Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena hanya dengan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “Faringitis
Kronis”. Referat ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas sebagai proses
mengikuti kepaniteraan klinik di bagian THT Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.

Saya menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
laporan ini. Semoga Tuhan selalu memberikan petunjukNya kepada kita semua di
dalam melaksanakan tugas dan menerima segala amal ibadah kita.

Mataram,22 Agustus 2018

Penyusun

1
PENDAHULUAN

Sakit tenggorokan adalah keluhan utama paling umum ketiga dalam


pelayanan rawat jalan, terhitung sekitar 7,3 juta anak ke rumah sakit setiap tahun.
Pada populasi pediatrik, sebagian besar kasus faringitis berasal dari infeksi.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain. Grup A β-hemolytic
Streptococcus pyogenes (GAS) adalah diagnostik terpenting karena risiko komplikasi
yang berpotensi serius. Bakteri ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat
karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan demam
rematik, glomerulonefitis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi. 1,2
Sebagian besar faringitis terjadi sebagai episode akut yang umumnya berumur
pendek. Diperkirakan 1-2% dari faringitis akut berkembang menjadi penyakit
berulang atau kronis. Sebagian besar otolaryngologists mempertimbangkan tiga atau
lebih infeksi berulang per tahun untuk membentuk keadaan kronis. Umumnya
faringitis menular melalui secret hidung dan ludah. Tidak seperti faringitis akut, yang
hampir secara universal menular dalam etiologi, faringitis kronis dapat dikaitkan
dengan beberapa penyebab non-infeksi yang penting.1,2
Biaya sosial untuk faringitis kronis sangat signifikan. Biaya medis
kemungkinan melebihi $ 539 juta per tahun, dan ada dampak non-moneter yang
besar, seperti kehilangan pekerjaan, transportasi, dan pengeluaran perawatan anak.
Anak-anak dengan faringitis kronis memiliki gangguan kualitas hidup yang mirip
dengan anak-anak lain dengan penyakit yang dianggap jauh lebih melemahkan,
seperti arthritis rheumatoid remaja dan asma kronis. Pengurangan episode faringitis
melalui tonsilektomi atau terapi medis dapat membalikkan banyak kualitas disparitas
hidup yang terlihat pada pasien-pasien ini.2

2
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI FARING
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan
ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini
mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga setinggi
vertebra servikalis ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui
koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus orofaring,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui auditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esofagus.1
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.1

Gambar: Anatomi Faring

3
Otot - otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari M.Konstriktor faring
superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan
berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian otot bagian
atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot- otot ini bertemu satu sama lain dan di
belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah untuk
mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus.1
Otot-otot faring yang tersusun longitudinal terdiri dari M.Stilofaring dan
M.Palatofaring. letak otot-otot ini di sebelah dalam. M.Stilofaring gunanya untuk
melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan M.Palatofaring mempertemukan
ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini
bekerja sebagai elevator, kerja kedua otot ini penting pada waktu menelan.1
M.Stilofaring dipersarafi oleh Nervus Glossopharyngeus dan M.Palatofaring
dipersarafi oleh Nervus Vagus. Pada Palatum mole terdapat lima pasang otot yang
dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari mukosa yaitu M.Levator veli palatini,
M.Tensor veli palatine, M.Palatoglosus, M.Palatofaring dan M.Azigos uvula.1
M.Levator vela palatine membentuk sebagian besar palatum mole dan
kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius
dan otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus. M.Tensor veli palatini membentuk tenda
palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan
membuka tuba Eustachius dan otot ini dipersarafi oleh Nervus Vagus. M.
Palatoglosus membentuk arkus anterior faring dab kerjanya menyempitkan ismus
faring. M.Palatofaring membentuk arkus posterior faring. M.Azigos uvula merupakan
otot yang kecil dan kerjanya adalah memperpendek dan menaikkan uvula ke
belakang atas.1

4
Gambar: Anatomi muskulus pada faring
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna (cabang faring
asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri maksila interna yakni cabang
palatine superior.1
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring
yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari Nervus Vagus, cabang
dari Nervus Glossopharyngeus dan serabut simpatis. Cabang faring dari Nervus
Vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-
cabang untuk otot-otot faring kecuali M.Stilofaring yang dipersarafi langsung oleh
cabang Nervus Glossopharyngeus.1
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior,
media dan inferior. Saluran limfa superior mengaalir ke kelenjar getah bening

5
retrofaring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media
mengalir ke kelenjar getah bening jugulodigastrik dan kelenjar servikal dalam atas,
sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam
bawah.1
Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring,
Orofaring dan Laringofaring (Hipofaring).1
Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari
nasofaring ini antara lain :1
- batas atas : Basis Kranii
- batas bawah : Palatum mole
- batas depan : rongga hidung
- batas belakang : vertebra servikal
Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring
dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen
jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus Vags dan Nervus
Asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius. 1
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan
laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu : 1
- batas atas : palatum mole
- batas bawah : tepi atas epiglottis
- batas depan : rongga mulut
- batas belakang : vertebra servikalis
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.

6
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring. Dengan
batas-batas dari laringofaring antara lain, yaitu : 1
- batas atas : epiglotis
- batas bawah : kartilago krikodea
- batas depan : laring
- batas belakang : vertebra servikalis
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Dinding
anterior Ruang retrofaring (retropharyngeal space) adalah dinding belakang faring
yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini
berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevetebralis. Ruang ini mulai dari dasar
tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat
jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang ini
berbatasan dengan fosa faringomaksila.1
Ruang parafaring (fosa faringomaksila) merupakan ruang berbentuk kerucut
dengan dasarnya terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan
puncaknya ada kornu mayus os hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh
M.Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asendens mandibula yang
melekat dengan M.Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini
dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang
melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan
dapat mengalami proses supuratif. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post
stiloid) berisi arteri karotis interna, vena jugularis interna, Nervus vagus yang
dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheat). Bagian
ini dipisahkan dari ruang etrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.1
FARINGITIS KRONIS
Definisi
Faringitis merupakan peradangan pada dinding faring, lebih tepatnya pada
orofaring. Faringitis terbagi menjadi dua berdasarkan durasi atau frekuensi
penyakitnya, yaitu faringitis akut dan kronik. Sebagian besar otolaryngologists

7
mempertimbangkan tiga atau lebih infeksi berulang per tahun untuk keadaan
kronis.1,2,3
Etiologi
Penyebab dari faringitis kronis umumnya mirip dengan faringitis akut.
Faringitis viral dianggap sebagai etiologi faringitis akut tersering yang menyebabkan
gejala berulang. Agen yang paling sering dikaitkan meliputi adenovirus,dan rinovirus.
Virus lain yang dapat menyebabkan faringitis adalah virus herpes simplex (HSV),
influenza sp, rubeola, virus Epstein-Barr (EBV), cytomegalovirus, dan human
immunodeficiency virus tipe 1 (HIV).
Sedangkan bakteri yang menyebabkan faringitis adalah bakteri Group A β-
hemolytic Streptococcus (GABHS). Bakteri lain yang menyebabkan faringitis adalah
Neisseiria gonorrhoeae, Corynebacterium diptheriae, Arcanobacterium
haemolyticum, Chlamydia pneumonia Haemophilus influenza tipe B (Hib), dan
Streptoccal species, Mycoplasma pneumoniae dan banyak pathogen lain. C.
diptheriae, N. gonorrhoeae, dan C. pneumoniae menyebabkan infeksi akut sedangkan
pada faringitis difteria, gonokokus, dan klamidia, jarang menjadi kondisi kronis.
Faringitis kronis terkait dengan infeksi mikoplasma yang biasanya terlihat dalam
penyakit yang lebih sistemik tetapi digambarkan terjadi sebagai fenomena yang
terisolasi. Hingga seperempat dari faringitis non-streptokokus mungkin disebabkan
oleh M. Pneumoniae.1,3

Bakteria
Arcanobacterium haemolyticum
Corynebacterium diptheriae
Haemophilus influenzae
Legionella pneumophilia
Neisseria gonorrhoeae
Corynebacterium other spp. Neisseria meningitides
Streptococcus pyogenes (group A beta-

8
hemolytic)
Streptococcus spp. (groups B, C and G)
Treponema palidium
Yersinia enterolitica
Fungal/rickettsial/intracellular organisms Candida spp.
Mycoplasma pneumoniae
Coxiella burnettii
Chlamydia pneumonia

Virus Rhinovirus
Adenovirus
Coronavirus
Coxsackie A virus
Cytomegalovirus
Epstein-Barr virus
Herpes simplex virus
Human immunodeficiency virus-1
Parainfluenza Influenza A and B
Measles
Reovirus
Respiratory syncytial virus
Faringitis juga bisa disebabkan karena non infeksi, seperti merokok,
mengorok, intubasi trakea, berteriak, polusi udara, obat-obatan (ACE inhibitor, dan
obat-obatan kemoterapi), dan penyakit yang timbul secara serntak seperti penyakit
Kawasaki, penyakit tiroid, dan Gastro Esophageal Reflucs Disease.3

Epidemiologi
Survei Perawatan Kesehatan Ambulatory Nasional tahun 2000 menemukan
bahwa radang tenggorokan akut menyumbang 1,1 persen kunjungan dalam tempat
perawatan primer dan menempati peringkat teratas dalam 20 diagnosis primer yang

9
dilaporkan dari hasil kunjungan ke kantor. Musim puncak untuk sakit tenggorokan
yaitu akhir musim dingin dan awal musim semi. Transmisi faringitis viral dan
GABHS yang khas terjadi kebanyakan dengan kontak tangan, droplet dan cairan
hidung. Gejala berkembang setelah periode inkubasi singkat antara 24 hingga 72 jam.
Sebagian besar faringitis terjadi sebagai episode akut yang umumnya berumur
pendek. Diperkirakan 1-2% dari faringitis akut berkembang menjadi penyakit
berulang atau kronis. 2,4
Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi lokal.
Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel sehingga jaringan
limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema
dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi
menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding
faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan melebar.
Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu akan didapatkan di
dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak
pada dinding faring posterior atau yang terletak lebih ke lateral akan menjadi
meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal.5,6
Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan
pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari Streptococcus ß hemolyticus
group A memiliki struktur yang sama dengan sarkolema pada miokard dan
dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan katub jantung. Selain itu juga
dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu
akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.5,6
Infeksi faringitis juga dapat disebabkan oleh non infeksi, dengan sel-sel
inflamasi dan mediator diisolasi dari saluran pernapasan bagian atas. Trauma

10
mekanik dan cedera hampir pasti menjadi faktor pencetus nyeri tenggorokan pasca
operasi. Respon inflamasi telah direplikasi dalam model babi, dengan peningkatan
interleukin (IL) 6 dan leukosit polimorfonuklear yang ditemukan dalam cairan lavage
trakea. Namun, etiologi yang tepat dan lokasi nyeri tenggorokan pasca operasi masih
belum diketahui. Faktor-faktor seperti ukuran tabung trakea dan desain manset telah
terlibat selama intubasi, dan sakit tenggorokan setelah penggunaan masker laring
saluran udara tampaknya terkait dengan teknik insersi dan tekanan intracuff.
Masalahnya lebih sering terjadi pada kelompok usia yang lebih tua, dan berhubungan
dengan tingkat kesulitan intubasi, durasi operasi, dan posisi pasien selama operasi,
dengan semua faktor mungkin mencerminkan peningkatan risiko trauma.3
Mekanisme yang mendasari sakit tenggorokan pada orang dengan gangguan
gastroesophageal reflux (GERD) mungkin terkait dengan kimia, yaitu, karena isi
lambung refluks, meskipun efek tidak langsung melalui mekanisme vagal (sensorik)
juga telah terlibat.3
Dalam rinitis, iritasi faring telah dikaitkan dengan hipertrofi limfoid dan
penonjolan jaringan adenoid dan tonsil, yang dihasilkan dari peradangan alergi kronis
pada saluran napas atas, dan kinin yang dihasilkan dalam sekresi hidung telah terlibat.
Mediator yang dilepaskan setelah hidung dirangsang dengan alergen atau udara
kering dingin sangat mirip, melibatkan histamin, leukotrien, prostaglandin D2, dan
TAME-esterase. Mekanisme rinitis yang diinduksi oleh udara dingin berhubungan
dengan aktivasi sel mast nasal dan stimulasi saraf sensoris (iritasi) yang
menghasilkan refleks kolinergik yang mengarah ke rinorea.3
Mendengkur dapat menyebabkan masalah dalam hal mengidentifikasi
mekanisme karena meskipun sakit tenggorokan dapat menyebabkan mendengkur,
mendengkur juga dapat menyebabkan sakit tenggorokan. Mekanisme ini cenderung
mekanis dan mirip dengan yang terlihat dengan udara kering; sakit tenggorokan juga
berhubungan dengan pernapasan mulut, jelas karena pengeringan mukosa faring yang
disebabkan oleh saluran udara tanpa filter, tanpa penghangatan, dan tidak lembab.
Getaran yang diinduksi dengkuran juga telah terlibat dalam sakit tenggorokan.

11
Demikian pula, mungkin tekanan fisik pada pharynx yang menyebabkan sakit
tenggorokan setelah teriakan dan pemuatan suara.3
Stres emosional dan stres yang disebabkan faktor subyektif juga dapat
memainkan peran melalui spasme otot. Ketegangan yang berlebihan dari muskulus
(para) laringeus (karena faktor psikologis dan emosional, penyalahgunaan suara, atau
infeksi) dapat mengakibatkan rasa sakit yang dapat meningkatkan persistensi lesi di
mukosa laring dan faring.3
Obat-obatan yang sering (2-40%) menyebabkan sakit tenggorokan atau batuk
kering sebagai efek samping yang diakui meliputi ACE inhibitor, yang meningkatkan
mediator pro-inflamasi seperti kinin, substansi P, dan prostaglandin. Untuk efek obat
yang tidak diinginkan ini, faktor predisposisi genetik ditemukan pada reseptor yang
sesuai. Beralih dari ACE inhibitor ke angiotensin reseptor bloker adalah alternatif
yang paling diterima untuk mencegah sitokin tinggi. Mekanisme dimana
kortikosteroid inhalasi menyebabkan sakit tenggorokan kurang pasti. Secara
histologi, terdapat infiltrasi inflamasi pada beberapa pasien dan steroid yang
diendapkan secara lokal kemungkinan akan menjadi faktor. Sebaliknya, steroid oral
meringankan rasa sakit sakit tenggorokan akut, mungkin karena tindakan anti-
inflamasinya (karena risiko efek samping, obat ini bukan pilihan terapi yang rutin
dalam jangka panjang). Kemoterapi dan radioterapi menyebabkan sakit tenggorokan
sebagai akibat dari mucositis orofaring.3
Asap tembakau adalah bahan pengiritasi yang sering dikutip. Asap tembakau
mengiritasi epitel skuamosa stratificatum dari mukosa orofaring yang menyebabkan
kerusakan dan mengurangi pembersihan mukosiliar, dan merusak respon imun.
Nikotin berikatan dengan reseptor asetilkolin nikotinik pada neuron sensoris, dan ini
adalah salah satu mekanisme yang menyebabkan iritasi dan nyeri yang disebabkan
oleh asap rokok. Namun, nyeri kronis dan efek analgesik akut nikotin dilemahkan
oleh desensitisasi dan / atau upregulation reseptor pada paparan kronis. Merokok juga
mengubah flora bakteri yang menjadi predisposisi infeksi.3
Ozon memiliki efek inflamasi pada saluran pernapasan atas dan bawah,
ditandai dengan infiltrasi polimorf dan pelepasan sitokin pro-inflamasi, meskipun

12
spesifik yang berkaitan dengan sakit tenggorokan kurang pasti. Produk ozonasi lipid
yang mengaktifkan lipase spesifik, memicu pelepasan mediator endogen inflamasi
seperti prostaglandin E, IL8, tromboksan B2 dan peptida terkait gen kalsitonin.3
Mekanisme kimia langsung dapat mendasari efek iritasi dari beberapa polutan
lingkungan. Misalnya, dengan adanya katalis logam dan udara lembab, SO2
membentuk asam sulfat dan amonium sulfat. Polutan lainnya meliputi NO2, dan
boron oksida dan asam boron. Sakit tenggorokan sebagai respons terhadap bau kimia
bisa disebabkan oleh iritasi oleh bau itu sendiri atau co-polutan.3

Klasifikasi
Terdapat dua faringitis kronik berdasarkan bentuknya yaitu faringitis kronik
hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di
faring adalah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol,
inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab
terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang bernafas melalui mulut karena
hidungnya tersumbat.
a. Faringitis Kronik Hiperplastik
Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk yang
bereak. Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
berglanular.
b. Faringitis Kronik Atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembapannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien umumnya mengeluhkan
tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa
faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

13
Gejala klinis
Pada faringitis yang disebabkan oleh virus, gejala yang mucul berupa rinitis,
konjungtivitis, malaise atau kelelahan, suara serak, dan demam rendah. Anak-anak
dengan viral faringitis juga dapat hadir dengan gejala atipikal, seperti pernapasan
mulut, muntah, sakit perut, dan diare. Virus herpes simpleks dapat menyebabkan
faringitis akut yang muncul dengan lesi vesikular faring, ulserasi tonsilar, dan eksudat
abu-abu. Sementara infeksi HSV akut biasanya sembuh sendiri dalam 7-10 hari, HSV
laten yang berada di ganglion saraf sensori dapat menyebabkan infeksi berulang.
Faringitis HSV-2 yang terlihat pada anak usia remaja atau perguruan tinggi dikaitkan
dengan transmisi oral-genital.2,4
Pada faringitis yang disebabkan oleh GABHS, umumnya gejala klinis yang
dirasakan adalah onset akut nyeri faring, disfagia, dan demam. Gejala lain adalah
eritema dan pembengkakan faringeal, eksudat tonsil, edematous uvula, petekie
palatine, dan limfadenopati serviks anterior. Gejala terkait rinorea, batuk, suara serak,
atau konjungtivitis biasanya tidak terkait dengan GABHS dan mungkin menunjukkan
etiologi virus. Sebagian besar penyakit GABHS terjadi sebagai infeksi akut yang
sembuh sendiri yang sembuh secara spontan dalam 3-5 hari.2,4
Faringitis gonococcal terjadi pada pasien yang aktif secara seksual dan
muncul dengan demam, sakit tenggorokan parah, disuria, dan eksudat kehijauan yang
khas. Pada difteri, gejala ditandai dengan sakit tenggorokan, demam ringan, membran
keabu-abuan yang melekat dengan radang amandel, faring, atau saluran hidung,
tenggorokan agak sakit, dengan adenopati servical lunak. 2,4
Infeksi mononukleosis paling sering terjadi pada pasien berusia 15 hingga 30
tahun. Pasien biasanya hadir dengan demam, sakit tenggorokan, dan malaise. Pada
pemeriksaan, ada injeksi faring dengan eksudat. Limfadenopati leher servikal
posterior sering terjadi pada pasien dengan infeksius mononukleosis, dan
ketiadaannya membuat diagnosis menjadi kurang mungkin. Jika pasien-pasien ini
dirawat dengan amoxicillin atau ampicillin, 90 persen akan muncul ruam
maculopapular klasik.4

14
GERD semakin dikenal sebagai sumber iritasi dan peradangan kronis
jaringan faring. Pada anak-anak, GERD telah dikaitkan dengan rinosinusitis, laringitis
kronis, pneumonia berulang, dan asma. Tanda-tanda yang konsisten dengan GERD
pada anak-anak meliputi faring yang meradang kronis, dengan hiperplasia limfoid
dengan karakteristik cobblestone, dan hiperplasia tonsil lingualis atau laring.2
Penyakit Kawasaki adalah penyakit menular yang disebabkan oleh agen yang
tidak dikenal. Penyakit ini sebenarnya jarang muncul. Penyakit ini paling sering
menyerang anak-anak yang lebih muda dari lima tahun dan muncul dengan konstelasi
gejala, termasuk sakit tenggorokan. Tanda dan gejala karakteristik meliputi demam,
konjungtivitis nonpurulen bilateral, pembesaran kelenjar serviks anterior, mukosa
oral eritematosa, dan faring yang meradang dengan lidah strawberry. Gambaran
dermatologis penyakit menjadi jelas dalam waktu tiga hari sejak timbulnya demam,
yaitu bibir merah retak, ruam eritematosa polimorfik umum dengan edema dan
eritema pada tangan dan kaki, dan deskuamasi periungual diikuti dengan
pengelupasan telapak tangan.4
Diagnosis
Ketika seorang pasien datang dengan sakit tenggorokan, dokter keluarga harus
mempertimbangkan berbagai macam penyakit. Penyebab infeksi berkisar dari
umumnya virus jinak ke GABHS. Peradangan mungkin hasil dari alergi, penyakit
refluks atau, jarang, neoplasma atau penyakit Kawasaki.4,7
Secara umum dasar diagnosis dari faringitis adalah sebagai berikut:7
1. Ketidaknyamanan atau nyeri faringeal dan nyeri saat menelan (odynophagia).
2. Gejala terkait seperti mialgia, demam, rinorea dan limfadenopati tergantung
pada agen etiologi.
3. Eritema faring dengan atau tanpa eksudat atau limfadenopati
4. Leukositosis dan kultur bakteri atau serologi lainnya dapat memberikan
diagnosis mikrobiologis definitif.
Pada diagnosis faringitis GABHS, Ada beberapa riwayat yang penting untuk
digali yang meliputi onset, durasi, perkembangan, dan keparahan gejala terkait
(demam, batuk, kesulitan pernapasan dan pembengkakan kelenjar getah bening).

15
Kehadiran eksudat tonsil atau faring dan riwayat paparan streptokokus dalam dua
minggu sebelumnya adalah gejala klinis yang paling berguna dalam memprediksi
infeksi GABHS saat ini. Tidak adanya adenopati servikal anterior yang lunak,
pembesaran tonsil dan tonsil atau faringeal eksudat paling bermanfaat dalam
menyingkirkan GABHS. Namun, tidak ada elemen tunggal dalam riwayat atau
pemeriksaan fisik yang sensitif atau cukup spesifik untuk mengecualikan atau
mendiagnosis radang tenggorokan. Dokter harus mendengarkan adanya gangguan
jantung dan mengevaluasi pasien untuk hepatosplenomegali.4,7
Terdapat pula skor Sentor untuk menentukan waktu yang tepat untuk member
antibiotic pada faringitis GABHS sebagaimana dipaparkan dalam tabel berikut.4,7
Gejala Poin
Demam (subyektif atau diukur) 1
Tidak ada batuk 1
Nyeri tekan di adenopati servikal anterior 1
Tonsillar bengkak atau eksudat 1
Umur
Kurang dari 15 tahun 1
15-45 tahun 0
Lebih dari 45 tahun -1
Skor: 0 atau −1 → Infeksi streptokokus dapat dikesampingkan (low risk); 1
hingga 3 poin→Tes kultur tenggorokan dan pengobatan sesuai (moderate risk); 4
hingga 5 poin→Kemungkinan infeksi streptokokus (high risk).
Para peneliti dalam penelitian the Centers for Disease Control
mengidentifikasi empat temuan dari riwayat dan pemeriksaan fisik yang secara
independen memprediksi positif kultur tenggorokan untuk GABHS dalam populasi
orang dewasa dan anak-anak. Temuannya adalah eksudat tonsil, limfadenopati
serviks anterior, tidak adanya batuk, dan riwayat demam lebih tinggi dari 100,4 ° F
(38 ° C).7
Gejala pada radang tenggorokan virus:7
 Stomatitis anterior

16
 Konjungtivitis
 Coryza/rinitis
 Batuk
 Diare
 Lesi ulseratif diskret
 Suara serak
Pada difteri, biasanya ditemukan cairan hidung serosanguinous dan membran
faring keabu-abuan (eksudatif dan memanjang ke uvula dan langit-langit lunak) pada
saat pemeriksaan fisik dalam hubungan dengan faringitis, tonsilitis, dan
limfadenopati serviks. Masa inkubasi untuk infeksi Corynebacterium diphtheriae
adalah dua hingga empat minggu. Diagnosis konfirmasi dibuat dengan analisis
mikrobakteriologi.4
Pemeriksaan Penunjang
Kultur swab tenggorokan merupakan standar untuk dokumentasi keberadaan
GABHS di saluran pernapasan bagian atas dan untuk konfirmasi diagnosis klinis
faringitis streptokokus akut. Jika dilakukan dengan benar, kultur swab tenggorokan
tunggal memiliki sensitivitas 90-95% untuk mendeteksi adanya GABHS di faring.
Beberapa variabel mempengaruhi keakuratan hasil kultur tenggorokan. Sebagai
contoh, cara swab didapatkan memiliki dampak penting pada hasil streptokokus dari
kultur. Spesimen swab tenggorokan harus diperoleh dari permukaan tonsil atau fosa
tonsil dan dinding faringeal posterior. Hasil negatif palsu dapat diperoleh jika pasien
telah menerima antibiotik sesaat sebelum atau pada saat swab tenggorokan diperoleh.
Juga telah dilaporkan bahwa penggunaan inkubasi anaerobik dan media kultur
selektif dapat meningkatkan proporsi hasil kultur positif.7
Menggunakan Tes Antigen Deteksi Cepat (RADTs) lebih mahal daripada
kultur swab tapi hasilnya tersedia dalam beberapa menit dibandingkan dengan satu
atau dua hari. Hasil cepat ini memungkinkan pasien untuk menerima pengobatan
lebih cepat, membantu mencegah penyebaran infeksi dan memungkinkan pasien
untuk kembali bekerja atau sekolah lebih cepat. Banyak (RADTs) memiliki

17
kekhususan yang sangat baik dari 95% atau lebih tinggi; spesifisitas yang tinggi
berarti tes tersebut dapat diandalkan jika positif.7
Kehadiran minimal 10 persen limfosit atipikal mendukung diagnosis (92
persen spesifisitas) infeksi mononucleosis. Pada pasien dengan gejala tipikal, tidak
diperlukan pengujian lebih lanjut. Ketika skenario klinis menunjukkan adanya
mononucleosis yang menular, diagnosis dapat diperoleh dengan adanya tes antibodi
heterofil positif (tes Monospot) untuk virus Epstein-Barr. Tes ini meleset sekitar
sepertiga dari kasus pada minggu pertama penyakit tetapi lebih dari 80 persen sensitif
pada minggu kedua. Jika diagnosis masih belum pasti, dokter harus
mempertimbangkan tes antibodi IgM terhadap antigen kapsid virus.4
Faringitis gonococcal didiagnosis oleh kultur positif (Thayer-Martin medium)
untuk Neisseria gonorrhoeae. Kultur vagina, serviks, penis, dan dubur juga harus
diperoleh ketika faringitis gonokokal dicurigai. Laringoskopi dianjurkan ketika sakit
tenggorokan kronis dan berulang, kultur dan tes antibodi heterofil negatif, dan
diagnosis tetap tidak pasti. Evaluasi tambahan diperlukan untuk menyelidiki
keberadaan tubuh asing, lesi neoplastik, dan penyebab sakit tenggorokan yang tidak
biasa lainnya.4

Tatalaksana

Pasien berisiko rendah tidak memerlukan tes diagnostik lebih lanjut, pasien
berisiko tinggi harus dipertimbangkan untuk terapi empiris, dan pasien berisiko
sedang harus menjalani evaluasi lebih lanjut dengan tes antigen cepat atau kultur
tenggorokan untuk membuat diagnosis.4

18
Gambar: Algoritma untuk evaluasi pasien dengan sakit tenggorokan
Terapi medis standar lini pertama GABHS akut adalah antibiotik golongan
penicillin selama 10 hari. Amoxicillin sering digunakan sebagai obat golongan
penicillin karena formulasi kunyah dan rasa yang lebih baik. Pasien alergi penisilin
dapat diobati dengan antibiotik kelas makrolida atau cephalosporin. Eritromisin
bersama dengan azitromisin generasi kedua dan klaritromisin semuanya
menunjukkan efikasi dalam pemberian 10 hari. Tapi di beberapa negara sakit
tenggorokan dianggap dapat sembuh sendiri serta swab tenggorokan dan antibiotik
tidak rutin dilakukan. Obat anti-inflamasi non-steroid dan parasetamol
direkomendasikan untuk meringankan gejala. 2,3

19
Kegagalan untuk menyelesaikan pengobatan yang direkomendasikan selama
10 hari penuh dapat menyebabkan kegagalan pengobatan dan harus dipertimbangkan
pertama kali pada anak-anak dengan infeksi berulang. Pasien-pasien ini dapat diobati
dengan antibiotik dosis parenteral jika sulit patuh. Pasien yang gagal untuk perawatan
lini pertama yang diulang harus ditargetkan dengan antibiotik yang efektif dalam
memberantas carrier stage. Obat oral yang disukai meliputi pemberian obat 10 hari
baik klindamisin atau amoxicillin asam klavulanat, dan agen intramuskular yang
lebih disukai adalah penisilin G dengan atau tanpa rifampisin oral selama empat hari.2
Penyebab faringitis infeksi berulang dapat multifaktorial. Meskipun GABHS
yang resisten terhadap penisilin belum diidentifikasi di laboratorium, secara klinis,
hingga sepertiga pasien gagal merespons antibiotik penisilin. GABHS yang resisten
terhadap eritromisin juga telah diisolasi pada anak-anak. Pasien yang menderita satu
kegagalan antibiotik untuk GABHS memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk
kegagalan pengobatan berikutnya. Meskipun tidak ada mekanisme yang jelas yang
menjelaskan kegagalan pengobatan penisilin, terdapat sejumlah teori, meliputi
internalisasi GABHS ke dalam jaringan tonsil, copathogenicity bakteri, pembentukan
biofilm GABHS, dan aktivitas antibiotik pada organisme komensal. Pertimbangan
tambahan pada pasien yang mengalami infeksi berulang meskipun manajemen medis
sudah tepat adalah kemungkinan infeksi virus yang terjadi bersamaan dalam konteks
negara pembawa GABHS.2
Jika pengobatan medikamentosa gagal, maka dianjurkan untuk dilakukan
operasi. Operasi yang paling umum dilakukan adalah tonsilektomi. Tonsilektomi
adalah salah satu prosedur bedah yang paling umum di Amerika Serikat. Meskipun
bukan tanpa risiko langka tetapi berpotensi signifikan dan kadang-kadang pemulihan
pasca-operasi yang sulit, umumnya ditoleransi dengan baik sebagai prosedur rawat
jalan pada populasi pediatrik. Saat ini American Academy of Otolaryngology–Head
and Neck Surgery (AAO-HNS) mengindikasikan tonsilektomi dan adenoidektomi
untuk dilakukan pada hal-hal berikut:2
 Hipertrofi tonsiler mengakibatkan obstruksi jalan nafas atau
pembatasan pertumbuhan orofasial

20
 Tonsilitis kronik atau berulang pada streptokokus karier yang tidak
merespons antibiotik beta-laktamase yang resisten.
 Tiga atau lebih infeksi tonsil per tahun
 Abses peritonsillar tidak responsif terhadap terapi medis
 Tonsilitis menghasilkan kejang demam
 Tonsilitis kronik mengakibatkan halitosis
 Pembesaran tonsiler yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi jaringan
Tonsilektomi yang dilakukan untuk infeksi berulang atau kronis merupakan
hampir 40% dari semua prosedur tonsilektomi. Penelitian prospektif historical
menunjukkan penurunan keseluruhan dalam jumlah infeksi berulang pada anak-anak
yang menjalani adenotonsilektomi.2
Pasien post operasi juga dapat merasakan sakit tenggorokan. Untuk
mencegahnya dapat diberi inhalasi fluticasone propionate, dexamethasone intravena,
dan lidokain. Obat lain meliputi ketamine gargle, NSAID topikal (benzydamine),
perioperatif amylmetacresol / dichlorobenzyl alcohol lozenges, liquorice, dan turunan
azulene dari chamomile.3
Bila dilihat dari bentuknya faringitis kronik dibagi menjadi dua, yaitu
hiperplastik dan atrofi. Pada faringitis kronik hiperplastik, dilakukan terapi local
berupa kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan
listrik (electro cauter). Pengobatan imptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap.
Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Pada faringitis
kronik atrofi, dilakukan terapi untuk mengatasi rinitis atrofinya karena faringitis ini
.sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi, ditambahkan dengan obat kumur dan
menjaga kebersihan mulut.1
Pada faringitis non infeksius, analgesia sederhana dan efek anti-inflamasi
cenderung efektif apa pun etiologinya. Sebuah tinjauan sistematis pada sakit
tenggorokan akut menemukan bahwa pengobatan yang efektif pada hasil awal (<24
jam) meliputi steroid, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), kafein, dan
parasetamol, sementara parasetamol dan NSAID juga memiliki manfaat di kemudian

21
hari (> 24 jam). Perawatan ini juga dapat berfungsi untuk sakit tenggorokan yang
tidak menular. Contoh obat NSAID yang efektif adalah Flurbiprofen. 3
Ramuan China yang digunakan bersamaan dengan akupunktur dilaporkan
efektif untuk terapi faringitis non infeksius. Minyak eter alami yang dihirup juga
telah digunakan, meskipun komposisi ini sebagian besar tidak diketahui. Sebuah
penelitian di Rusia terhadap 22 pasien dengan faringitis subatrofik kronis yang
memburuk dengan latar belakang infeksi virus pernapasan akut menunjukkan bahwa
pelega tenggorokan amylmetacresol / dichlorobenzyl menghasilkan pengurangan
gejala nyeri yang ditandai dan tahan lama, yang dilaporkan segera setelah dosis
pertama, dan menghasilkan rata-rata skor nyeri tiga kali lebih rendah daripada
kelompok kontrol pada hari ke 8.3
Pada GERD, Perawatan tergantung usia dan berpusat pada modifikasi pola
makan dan gaya hidup. Terapi inhibitor pompa proton diberikan pada anak-anak yang
gagal merespon modifikasi perilaku.2
Pada penyakit Kawasaki dapat diobati dengan aspirin dan IV imunoglobulin
dalam 10 hari setelah awitan demam dan dapat menurunkan risiko abnormalitas arteri
koroner dari 20% menjadi <5%. Namun, 10–20% pasien yang diobati akan
mengalami demam dan gejala lain yang menetap (non-responder), dan berisiko
mengalami abnormalitas arteri koroner.8

22
KESIMPULAN
Faringitis merupakan peradangan pada dinding faring, lebih tepatnya pada
orofaring. Faringitis terbagi menjadi dua berdasarkan durasi atau frekuensi
penyakitnya, yaitu faringitis akut dan kronik. Sebagian besar otolaryngologists
mempertimbangkan tiga atau lebih infeksi berulang per tahun untuk keadaan kronis.
Faringitis dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi,
trauma, toksin, dan lain-lain. Sebagian besar faringitis terjadi sebagai episode akut
yang umumnya berumur pendek. Diperkirakan 1-2% dari faringitis akut berkembang
menjadi penyakit berulang atau kronis. Umumnya faringitis menular melalui secret
hidung dan ludah. Tidak seperti faringitis akut, yang hampir secara universal menular
dalam etiologi, faringitis kronis dapat dikaitkan dengan beberapa penyebab non-
infeksi yang penting seperti GERD, polusi udara, merokok, obat-obatan seperti
ACEI, kemoterapi dan radioterapi.
Pada faringitis virus umumnya menggunakan terapi simptomatis saja, bila
disebabkan oleh bakteri maka digunakan antibiotic. Pada faringitis yang sudah kronis,
bila pengobatan medikamentosa sudah tidak mempan maka dilakukan operasi, yang
paling sering dilakukan adalah tonsilektomi.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2007.
2. Murray RC, Chennupati SK. Chronic Streptococcal and Non-Streptococcal
Pharyngitis. Bentham Science Publishers, 2012; 12, 281-285
3. Renner B, Mueller CA, Shephard A. Environmental and non-infectious factors in
the aetiology of pharyngitis (sore throat). Inflammation Research. 2012; 61:1041–
1052
4. Vincent MT, Celestin N, Hussain AN. Pharyngitis. American Family Physician.
2004;69(6): 1465-1470
5. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy. In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
6. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otalaryngology. 6th
Ed. Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta:EGC, 1997
7. Somro A, Akram M, Khan MI, et al. Pharyngitis and sore throat: A review.
African Journal of Biotechnology. 2011;10(33): 6190-6197
8. Yolanda N, Panduan Diagnosis dan Terapi Kawasaki Disease. Cermin Dunia
Kedokteran edisi 232. 2015;42(9): 663-667

24

Anda mungkin juga menyukai