Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara yang memiliki kekuasaan absolute (mutlak), yang meliputi seluruh bidang
kehidupan secara sentralistik (terpusat) dalam satu kekuasaan (pada individu atau
institusi) akan melahirkan hasil kinerja yang tidak efektif dan efisien, bahkan cenderung
menyimpang dari aturan dan tujuan konstitusi. Inilah yang menjadi dorongan kepada
para filosof untuk mencari solusi mengenai upaya distribusi kekuasaan agar dapat merata
menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam suatu Negara dan tidak menumpuk pada
area tertentu.

Seperti kita tahu bahwa pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara


Indonesia menganut aliran sistem Trias Politica (teori pemisah kekuasaan) yang
menyatakan bahwa kekuasaan Negara perlu dilakukan pemisahan dalam 3 (tiga) bagian
dimana aktornya diwakili oleh tiga lembaga yang meliputi Eksekkutif, Legislatif dan
Yudikatif. Pemisahan ini ditujukan untuk menciptakan efektifitas dan efisiensi serta
transparansi pelaksanaan kekuasaan dalam pemerintahan sehingga nantinya akan benar-
benar dicapai tujuan dari penyelenggaraan Negara tersebut. Pada pembahasan kali ini
kita akan memusatkan topik terhadap aktor yang ke 3 yakni, lembaga yudikatif, yang
secara khusus fungsinya adalah untuk menggadili penyelewengan pengaturan yang telah
dibuat oleh legislative dan dilaksanakan oleh eksekutif. Dalam pembahasan mengenai
lembaga kehakiman (yudisial) ini nantinya akan ada bagian-bagian lembaga sebagai
pembentuk dan dalam naungan lembaga yudikatif tersebut seperti, Mahkama Agung,
Mahkama Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Berdasarkan hal tersebut, kami berinisiatif
untuk membuat makalah mengenai badan yudikatif yang juga sebagai bentuk
penyelesaian tugas pengantar ilmu politik yang diberikan oleh dosen pembimbing.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami identifikasi dalam makalah ini
adalahsebagai berikut.
1. Pengertian badan yudikatif
2. Fungsi-fungsi lembaga yudikatif

1
3. Badan yudikatif dalam negara-negara demokratis
4. Badan yudikatif di negara-negara komunis
5. Badan yudikatif dan judicial riview
6. Kebebasan badan yudikatif
7. Kekuasaan badan yudikatif di indonesia
8. Kekuasaan badan yudikatif di indonesia setelah masa reformasi

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian badan yudikatif.
2. Untuk mengetahui fungsi-fungsi lembaga yudikatif.
3. Untuk mengetahui badan yudikatif dalam negara-negara demokratis.
4. Untuk mengetahui badan yudikatif di negara-negara komunis.
5. Untuk mengetahui badan yudikatif dan judicial riview.
6. Untuk mengetahui kebebasan badan yudikatif .
7. Untuk mengetahui kekuasaan badan yudikatif di indonesia.
8. Untuk mengetahui kekuasaan badan yudikatif di indonesia setelah masa reformasi.

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

a. Menambah wawasan penulis mengenai kepemimpinan dan motivasi

b. Sebagai bahan referensi

c. Melatih penulis dalam membuat sebuah makalah

2. Bagi pembaca

a. Menambah wawasan pembaca


b. Sebagai bahan referensi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Badan Yudikatif


Yudikatif adalah sebuah lembaga pemerintahan yang berwenang untuk
menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran
atasnya. Lembaga yudikatif adalah lembaga peradilan, yang memiliki kekuasaan
kehakiman. Di Indonesia kekuasaan ini dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar
1945. Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkama Agung (MA) dan badan
kehakimanlainnya menurut Undang-Undang.
Menurut Undang Undang No. 4 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan
oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, dilarang kecuali dalam hal-hal yang
tersebut dalam Undang-Undang Dasar.
Jadi kekuasaan yudikatif harus merdeka, terutama dalam pengaruh pihak
lembaga-lembaga tinggi lainnya, seperti eksekutif, yang selalu paling menonjol. Merdeka
adalah lepas dari segala campur tangan atau pengaruh lain. Ini adalah esensi peradilan
kita dewasa ini dalam usaha mewujudkan tekad untuk menyelenggarakan “The Rule of
Law” di bumi tercinta ini.
Di Inggris Kekuasaan kehakiman juga dipegang oleh lembaga peradilan yang
ditunjuk oleh kabinet. Tidak ada hakim di Inggris yng dipilih, tetapi mereka tetap jujur
dan tidak memihak.
Di Perancis kekuasaan kehakiman juga dipegang oleh lembaga peradilan yang
berada di tangan hakim, tetapi di anggkat oeleh pihak eksekutif. Lembaga peradilan ini
di bagi menjadi 2 yaitu: 1. Common Law, 2. Court of Casation.
Di Amerika Serikat kekuasaan kehakiman ini bernama Supreme Court, yang
bebas benar-benardari lembaga tinggi lainnya. Lembaga peradilan menjamin hak-hak
kebebasan dan kemerdekaan individu demi tegaknya hukum di negara adikuasa tersebut.

B. Fungsi-Fungsi Lembaga Yudikatif


Fungsi-fungsi yudikatif yang mana dapat dispesifikasikan ke dalam daftar
masalah hukum berikut:
a. Criminal Law (petty ofense, misdemeanor, felonies), penyelesaiannya biasanya
depegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari

3
Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi), dan
Mahkama Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di
Pengadilan Negeri, tetapi khusu umat islam biasanya dipegang oleh Pengadilan
Agama.
b. Constitution Law (perkawinan, perceraian, warisan perawatan anak), kini
penyelesaiannya ditempati oeleh Mahkama Konstitusi. Jika individu, kelompok,
lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya
penyelesaiaan sengketanya dilakukan di Mahkama Konstitusi.
c. Administrative Law (hukum yang mengatur administrasi negara), penyelesaiannya
dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah,
sertifikasi, dan sejenisnya.
d. International Law (perjanjian internasional), tidak diselesaikan oleh badan yudikatif
di bawa kendali suatu negara melainkan atas nama Perseriktan Bangsa-Bangsa
(PBB).

C. Badan Yudikatif dalam Negara-Negara Demokratis


Dalam hal ini kita akan membahas dua sistem hukum yang berbeda, yaitu:
a. Common Law (Hukum Umum)
b. Civil Law (Hukum Sipil)
Sistem Common Law terdapat di negara-negara Anglo Saxon dan memulai
pertumbuhannya di Inggris pada Abad Pertengahan. Sistem ini berdasarkan prinsip
bahwa disamping udang-undang yang dibuat oleh parlemen masih terdapat
peratutran-peraturan lain yang merupakan Common Law. Common Law ini bukan
merupakan peraturan-peraturan yang telah dikodifisir tetapi merupakan kumpulan
keputusan yang dalam zaman lalu telah dirumuskan oleh hakim. Jadi, sesungguhnya
hakim juga turut menciptakan hukum dengan keputusannya itu. Inilah yang dinamakan
case law atau hukum buatan hakim (judge-made law).
Namun demikian dapatlah dianggap bahwa hakim dengan keputusannya itu
pada hakikatnya telah menciptakan hukum, biarpun hal ini berbeda sama sekali dengan
hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Tetapi, kebanyakan dinegara Eropa Barat
Kontinental, dimana kod ifikasi hukum telah lama tersusun rapi (sistem Civil Law),
penciptaan hukum secara sengaja oleh hakim pada umumnya adalah tidak mungkin.

4
D. Badan Yudikatif di Negara-Negara Komunis
Pandangan orang komunis terhadap peranan dan wewenang badan yudikatif
berdasarkan suatu konsep yang dinamakan Soviet Legality. Dikatakan bahwa
socialist legality secara aktif memajukan masyarakat Soviet ke arah komunisme dan
karenanya segala aktivitas serta semua alat kenegaraan termasuk penyelenggaraan
hukum dan wewenang badan yudikatif merupakan prasarana untuk melancarkan
perkembangan ke arah komunisme.
Hak asasi pun dilihat dalam rangka yang sama dan fungsi badan yudikatif pun
tidak dimaksud untuk melindungi kebebasan dari individu dari tindakan sewenang-
wenanga pemerintah.

E. Badan Yudikatif dan Judicial Riview

Satu ciri yang terdapat di kebanyakan negara, baik yang memakai sistem
Common Law maupun sistem Civil Law ialah hak menguji (toetsingsrecht), yaitu hak
menguji apakah peraturan-peraturan hukum yang Iebih rendah dari undang-undang
sesuai atau tidak dengan undang-undang yang bergangkutan. Di beberapa negara
tertentu, seperti Amerika Serikat, India, dan Jerman Barat, Mahkamah Agung juga
mempunyai wewenang menguji apakah suatu undang-undang sesuai dengan Undang-
Undang Dasar atau tidak, dan untuk menolak melaksanakan undang-undang serta
peraturan-peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
ini dinamakan Judicial Review. Wewenang ini tidak secara eksplisit dinyatakan dalam
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, tetapi dalam tahun 1803 telah ditafsirkan
demikian oleh Ketua Mahkamah Agung John Marshall, dan kemudian diterima oleh
masyarakat sebagai suatu hal yang wajar.

Keputusan hakim yang menyangkut soal-soal konstitusional mempunyai


pengaruh besar atas proses politik. Peranan politik ini sangat nyata di Amerika Serikat;
maka dari itu setiap penunjukan hakim agung baru atau setiap keputusan Mahkamah
Agung yang menyangkut soal-soal konstitusional mendapat perhatian besar dari
masyarakat umum.

Di Amerika keputusan Mahkamah Agung yang dianggap telah memengaruhi


keadaan politik adalah keputusan mengenai Pubic School Desegregation Act (Brown v
Board of Education 1954), yakni bahwa pemisahan antara golongan kulit putih dan

5
golongan Afrika Amerika (segregation) merupakan diskriminasi dan tidak dibenarkan
Undang undang ini disanggap sebagai tonggak sejarah dalam perjuangan orang Afrika
Amerika untuk mendapatkan hak-hak sipil.

Di India dapat disebut keputusan Mahkamah Agung yang pada tahun 1969 telah
menyatakan undang-undang yang diprakarsai oleh pemerintah Indira Gandhi untuk
menasionalisasikan beberapa bank swasta, sebagai unconstitutional.

F. Kebebasan Badan Yudikatif

Dalam doktrin Trias Politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan
maupun sebagai pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif,
prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum badan yudikatif
haruslah bebas dari campur tangan badan eksekutif. Ini dimaksudkan agar badan
yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta
menjamin hak-hak asasi manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif
itulah dapat diharapkan bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam suatu
perkara tidak akan memihak, berat sebelah, dan semata-mata berpedoman pada norma-
norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim itu sendiri dengan tidak usah takut
bahwa kedudukannya terancam.

Pokoknya, baik dalam perlindungan konstntusional maupun dalam hukum


administrasi, perlindungan yang utama terhadap individu tergantung pada badan
kehakiman yang tegas, bebas, berani, dan dihormati. Pasal 10 Universal Declaration of
Human Rights memandang kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan pengadilan
(Independent and impartial tribunals) di tiap-tiap negara sebagai suatu hal yang esensial.
Badan yudikatif yang bebas adalah syarat mutlak dalam suatu masyarakat yang bebas di
bawah Rule of Law. Kebebasan tersebut meliputi kebebasan dari campur tangan badan
eksekutif, legislatif ataupun masyarakat umum, di dalam menjalankan tugas
yudikatifnya. Tetapi jelas bahwa hal itu tidaklah berarti hakim boleh bertindak secara
serampangan saja. Kewajibannya adalah untuk menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip
fundamental dan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan hal itu berdasarkan perasaan
keadilan serta hati nuraninya.

Cara untuk menjamin pelaksanaan asas kebebasan badan yudikatif, yaitu:


Pertama, kita lihat bahwa di beberapa negara jabatan hakim adalah permanen, seumur
hidup atau setidak-tidaknya sampai saatnya pensiun (di mana biasanya pensiun diberikan

6
pada usia lebih tinggi daripada pegawai Iain), selama ia berkelakuan baik dan tidak
tersangkut kejahatan. Selain itu, di kebanyakan negara jabatan kehakiman tidak
didasarkan atas hasil pemilihan seperti halnya pada jabatan legislatif dan kepala
eksekutif (misalnya presiden di Indonesia dan di Amerika Serikat). Hakim biasanya
diangkat oleh badan eksekutif yang dalam hal Amerika Serikat didasarkan atas
persetujuan Senat atau dalam hal Indonesia atas rekomendasi badan legislatif. Ini
dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi politik suatu
masa, sehingga dengan demikian diharapkan tugas yudikatifnya bisa dilaksanakan
dengan sebaik-balknya.

G. Kekuasaan Badan Yudikatif di Indonesia


Dalam sistem hukum yaqg berlaku di Indonesia, khususnya sistem Hukum
Perdata, hingga kini maslh terdapat dualisme, yaitu:
a. Sistem hukum adat, suatu tata hukum yang bercorak asli Indonesia dan umumnya
tidak tertulis.
b. Sistem hukum Eropa Barat (Belanda) yang bercorak kode-kode Francis zaman
Napoleon yang dipengaruhi oleh hukum Romawi.

Asas kebebasan badan yudikatif (Independent judicary) juga dikenal di


Indonesia. Hal itu terdapat dalam Penjelasan (Pasal 24 dan 25) Undang-Undang Dasar
1945 mengenal Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: "Kekuasaan Kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan ltu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan
para hakim.

Akan tetapi dalam masa Demokrasi Terpimpin telah terjadi penyelewengan-


penyelewengan terhadap asas kebebasan badan yudikatif seperti yang ditetapkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 19
Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dalam Pasal 19
undang-undang itu dinyatakan:

“Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan


masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal
pengadilan.” Di dalam Penjelasan Umum undang-undang itu dinyatakan bahwa Trias
Politika tidak mempunyai tempat sama sekali dalam Hukum Nasional Indonesia karena

7
kita berada dalam revolusi, dan dikatakan selanjutnya bahwa Pengadilan adalah tidak
bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang.

Nyatalah di sini bahwa isi dan jiwa undang-undang itu bertentangan sekali
dengan isi dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, tepatlah bahwa MPRS
sebagai lembaga negara tertinggi dalam sidangnya yang ke-4 antara lain telah
mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XIX Tahun 1966, Tentang Peninjauan Kembali
Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 4 Ayat 3, menentukan
bahwa: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak Iain di luar
Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-
Undang Dasar."

Di samping itu, dalam masa Demokrasi Terpimpin telah terjadi penyelewengan-


penyelewengan lain yang juga bertentangan dengan asas kebebasan badan yudikatif,
yaitu memberi status menteri kepada Ketua Mahkamah Agung. Dengan demikian jabatan
Ketua Mahkamah Agung yang sebenarnya merupakan Jabatan yang terpisah dari badan
eksekutif, menjadi bagian dari badan eksekutif pula, di samping merupakan bagian dari
badan yudikatif. Dalam masa Orde Baru keadaan ini segera dikoreksi dan ketua
Mahkamah Agung tidak lagi menjadi menteri atau pembantu Presiden.

Asas judicial review seperti yang ada di Amerika Serikat dan India, tidak dikenal
di Indonesia sebelum masa reformasi; Undang-Undang Dasar 1945 bungkam mengenal
hal ini. Akan tetapi Undang-Undang Dasar 1949 (Pasal 130) dan Undang-Undang Dasar
1950 (Pasal 95) dengan tegas mengatakan bahwa: “Undang-undang tidak dapat diganggu
gugat”, yang berarti bahwa menurut Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950 undan-
gundang tidak dapat diuji, sekalipun diakui adanya hak menguji (toetsingsrecht) untuk
aturan-aturan yang lebih rendah dari undang-undang mengenai sah tidaknya suatu
peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih
tinggi.

Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutnya, maka ada beberapa
golongan dalam masyarakat, antara lain Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), yang
pada permulaan masa Demokrasi Pancasila telah sangat mendesak pemerintah untuk
mengakui adanya hak menguji undang-undang pada Mahkamah Agung. Diharapkan

8
bahwa dengan adanya wewenang judicial review ini, dijamin tidak terulang kembali
penyelewengan-penyelewengan seperti yang dilakukan oleh Ir. Soekarno pada masa
Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi rupa-rupanya pemerintah berpendapat lain, seperti
terbukti dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964.

Melihat Pasal 26 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang mengatur hak


Mahkamah Agung untuk menguji dan menyatakan tidak sah semua peraturan
perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang, tanpa pasal itu
menyebut wewenang menyatakan tidak sah undang-undang, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pedoman kita dalam hal ini adalah sesuai dengan jiwa Pasal 130
Undang-Undang Dasar RlS dan Pasal 95 Undang-Undang Dasar Sementara 1950
bahwa:”Undang-undang tidak dapat diganggu gugat". Penjelasan mengenai Pasal 26
justru Iebih jelas dalam hal ini karena menetapkan bahwa hanya Undang-Undang Dasar
atau Ketetapan MPR(S) yang dapat memberi ketentuan apakah Mahkamah Agung
mempunyai hak menguji undang-undang atau tidak. Perumusan dari penjelasan atas
Pasal 26 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 adalah sebagai berikut:

. . . Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hak menguji Undang-undang


dan peraturan pelaksanaan Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagai
fungsi pokok tidak terdapat pada Mahkamah Agung.

Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengaturnya, maka tidak dengan
sendirinya hak menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh
Mahkamah Agung dapat diletakkan dalam Undang-undang ini. Hak menguji tersebut
apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharusnya merupakan ketentuan
Konstitusionil.

Demikian pula, MPR(S) hingga sekarang tidak menetapkan hak menguji oleh
Mahkamah Agung.

Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam
Ketetapan MPR(S) yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari hubungan
hukum antara alat perlengkapan Negara yang ada dalam Negara, berarti bahwa Undang-
undang ini (Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman)
tidak dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak menguji, apalagi
secara materiil Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

9
Hanya Undang-Undang Dasar ataupun Ketetapan MPR(S) dapat memberikan
ketentuan.

H. Kekuasaan Badan Yudikatif di Indonesia Setelah Masa Reformasi

Kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak masa


reformasi. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Nopember
tahun 2001, mengenai Bab Kekuasaan Kehakiman (BAB IX) memuat beberapa
perubahan (Pasal 24A, 24B, 24C). Amandemen menyebutkan penyelenggara kekuasaan
kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung
bertugas untuk menguji peraturan perudangan di bawah UU terhadap UU. Sedangkan
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji UU terhadap UUD 45.

Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk:

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review).
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2. Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presiden
atas permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.

Mahkamah Konstitusi beranggotakan sembilan orang hakim konstitusi yang


ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, DPR, dan
Presiden. Ketua dan Wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi. Hakim konstitusi tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara.

Mahkamah Agung (MA) seperti yang kita kenal, kewenangannya adalah


menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum,
militer, agama, dan tata usaha negara. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi. Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang (Pasal 24A).

Calon hakim agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Ketua dan
wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.

10
Komisi YudisiaI (KY) adalah suatu lembaga baru yang bebas dan mandiri, yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang dalam rangka
menegakkan kehormatan dan perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 24B).

Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya tentang Amandemen UUD
di Indonesia setelah masa reformasi, perubahan yang terjadi pada kekuasaan kehakiman
setelah dilakukan amandemen konstitusi juga telah menyebabkan terjadinya perubahan
yang cukup mendasar.

Pelaksanaan dari ketentuan yang tercantum dalam kekuasaan kehakiman seperti


yang termuat dalam UUD 1945 hasil amandemen, dituangkan dalam Undang-undang
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Undang-undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung.

Beberapa masalah yang muncul yang tidak diatur dengan jelas adalah:

1. Bagaimana status peradilan Iain yang secara faktual telah ada seperti; pengadilan
niaga, pengadilan ad hoc HAM, pengadilan pajak, pengadilan syariah Nanggroe
Aceh Darussalam, dan pengadilan adat (otonomi khusus Papua)? Apakah berbagai
peradilan itu dimasukkan ke dalam salah satu lingkungan peradilan saja, atau
dikualifikasi sebagai satu peradilan khusus?
2. Di mana tempat pengadilan khusus seperti misalnya pengadilan anti korupsi,
pengadilan lingkungan, pengadilan pertanahan dan perburuhan?

Memang harus diakui bahwa meski perjalanan reformasi di Indonesia yang digulirkan
sejak Mei 1998 tak semudah yang direncanakan, namun dalam bidang hukum ada banyak
upaya untuk memperbaikinya dengan tujuan untuk menegakkan supremasi hukum dan
modernisasi hukum. Salah satunya dengan dibentuknya lembaga-Iembaga baru, di samping
yang sudah disebutkan di atas, atau yang sudah ada sebelumnya seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) yang awal pembentukannya berdasarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 50 Tahun 1993.

11
Lembaga-Iembaga baru tersebut, antara Iain adalah:

 Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 15
Tahun 2000 tanggal 18 Februari 2000. Pembentukan Komisi Hukum Nasional ini adalah
untuk mewujudkan sistem hukum nasional demi menegakkan supremasi hukum dan hak-
hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran dengan melakukan pengkajian
masalah-masalah hukum serta penyusunan rencana pembaruan di bidang hukum secara
obyektif dengan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat.
 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pembentukannya melalui Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembentukan KPK merupakan respons pemerintah terhadap rasa pesimistis masyarakat
terhadap kinerja dan reputasi kejaksaan maupun kepolisian dalam hal pemberantasan
korupsi.
 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, yang lebih dikenal dengan
sebutan Komnas Perempuan. Lembaga independen ini dibentuk sebagai mekanisme
nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Komisi nasional ini
didirikan tanggal 15 Oktober 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 Tahun
1998. Lahirnya Komnas Perempuan merupakan jawaban pemerintah terhadap tuntutan
masyarakat sipil, khususnya kaum perempuan. sebagai wujud tanggung jawab negara
dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan.
 Komisi Ombudsman Nasional atau disingkat KON, dibentuk tanggal 20 Maret 2000
berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000. KON berperan agar pelayanan
umum yang dijaIankan oleh instansi-instansi pemerintah berjalan dengan baik. Untuk itu
KON menerima pengaduan masyarakat. Tujuannya, melalui peran serta masyarakat,
membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam
melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dan Iainnya
meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum,
keadilan, dan kesejahteraan secara Iebih baik.
Adanya berbagai Iembaga ini diharapkan dapat mendukung reforma: di bidang
hukum.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Lembaga yudikatif adalah salah satu dari beberapa lembaga penting yang ada di
NKRI yang memiliki wewenang sangat penting pula yaitu menafsirkan isi undang-
undang dalam pembuatan keputusan hukum dan memberikan sanksi atas setiap
pelanggaran yang terjadi. Lembaga ini bergerak di bidang peradilan yang memiliki
kekuasaan kehakiman. Dalam menjalankan kelembagaan haruslah di dasari dengan
kejujuran serta ke-netralan setiap aparat yang ada di dalamnya dan haruslah terbebas dari
campur tangan lembaga lain namun tetap dalam pengawasan Pemerintah.

B. Saran
Berdasarkan materi yang telah kami paparkan ada sedikit ketumpang tindihan
antara fungsi lembaga yudikatif dengan situasi yang terjadi di NKRI saat ini jadi saran
kami adalah agar lembaga yudikatif bisa lebih netral dalam melakukan setiap kebijakan.
Seperti berikut:
1. Pemerintah

Sebagai pemegang kekuasaan hendaknya pemerintah dapat menjalankan tugas


dan pekerjaannya sesuai dengan aturan yang tentunya untuk kebaikan bersama. UU
yang dibuat hendaknya dilakukan dan diawasi dengan baik.

2. Lembaga Kehakiman

Lembaga Kehakiman merupakan lembaga netral yang bekerja untuk keadilan,


hendakanya dalam pelaksanaan tugasnya sesuai dengan aturan dan UU untuk
melanyai seluruh masyrakat. Diharapkan juga untuk menegakan aturan dengan seadil-
adilnya.

3. Masyarakat

Masyarakat merupakan subyak dan sasaran dari setiap aturan dan kebijkan
yang dibuat. Hendaknya masyarakat dapat menjadi pengawas pemerintahan dan
lembaga hukum negara agar menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu
masyarakat juga diharapkan dapat menaati aturan yang telah dibuat oleh lembaga
berwenang sesuai UU.

13

Anda mungkin juga menyukai