Anda di halaman 1dari 19

RMK ETIKA BISNIS KELAS C7

KASUS YANG BERKAITAN DENGAN ETIKA LINGKUNGAN DAN ETIKA


DISKRIMINASI PEKERJAAN

KELOMPOK 5

5 NI PUTU ESA KARISMA DEWI 1607531020

10 RENIKA MANALU 1607531057

20 TERESIA ARTA PANGESTU 1607531141

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

REGULER

SMT GANJIL 2017/2018


A. KASUS YANG BERKAITAN DENGAN ETIKA LINGKUNGAN

Kasus 1

KASUS BENCANA LUMPUR LAPINDO OLEH PT LAPINDO BRANTAS

LATAR BELAKANG MASALAH

Bencana lumpur Lapindo yakni peristiwa yang ramai dibahas dan


diperbincangkan publik karena masalahnya yang berlarut-larut ini merupakan buah dari
eksplorasi gas yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Semburan awal lumpur panas
ini terjadi pada tanggal 29 Mei 2006. Akibatnya, kawasan, pemukiman, pertanian dan
perindustrian di wilayah Porong Sidoarjo lumpuh total. Pusat semburan lumpur panas
berjarak 150 meter dari pusat pengeboran gas PT Lapindo Brantas.

Peristiwa ini terjadi karena kesalahan PT. Lapindo Brantas yang tidak
menjalankan prosedur dalam melakukan pengeboran gas yang terletak di Kecamatan
Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Akibat dari kesalahan yang dilakukan PT
Lapindo, menimbulkan meluapnya lumpur panas dari dalam perut bumi. Banyak sekali
pendapat dari para peneliti dan para ahli yang berbeda, mulai dari penyebab utama
terjadinya peristiwa banjir lumpur panas ini karena bencana alam, kesalahan perhitungan
dari PT Lapindo Brantas sendiri, bahkan sampai ada yang menyebutkan bahwa
penyebabnya tidak diketahui dengan pasti.

Peristiwa banjir lumpur ini menenggelamkan 16 desa di tiga kecamatan, 10.426


unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Sekitar 30
pabrik lumpuh total karena terendam banjir lumpur panas sehingga tidak dapat
beroperasi. Akibat ini sebanyak 1.873 tenaga kerja mengalami PHK dari perusahaan
tersebut. Dan masih banyak lagi dampak yang terjadi pada beberapa sektor yang lain.

Hal ini tentu merupakan hal yang sangat serius karena telah berdampak buruk
dalam areal yang cukup luas.
LANDASAN TEORI

KRONOLOGI PERISTIWA

Secara konsep kebijakan pembangunan negara sudah memuat faktor kelestarian


lingkungan sebagai hal yang utama dan mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam
implementasinya, terjadi kekeliruan orientasi kebijakan dimana pemerintah cenderung
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang ada dengan sedikit
mengesampingkan perlindungan yang memadai sehingga hal ini dimanfaatkan oleh para
perusahaan yang bergerak di bidang eksplorasi gas maupun minyak bumi sebagai usaha
memperluas dan mendapatkan hasil yang lebih besar. Lemahnya implementasi di bidang
hukum terjadi juga dalam pelaksanaan pengawasan pelestarian lingkungan hidup.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Rencana Umum Tata


Ruang (RUTR), dalam implementasinya hanya merupakan kebijakan yang bersifat
sementara atau sesaat saja. Akibat dari cacatnya hukum dan kebijakan-kebijakan yang
ada, kini berdampak buruk bagi masyarakat yang menjadi korban.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada
kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385
kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni
2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297
kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat
di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini


dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan
mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya
adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi
Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target
yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka
tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama
pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah
berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo
(Medici).
Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping.
Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh
formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya
lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke
lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo
kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan
Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Lokasi pusat semburan
hanya berjarak 150 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur
eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Lokasi semburan
lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol
Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-
Banyuwangi(jalur raya pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang
dan Surabaya-Banyuwangi, Indonesia. Selain perusakan lingkungan, dampak sosial banjir
lumpur panas ini tidak bisa dipandang lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan
kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah terganggunya pendidikan dan sumber
penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi mulai
mengemuka.

UPAYA PENANGGULANGAN YANG DILAKUKAN

Pihak PT Lapindo Brantas sendiri telah mencoba berbagai macam upaya untuk
menghentikan semburan lumpur panas ini, baik untuk menanggulangi rumah yang
terendam banjir, membuat snubbing unit, (suatu sistem peralatan bertenaga hidrolik yang
umumnya digunakan untuk melakukan suatu pekerjaan dalam sebuah sumur yang sudah
ada.), melakukan pengeboran miring(sidetracking), membuat tiga sumur baru (relief
well), namun upaya-upaya tersebut gagal total.

Sekarang hanya terdapat 2 pilihan :

Pilihan pertama, meneruskan upaya penanganan lumpur di lokasi dengan membangun


waduk-waduk tambahan di sebelah tanggul-tanggul yang sudah ada sekarang.

Pilihan kedua, membuang langsung lumpur panas tersebut ke Kali atau sungai Porong,
Sebagai tempat penampungan lumpur, Kali Porong memang telah tersedia tanpa perlu
digali dan memiliki potensi volume yang cukup besar untuk menampung kiriman lumpur
panas tersebut.

Keputusan Pemerintah dalam rapat Kabinet pada 27 September 2006 akhirnya


memutuskan untuk membuang lumpur panas Sidoardjo langsung ke Kali Porong.
Keputusan itu dilakukan karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur dari
50,000 meter kubik per hari menjadi 126,000 meter kubik per hari, untuk memberikan
tambahan waktu untuk mengupayakan penghentian semburan lumpur tersebut dan
sekaligus mempersiapkan alternatif penanganan yang lain, seperti pembentukan lahan
basah (rawa) baru di kawasan pantai Kabupaten Sidoardjo.

PEMBAHASAN DITINJAU DARI ETIKA BISNIS DAN LINGKUNGAN

 ULASAN DARI SISI ETIKA BISNIS

Dari uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo
Brantas merupakan penyebab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi
pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi
etika bisnis, apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas jelas telah melanggar etika
dalam berbisinis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang
berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang
mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan social.
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT.
Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan keengganan
PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih
untuk melindungi asset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas
kerusakan lingkungan dan social yang mereka timbulkan.
Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo telah melanggar prinsip-prinsip etika yang ada,
yaitu :
 Prinsip mengenai hak dan deontology
Menurut Blackstone, setiap manusia berhak atas lingkungan berkualitas, akan tetapi
dengan adanya perisyiwa lumpur panas tersebut, warga justru mengalami dampak
kualitas lingkungan yang buruk.
 Perspektif utilitarisme
menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak lagi boleh diperlakukan sebagai suatu
eksternalitas ekonomis. Jika dampak atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya
manfaat, pendekatan ini menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan
pada orang lain. Akan tetapi, dalam kasus ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya
alam di Sidoarjo untuk kepentingan ekonomis semata, dan cenderung kurang melakukan
pemeliharaan terhadap alam, yang dibuktikan dengan pengehematan biaya operasional
pada pemasangan chasing, sehingga menimbulkan bencana yang besar.
 Keadilan
Prinsip etika bisnis mengenai keadilan distributive juga dilanggar oleh PT. Lapindo,
karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip penghematan adil
dan keadilan social. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesama
manusia atau lingkungan, karena menganngap peristiwa tersebut merupakan bencana
alam yang kemudian dijadikan alas an perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Dengan
segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga berarti telah
melanggar etika kebajikan.
 Etika Kepedulian
Kepedulian terhadap sesama manusia ataupun lingkungan arus diterapkan dimana saja
kita tinggal. Etika kepedulian disini kurang di perhitungkan dan diterapkan guna
kepentingan bersama. Dalam kasus ini, menjadi tidak etis karena telah mencemari
lingkungan dan tidak bertanggung jawab secara social atas dampak yang telah dihasilkan
Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu perusahaan
akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala macam bentuk
pengabdian etika dalam berbisnis akan mengancam kemanan dan kelangsungan
perusahaan itu sendiri.

 ULASAN DARI SUDUT PANDANG ETIKA LINGKUNGAN

Eksplorasi secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan keamanan dan keselamatan,


terutama lingkungan hidup sekitar yang telah dilakukan PT Lapindo Brantas ini dinilai sangat
tidak beretika dan telah melanggar etika terhadap lingkungan. Dimana demi mendapatkan
sumber daya alam dalam jumlah banyak ditambah untuk menghemat pengeluaran yang
seharusnya dikeluarkan sesuai prosedur yang berlaku, kini menimbulkan dampak buruk dan
sangat parah terhadap masyarakat.

Bagaimanapun juga tindakan PT Lapindo jika ditinjau dari segi etika lingkungan sangat
tidak bertanggung jawab dan justru terkesan mengabaikannya.
KESIMPULAN

Dari peristiwa mengenai kasus semburan lumpur panas Lapindo Brantas ini dapat
disimpulkan bahwa kasus ini sampai sekarang masih belum bisa ditangani dengan tuntas
dan telah berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Peran pemeritah dalam
menindaklanjuti kasus ini juga terkesan berlarut-larut dan tidak dapat memberikan
jaminan bagi para korban sehingga masyarakat yang menjadi korban merasa mendapat
kepastian dan ketenangan. Banyak upaya yang telah dilakukan untuk menanggulangi
kasus ini namun tidak berhasil dengan baik. Upaya pemerintah untuk membuang
semburan lumpur panas ini ke sungai Porong juga dinilai masyarakat tidak
mempertimbangkan etika lingkungan yang ada.

SARAN

Untuk PT Lapindo Brantas sendiri, diharapkan dapat segera menuntaskan kasus ini
secepat-cepatnya dan sebaik mungkin mengingat telat berlarut-larutnya masalah ini
mengembang di permukaan. Hal ini dirasa perlu untuk mengurangi opini-opini negatif
dari publik.

Bagi pemerintah diharapkan dapat lebih konsisten dalam menerapkan segala


kebijakan yang sudah berlaku demi kesejahteraan masyarakat. Dan untuk masyarakat
khususnya yang menjadi korban dari kasus ini, diharapkan dapat mulai mencari alternatif-
alternatif lain untuk mulai membuka usaha baru sambil menunggu janji ganti rugi yang
dijanjikan baik oleh PT Lapindo Brantas maupun pemerintah dan tetap bekerja sama
dengan pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus ini hingga tuntas.
Kasus 2
PEMBAKARAN LIMBAH MEDIS RSUD BANGLI
LATAR BELAKANG MASALAH
Dunia medis biasanya identik dengan lingkungan yang bersih dan jauh dari
pencemaran atau polusi. Tetapi bagaimana apabila pencemaran tersebut justru dilakukan
sendiri oleh pihak medis. Kasus inilah yang terjadi di daerah bangli, dimana pembakaran
limbah medis yang dilakukan oleh rumah sakit umum daerah bangli berdampak buruk
terhadap masyarakat sekitar. Kepulan asap hitam dan disusul dengan debu yang
berjatuhan di areal pemukiman membuat masyarakat terkadang mengunci putra-putri
mereka di kamar agar tidak menghirup asap atau pun debu yang berjatuhan akibat adanya
pembakaran limbah. (didapat dari www.balipost.co.id, 04 juli 2012).
Mesin incinerator yang digunakan untuk melakukan pembakaran jaraknya juga
sangat dekat dengan pemukiman warga sekitar 3 meter dan bau yang ditimbulkan oleh
asap dan debu hasil pembakaran sangatlah menyengat sehingga warga tidak dapat
melakukan aktivitas di pekarangan/halaman rumah serta tidak jarang pula debu-debu
hasil pembakaran yang berupa gumpalan-gumpalan hitam mengotori lingkungan
termasuk jemuran warga.
PEMBAHASAN

Dalam kasus pembakaran limbah, RSUD Bangli telah melakukan pelanggaran etika
terhadap lingkungan. Dimana mereka melakukan tindakan yang merugikan lingkungan
atau pencemaran terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh kepulan asap dari hasil
pembakaran limbah atau sering disebut pencemaran udara. Padahal pihak rumah sakit
sendiri seharusnya mengetahui dampak-dampak yang ditimbulkan oleh limbah medis.
Limbah medis termasuk salah satu limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Menurut UU No. 32 Tahun 2009 pada Bab I, Limbah Bahan berbahaya dan beracun
adalah zat, energy, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau
merusak lingkungan hidup dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta
kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain. Dampak yang ditimbulkan oleh polusi
udara akibat limbah B3 dapat berakibat fatal bagi kesehatan maupun tanaman.
Pencemaran udara terhadap tingkat kesehatan dapat mengakibatkan terganggunya
saluran pernafasan ataupun iritasi terhadap bagian tubuh, hal tersebut yang menjadi
kekhawatiran atau teror bagi warga bangli apabila kegiatan tersebut terus berlangsung
tanpa adanya perbaikan dari pihak rumah sakit, karena sampai kasus ini dilaporkan belum
ada tanda-tanda atau itikad baik dari pihak rumah sakit untuk menyelesaikan
permasalahan ini.
Dalam hal ini pihak rumah sakit tidak menjalankan AMDAL (Analisis Mengenai
dampak lingkungan). Terdapat beberapa kriteria dalam analisis dampak lingkungan
( AMDAL ) diantaranya dalam UU No. 32 Tahun 2009 :
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan.
b. Luas wilayah penyebaran dampak.
c. Intensitas dan lamanya dampak tersebut berlangsung.
Dapat dilihat dari penjelasan AMDAL diatas, pihak rumah sakit mengabaikan
dampak-dampak yang terjadi dari pembakaran limbah rumah sakit sehingga
mengakibatkan adanya pihak yang dirugikan oleh kegiatan pembakaran limbah yakni
masyarakat sekitar. Luas penyebaran dampak dari pembakaran juga tidak diperhitungkan
dengan baik dimana pihak rumah sakit meletakkan mesin pembakar yang jaraknya sangat
dekat dengan pemukiman. Dari pihak rumah sakit juga tidak merespon pengaduan yang
dilakukan masyarakat terhadap pencemaran pembakaran limbah. Hal itu juga ditegaskan
salah seorang warga yang juga mantan pejabat dinas PU Bangli, bernama Sang Nyoman
Yasa yang mengatakan “ Pencemaran lingkungan yang terjadi sudah sangat parah, kami
telah menjadi korban. Sementara mereka tidak peduli dengan kami”. Hal tersebut
membuat pencemaran limbah medis yang terjadi di Bangli semakin berlarut-larut.

PEMBAHASAN DITINJAU DARI ETIKA BISNIS DAN LINGKUNGAN

Apabila dilihat dari pendekatan-pendekatan yang digunakan sebagai dasar


pemikiran untuk menjalankan tanggungjawab lingkungan hidup, pihak rumah sakit tidak
melaksanakan pemikiran-pemikiran tersebut, yang diantaranya:
Teori hak atas lingkungan.
Menurut Blackstone, setiap manusia berhak atas lingkungan bekualitas yang
memungkinkan dia untuk hidup dengan baik (sutrisna:2010). Akibat dari limbah medis
tersebut warga sekitar rumah sakit sudah kehilangan hak-nya atas lingkungan yang sehat
dan bebas dari polusi, karena setiap kegiatan pembakaran limbah mereka harus waspada
akan asap hitam yang diakibtkan oleh pembakaran limbah. Hal ini tentu saja sangat
membuat warga sekitar merasa sangat tidak nyaman.
Teori Deontology.
Teori ini menilai tindakan baik atau buruknya berdasarkan aturan-aturan, prosedur dan
kewajiban (sutrisna:2010). Tentunya pihak rumah sakit sudah melanggar teori ini, dimana
pihak rumah sakit tidak menjalankan kegiatannya sebagaimana mestinya sehingga
mengakibatkan kerugian bagi pihak lain
Utilitarianisme.
Pendekatan utilitarian menyatakan bahwa seseorang perlu berusaha menghindari
kerusakan lingkungan karena dia juga tidak ingin merugikan kesejahteraan masyarakat
(sutrisna:2010), tetapi justru pihak rumah sakit memberikan dampak yang buruk bagi
masyarakat dengan asap hasil dari pembakaran sampah medis tersebut.
Keadilan.
Lingkungan yang bersih dan nyaman merupakan kelangkaan oleh karena itu, harus dibagi
secara adil agar nantinya dapat dinikmati oleh generasi mendatang.(sutrisna:2010)
Peran pemerintah disini sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan
yang terjadi. Pemerintah tidak bisa hanya berdiam diri saja atau pun hanya mengandalkan
atas peraturan yang telah berlaku tetapi pemerintah juga harus turun secara langsung baik
sebagai pihak ketiga atau pihak yang memfasilitasi antara masyarakat sekitar dengan
pihak rumah sakit, karena peraturan atau UU yang di buat oleh pemerintah belum tentu
berjalan secara efisien susuai dengan isi peraturan atau Undang-undang secara tertulis,
dimana terkadang terdapat perbedaan antara keadaan di lapangan yang sesungguhnya
dengan keadaan dalam peraturan yang tertulis. Tidak hanya pemerintah yang berperan
dalam penyelesaian kasus ini, kesadaran dari pihak rumah sakit juga sangat diperlukan.
Sebaiknya pihak rumah sakit memindahkan letak mesin incinerator sehingga
dapat meminimalkan dampak yang terjadi akibat pencemaran dan pihak rumah sakit juga
dapat bekerja sama dengan badan lingkungan hidup dalam mengelola maupun mengawasi
sehingga mengurangi dampak terjadinya pencemaraan.

KESIMPULAN

Dari kasus pembakaran limbah medis oleh RSUD Bangli kita dapat simpulkan bahwa, RSUD
Bangli telah melakukan pelanggaran etika terhadap lingkungan. Dimana mereka melakukan
tindakan yang merugikan lingkungan atau pencemaran terhadap lingkungan yang diakibatkan
oleh kepulan asap dari hasil pembakaran limbah atau sering disebut pencemaran udara dan
menyebabkan berbagai penyakit dalam kehidupan masyarakat disana. Oleh karena itu perlu
kesadaran lebih dari pihak-pihak rumah sakit untuk segera mengatasi hal tersebut dan
pemerintah juga ikut ambil bagian dalam penegakan peraturan- peraturan yang berlaku dan
memfasilitasi masyarakatnya dengan cara menyediakan rumah sakit sebagai tempat
berobat,dan lain- lain.

SARAN

Untuk pihak RSUD Bangli untuk lebih sadar bahwa dalam berbisnis tidak hanya
memperhatikan keuntungan untuk diri sendiri tetapi lebih memperhatikan kembali
lingkungan sekitarnya sehingga tidak terjadi kerusakan lingkungan maupun sosial akibat hal
tersebut. Dan bagi pemerintah diharapkan dapat lebih konsisten dalam menerapkan segala
kebijakan yang sudah berlaku demi kesejahteraan masyarakat
KASUS YANG BERKAITAN DENGAN ETIKA DISKRIMINASI PEKERJAAN

LATAR BELAKANG

Persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan dan ketidakadilan gender tidak


hanya terjadi di Indoesia, tetapi juga di dunia internasional.Upaya-upaya penghapusan
diskriminasi pun terus dilakukan oleh para pejuang hak-hak perempuan dalam rangka
meningkatkan derajat dan kedudukan kaum perempuan yang dipandang sebagai manusia
kelas dua (second class).

Salah satu upaya nyata dunia internasional terhadap penghapusan diskriminasi adalah
adanya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk diskriminasi terhadap Perempuan pada
tahun 1976 dan mulai berlaku tahun 1979. Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa
diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam masyarakat
yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada.

Konfererasi Serikat Buruh Internasional atau ITUC menyatakan banyak perusahaan di


Indonesia yang melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Mereka juga dibayar murah.

General Secretary of the International Trade Union Confederation (ITUC) Sharan


Burrow mengatakan pekerja perempuan melakukan kerja ganda. Menjadi buruh perusahaan
dan mengurus anak di rumah. "Mereka dipaksa bekerja dengan sangat keras namun upah
yang diterima tidak sesuai. Bahkan wanita-wanita tersebut hanya bisa mengurus anak mereka
di malam hari. Sekitar jam 10 malam wanita tersebut harus membuat makanan dan pekerjaan
rumah tanggalainnya," jelas dia saat menghadiri Forum Wanita Buruh Indonesia, di Jakarta,
Kamis (30/4/2015).

Sharan Burrow akan menghadiri perayaan Hari Buruh Internasional atau May Day
pada 1 Mei 2015 di Indonesia. Dia ingin mengkampanyekan kepada para perusahaan-
perusahaan di Indonesia untuk menjadi perusahaan yang memikirkan keberlangsungan hidup
kaum buruh. "Besok, kami (ITUC) akan ikut memperingati hari buruh. Kami akan
mengkampanyekan untuk lebih baik. Karena selama ini kaum buruh masih di pandang hanya
sebagai pekerja," kata Sharan.

Diskriminasi pekerjaan adalah tindakan pembedaan, pengecualian, pengucilan, dan


pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, ras, agama, suku, orientasi seksual, dan lain
sebagainya yang terjadi di tempat kerja. Dari data dari berbagai artikel, rupanya diskriminasi
terhadap perempuan di dunia kerja sampai saat ini masih banyak dijumpai di perusahaan-
perusahaan seperti dari segi kasus kehamilan, stereotype gender, dan agama (teruma muslim).

Kasus:

 Diskriminasi pekerjaan terhadap wanita hamil

Ada indikasi, beberapa perusahaan banyak yang memasung hak-hak reproduksi perempuan
seperti pemberian cuti melahirkan bagi karyawan perempuan dianggap pemborosandan
inefisiensi. Perempuan dianggap mengganggu produktivitas perusahaan sehingga ada
perusahaan yang mensyaratkan calon karyawan perempuan diminta untuk menunda
perkawinan dan kehamilan selama beberapa tahun apabila mereka diterima bekerja. Syarat ini
pun menjadi dalih sebagai pengabdian perempuan kepada perusahaan layaknya anggota TNI
yang baru masuk. Meskipun undang-undang memberi wanita cuti melahirkan selam 3 bulan,
yakni 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, wanita yang sedang
hamil atau melahirkan masih sering dipecat atau diganti ketika sedang cuti. Hal ini terjadi
pada perusahaan yang tidak begitu baik tingkat pendapatannya. Mereka rugi bila harus
menanggung biaya atau memberikan gaji bagi yang cuti.

 Diskriminasi pekerjaan karena stereotype gender

Tak dipungkiri, dalam masyarakat Indonesia dan beberapa Negara, wanita kebanyakan
ditempatkan pada tugas-tugas administrasi dengan bayaran lebih rendah dan tidak ada
prospek kenaikan jabatan. Masih ada stereotype yang ‘menjebak’ bahwa wanita
identikdengan “penampilan menarik”, hal ini seringkali dicantumkan dalam kriteria
persyaratan sebuah jabatan pada lowongan pekerjaan. Pegawai perempuan sering mengalami
tindakan yang menjurus pada pelecehan seksual. Misalnya, ketika syarat yang ditetapkan
perusahaan adalah harus memakai rok pendek dan cenderung menonjolkan kewanitaannya.

 Diskriminasi terhadap wanita muslim

Kasus yang terbaru untuk kategori diskriminasi ini ini adalah terjadi di Inggris. Hanya karena
mengenakan busana Muslim, banyak wanita Muslimah berkualitas di Inggris mengalami
diskriminasi dalam pekerjaan mereka. Laporan EOC menunjukkan bahwa 90% kaum
perempuan Muslim asal Pakistan dan Banglades mendapat gaji yang lebih rendah dan tingkat
penganggurannya tinggi. Kasus lain juga terjadi di Perancis, pada kwartal akhir tahun 2002.
Seorang pekerja wanita dipecat perusahaan tempatnya bekerja lantaran menolak
menanggalkan jilbab yang dikenakannya saat bekerja. Padahal dirinya telah bekerja di tempat
tersebut selama 8 tahun. Menurut laporan BBC News, tindakan ini dipicu oleh tragedi 11
September 2001 adanya pesawat yang menabrak WTC di Amerika Serikat.

 Beberapa contoh ekstrim

Kenyataan saat ini bahwa banyak perempuan harus bekerja di luar rumah untuk
membantu suami menambah penghasilan keluarga ternyata tidak selamanya dipandang
positif. Kejadian yang menimbah Ny. Lilis, istri guru Sekolah Dasar Negeri di Tangerang,
menjadi contoh hal ini. Ny. Lilis ditangkap polisi satpol PP atas aturan jam malam bagi
wanita yang diindikasikan sebagai pelacur atau pekerja seks komersial. Pada saat itu, Ny.
Lilis sedang menunggu angkutan umum untuk pulang ke rumahnya setelah pulang dari
bekerja di sebuah rumah makan pada malam hari. Dengan hanya mencurigai gerak-
geriknya dan tanpa ada bukti atau introgasi awal, Ny. Lilis ditangkap begitu saja dan
sempat dihukum penjara. Mirisnya lagi, Ny. Lilis saat itu juga sedang hamil. Dia bekerja
karena untuk membantu menambah penghasilan suaminya yang habis untuk membayar
berbagai pinjaman guna meyambung hidup sehari-hari.
PEMBAHASAN

Pengertian

Diskriminasi merupakan suatu tindakan yang secara moral adalah tidak netral karena
biasanya mengacu pada tindakan membedakan seseorang dari orang lain bukan berdasarkan
keunggulan yang dimiliki,tetapi berdasarkan prasangka atau berdasarkan sikap-sikap yang
secara moral tercela.

Penyebab terjadinya diskriminasi kerja

Beberapa penyebab yang menimbulkan adanya diskriminasi terhadap wanita dalam


pekerjaan, di antaranya :

pertama, adanya tata nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia yang umumnya
lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideologi patriaki).

Kedua, adanya bias budaya yang memasung posisi perempuan sebagai pekerja domestik
atau dianggap bukan sebagai pencari nafkah utama dan tak pantas melakukannya.

Ketiga, adanya peraturan perundang-undangan yang masih berpihak pada salah satu jenis
kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender, contohnya pada UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7
tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non-upah yang
menyebutkan bahwa tunjangan tetap diberikan kepada istri dan anak. Dalam hal ini,
pekerja wanita dianggap lajang sehingga tidak mendapat tunjangan, meskipun ia
bersuami dan mempunyai anak.

Keempat, masih adanya anggapan bahwa perbedaan kualitas modal manusia, misalnya
tingkat pendidikan dan kemampuan fisik menimbulkan perbedaan tingkat produktifitas
yang berbeda pula. Ada pula anggapan bahwa kaum wanita adalah kaum yang lemah dan
selalu berada pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.
Upaya-upaya penghapusan diskriminasi

Aturan-aturan yang konkrit terkait masalah diskriminasi gender sebenarnya sudak ada
sejak lama. Namun pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam menentukan kebijakan
masih lemah dalam bertindak.

Misalnya saja UU No.33 Tahun 1977 tentang Asuransi Tenaga Kerja, SE Menaker
No.4 Men/1988 tentang Larangan Diskriminasi terhadap Pekerja Perempuan, dan SE
Menaker No.03/Men/1989 tentang Larangan Diskriminasi terhadap Perempuan Menikah,
Hamil, dan Melahirkan. Peran reproduksi perempuan yang sudah diadopsi oleh undang-
undang/ peraturan ketenagakerjaan terbukti masih terus dilanggar oleh pihak pengusaha,
bahkan peran ini sering menyingkirkan perempuan dalam dunia kerja.

Konvensi ILO No.100 yaitu prinsip penngupahan yang sama untuk pekerjaan yang
sama nilainya dan posisi tanpa membedakan jnis kelamin. Namun pada kenyataannya prinsip
pengupahan tidak berjalan dengan baik. Masih terdapat penyimpangan dan perbedaan upah
antara laki-laki dan perempuan meskipun mereka bekerja dengan bobot yang sama.

Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi


terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Discrimination Against Women /
CEDAW) seperti tertuang dalam UU No.7 Tahun 1984. Indonesia telah berupaya
mengintegrasikan pasal-pasal CEDAW terhadap peraturan ketenagakerjaan.Namun
kurangnya komitmen dalam melaksanakannya menyebabkan penyimpangan terus saja terjadi.

Pasal 11 CEDAW membahas mengenai penghapusan diskriminasi terhadap


perempuan dalam upaya ketenagakerjaan, manjamin persamaan hak antara perempuan dan
laki-laki dalam bekerja sebagai hak asasi manusia, hak memilih profesi, hak atas kesempatan
kerja, hak untuk menerima upah yang sama, hak atas jaminan sosial, hak atas perlindungan
kesehatan, keselamatan kerja, dan fungsi melanjutkan keturunan.

Payung hukum lainnya adalah UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
pasal 49 yang berbunyi “Perempuan berhak memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan,
jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undanagn.Berhak
mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan/ profesinya terhadap hal-hal
yang mengancam keselamatan/kesehatan berkenaan dengan fungsi reproduksinya.Hak khusus
yang melekat pada diri perempuan dikarenakan fungsi dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Upaya peghapusan diskriminasi yang dapat dilakukan diantaranya adalah dimulai dari
diri perempuan itu sendiri sebagai korban diskriminasi. Perempuan perlu memperluas
networking, mancari mentor, percaya diri untuk mengambil kesempatan yang ada,
meningkatkan skill melalui pelatihan atau mentoring, memiliki jiwa enterpreneurship, rasa
ingin tahu, passion, keberanian, dan pikiran yang terbuka.

Sementara dari pihak perusahaan perlu diterapkannya program kesetaraan gender


untuk memastikan semuanya bisa berjalan seimbang. Pemimpin perusahaan tersebut perlu
mengupayakan kondisi yang membuat peremuan mampu mengembangkan kariernya.

Aturan-aturan hukum yang dibuat oleh perusahaan perlu dibatasi pelaksanaannya agar
tidak terjadi adanaya aturan sewenang-wenang dan merugikan bagi pekerja perusahaan.
Aturan pada perusahaan harus mendasarkan pada aturan formal yang berlaku agar nantinya
terjadi kesamaan pandangan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain.

Dalam hal ini pemerintah juga dituntut untuk menyelenggarakan pengawasan yang
akuntabel kepada seluruh proses tata kelola tenaga kerja khususnya sektor industri. Aturan-
aturan formal yang ada tersebut jangan hanya menjadi formalitas namun juga harus
dioptimalkan pelaksanaannya dengan tujuan melindungi kaum perempuan dari segala bentuk
diskriminasi.

PEMBAHASAN DITINJAU DARI ETIKA BISNIS DAN DISKRIMINASI


PEKERJAAN

Dari beberapa contoh kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa telah terjadi penyimpangan
dan pelangaran etika diskriminasi pekerjaan. Adapun praktek-praktek diskriminasi yang
terjadi dari kasus-kasus tersebut, diantaranya :

1. Rekrutmen
Dalam kasus ini, kita dapat melihat bahwa perusahaan-perusahaan tertentu baik di
Indonesia atau di luar negri telah melanggar etika diskriminasi pekerjaan karena
dalam perektrutan pegawai baru dimana cenderung merekrtut pegawai dari kelompok
ras dan seksual yang sama dengan yang terdapat dalam perusahaan yaitu pada kasus
pemecatan pada pegawai perempuan yang terjadi di Inggris karena tidak mau melepas
jilbabnya pada saat bekerja.
Berikutnya yaitu pada kasus dimana dalam suatu perusahaan pada waktu perektrutan
harus memakai rok mini dan menonjolkan tubuhnya sehingga tindakan tersebut
menjurus pada pelecehan seksual.
2. Kenaikan pangkat
Dimana pada kasus diatas dapat kita lihat bahwa pegawai perempuan lebih susah
mendapatkan kenaikan pangkat dibandingkan dengan laki-laki karena biasanya
kebanyakan wanita ditempatkan pada tugas-tugas administrasi dengan bayaran lebih
rendah dan tidak ada prospek kenaikan jabatan.

KESIMPULAN

Diskriminasi terhadap perempuan merukan tindakan yang tidak diperbolehkan untuk


dilakukan oleh perusahaan dan perusahaan seharusnya tidak membedak-bedakan
karyawannya baik dari segi ras maupun gender karena hal tersebut merupakan
pelanggaran dari etika diskriminasi pekerjaan. Suatu perusahaan seharusnya memilih
karyawan yang mempunyai skill dan kemampuan yang bagus bukan karena gender yang
dimiliki seseorang tersebut

SARAN

Hendaknya dalam suatu perusahaan tidak melakukan diskriminasi dalam pekerjaan dan
sebaiknya mengikuti etika bisnis dalam menjalankan suatu perusahaan agar
mendapatkankan hasil yang maksimal dan setiap perusahaan harus menyadari tentang
kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dalam suatu pekerjaan.
Daftar Pustaka

Dewi, Sutrisna. 2010. Etika Bisnis konsep dasar implementasi dan kasus. Bali: Udayana
University Press.

http://underground-paper.blogspot.com/2012/02/makalah-etika-bisnis-pt-lapindo.html
http://marthasuzan.wordpress.com/2013/09/01/artikel-kegagalan-etika-bisnis-pt-lapindo/

http://www.tempo.co/read/news/2013/05/02/173477280/Mayday-Buruh-Perempuan-
Tuntut-Kesetaraan

Anda mungkin juga menyukai