Anda di halaman 1dari 22

ABSTRAK

JAVANESE PRICE SETTING:


REFLEKSI FENOMENOLOGIS HARGA POKOK PRODUKSI
PEDAGANG BAKSO DI KOTA MALANG

Oleh:
Shavira Zalshabila
Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.

Studi ini bertujuan untuk menganalisis aspek-aspek yang mendasari penentuan


harga pokok produksi bakso, yang terefleksi pada penetapan harga jual suatu
produk. Studi menggunakan metode fenomenologi, yang mengupas mengenai
proses penetapan harga pokok produksi, dengan harga jual bakso di mata pedagang
bakso. Studi menemukan adanya Javanese price setting, di mana penentuan harga
jual bakso bukanlah refleksi dari harga pokok produksi, melainkan refleksi dari
budaya Jawa yang dipegang oleh pedagang bakso. Budaya tersebut diantaranya
tepo seliro, mangan ora mangan sing penting ngumpul, dan nerimo ing pandum.

Kata kunci: harga pokok produksi, harga jual, kualitatif, fenomenologi

ABSTRACT

This study aims to analyze the aspects that underlie the determination of
meatball’s the cost of production, which is reflected in the determination of the
selling price of a product. The study using phenomenology method, which
investigated the process of determining the cost of production, with the selling price
in the eyes of meatball traders. The study found a Javanese price setting, in which
the determination of the selling price of the meatballs are not a reflection of the cost
of production, but rather a reflection of Javanese culture held by meatball traders.
Among them are tepo seliro, mangan ora mangan sing penting ngumpul, and
nerimo ing pandum.

Keywords: cost of production, sales price, qualitative, phenomenology

PENDAHULUAN

Fenomena pedagang bakso dengan harga jual dan harga pokok produksinya

adalah sebuah realitas sosial yang tidak dapat dimengerti tanpa menyelami

fenomena itu sendiri. Dalam hal ini, memadukan ekspresi peneliti sedemikian rupa

1
dalam praktek akuntansi, telah mendapat perhatian yang serius dari banyak peneliti

(sebagai contoh, Ahrens dan Dent, 1998; Baxter dan Chua, 1998; Covaleski dan

Dirsmith, 1990; Marginson, 2004). Selaras dengan pandangan mereka, Syarifuddin

(2010) berpendapat bahwa mengekspresikan pandangan peneliti dalam bidang

akuntansi tidak hanya bertujuan untuk sekedar menjelaskan atau

mengklarifikasikan kepada pembaca mengenai sesuatu hal yang empiris tentang

keadaan tertentu, akan tetapi lebih dari itu, penelitian kualitatif juga ingin

menjelaskan bagaimana sebuah teori baru dibangun.

Studi ini mengupas tentang proses penetapan harga pokok produksi pada

suatu produk, serta bagaimana kaitannya dengan harga jual yang dimiliki oleh

produk tersebut menurut akuntansi biaya. Pertanyaan studi ini adalah: “Bagaimana

persepsi pedagang bakso terhadap harga pokok produksi? Kemudian, apakah harga

pokok produksi tersebut mempengaruhi penetapan harga jual?”

Tujuan studi ini adalah menguak aspek-aspek yang mendasari penentuan

harga pokok produksi, dan bagaimana karakteristik aspek tersebut. Lebih lanjut,

tujuan lain studi ini adalah menggali lebih jauh apakah harga pokok produksi

terefleksi dalam penetapan harga jual suatu produk. Dengan demikian, studi ini

ingin mengetahui apakah harga pokok produksi eksis dalam proses penetapan harga

jual yang dilakukan oleh pedagang bakso, serta nilai-nilai yang terkandung dalam

penetapan harga jual tersebut.

Pandangan tentang harga jual dikemukakan oleh Hansen dan Mowen (2001:

633). Mereka beragumentasi bahwa harga jual adalah jumlah moneter yang

dibebankan oleh suatu unit usaha kepada pembeli atau pelanggan atas barang atau

2
jasa yang dijual atau diserahkan. Lebih lanjut, Mulyadi (2001: 78) mengemukakan

bahwa pada prinsipnya harga jual harus dapat menutupi biaya penuh ditambah

dengan laba yang wajar. Jadi, pada dasarnya harga jual sama dengan biaya produksi

ditambah mark-up.

Dari penjelasan teoritis di atas ditemukan bahwa dalam menentukan harga

jual sangat terkait dengan harga pokok produksi. Kerugian akan timbul jika harga

jual ditetapkan di bawah harga pokok produksi. Oleh karena itu, dalam penetapan

harga jual, tingkat harga minimal hendaknya dapat menutup semua biaya yang telah

dipergunakan untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa.

Namun demikian, saya menemukan adanya ketidaksesuaian antara teori yang

berlaku mengenai hubungan antara harga pokok produksi dengan harga jual pada

akuntansi biaya, dengan fenomena yang terjadi pada pedagang bakso. Pada cerita

berikut ini, pedagang bakso menggunakan harga jual yang konstan walaupun biaya

produksinya meningkat. Selain itu, ada pula keseragaman harga bakso baik bagi

penjual yang menggunakan gerobak, menjual di warung, maupun yang

menggunakan motor. Hal ini menunjukkan fakta bahwa ada pengabaian terhadap

biaya operasional dalam menentukan harga jual bakso.

Pedagang bakso dalam penelitian ini mencakup pedagang bakso menengah,

yang memperkerjakan orang untuk menjual baksonya di warung-warung, pedagang

bakso dengan gerobak, atau dengan menggunakan motor. Terakhir adalah pedagang

bakso kecil, yaitu pedagang yang membuat, serta menjual baksonya sendiri.

3
Penelitian ini dilakukan di Kota Malang, Jawa Timur. Hal ini dimungkinkan

karena komunitas pedagang bakso terbilang sangat banyak di kota ini, dan sekali

lagi sangat erat keterkaitan antara pedagang bakso yang ada dengan mahasiswa.

Alasan lain saya memilih Kota Malang sebagai situs sosial karena fenomena

unik yang terjadi ini tidak hanya mempengaruhi beberapa pedagang bakso, namun

hampir semua pedagang bakso di kota ini, tidak peduli dengan keragaman variasi

dari metode penjualannya, atau pun jenis bakso yang ditawarkannya.

Latar Belakang Masalah

Kota Malang adalah sebuah kota pelajar di Provinsi Jawa Timur, Indonesia.

Kota ini berada di dataran tinggi yang cukup sejuk, terletak 90 km sebelah selatan

Kota Surabaya. Karena suhu lingkungannya yang cenderung dingin, Malang juga

sering disebut sebagai Kota Dingin.

Situasi kota yang dingin dan tenang, penduduk ramah, harga makanan relatif

murah, serta fasilitas pendidikan memadai, membuat Kota Malang sebagai tempat

yang sangat cocok untuk pelajar dan mahasiswa. Selain itu, banyaknya universitas

negeri maupun swasta yang cukup terkenal, membuat Kota Malang sebagai tawaran

menggiurkan bagi orang luar pulau yang ingin mencari pendidikan dengan suasana

lebih baik.

Sebagai kota dengan mayoritas penduduk adalah pelajar dan mahasiswa,

membuat Malang sebagai sasaran bagi usaha makanan yang relatif murah, meriah

dan terjangkau bagi kocek mahasiswa. Salah satu makanan khas Malang yang

menjadi andalan makanan sehari-hari mahasiswa saat uang dalam keadaan krisis

adalah bakso. Tidak peduli bagaimanapun keadaan ekonomi, di mana pun tempat

4
baksonya ditawarkan di seluruh Malang, dapat dipastikan harganya akan selalu

terjangkau dan mengenyangkan perut. Tidak heran jika akhirnya pedagang bakso

dan mahasiswa menjalin suatu hubungan tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-

hari yang dapat dikatakan seperti “air dan ikan”.

Salah satu faktor mengapa mahasiswa begitu tergantung pada bakso sebagai

makanan pokok, karena harga yang ekonomis, variasi makanan pada penjualannya,

dan penyajian yang selalu hangat sehingga menambah nafsu makan, membuat

mahasiswa tidak merasa bosan. Terlebih lagi, dengan naiknya harga seperti bahan

bakar bensin dan gas, minyak tanah, serta bahan makanan, membuat makanan lain

menjadi lebih mahal, dan hanya bakso, makanan yang enak, sederhana, tetap fresh,

yang terjangkau bagi kalangan pelajar. Selain itu, memasak bukan lagi menjadi

pilihan bagi mahasiswa yang tinggal di kos-kosan atau di rumah sendirian, karena

memasak merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu khusus. Oleh karena itu,

alternatif yang murah dan meriah adalah bakso.

Seperti diketahui, pedagang bakso dapat dikategorikan menjadi tiga

kelompok, yakni pedagang yang menetap dengan menyewa rumah toko (ruko),

pedagang yang membuka tenda di pinggir jalan, pedangan yang berkeliling dengan

mendorong gerobak bakso, dan pedangan yang menggunakan sepeda motor (perlu

diketahui bahwa kontur tanah Kota Malang, terdiri dari perbukitan yang sedikit sulit

dijangkau dengan bakso dorongan).

Menariknya, ketiga kelompok yang akrab dengan mahasiswa tersebut

memiliki harga yang relatif sama. Sebagai contoh, pentol kecil Rp 1.000,00, pentol

besar Rp 2.000,00 – Rp 2.500,00, bakso granat yang sangat besar dengan berisikan

5
telur dijual dengan harga Rp 5.000,00. Sementara, untuk gorengan umumnya dijual

dengan harga Rp 500,00 – Rp 1000,00, dan mie sebagai pelengkap biasanya dijual

dengan Rp 500,00 - Rp 1.000,00, tergantung besaran gulungannya. Fakta lain

menunjukkan bahwa harga jual bakso tidak mengalami perubahan walaupun harga

bahan pokok pembuatan bakso meningkat pada saat-saat tertentu, misalnya

menjelang Hari Raya.

Gambaran di atas, menunjukkan bahwa harga pokok produksi yang umumnya

saya pelajari di bangku kuliah, ternyata tidak terefleksikan dengan jelas sebagai

dasar penentuan harga jual. Lantas pendekatan apa yang digunakan oleh pedagang

bakso dalam menentukan harga pokok produksi bakso? Hal inilah yang kemudian

menggelitik rasa ingin tahu saya untuk menguak sesuatu di balik penentuan harga

pada pedagang bakso. Saya ingin mengetahui bagaimana interpretasi tukang bakso

terhadap harga pokok sekaligus penentuan harga jualnya.

Ketidaksesuaian inilah yang kemudian menimbulkan suatu pertanyaan yang

sangat menarik bagi saya, “lantas bagaimana pedagang bakso menentukan harga

jualnya?”. Mungkinkah sebenarnya pedagang bakso memiliki interpretasi yang

benar-benar berbeda dari penjelasan teoritis mengenai harga pokok produksi?.

Ataukah ada nilai lain yang dianut oleh pedagang bakso dalam memahami dan

menetapkan harga? Untuk memahami semua pertanyaan di atas, penting bagi saya

untuk memahami mind-set yang dimiliki pedagang bakso. Mind-set dalam hal ini

adalah bagaimana pola pikir dan perilaku yang dimiliki oleh tukang bakso.

Agar tercipta pemahaman yang mendalam terhadap pola pikir pedagang, saya

memutuskan untuk melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Keputusan

6
ini saya ambil setelah memahami makna dari metodologi penelitian kualitatif itu

sendiri. Menurut Bogdan dan Taylor (1993:5), metodologi kualitatif merupakan

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang, dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka,

pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh).

Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam

variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai suatu keutuhan.

METODOLOGI : MEMAHAMI PEDAGANG BAKSO LEWAT


FENOMENOLOGI

Studi ini mengoperasikan metode fenomenologi untuk memahami budaya

lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi,

ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound,

memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: (a)

kenyataan ada dalam diri manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, selalu

bersifat majemuk atau ganda, dan tersusun secara kompleks, sehingga hanya bisa

diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan

subjek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih mengarah

pada kasus-kasus, bukannya menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit

membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e)

inkuiri terikat nilai, bukan values free.

Menurut Edie (1962: 19), fenomenologi berusaha menunjukkan struktur

implisit dan makna dari pengalaman manusia, yang merupakan pencarian "esensi"

7
yang tidak dapat ditemukan dengan pengamatan biasa. Fenomenologi adalah ilmu

dari struktur esensial kesadaran atau pengalaman yang tidak menekankan pada

pengalaman ataupun pada objek dari pengalaman, melainkan pada titik kontak di

mana "being and consciousness” bertemu. Inti fenomenologi adalah untuk

mendapatkan visi yang murni tentang “essentially is”.

Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara

tegas ditekankan. Sedangkan, bagi fenomenologi eksistensial, penentuan

pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung pada individu. Refleksi

individual menjadi “guru” bagi individu dalam rangka menemukan kebenaran.

Menurut Endraswara (2008), dalam penelitian budaya, perkembangan

pendekatan fenomenologi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat

fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pendefinisian konsep kebudayaan.

Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998: 12-13) menyatakan

bahwa:

objek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual),


melainkan mencakup fenomena yang terdiri dari persepsi,
pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek, yang menuntut
pendekatan holistik, mendudukkan objek penelitian dalam suatu
konstruksi ganda, serta melihat objeknya dalam suatu konteks
natural dan bukan parsial.

Karena itu, fenomenologi menggunakan tata pikir logis daripada sekedar linier

kausal. Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah membangun ilmu ideografik

budaya itu sendiri. Oleh karenanya, menurut Endraswara (2006):

8
Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat
kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik
logis, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden.
Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi
menghendaki kesatuan antara subjek peneliti dengan pendukung
objek penelitian.
Dalam hal ini, keterlibatan subjek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena

yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Seperti yang dikatakan Mogang bakso

memiliki interpretasi yang benar-benar berbeda dari penjelasan teoritis mengenai

harga pokok produksi?. Ataukah ada nilai lain yang dianut oleh pedagang bakso

dalam memahami dan menetapkan harga? Untuk memahami semua pertanyaan di

atas, penting bagi saya untuk memahami mind-set yang dimiliki pedagang bakso.

Mind-set dalam hal ini adalah bagaimana pola pikir dan perilaku yang dimiliki oleh

tukang bakso.

Agar tercipta pemahaman yang mendalam terhadap pola pikir pedagang, saya

memutuskan untuk melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Keputusan

ini saya ambil setelah memahami makna dari metodologi penelitian kualitatif

itu sendiri. Menurut Bogdan dan Taylor (1993:5), metodologi kualitatif merupakan

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang, dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka,

pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh).

Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam

variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai suatu keutuhan.

METODOLOGI : MEMAHAMI PEDAGANG BAKSO LEWAT

FENOMENOLOGI

9
Studi ini mengoperasikan metode fenomenologi untuk memahami budaya lewat

pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu

bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki

hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: (a) kenyataan ada

dalam diri manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, selalu bersifat

majemuk atau ganda, dan tersusun secara kompleks, sehingga hanya bisa diteliti

secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subjek

inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih mengarah pada

kasus-kasus, bukannya menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan

sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat

nilai, bukan values free.

Menurut Edie (1962: 19), fenomenologi berusaha menunjukkan struktur implisit

dan makna dari pengalaman manusia, yang merupakan pencarian "esensi" yang

tidak dapat ditemukan dengan pengamatan biasa. Fenomenologi adalah ilmu dari

struktur esensial kesadaran atau pengalaman yang tidak menekankan pada

pengalaman ataupun pada objek dari pengalaman, melainkan pada titik kontak di

mana "being and consciousness” bertemu. Inti fenomenologi adalah untuk

mendapatkan visi yang murni tentang “essentially is”.

Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas

ditekankan. Sedangkan, bagi fenomenologi eksistensial, penentuan pengertian dari

gejala budaya semata-mata tergantung pada individu. Refleksi individual menjadi

“guru” bagi individu dalam rangka menemukan kebenaran.

10
Menurut Endraswara (2008), dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan

fenomenologi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi

oleh perkembangan dalam pendefinisian konsep kebudayaan. Dalam hal ini,

fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998: 12-13) menyatakan bahwa:

objek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup

fenomena yang terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek,

yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan objek penelitian dalam suatu

konstruksi ganda, serta melihat objeknya dalam suatu konteks natural dan bukan

parsial.

Karena itu, fenomenologi menggunakan tata pikir logis daripada sekedar linier

kausal. Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah membangun ilmu ideografik

budaya itu sendiri. Oleh karenanya, menurut Endraswara (2006):

Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu

kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logis, kebenaran empirik etik, dan

kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini,

fenomenologi menghendaki kesatuan antara subjek peneliti dengan pendukung

objek penelitian.

Dalam hal ini, keterlibatan subjek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena

yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Seperti yang dikatakan Moarga di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa harga adalah sejumlah uang yang harus dikeluarkan

oleh konsumen untuk mendapatkan produk atau jasa yang dibelinya guna

memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Oleh sebab itu, penetapan harga

11
merupakan salah satu keputusan penting bagi pelaku usaha. Swastha (1997: 147)

mengemukakan bahwa harga suatu barang atau jasa merupakan penentu bagi

permintaan pasarnya. Sehubungan dengan hal ini, menurut Ciptono (2000: 151):

Dari sudut konsumen, harga seringkali digunakan sebagai


indikator nilai bilamana harga tersebut dihubungkan dengan
manfaat yang dirasakan atas suatu barang atau jasa. Nilai sebagai
rasio antara manfaat yang dirasakan terhadap harga. Untuk produk
yang berguna bagi pelanggan dan mengantisipasi daya beli
pelanggan, maka perusahaan membuat kemasan, ukuran dan jenis-
jenis produk beraneka ragam.
Terdapat beberapa tujuan penetapan harga berdasarkan pandangan Payne

(2000: 173) yaitu pertama, tujuan untuk kelangsungan hidup. Dalam kondisi pasar

yang merugikan, tujuan penetapan harga mungkin mencakup tingkat profitabilitas

yang diinginkan untuk memastikan kelangsungan hidup. Kedua, memaksimalkan

keuntungan, penetapan harga untuk memastikan maksimalisasi profitabilitas dalam

periode tertentu. Periode yang ditentukan, kemudian, dihubungkan dengan daur

hidup jasa. Ketiga, maksimalisasi penjualan, tujuan penetapan harga untuk

membangun pangsa pasar. Hal ini mungkin melibatkan penjualan dengan merugi

pada awalnya dalam upaya merebut pangsa pasar yang tinggi. Selanjutnya, tujuan

penetapan harga yang terakhir adalah untuk menjaga kebanggaan produk (prestige).

Artinya, sebuah perusahaan jasa mungkin berharap untuk menggunakan penerapan

harga guna menempatkan diri secara eksklusif.

Sejalan dengan pandangan Payne, Boone dan Kurtz (2002: 70) juga

mengatakan ada empat kategori dasar atau sasaran penetapan harga, yaitu: 1)

profitabilitas, 2) volume, 3) tingkat kompetisi, dan 4) prestige. Boone dan Kurtz

12
beranggapan bahwa sebagian besar perusahaan mengejar sejumlah sasaran

profitabilitas dalam strategi penetapan harganya. Ia menambahkan bahwa:

Para pemasar mengerti bahwa laba diperoleh dari selisih


pendapatan dan beban. Pendapatan juga merupakan harga jual
dikalikan dengan jumlah yang terjual. Berbagai teori ekonomi
mendasari prinsip maksimalisasi keuntungan (profit
maximization). Akan tetapi, pada kenyatannya prinsip ini masih
sulit diterapkan.
Oleh karena itu, banyak perusahaan beralih pada sasaran profitabilitas yang lebih

sederhana, yaitu Target Return Goal, di mana perusahaan menetapkan harga

dengan tingkat profitabilitas yang diinginkan sebagai pengembalian finansial atas

penjualan ataupun investasi.

HARGA JUAL BAKSO: BUKAN REFLEKSI HARGA PRODUKSI

Bagian ini akan membahas berbagai pendekatan untuk menghitung harga

pokok produksi. Di sini juga, saya akan melihat pendekatan penentuan harga pokok

produksi yang paling sesuai dengan produksi bakso. Saya ingin memulai

pembahasan dari uraian Johnson dan Kaplan (1987) yang berpendapat bahwa

informasi akuntansi manajemen tidak lebih penting dibandingkan dengan informasi

akuntansi keuangan. Hal ini disebabkan karena dunia nyata akuntansi mensyaratkan

pentingnya membuat akun-akun keuangan untuk memenuhi perundang-undangan

dan standar akuntansi yang ada. Namun, belakangan beberapa peneliti memandang

pentingnya informasi yang dihasilkan oleh akuntansi manajemen dalam

pengambilan keputusan, di mana di dalamnya terdapat informasi mengenai harga

pokok produksi. Bailey (1991), Drury dkk. (1993), dan Drury dan Tayles (2000)

menemukan informasi biaya produksi sama pentingnya dengan informasi akuntansi

13
keuangan. Oleh karenanya, Hopper dkk. (1992), dan Scapens dkk. (1996)

menyarankan bahwa, meski akuntansi keuangan dan sistem manajemen akuntansi

sama pentingnya, akan tetapi keberadaan database harus menciptakan beberapa

fleksibilitas dalam desain informasi yang memungkinkan sistem dapat diekstraksi

untuk tujuan akuntansi manajemen, khususnya informasi mengenai biaya produksi.

Oleh karena itu, berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam studi ini, saya

sependapat dengan Gietzmann (1991), Kellett dan Sweeting (1991). Mereka

berpandangan bahwa dalam beberapa kasus perusahaan terkadang mengabaikan

aspek biaya produksi dalam penetapan harga. Demikian halnya yang terjadi pada

hampir semua pedagang bakso. Mereka tidak menggunakan informasi biaya

produksi dalam pengambilan keputusan. Pernyataan ini didukung oleh umumnya

informan yang mengabaikan perhitungan aspek biaya produksi secara ekstensif

dalam proses pengambilan keputusan harga jual. Salah satunya adalah Bu Ami, Ia

mengatakan:

“Saya tidak memasukkan harga bensin ketika berbelanja bahan


pembuatan bakso ke pasar, soalnya kan saya memang sehari-
harinya ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah. Kalau gas, saya
bayar nanti saja mbak.”

Sementara itu, Pak Nasruddin juga memberikan pendapat yang serupa, dia

mengatakan:

“Saya tidak memasukkan minyak goreng dan gas, jadi nanti kalau
habis baru saya beli .... Kalau biaya bensin ke pasar tidak saya
masukkan juga, soalnya sekalian ke pasar untuk belanja mbak.”

Penjelasan informan di atas menunjukkan bahwa informasi biaya produk tidak

memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan.

14
Selain itu, mereka juga memiliki pandangan yang berbeda dalam mengakui

biaya tenaga kerja langsungnya. Mbah Soekarni, yang membuka usaha penjualan

baksonya di depan rumah, mengatakan, “yang kerja ini semuanya keluarga, jadi

nanti untungnya dibagi-bagi untuk keperluan sehari-hari”. Pernyataan ini berbeda

dengan Mas Aji yang sehari-hari berjualan dengan gerobaknya. Ketika ditanya

mengenai biaya tenaga kerja, beliau menjawab, “tidak, tidak ada biaya tenaga kerja,

mbak, soalnya saya sendiri yang berjualan”. Kemudian Mas Aji melanjutkan

komentarnya, “yah, namanya juga kerja mbak, ya keliling-keliling itu ya termasuk

kerja dan usaha saya buat menghidupi keluarga”.Saya juga mendapatkan

pernyataan serupa dari Pak Nasruddin, dia mengatakan, “saya tidak pakai biaya

tenaga kerja. Soalnya semuanya kan usaha saya sendiri, mbak.”

Pernyataan yang diberikan oleh Mbah Soekarni, Mas Aji, dan Pak Nasruddin

menunjukkan bahwa mereka malah sama sekali tidak memasukkan upah (biaya

tenaga kerja) dalam perhitungan harga pokok. Lantas bagaimana pedagang bakso

memperlakukan biaya tenaga kerja? Menurut Thaib (2002), budaya pedagang kaki

lima adalah mereka memperhitungkan upah tenaga kerja setelah penjualan berakhir

dalam satu periode. Argumen Thaib ini didukung oleh Mbah Soekarni (informan

studi ini). Ia mengatakan bahwa dirinya baru akan membagikan upah (keuntungan

dari penjualan) pada akhir hari.

Perilaku Mbah Soekarni menggambarkan salah satu bentuk pengejawantahan

budaya Jawa, yaitu mangan ora mangan sing penting ngumpul (makan tidak makan

yang penting kumpul). Istilah ini menunjukkan pengutamaan terhadap

kebersamaan dalam kekeluargaan, bentuk budaya manifestasi ini dikemukakan

15
oleh informan Pak Man, ketika saya menanyakan berapa yang diambil dari

keuntungan:

Tidak, Nduk. itu masih dipake buat sewa, terus gaji, terus saya itu punya
anak sama cucu yang saya tanggung juga, habis itu istri saya, terus ada
mertua saya yang tinggal sama saya, juga saya biayai. …….

Ceritera di atas juga dapat ditilik dari sudut falsafah lain yakni Sepi ing pamrih

rame ing gawe (Mulder, 2001). Sepi ing pamrih rame ing gawe merupakan falsafah

dan prinsip hidup yang tidak mementingkan diri sendiri, sesuai dengan arti dari

perkataan itu. Lebih jauh, Mulder (2001) mengungkapkan bahwa sepi ing pamrih

(tidak mementingkan diri sendiri) tidak dikendalikan oleh hasrat demi keuntungan

pribadi, yang mengandung sebuah kunci untuk memasuki kebijaksanaan kejawen.

Hal ini dicontohkan oleh Pak Soleh, salah seorang tukang bakso informan saya:

Saya prinsipnya itu sederhana saja, yang penting usaha saya itu
halal mbak, tidak pake yang aneh-aneh itu, terus yang penting bisa
buat mencukupi keluarga, terus buat sekolah anak-anak mbak.

Prinsip inilah yang dipegang oleh Mas Aji dan Pak Nasruddin (informan dalam

studi ini). Mereka tidak membebankan biaya tenaga kerja berdasarkan berapa usaha

yang mereka keluarkan, karena menurut keyakinan informan, usaha mereka adalah

bentuk sepi ing pamrih mereka terhadap keluarga mereka.

Pasrah Terhadap Harga Jual dan Kepasrahan Terhadap Laba

Sepanjang analisis data di atas, telah diutarakan mengenai faktor-faktor yang

memengaruhi harga pokok produksi. Kini, saya mencoba untuk menghubungkan

antara harga pokok produksi tersebut dengan harga jual yang dimiliki oleh bakso.

Pak Soleh, pedagang bakso gerobak, saat saya menanyakan mengenai tindakan

yang diambil ketika harga bahan baku meningkat, menjawab “yah tidak mbak. Saya

16
tidak dapat menaikkan harga bakso, kalau saya naikkan nanti tidak laku”.

Sementara, Bu Ami berpendapat,

Saya tidak berani menaikkan harga mbak, soalnya kalau harga


naik takutnya bakso saya tidak laku, jadi ya untungnya saja yang
dikurangi mbak. Tidak apa-apa kok, yah mau gimana lagi.

Pak Toha, di lain pihak, memiliki solusi yang cukup menarik, beliau menyatakan,

Saya tidak berani naikkan harga bakso mbak..Biasanya harga yang


saya rubah itu harga gorengannya, biasanya saya naikkan harga
gorengannya.

Pak Nasruddin juga memberi pendapat tersendiri mengenai solusinya, apabila harga

bahan baku naik. Dia mengatakan, “Biasanya nanti saya jual gorengan sama

siomay-nya yang banyak mbak, jadi baksonya dikurangi, soalnya kalau harga

dagingnya naik, saya tidak sanggup beli juga, terus kalau harga bakso naik malah

tidak laku mbak”.

Berdasarkan penjelasan yang diberikan informan, saya menemukan bahwa

mereka cenderung berusaha untuk mempertahankan keuntungan yang mereka

miliki, namun tidak ada keinginan untuk merubah harga jual bakso. Kekhawatiran

untuk menaikkan harga ini didorong oleh besarnya kompetisi bakso di Kota

Malang. Dengan banyaknya penjualan bakso, mereka khawatir jika harga bakso

dinaikkan, maka pembeli akan “lari” ke pedagang bakso yang lain. Kondisi pasar

seperti ini adalah gambaran pasar persaingan sempurna, di mana terdapat jumlah

produsen dan konsumen yang banyak.

Perilaku pasrah ini terbentuk dari budaya Jawa nerimo ing pandum, yaitu

sikap pasrah atas segala keputusan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa percaya

17
bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang atau dirubah

begitu saja. Bagi mereka, semua yang terjadi dalam kehidupan ini, sesuai dengan

kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga mustahil untuk mengelak apalagi melawan

takdir tersebut.

Bu Ami sempat mengatakan pada saya, “sebenarnya lho mbak, jualan bakso

itu mudah, soalnya modalnya tidak terlalu banyak, tapi bisa dapat untung lumayan”.

Dengan pernyataan ini, kita dapat mengetahui bahwa memasuki pasar penjualan

bakso bukanlah hal yang sulit. Hanya dengan modal kecil, kita tidak akan rugi jika

kemudian memutuskan untuk keluar dari pasar tersebut.

Karena kondisi pasar sempurna, maka penjual tidak dapat menentukan harga

jual bakso seenaknya apabila tidak ingin mengalami kerugian. Pada akhirnya,

pedagang bakso cenderung mengikuti alur pasar dan memangkas besaran laba yang

diperoleh.

Gambaran di atas, sejalan dengan apa yang diungkapkan Magnis dan Suseno

(1991) bahwa salah satu prinsip orang Jawa yang paling menonjol adalah perilaku

yang selalu menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat.

Lebih lanjut, demi menjaga keselarasan dan keharmonisan sosial, berarti

keadaan ideal dalam masyarakat tetap dipertahankan. Orang Jawa menerapkan

perilaku rukun, yang mempunyai arti ”berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan

tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk

saling membantu”. Dengan demikian, rukun menjadi sumber moril yang berfungsi

sebagai pengontrol nilai dan norma masyarakat.

18
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemahaman masyarakat Jawa

dalam menjaga keharmonisan dan kerukunan bermasyarakat ini tercermin melalui

perilaku pasrah mereka terhadap laba. Oleh sebab itu, informan tidak “berani”

untuk menaikkan harga jual mereka sendiri, melainkan menunggu pedagang bakso

lain untuk menaikkan harga. Hal ini guna menjaga keharmonisan harga jual bakso.

Selain itu, keseragaman ini meningkatkan kerukunan antara penjual bakso, karena

mereka tidak perlu saling berlomba dalam menentukan harga jual mereka.

SIMPULAN

Sebagian besar orang Jawa, pedagang bakso selalu berusaha menepati norma-

norma budaya yang telah disepakati oleh masyarakat Jawa untuk mencapai

kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan ketentraman, kedamaian dan

ketenangan. Norma-norma ini melahirkan berbagai falsafah dan prinsip hidup,

misalnya sepi ing pamrih rame ing gawe, yang merupakan falsafah dan prinsip

hidup yang tidak mementingkan diri sendiri. Oleh sebab itu, masyarakat Jawa

menganggap menafkahi keluarga adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan

sebagai kepala keluarga. Karenanya, upah yang secara teori seharusnya dibebankan

dalam usaha, malahan dianggap sebagai suatu kewajiban.

Menurut saya, perilaku pedagang bakso ini merupakan cerminan dari etos

kerja orang Jawa. Terdapat beberapa pepatah Jawa yang menjelaskan perilaku

tersebut, salah satunya adalah mangan ora mangan sing penting ngumpul. Dalam

ungkapan tersebut, terkandung makna sebuah silaturahmi, yang berarti memelihara

hubungan persaudaraan, baik persaudaraan sedarah maupun seiman. Pepatah ini

19
membentuk perilaku pedagang bakso yang cenderung memprioritaskan kerabat

dekat, sebelum orang lain. Oleh sebab itu, beban tenaga kerja langsung mereka

lebih ditekankan pada besarnya hubungan loyalitas dan kekerabatan.

Perilaku lain yang mencerminkan budaya Jawa pada pedagang bakso adalah

kepasrahan atas laba yang diperoleh. Dari beberapa wawancara yang saya lakukan,

informan tampak pasrah pada besar kecilnya laba yang mereka terima. Konsep ini

terbentuk dari budaya Jawa nerimo ing pandum, yaitu sikap pasrah atas segala

keputusan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan ini

ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang atau dirubah begitu saja.

Bagi mereka, semua yang terjadi dalam kehidupan ini, sesuai dengan

kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga mustahil untuk mengelak apalagi melawan

takdir tersebut. Inilah yang dinamakan takdir kehidupan. Oleh sebab itu, mereka

percaya bahwa Tuhan telah mengatur segalanya dan mereka tinggal menjalani saja.

Demi mendapatkan rezeki untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari,

pedagang bakso akan selalu berusaha keras dalam berjualan. Mereka percaya

bahwa jika mereka benar-benar bekerja keras, maka rezeki itu akan datang dengan

sendiri. Artinya, mereka tidak perlu pusing dengan besar keuntungan yang

diperoleh di akhir hari, semua itu sudah diatur Yang Maha Kuasa. Bagi pedagang

bakso yang terpenting adalah mereka telah berusaha dengan melakukan pekerjaan

yang halal dan diridhoi oleh-Nya.

Menurut saya, prinsip pasrah pedagang bakso merupakan suatu perilaku yang

menarik. Terdapat banyak nilai positif yang dapat dipetik dari perilaku yang mereka

miliki. Bagi orang Jawa, Tuhan telah mengatur jatah kehidupan setiap makhluk

20
hidup, termasuk manusia. Seperti aliran air di sungai, jika dibiarkan mengalir

seperti biasa, maka kondisinya akan aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya

dipaksa untuk besar, maka aliran sungai menjadi tidak aman dan keruh. Orang Jawa

memahami hal tersebut, sehingga menerapkan pepatah hidup jangan ngoyo. Ngoyo

artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika memaksakan diri untuk

melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar akan mengalami sesuatu yang kurang

baik, misalnya terserang sakit. Rasa sakit terjadi karena adanya pemaksaan terhadap

kemampuan yang sesungguhnya dimiliki. Diibaratkan kehidupan sebagai sebuah

kendaraan, maka mereka adalah penumpang, sehingga kendaraan atau

kehidupanlah yang akan menyetir menuju takdir mereka. Mereka bukanlah yang

membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan.

Keterbatasan Penelitian

Studi ini tidak melakukan penelitian yang mendalam mengenai nilai harga

pokok produksi sesungguhnya yang dikeluarkan oleh pedagang bakso pada

masing-masing produk. Seharusnya, studi ini memandang perlu diadakan

penelusuran lebih lanjut terhadap setiap harga dari produk-produk yang ditawarkan

melalui metode penelitian berperan serta. Dalam penelitian berperan serta, peneliti

ikut terjun dalam proses penentuan harga pokok produksi tersebut, misalnya pada

saat membeli bahan baku di pasar, dan dalam mengalokasikan beban overhead.

Penelitian Lanjutan

21
Berdasarkan pembahasan dan keterbatasan studi ini, saya memandang perlu

penelitian lebih lanjut dalam bidang akuntansi manajemen untuk pedangan kecil

seperti pedagang bakso yang berbasis kearifan lokal sehingga dapat menciptakan

teori akuntansi manajemen yang membumi dan mudah untuk diaplikasikan oleh

pemakainya.

22

Anda mungkin juga menyukai