Oleh:
Shavira Zalshabila
Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA.
ABSTRACT
This study aims to analyze the aspects that underlie the determination of
meatball’s the cost of production, which is reflected in the determination of the
selling price of a product. The study using phenomenology method, which
investigated the process of determining the cost of production, with the selling price
in the eyes of meatball traders. The study found a Javanese price setting, in which
the determination of the selling price of the meatballs are not a reflection of the cost
of production, but rather a reflection of Javanese culture held by meatball traders.
Among them are tepo seliro, mangan ora mangan sing penting ngumpul, and
nerimo ing pandum.
PENDAHULUAN
Fenomena pedagang bakso dengan harga jual dan harga pokok produksinya
adalah sebuah realitas sosial yang tidak dapat dimengerti tanpa menyelami
fenomena itu sendiri. Dalam hal ini, memadukan ekspresi peneliti sedemikian rupa
1
dalam praktek akuntansi, telah mendapat perhatian yang serius dari banyak peneliti
(sebagai contoh, Ahrens dan Dent, 1998; Baxter dan Chua, 1998; Covaleski dan
keadaan tertentu, akan tetapi lebih dari itu, penelitian kualitatif juga ingin
Studi ini mengupas tentang proses penetapan harga pokok produksi pada
suatu produk, serta bagaimana kaitannya dengan harga jual yang dimiliki oleh
produk tersebut menurut akuntansi biaya. Pertanyaan studi ini adalah: “Bagaimana
persepsi pedagang bakso terhadap harga pokok produksi? Kemudian, apakah harga
harga pokok produksi, dan bagaimana karakteristik aspek tersebut. Lebih lanjut,
tujuan lain studi ini adalah menggali lebih jauh apakah harga pokok produksi
terefleksi dalam penetapan harga jual suatu produk. Dengan demikian, studi ini
ingin mengetahui apakah harga pokok produksi eksis dalam proses penetapan harga
jual yang dilakukan oleh pedagang bakso, serta nilai-nilai yang terkandung dalam
Pandangan tentang harga jual dikemukakan oleh Hansen dan Mowen (2001:
633). Mereka beragumentasi bahwa harga jual adalah jumlah moneter yang
dibebankan oleh suatu unit usaha kepada pembeli atau pelanggan atas barang atau
2
jasa yang dijual atau diserahkan. Lebih lanjut, Mulyadi (2001: 78) mengemukakan
bahwa pada prinsipnya harga jual harus dapat menutupi biaya penuh ditambah
dengan laba yang wajar. Jadi, pada dasarnya harga jual sama dengan biaya produksi
ditambah mark-up.
jual sangat terkait dengan harga pokok produksi. Kerugian akan timbul jika harga
jual ditetapkan di bawah harga pokok produksi. Oleh karena itu, dalam penetapan
harga jual, tingkat harga minimal hendaknya dapat menutup semua biaya yang telah
berlaku mengenai hubungan antara harga pokok produksi dengan harga jual pada
akuntansi biaya, dengan fenomena yang terjadi pada pedagang bakso. Pada cerita
berikut ini, pedagang bakso menggunakan harga jual yang konstan walaupun biaya
produksinya meningkat. Selain itu, ada pula keseragaman harga bakso baik bagi
menggunakan motor. Hal ini menunjukkan fakta bahwa ada pengabaian terhadap
bakso dengan gerobak, atau dengan menggunakan motor. Terakhir adalah pedagang
bakso kecil, yaitu pedagang yang membuat, serta menjual baksonya sendiri.
3
Penelitian ini dilakukan di Kota Malang, Jawa Timur. Hal ini dimungkinkan
karena komunitas pedagang bakso terbilang sangat banyak di kota ini, dan sekali
lagi sangat erat keterkaitan antara pedagang bakso yang ada dengan mahasiswa.
Alasan lain saya memilih Kota Malang sebagai situs sosial karena fenomena
unik yang terjadi ini tidak hanya mempengaruhi beberapa pedagang bakso, namun
hampir semua pedagang bakso di kota ini, tidak peduli dengan keragaman variasi
Kota Malang adalah sebuah kota pelajar di Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Kota ini berada di dataran tinggi yang cukup sejuk, terletak 90 km sebelah selatan
Kota Surabaya. Karena suhu lingkungannya yang cenderung dingin, Malang juga
Situasi kota yang dingin dan tenang, penduduk ramah, harga makanan relatif
murah, serta fasilitas pendidikan memadai, membuat Kota Malang sebagai tempat
yang sangat cocok untuk pelajar dan mahasiswa. Selain itu, banyaknya universitas
negeri maupun swasta yang cukup terkenal, membuat Kota Malang sebagai tawaran
menggiurkan bagi orang luar pulau yang ingin mencari pendidikan dengan suasana
lebih baik.
membuat Malang sebagai sasaran bagi usaha makanan yang relatif murah, meriah
dan terjangkau bagi kocek mahasiswa. Salah satu makanan khas Malang yang
menjadi andalan makanan sehari-hari mahasiswa saat uang dalam keadaan krisis
adalah bakso. Tidak peduli bagaimanapun keadaan ekonomi, di mana pun tempat
4
baksonya ditawarkan di seluruh Malang, dapat dipastikan harganya akan selalu
terjangkau dan mengenyangkan perut. Tidak heran jika akhirnya pedagang bakso
dan mahasiswa menjalin suatu hubungan tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-
Salah satu faktor mengapa mahasiswa begitu tergantung pada bakso sebagai
makanan pokok, karena harga yang ekonomis, variasi makanan pada penjualannya,
dan penyajian yang selalu hangat sehingga menambah nafsu makan, membuat
mahasiswa tidak merasa bosan. Terlebih lagi, dengan naiknya harga seperti bahan
bakar bensin dan gas, minyak tanah, serta bahan makanan, membuat makanan lain
menjadi lebih mahal, dan hanya bakso, makanan yang enak, sederhana, tetap fresh,
yang terjangkau bagi kalangan pelajar. Selain itu, memasak bukan lagi menjadi
pilihan bagi mahasiswa yang tinggal di kos-kosan atau di rumah sendirian, karena
memasak merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu khusus. Oleh karena itu,
kelompok, yakni pedagang yang menetap dengan menyewa rumah toko (ruko),
pedagang yang membuka tenda di pinggir jalan, pedangan yang berkeliling dengan
mendorong gerobak bakso, dan pedangan yang menggunakan sepeda motor (perlu
diketahui bahwa kontur tanah Kota Malang, terdiri dari perbukitan yang sedikit sulit
memiliki harga yang relatif sama. Sebagai contoh, pentol kecil Rp 1.000,00, pentol
besar Rp 2.000,00 – Rp 2.500,00, bakso granat yang sangat besar dengan berisikan
5
telur dijual dengan harga Rp 5.000,00. Sementara, untuk gorengan umumnya dijual
dengan harga Rp 500,00 – Rp 1000,00, dan mie sebagai pelengkap biasanya dijual
menunjukkan bahwa harga jual bakso tidak mengalami perubahan walaupun harga
saya pelajari di bangku kuliah, ternyata tidak terefleksikan dengan jelas sebagai
dasar penentuan harga jual. Lantas pendekatan apa yang digunakan oleh pedagang
bakso dalam menentukan harga pokok produksi bakso? Hal inilah yang kemudian
menggelitik rasa ingin tahu saya untuk menguak sesuatu di balik penentuan harga
pada pedagang bakso. Saya ingin mengetahui bagaimana interpretasi tukang bakso
sangat menarik bagi saya, “lantas bagaimana pedagang bakso menentukan harga
Ataukah ada nilai lain yang dianut oleh pedagang bakso dalam memahami dan
menetapkan harga? Untuk memahami semua pertanyaan di atas, penting bagi saya
untuk memahami mind-set yang dimiliki pedagang bakso. Mind-set dalam hal ini
adalah bagaimana pola pikir dan perilaku yang dimiliki oleh tukang bakso.
Agar tercipta pemahaman yang mendalam terhadap pola pikir pedagang, saya
6
ini saya ambil setelah memahami makna dari metodologi penelitian kualitatif itu
atau lisan dari orang-orang, dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka,
pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh).
Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam
ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound,
kenyataan ada dalam diri manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, selalu
bersifat majemuk atau ganda, dan tersusun secara kompleks, sehingga hanya bisa
diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan
subjek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih mengarah
membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e)
implisit dan makna dari pengalaman manusia, yang merupakan pencarian "esensi"
7
yang tidak dapat ditemukan dengan pengamatan biasa. Fenomenologi adalah ilmu
dari struktur esensial kesadaran atau pengalaman yang tidak menekankan pada
pengalaman ataupun pada objek dari pengalaman, melainkan pada titik kontak di
Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998: 12-13) menyatakan
bahwa:
Karena itu, fenomenologi menggunakan tata pikir logis daripada sekedar linier
8
Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat
kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik
logis, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden.
Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi
menghendaki kesatuan antara subjek peneliti dengan pendukung
objek penelitian.
Dalam hal ini, keterlibatan subjek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena
yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Seperti yang dikatakan Mogang bakso
harga pokok produksi?. Ataukah ada nilai lain yang dianut oleh pedagang bakso
atas, penting bagi saya untuk memahami mind-set yang dimiliki pedagang bakso.
Mind-set dalam hal ini adalah bagaimana pola pikir dan perilaku yang dimiliki oleh
tukang bakso.
Agar tercipta pemahaman yang mendalam terhadap pola pikir pedagang, saya
ini saya ambil setelah memahami makna dari metodologi penelitian kualitatif
itu sendiri. Menurut Bogdan dan Taylor (1993:5), metodologi kualitatif merupakan
atau lisan dari orang-orang, dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka,
pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh).
Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam
FENOMENOLOGI
9
Studi ini mengoperasikan metode fenomenologi untuk memahami budaya lewat
bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki
hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: (a) kenyataan ada
dalam diri manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, selalu bersifat
majemuk atau ganda, dan tersusun secara kompleks, sehingga hanya bisa diteliti
secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subjek
inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih mengarah pada
sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat
dan makna dari pengalaman manusia, yang merupakan pencarian "esensi" yang
tidak dapat ditemukan dengan pengamatan biasa. Fenomenologi adalah ilmu dari
pengalaman ataupun pada objek dari pengalaman, melainkan pada titik kontak di
10
Menurut Endraswara (2008), dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan
objek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup
fenomena yang terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subjek,
konstruksi ganda, serta melihat objeknya dalam suatu konteks natural dan bukan
parsial.
Karena itu, fenomenologi menggunakan tata pikir logis daripada sekedar linier
kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logis, kebenaran empirik etik, dan
objek penelitian.
Dalam hal ini, keterlibatan subjek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena
yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Seperti yang dikatakan Moarga di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa harga adalah sejumlah uang yang harus dikeluarkan
oleh konsumen untuk mendapatkan produk atau jasa yang dibelinya guna
11
merupakan salah satu keputusan penting bagi pelaku usaha. Swastha (1997: 147)
mengemukakan bahwa harga suatu barang atau jasa merupakan penentu bagi
permintaan pasarnya. Sehubungan dengan hal ini, menurut Ciptono (2000: 151):
(2000: 173) yaitu pertama, tujuan untuk kelangsungan hidup. Dalam kondisi pasar
membangun pangsa pasar. Hal ini mungkin melibatkan penjualan dengan merugi
pada awalnya dalam upaya merebut pangsa pasar yang tinggi. Selanjutnya, tujuan
penetapan harga yang terakhir adalah untuk menjaga kebanggaan produk (prestige).
Sejalan dengan pandangan Payne, Boone dan Kurtz (2002: 70) juga
mengatakan ada empat kategori dasar atau sasaran penetapan harga, yaitu: 1)
12
beranggapan bahwa sebagian besar perusahaan mengejar sejumlah sasaran
pokok produksi. Di sini juga, saya akan melihat pendekatan penentuan harga pokok
produksi yang paling sesuai dengan produksi bakso. Saya ingin memulai
pembahasan dari uraian Johnson dan Kaplan (1987) yang berpendapat bahwa
akuntansi keuangan. Hal ini disebabkan karena dunia nyata akuntansi mensyaratkan
dan standar akuntansi yang ada. Namun, belakangan beberapa peneliti memandang
pokok produksi. Bailey (1991), Drury dkk. (1993), dan Drury dan Tayles (2000)
13
keuangan. Oleh karenanya, Hopper dkk. (1992), dan Scapens dkk. (1996)
Oleh karena itu, berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam studi ini, saya
aspek biaya produksi dalam penetapan harga. Demikian halnya yang terjadi pada
dalam proses pengambilan keputusan harga jual. Salah satunya adalah Bu Ami, Ia
mengatakan:
Sementara itu, Pak Nasruddin juga memberikan pendapat yang serupa, dia
mengatakan:
“Saya tidak memasukkan minyak goreng dan gas, jadi nanti kalau
habis baru saya beli .... Kalau biaya bensin ke pasar tidak saya
masukkan juga, soalnya sekalian ke pasar untuk belanja mbak.”
14
Selain itu, mereka juga memiliki pandangan yang berbeda dalam mengakui
biaya tenaga kerja langsungnya. Mbah Soekarni, yang membuka usaha penjualan
baksonya di depan rumah, mengatakan, “yang kerja ini semuanya keluarga, jadi
dengan Mas Aji yang sehari-hari berjualan dengan gerobaknya. Ketika ditanya
mengenai biaya tenaga kerja, beliau menjawab, “tidak, tidak ada biaya tenaga kerja,
mbak, soalnya saya sendiri yang berjualan”. Kemudian Mas Aji melanjutkan
pernyataan serupa dari Pak Nasruddin, dia mengatakan, “saya tidak pakai biaya
Pernyataan yang diberikan oleh Mbah Soekarni, Mas Aji, dan Pak Nasruddin
menunjukkan bahwa mereka malah sama sekali tidak memasukkan upah (biaya
tenaga kerja) dalam perhitungan harga pokok. Lantas bagaimana pedagang bakso
memperlakukan biaya tenaga kerja? Menurut Thaib (2002), budaya pedagang kaki
lima adalah mereka memperhitungkan upah tenaga kerja setelah penjualan berakhir
dalam satu periode. Argumen Thaib ini didukung oleh Mbah Soekarni (informan
studi ini). Ia mengatakan bahwa dirinya baru akan membagikan upah (keuntungan
budaya Jawa, yaitu mangan ora mangan sing penting ngumpul (makan tidak makan
15
oleh informan Pak Man, ketika saya menanyakan berapa yang diambil dari
keuntungan:
Tidak, Nduk. itu masih dipake buat sewa, terus gaji, terus saya itu punya
anak sama cucu yang saya tanggung juga, habis itu istri saya, terus ada
mertua saya yang tinggal sama saya, juga saya biayai. …….
Ceritera di atas juga dapat ditilik dari sudut falsafah lain yakni Sepi ing pamrih
rame ing gawe (Mulder, 2001). Sepi ing pamrih rame ing gawe merupakan falsafah
dan prinsip hidup yang tidak mementingkan diri sendiri, sesuai dengan arti dari
perkataan itu. Lebih jauh, Mulder (2001) mengungkapkan bahwa sepi ing pamrih
(tidak mementingkan diri sendiri) tidak dikendalikan oleh hasrat demi keuntungan
Hal ini dicontohkan oleh Pak Soleh, salah seorang tukang bakso informan saya:
Saya prinsipnya itu sederhana saja, yang penting usaha saya itu
halal mbak, tidak pake yang aneh-aneh itu, terus yang penting bisa
buat mencukupi keluarga, terus buat sekolah anak-anak mbak.
Prinsip inilah yang dipegang oleh Mas Aji dan Pak Nasruddin (informan dalam
studi ini). Mereka tidak membebankan biaya tenaga kerja berdasarkan berapa usaha
yang mereka keluarkan, karena menurut keyakinan informan, usaha mereka adalah
antara harga pokok produksi tersebut dengan harga jual yang dimiliki oleh bakso.
Pak Soleh, pedagang bakso gerobak, saat saya menanyakan mengenai tindakan
yang diambil ketika harga bahan baku meningkat, menjawab “yah tidak mbak. Saya
16
tidak dapat menaikkan harga bakso, kalau saya naikkan nanti tidak laku”.
Pak Toha, di lain pihak, memiliki solusi yang cukup menarik, beliau menyatakan,
Pak Nasruddin juga memberi pendapat tersendiri mengenai solusinya, apabila harga
bahan baku naik. Dia mengatakan, “Biasanya nanti saya jual gorengan sama
siomay-nya yang banyak mbak, jadi baksonya dikurangi, soalnya kalau harga
dagingnya naik, saya tidak sanggup beli juga, terus kalau harga bakso naik malah
miliki, namun tidak ada keinginan untuk merubah harga jual bakso. Kekhawatiran
untuk menaikkan harga ini didorong oleh besarnya kompetisi bakso di Kota
Malang. Dengan banyaknya penjualan bakso, mereka khawatir jika harga bakso
dinaikkan, maka pembeli akan “lari” ke pedagang bakso yang lain. Kondisi pasar
seperti ini adalah gambaran pasar persaingan sempurna, di mana terdapat jumlah
Perilaku pasrah ini terbentuk dari budaya Jawa nerimo ing pandum, yaitu
sikap pasrah atas segala keputusan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa percaya
17
bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang atau dirubah
begitu saja. Bagi mereka, semua yang terjadi dalam kehidupan ini, sesuai dengan
kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga mustahil untuk mengelak apalagi melawan
takdir tersebut.
Bu Ami sempat mengatakan pada saya, “sebenarnya lho mbak, jualan bakso
itu mudah, soalnya modalnya tidak terlalu banyak, tapi bisa dapat untung lumayan”.
Dengan pernyataan ini, kita dapat mengetahui bahwa memasuki pasar penjualan
bakso bukanlah hal yang sulit. Hanya dengan modal kecil, kita tidak akan rugi jika
Karena kondisi pasar sempurna, maka penjual tidak dapat menentukan harga
jual bakso seenaknya apabila tidak ingin mengalami kerugian. Pada akhirnya,
pedagang bakso cenderung mengikuti alur pasar dan memangkas besaran laba yang
diperoleh.
Gambaran di atas, sejalan dengan apa yang diungkapkan Magnis dan Suseno
(1991) bahwa salah satu prinsip orang Jawa yang paling menonjol adalah perilaku
perilaku rukun, yang mempunyai arti ”berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan
saling membantu”. Dengan demikian, rukun menjadi sumber moril yang berfungsi
18
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemahaman masyarakat Jawa
perilaku pasrah mereka terhadap laba. Oleh sebab itu, informan tidak “berani”
untuk menaikkan harga jual mereka sendiri, melainkan menunggu pedagang bakso
lain untuk menaikkan harga. Hal ini guna menjaga keharmonisan harga jual bakso.
Selain itu, keseragaman ini meningkatkan kerukunan antara penjual bakso, karena
mereka tidak perlu saling berlomba dalam menentukan harga jual mereka.
SIMPULAN
Sebagian besar orang Jawa, pedagang bakso selalu berusaha menepati norma-
norma budaya yang telah disepakati oleh masyarakat Jawa untuk mencapai
misalnya sepi ing pamrih rame ing gawe, yang merupakan falsafah dan prinsip
hidup yang tidak mementingkan diri sendiri. Oleh sebab itu, masyarakat Jawa
sebagai kepala keluarga. Karenanya, upah yang secara teori seharusnya dibebankan
Menurut saya, perilaku pedagang bakso ini merupakan cerminan dari etos
kerja orang Jawa. Terdapat beberapa pepatah Jawa yang menjelaskan perilaku
tersebut, salah satunya adalah mangan ora mangan sing penting ngumpul. Dalam
19
membentuk perilaku pedagang bakso yang cenderung memprioritaskan kerabat
dekat, sebelum orang lain. Oleh sebab itu, beban tenaga kerja langsung mereka
Perilaku lain yang mencerminkan budaya Jawa pada pedagang bakso adalah
kepasrahan atas laba yang diperoleh. Dari beberapa wawancara yang saya lakukan,
informan tampak pasrah pada besar kecilnya laba yang mereka terima. Konsep ini
terbentuk dari budaya Jawa nerimo ing pandum, yaitu sikap pasrah atas segala
keputusan yang diberikan oleh Tuhan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan ini
ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang atau dirubah begitu saja.
Bagi mereka, semua yang terjadi dalam kehidupan ini, sesuai dengan
kehendak Yang Maha Kuasa, sehingga mustahil untuk mengelak apalagi melawan
takdir tersebut. Inilah yang dinamakan takdir kehidupan. Oleh sebab itu, mereka
percaya bahwa Tuhan telah mengatur segalanya dan mereka tinggal menjalani saja.
pedagang bakso akan selalu berusaha keras dalam berjualan. Mereka percaya
bahwa jika mereka benar-benar bekerja keras, maka rezeki itu akan datang dengan
sendiri. Artinya, mereka tidak perlu pusing dengan besar keuntungan yang
diperoleh di akhir hari, semua itu sudah diatur Yang Maha Kuasa. Bagi pedagang
bakso yang terpenting adalah mereka telah berusaha dengan melakukan pekerjaan
Menurut saya, prinsip pasrah pedagang bakso merupakan suatu perilaku yang
menarik. Terdapat banyak nilai positif yang dapat dipetik dari perilaku yang mereka
miliki. Bagi orang Jawa, Tuhan telah mengatur jatah kehidupan setiap makhluk
20
hidup, termasuk manusia. Seperti aliran air di sungai, jika dibiarkan mengalir
seperti biasa, maka kondisinya akan aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya
dipaksa untuk besar, maka aliran sungai menjadi tidak aman dan keruh. Orang Jawa
memahami hal tersebut, sehingga menerapkan pepatah hidup jangan ngoyo. Ngoyo
artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika memaksakan diri untuk
melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar akan mengalami sesuatu yang kurang
baik, misalnya terserang sakit. Rasa sakit terjadi karena adanya pemaksaan terhadap
kehidupanlah yang akan menyetir menuju takdir mereka. Mereka bukanlah yang
Keterbatasan Penelitian
Studi ini tidak melakukan penelitian yang mendalam mengenai nilai harga
penelusuran lebih lanjut terhadap setiap harga dari produk-produk yang ditawarkan
melalui metode penelitian berperan serta. Dalam penelitian berperan serta, peneliti
ikut terjun dalam proses penentuan harga pokok produksi tersebut, misalnya pada
saat membeli bahan baku di pasar, dan dalam mengalokasikan beban overhead.
Penelitian Lanjutan
21
Berdasarkan pembahasan dan keterbatasan studi ini, saya memandang perlu
penelitian lebih lanjut dalam bidang akuntansi manajemen untuk pedangan kecil
seperti pedagang bakso yang berbasis kearifan lokal sehingga dapat menciptakan
teori akuntansi manajemen yang membumi dan mudah untuk diaplikasikan oleh
pemakainya.
22