PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara yang memiliki kekuasaan absolute (mutlak), yang meliputi seluruh bidang
kehidupan secara sentralistik (terpusat) dalam satu kekuasaan (pada individu atau
institusi) akan melahirkan hasil kinerja yang tidak efektif dan efisien, bahkan cenderung
menyimpang dari aturan dan tujuan konstitusi. Inilah yang menjadi dorongan kepada
para filosof untuk mencari solusi mengenai upaya distribusi kekuasaan agar dapat merata
menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam suatu Negara dan tidak menumpuk pada
area tertentu.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami identifikasi dalam makalah ini
adalahsebagai berikut.
1. Pengertian badan yudikatif
2. Fungsi-fungsi lembaga yudikatif
1
3. Badan yudikatif dalam negara-negara demokratis
4. Badan yudikatif di negara-negara komunis
5. Badan yudikatif dan judicial riview
6. Kebebasan badan yudikatif
7. Kekuasaan badan yudikatif di indonesia
8. Kekuasaan badan yudikatif di indonesia setelah masa reformasi
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian badan yudikatif.
2. Untuk mengetahui fungsi-fungsi lembaga yudikatif.
3. Untuk mengetahui badan yudikatif dalam negara-negara demokratis.
4. Untuk mengetahui badan yudikatif di negara-negara komunis.
5. Untuk mengetahui badan yudikatif dan judicial riview.
6. Untuk mengetahui kebebasan badan yudikatif .
7. Untuk mengetahui kekuasaan badan yudikatif di indonesia.
8. Untuk mengetahui kekuasaan badan yudikatif di indonesia setelah masa reformasi.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
2. Bagi pembaca
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi), dan
Mahkama Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di
Pengadilan Negeri, tetapi khusu umat islam biasanya dipegang oleh Pengadilan
Agama.
b. Constitution Law (perkawinan, perceraian, warisan perawatan anak), kini
penyelesaiannya ditempati oeleh Mahkama Konstitusi. Jika individu, kelompok,
lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya
penyelesaiaan sengketanya dilakukan di Mahkama Konstitusi.
c. Administrative Law (hukum yang mengatur administrasi negara), penyelesaiannya
dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah,
sertifikasi, dan sejenisnya.
d. International Law (perjanjian internasional), tidak diselesaikan oleh badan yudikatif
di bawa kendali suatu negara melainkan atas nama Perseriktan Bangsa-Bangsa
(PBB).
4
D. Badan Yudikatif di Negara-Negara Komunis
Pandangan orang komunis terhadap peranan dan wewenang badan yudikatif
berdasarkan suatu konsep yang dinamakan Soviet Legality. Dikatakan bahwa
socialist legality secara aktif memajukan masyarakat Soviet ke arah komunisme dan
karenanya segala aktivitas serta semua alat kenegaraan termasuk penyelenggaraan
hukum dan wewenang badan yudikatif merupakan prasarana untuk melancarkan
perkembangan ke arah komunisme.
Hak asasi pun dilihat dalam rangka yang sama dan fungsi badan yudikatif pun
tidak dimaksud untuk melindungi kebebasan dari individu dari tindakan sewenang-
wenanga pemerintah.
Satu ciri yang terdapat di kebanyakan negara, baik yang memakai sistem
Common Law maupun sistem Civil Law ialah hak menguji (toetsingsrecht), yaitu hak
menguji apakah peraturan-peraturan hukum yang Iebih rendah dari undang-undang
sesuai atau tidak dengan undang-undang yang bergangkutan. Di beberapa negara
tertentu, seperti Amerika Serikat, India, dan Jerman Barat, Mahkamah Agung juga
mempunyai wewenang menguji apakah suatu undang-undang sesuai dengan Undang-
Undang Dasar atau tidak, dan untuk menolak melaksanakan undang-undang serta
peraturan-peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
ini dinamakan Judicial Review. Wewenang ini tidak secara eksplisit dinyatakan dalam
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, tetapi dalam tahun 1803 telah ditafsirkan
demikian oleh Ketua Mahkamah Agung John Marshall, dan kemudian diterima oleh
masyarakat sebagai suatu hal yang wajar.
5
golongan Afrika Amerika (segregation) merupakan diskriminasi dan tidak dibenarkan
Undang undang ini disanggap sebagai tonggak sejarah dalam perjuangan orang Afrika
Amerika untuk mendapatkan hak-hak sipil.
Di India dapat disebut keputusan Mahkamah Agung yang pada tahun 1969 telah
menyatakan undang-undang yang diprakarsai oleh pemerintah Indira Gandhi untuk
menasionalisasikan beberapa bank swasta, sebagai unconstitutional.
Dalam doktrin Trias Politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan
maupun sebagai pembagian kekuasaan, khusus untuk cabang kekuasaan yudikatif,
prinsip yang tetap dipegang ialah bahwa dalam tiap negara hukum badan yudikatif
haruslah bebas dari campur tangan badan eksekutif. Ini dimaksudkan agar badan
yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta
menjamin hak-hak asasi manusia. Sebab hanya dengan asas kebebasan badan yudikatif
itulah dapat diharapkan bahwa keputusan yang diambil oleh badan yudikatif dalam suatu
perkara tidak akan memihak, berat sebelah, dan semata-mata berpedoman pada norma-
norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim itu sendiri dengan tidak usah takut
bahwa kedudukannya terancam.
6
pada usia lebih tinggi daripada pegawai Iain), selama ia berkelakuan baik dan tidak
tersangkut kejahatan. Selain itu, di kebanyakan negara jabatan kehakiman tidak
didasarkan atas hasil pemilihan seperti halnya pada jabatan legislatif dan kepala
eksekutif (misalnya presiden di Indonesia dan di Amerika Serikat). Hakim biasanya
diangkat oleh badan eksekutif yang dalam hal Amerika Serikat didasarkan atas
persetujuan Senat atau dalam hal Indonesia atas rekomendasi badan legislatif. Ini
dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif tidak dipengaruhi oleh fluktuasi politik suatu
masa, sehingga dengan demikian diharapkan tugas yudikatifnya bisa dilaksanakan
dengan sebaik-balknya.
7
kita berada dalam revolusi, dan dikatakan selanjutnya bahwa Pengadilan adalah tidak
bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang.
Nyatalah di sini bahwa isi dan jiwa undang-undang itu bertentangan sekali
dengan isi dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, tepatlah bahwa MPRS
sebagai lembaga negara tertinggi dalam sidangnya yang ke-4 antara lain telah
mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XIX Tahun 1966, Tentang Peninjauan Kembali
Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan asas kebebasan badan yudikatif seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 4 Ayat 3, menentukan
bahwa: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak Iain di luar
Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-
Undang Dasar."
Asas judicial review seperti yang ada di Amerika Serikat dan India, tidak dikenal
di Indonesia sebelum masa reformasi; Undang-Undang Dasar 1945 bungkam mengenal
hal ini. Akan tetapi Undang-Undang Dasar 1949 (Pasal 130) dan Undang-Undang Dasar
1950 (Pasal 95) dengan tegas mengatakan bahwa: “Undang-undang tidak dapat diganggu
gugat”, yang berarti bahwa menurut Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950 undan-
gundang tidak dapat diuji, sekalipun diakui adanya hak menguji (toetsingsrecht) untuk
aturan-aturan yang lebih rendah dari undang-undang mengenai sah tidaknya suatu
peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutnya, maka ada beberapa
golongan dalam masyarakat, antara lain Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), yang
pada permulaan masa Demokrasi Pancasila telah sangat mendesak pemerintah untuk
mengakui adanya hak menguji undang-undang pada Mahkamah Agung. Diharapkan
8
bahwa dengan adanya wewenang judicial review ini, dijamin tidak terulang kembali
penyelewengan-penyelewengan seperti yang dilakukan oleh Ir. Soekarno pada masa
Demokrasi Terpimpin. Akan tetapi rupa-rupanya pemerintah berpendapat lain, seperti
terbukti dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964.
Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengaturnya, maka tidak dengan
sendirinya hak menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh
Mahkamah Agung dapat diletakkan dalam Undang-undang ini. Hak menguji tersebut
apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharusnya merupakan ketentuan
Konstitusionil.
Demikian pula, MPR(S) hingga sekarang tidak menetapkan hak menguji oleh
Mahkamah Agung.
Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam
Ketetapan MPR(S) yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari hubungan
hukum antara alat perlengkapan Negara yang ada dalam Negara, berarti bahwa Undang-
undang ini (Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman)
tidak dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak menguji, apalagi
secara materiil Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
9
Hanya Undang-Undang Dasar ataupun Ketetapan MPR(S) dapat memberikan
ketentuan.
1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review).
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2. Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) presiden dan/atau wakil presiden
atas permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
Calon hakim agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Ketua dan
wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
10
Komisi YudisiaI (KY) adalah suatu lembaga baru yang bebas dan mandiri, yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang dalam rangka
menegakkan kehormatan dan perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 24B).
Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya tentang Amandemen UUD
di Indonesia setelah masa reformasi, perubahan yang terjadi pada kekuasaan kehakiman
setelah dilakukan amandemen konstitusi juga telah menyebabkan terjadinya perubahan
yang cukup mendasar.
Beberapa masalah yang muncul yang tidak diatur dengan jelas adalah:
1. Bagaimana status peradilan Iain yang secara faktual telah ada seperti; pengadilan
niaga, pengadilan ad hoc HAM, pengadilan pajak, pengadilan syariah Nanggroe
Aceh Darussalam, dan pengadilan adat (otonomi khusus Papua)? Apakah berbagai
peradilan itu dimasukkan ke dalam salah satu lingkungan peradilan saja, atau
dikualifikasi sebagai satu peradilan khusus?
2. Di mana tempat pengadilan khusus seperti misalnya pengadilan anti korupsi,
pengadilan lingkungan, pengadilan pertanahan dan perburuhan?
Memang harus diakui bahwa meski perjalanan reformasi di Indonesia yang digulirkan
sejak Mei 1998 tak semudah yang direncanakan, namun dalam bidang hukum ada banyak
upaya untuk memperbaikinya dengan tujuan untuk menegakkan supremasi hukum dan
modernisasi hukum. Salah satunya dengan dibentuknya lembaga-Iembaga baru, di samping
yang sudah disebutkan di atas, atau yang sudah ada sebelumnya seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) yang awal pembentukannya berdasarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 50 Tahun 1993.
11
Lembaga-Iembaga baru tersebut, antara Iain adalah:
Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 15
Tahun 2000 tanggal 18 Februari 2000. Pembentukan Komisi Hukum Nasional ini adalah
untuk mewujudkan sistem hukum nasional demi menegakkan supremasi hukum dan hak-
hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran dengan melakukan pengkajian
masalah-masalah hukum serta penyusunan rencana pembaruan di bidang hukum secara
obyektif dengan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pembentukannya melalui Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembentukan KPK merupakan respons pemerintah terhadap rasa pesimistis masyarakat
terhadap kinerja dan reputasi kejaksaan maupun kepolisian dalam hal pemberantasan
korupsi.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, yang lebih dikenal dengan
sebutan Komnas Perempuan. Lembaga independen ini dibentuk sebagai mekanisme
nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Komisi nasional ini
didirikan tanggal 15 Oktober 1998 berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 Tahun
1998. Lahirnya Komnas Perempuan merupakan jawaban pemerintah terhadap tuntutan
masyarakat sipil, khususnya kaum perempuan. sebagai wujud tanggung jawab negara
dalam menanggapi dan menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan.
Komisi Ombudsman Nasional atau disingkat KON, dibentuk tanggal 20 Maret 2000
berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000. KON berperan agar pelayanan
umum yang dijaIankan oleh instansi-instansi pemerintah berjalan dengan baik. Untuk itu
KON menerima pengaduan masyarakat. Tujuannya, melalui peran serta masyarakat,
membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam
melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dan Iainnya
meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum,
keadilan, dan kesejahteraan secara Iebih baik.
Adanya berbagai Iembaga ini diharapkan dapat mendukung reforma: di bidang
hukum.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lembaga yudikatif adalah salah satu dari beberapa lembaga penting yang ada di
NKRI yang memiliki wewenang sangat penting pula yaitu menafsirkan isi undang-
undang dalam pembuatan keputusan hukum dan memberikan sanksi atas setiap
pelanggaran yang terjadi. Lembaga ini bergerak di bidang peradilan yang memiliki
kekuasaan kehakiman. Dalam menjalankan kelembagaan haruslah di dasari dengan
kejujuran serta ke-netralan setiap aparat yang ada di dalamnya dan haruslah terbebas dari
campur tangan lembaga lain namun tetap dalam pengawasan Pemerintah.
B. Saran
Berdasarkan materi yang telah kami paparkan ada sedikit ketumpang tindihan
antara fungsi lembaga yudikatif dengan situasi yang terjadi di NKRI saat ini jadi saran
kami adalah agar lembaga yudikatif bisa lebih netral dalam melakukan setiap kebijakan.
Seperti berikut:
1. Pemerintah
2. Lembaga Kehakiman
3. Masyarakat
Masyarakat merupakan subyak dan sasaran dari setiap aturan dan kebijkan
yang dibuat. Hendaknya masyarakat dapat menjadi pengawas pemerintahan dan
lembaga hukum negara agar menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu
masyarakat juga diharapkan dapat menaati aturan yang telah dibuat oleh lembaga
berwenang sesuai UU.
13