikut sidak Ditjen PAS. Tayangan sidak itu ditayangkan di Trans7,
Rabu (25/7/2018) malam ini. Sel Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) hingga OC Kaligis terlihat
memiliki kamar mandi yang nyaman, lengkap dengan kloset duduk dan ruangan kamar yang
bersih. Ruangan sel itu sangat kontras dengan kondisi sel napi umum yang dijerat hukuman
7 tahun penjara karena kasus pacaran. Di dalam sel napi umum itu terlihat lebih gelap dan
kumuh dibanding sel para koruptor. Bahkan kamar mandi dengan kamar tidur hanya dibatasi
sehelai kain warna kuning sebagai gorden. Tak ada kloset duduk di toilet tersebut. Hanya
ada satu lemari kecil yang menjadi tempat menaruh sejumlah barang milik napi tersebut,
seperti botol-botol air mineral, piring, dan dispenser tak berlistrik. Menkum HAM Yasonna
Laoly pun mengakui ada perbedaan ruangan sel napi korupsi dengan sel napi umum.
Yasonna pun mengaku belum bisa memenuhi standar minimum sel pemasyarakatan.
Menurut Yasonna, alasan kesehatan yang masih ditoleransi yaitu untuk kursi (toilet) duduk
bagi narapidana yang sudah uzur. Dalam segi sanitasi sudah memenuhi syarat, akan tetapi
belum bisa memenuhi standar minimum sel pemasyarakatannya.
BAB III
KESIMPULAN

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mempunyai makna bahwa seluruh rakyat
Indonesia berhak mendapatkan keadilan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik dan
kebudayaan sehingga terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Bersikap adil
dilakukan terhadap sesama, menghormati hak-hak orang lain, menolong sesama,
menghargai orang lain, melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan
bersama. Konsep pancasila dirancang untuk menciptakan solidaritas masyarakat Indonesia,
namun jika kita hanya mementingkan diri kita sendiri tidak mau memperhatikan orang lain,
tidak mau membantu sesama yang membutuhkan, tidak bersikap adil dalam menyelesaikan
masalah, akhirnya tercipta sikap serakah yang membuat manusia itu sendiri terlena dengan
kesenangan dunia.
DAFTAR PUSTAKA

Magnis, Franz dan Suseno. (2016). Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakarta: PT Gramedia

(https://books.google.co.id/books?id=8tNCDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=magnis+etika+poli
tik&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiU6v2emZfdAhUMRY8KHem1DPIQ6AEIKDAA#v=onepage&q&f=fa
lse)

Tim Pusat Studi Pancasila UGM. (2015). Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan
Nilai-nilai Pancasila. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada
(https://books.google.co.id/books?id=N8ClCwAAQBAJ&pg=PA351&lpg=PA351&dq=keadilan+sosi
al+struktur+demokrasi+hak+asasi&source=bl&ots=tF-QGfWU4w&sig=1rulvomayQMSY3piu-
IfpN8ygxU&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwj7zpyLipfdAhVJLY8KHYWrAsQQ6AEwA3oECAcQAQ#v=o
nepage&q=keadilan%20sosial%20struktur%20demokrasi%20hak%20asasi&f=false)

Hazairin. 1970. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Tinta Mas.

Jamasy, Owin. 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta:


Blantika, Notonagoro. 1968. Beberapa Hal Mengenai Pancasila. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.

Frederickson, H.George. 1997. The Spirit of Public Administation. San Fransisco: Jossey-
Bass Publishers.

Sulistiyani, A.Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta:


Penerbit Gaya Media.

Yustika, Ahmad Erani. 2003. Negara Versus Kaum Miskin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Gedeona. T. Nilai Keadilan Sosial dalam Pembangunan Ekonomi

https://news.detik.com/berita/4133661/beda-banget-ini-perbandingan-sel-napi-umum-
koruptor-di-sukamiskin (Diakses Tanggal 17 November 2018. Pukul 16.32)

Anda mungkin juga menyukai