Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bencana merupakan hasil dari muncul-nya kejadian luar biasa (hazard) pada
komunitas yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat mengatasi
berbagai implikasi dari kejadian luar biasa tersebut. Bencana dapat menimbulkan
kerugian besar dari sisi korban jiwa, material, nonmaterial, hingga kerusakan
lingkungan. Bencana seringkali mengancam keberlangsungan pemerintahan di
suatu wilayah apabila pemerintah setempat lumpuh dihantam bencana dan
tidak mampu menanggulangi dampak yang muncul akibat bencana. Hal ini karena
pada umumnya pemerintahan hanya dipersiapkan untuk beroperasi pada situasi
normal dan rutin dan tidak dipersiapkan untuk beroperasi pada situasi bencana.
Sementara itu, Indonesia menempati peringkat kedua dalam data jumlah kematian
tertinggi akibat bencana alam se-Asia Pasifik. Kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana di negeri ini juga sangat besar. (1)
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana
yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam
terseut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia
menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan
kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam. (2)
Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi
(gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat hydrometeorologi
(banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana akibat faktor biologi (wabah
penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman) serta kegagalan
teknologi (kecelakan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran
bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia
akibat perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik.

1
Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada
suatu daerah konflik.(2)

Untuk mengatasi permasalahan bencana tersebut, berbagai pihak telah terlibat


dalam persoalan tersebut, namun peran vital Negara tidak dapat dinafikan, dalam hal
ini Pemerintah harus bertanggung jawab dalam penanggulanggan bencana. Selain
karena bencana (baik yang disebabkan oleh faktor alam dan atau non alam, maupun
oleh faktor manusia), kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis, serta sangat berpengaruh besar terhadap kesejahteraan warga negara.
Akibat dari peristiwa tersebut dampak dari bencana juga bersifat kompleks sehingga
dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, politik, dan sosial. (2)

Indonesia menyadari bahwa masalah kebencanaan harus ditangani secara


serius sejak terjadinya gempabumi dan disusul tsunami yang menerjang Aceh dan
sekitarnya pada 2004. Kebencanaan merupakan pembahasan yang sangat
komprehensif dan multi dimensi. Menyikapi kebencanaan yang frekuensinya terus
meningkat setiap tahun, pemikiran terhadap penanggulangan bencana harus dipahami
dan diimplementasikan oleh semua pihak. Bencana adalah urusan semua pihak. (3)

Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca
bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan
sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness.
Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum
bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin
timbul ketika bencana. (4)

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebelum bencana dapat berupa


pendidikan peningkatan kesadaran bencana (disaster awareness), latihan
penanggulangan bencana (disaster drill), penyiapan teknologi tahan bencana
(disaster-proof), membangun sistem sosial yang tanggap bencana, dan perumusan
kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana (disaster management policies). (5)

2
Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga
kegiatan utama, yaitu:

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,


kesiapsiagaan, serta peringatan dini;
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR),
bantuan darurat dan pengungsian;
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi. (6)
Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru
kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah
dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca
bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta memikirkan
tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan didalam
menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak bencana. (6)

Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana,
untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan
korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian
penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat
terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan
mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material. Banyaknya
bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola
dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran, tepat
manfaat, dan terjadi efisiensi. (7)

Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat
yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada
keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi dan
rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah kebencanaan

3
serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu diperhatikan juga
rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau depresi. (7)

Dari uraian di atas, maka perlu kita ketahui bagaimana Sistem Penanggulangan
Bencana Nasional yang ada di Indonesia, sehingga hal ini dapat diperbaiki dan
ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah penanggulangan bencana di Indonesia ?
2. Bagaimana perubahan paradigma penanggulangan bencana di Indonesia?
3. Bagaimana prinsip pengurangan resiko bencana dalam penanggulangan bencana?
4. Bagaimana tahapan atau proses dalam penanggulangan bencana?

C. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mengetahui dan memahami sejarah penanggulangan bencana di


Indonesia
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami perubahan paradigma penanggulangan
bencana di Indonesia
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami pengurangan resiko bencana dalam
penanggulangan bencana
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami tahapan atau proses dalam
penanggulangan bencana

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA


Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana
yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam
terseut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia
menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan
kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam. (2)

Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi
(gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat hydrometeorologi
(banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana akibat faktor biologi (wabah
penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman) serta kegagalan
teknologi (kecelakan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran
bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia
akibat perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik.
Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada
suatu daerah konflik. (4)

Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan


atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga dapat
dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan selama ini
belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana, sehingga
seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya yang penting
tidak tertangani.(5)

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam upaya
penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana. Secara

5
lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. (2)

Melihat kenyataan saat ini, berbagai bencana yang dilatarbelakangi kondisi


geografis, geologis, hidrologis, dan demografis mendorong Indonesia untuk
membangun visi untuk membangun ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana.
Wilayah Indonesia merupakan gugusan kepulauan terbesar di dunia. Wilayah yang
juga terletak di antara benua Asia dan Australia dan Lautan Hindia dan Pasifik ini
memiliki 17.508 pulau. Meskipun tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-
pulau yang luar biasa, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa wilayah nusantara ini
memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak berada
pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia?Lempeng Indo-Australia, Eurasia,
dan Pasifik. (6)

Ring of fire dan berada di pertemuan tiga lempeng tektonik menempatkan


negara kepulauan ini berpotensi terhadap ancaman bencana alam. Di sisi lain, posisi
Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis memicu terjadinya
bencana alam lainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah
longsor, dan kekeringan. Tidak hanya bencana alam sebagai ancaman, tetapi juga
bencana non alam sering melanda tanah air seperti kebakaran hutan dan lahan,
konflik sosial, maupun kegagalan teknologi.(7)

Menghadapi ancaman bencana tersebut, Pemerintah Indonesia berperan


penting dalam membangun sistem penanggulangan bencana di tanah air.
Pembentukan lembaga merupakan salah satu bagian dari sistem yang telah berproses
dari waktu ke waktu. Lembaga ini telah hadir sejak kemerdekaan dideklarasikan pada
tahun 1945 dan perkembangan lembaga penyelenggara penanggulangan bencana
dapat terbagi berdasarkan periode waktu sebagai berikut.(8)

1. Periode tahun 1945 – 1966 : Pemerintah Indonesia membentuk Badan


Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Badan yang didirikan pada 20 Agustus
1945 ini berfokus pada kondisi situasi perang pasca kemerdekaan Indonesia. Badan

6
ini bertugas untuk menolong para korban perang dan keluarga korban semasa perang
kemerdekaan.

2. Periode tahun 1966 – 1967 : Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan


Penanggulangan Bencana Alam Pusat (BP2BAP) melalui Keputusan Presiden Nomor
256 Tahun 1966. Penanggung jawab untuk lembaga ini adalah Menteri Sosial.
Aktivitas BP2BAP berperan pada penanggulangan tanggap darurat dan bantuan
korban bencana. Melalui keputusan ini, paradigma penanggulangan bencana
berkembang tidak hanya berfokus pada bencana yang disebabkan manusia tetapi juga
bencana alam.

3. Periode tahun 1967 – 1979 : Frekuensi kejadian bencana alam terus meningkat.
Penanganan bencana secara serius dan terkoordinasi sangat dibutuhkan. Oleh karena
itu, pada tahun 1967 Presidium Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomor
14/U/KEP/I/1967 yang bertujuan untuk membentuk Tim Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA).

4. Periode tahun 1979 – 1990 : Pada periode ini Tim Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA) ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas PBA) yang diketuai oleh
Menkokesra dan dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1979.
Aktivitas manajemen bencana mencakup pada tahap pencegahan, penanganan
darurat, dan rehabilitasi. Sebagai penjabaran operasional dari Keputusan Presiden
tersebut, Menteri Dalam Negeri dengan instruksi Nomor 27 tahun 1979 membentuk
Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Alam (Satkorlak PBA)
untuk setiap provinsi.

5. Periode tahun 1990 – 2000 : Bencana tidak hanya disebabkan karena alam tetapi
juga non alam serta sosial. Bencana non alam seperti kecelakaan transportasi,
kegagalan teknologi, dan konflik sosial mewarnai pemikiran penanggulangan
bencana pada periode ini. Hal tersebut yang melatarbelakangi penyempurnaan Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam menjadi Badan Koordinasi

7
Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Melalui Keputusan Presiden
Nomor 43 Tahun 1990, lingkup tugas dari Bakornas PB diperluas dan tidak hanya
berfokus pada bencana alam tetapi juga non alam dan sosial. Hal ini ditegaskan
kembali dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1999. Penanggulangan
bencana memerlukan penanganan lintas sektor, lintas pelaku, dan lintas disiplin yang
terkoordinasi.

6. Periode tahun 2000 – 2005 : Indonesia mengalami krisis multidimensi sebelum


periode ini. Bencana sosial yang terjadi di beberapa tempat kemudian memunculkan
permasalahan baru. Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan khusus karena
terkait dengan pengungsian. Oleh karena itu, Bakornas PB kemudian dikembangkan
menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi (Bakornas PBP). Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden
Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden
Nomor 111 Tahun 2001.

7. Periode tahun 2005 – 2008 : Tragedi gempa bumi dan tsunami yang melanda Aceh
dan sekitarnya pada tahun 2004 telah mendorong perhatian serius Pemerintah
Indonesia dan dunia internasional dalam manajemen penanggulangan bencana.
Menindaklanjuti situasi saat iu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan
Bencana (Bakornas PB). Badan ini memiliki fungsi koordinasi yang didukung oleh
pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulanagn bencana. Sejalan dengan
itu, pendekatan paradigma pengurangan resiko bencana menjadi perhatian utama.

8. Periode tahun 2008 s/d sekarang : Dalam merespon sistem penanggulangan


bencana saat itu, Pemerintah Indonesia sangat serius membangun legalisasi, lembaga,
maupun budgeting. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB). BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan bencana, dan

8
unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki fungsi pengkoordinasian
pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan
menyeluruh. (8,2)

B. PERUBAHAN PARADIGMA PENANGGULANGAN BENCANA

Sejarah mencatat banyaknya jumlah kejadian bencana alam di dunia


menimbulkan dampak kerugian yang sangat besar terhadap manusia dan asset
penghidupannya. Hal ini memberikan pembelajaran untuk merubah pola pikir
masyarakat dunia akan arti pentingnya menanggulangi bencana sebelum bencana itu
terjadi atau yang saat ini disebut dengan pengurangan risiko bencana (PRB). Berbagai
upaya yang dilakukan untuk penanggulangan bencana terus berlangsung dan berubah
menuju arah yang lebih baik lagi dari waktu ke waktu. (9)

Diterbitkannya Undang – Undang Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007


membuktikan bahwa paradigma penanggulangan bencana semakin lama semakin
berkembang dari melakukan reaksi tanggap darurat pada saat setelah terjadi bencana
menuju antisipasi pengurangan kerugian baik harta maupun nyawa sebelum terjadi
bencana. (2)

Pergeseran paradigma dalam penanggulangan bencana secara


global/internasional yaitu timbulnya “Kesadaran“ akan upaya peredaman atau
pengurangan bencana yang dimulai pada tahun 1990. Selanjutnya pada bulan Mei
1994 dikaji di Yokohama yang menghasilkan Strategi dan Rencana Aksi pada tanggal
30 Juli 1999. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengeluarkan Resolusi No. 63 Tahun
1999 tentang Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional (1990-1999). Lebih
lanjut, PBB memfokuskan tindakan kepada pelaksanaan Strategi Internasional untuk
pengurangan risiko bencana (International Strategy for Disaster Reduction - ISDR),
kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan konfrensi sedunia hingga lahirlah
Kerangka Aksi Hyogo untuk Pengurangan Risiko Bencana.

9
Hingga saat ini, perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana ada 4
fase, yaitu:

1. Paradigma relief / tanggap darurat (tahun 60-an)

Pada paradigma relief / tanggap darurat ini adalah penanggulangan bencana yang
difokuskan pada saat kejadian bencana melalui upaya pemberian bantuan darurat
(relief) berupa pangan, tempat penampungan, dan kesehatan. Tujuan utama
penanganan adalah untuk meringankan penderitaan korban dan memperbaiki
kerusakan akibat kejadian bencana dan segera mempercepat upaya pemulihan
(recovery).

2. Paradigma mitigasi (tahun 80-an)

Pada paradigma mitigasi, penanggulangan bencana memfokuskan pada upaya


pengenalan bahaya yang mengancam dan pola perilaku individu/masyarakat yang
menimbulkan kerentanan terhadap bencana. Mitigasi atau meminimalkan dampak
terhadap bencana dilakukan secara fisik/struktural, sedangkan mitigasi terhadap pola
perilaku yang rentan melalui non-struktural, seperti penyuluhan, relokasi
permukiman, peraturan-peraturan bangunan dan penataan ruang.

3. Paradigma pembangunan (tahun 90-an)

Paradigma pembangunan adalah paradigma dimana manajemen bencana yang


memfokuskan pada faktor-faktor penyebab dasar dan proses terjadinya kerentanan
masyarakat terhadap bencana. Manajemen bencana dikaitkan dengan sektor-sektor
pembangunan, seperti masalah kemiskinan, kualitas hidup, pemilikan lahan, akses
terhadap modal, pendidikan yang rendah, inovasi teknologi dsb.

4. Paradigma reduksi risiko (tahun 2000-an)

Paradigma ini merupakan kombinasi dari sudut pandang teknis dan ilmiah
terhadap kondisi sosial, ekonomi, politis dan lingkungan. Penanggulangan bencana
diawali dari menganalisis risiko bencana berdasarkan ancaman/bahaya dan

10
kerentanan, untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola dan mengurangi
risiko, serta mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan. Manajemen bencana
dilakukan bersama oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder), lintas sektor dan
dengan pemberdayaan masyarakat. (10)

C. PRINSIP PENGURANGAN RISIKO BENCANA DALAM


PENANGGULANGAN BENCANA

Besar atau kecilnya dampak dalam sebuah bencana diukur dari korban jiwa,
kerusakan, atau biaya–biaya kerugian yang ditimbulkannya. Namun demikian, dalam
upaya pengurangan risiko bencana, dampak sebuah bencana dapat diprediksi dengan
mengidentifikasi beberapa hal di bawah ini : (11)

a. Ancaman/bahaya (Hazard) = H
Apakah beda antara ancaman/bahaya dengan bencana?

Ancaman atau bahaya adalah fenomena atau situasi yang memiliki potensi untuk
menyebabkan gangguan atau kerusakan terhadap orang, harta benda, fasilitas,
maupun lingkungan. Sebaliknya, bencana merupakan suatu peristiwa, baik akibat
ulah manusia maupun alam, tiba – tiba maupun bertahap, menyebabkan kerugian
yang luas pada manusia, materi, maupun lingkungan.

Menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN –


ISDR), bahaya terdiri atas bahaya alam dan bahaya karena ulah manusia, yang dapat
dikelompokkan menja di bahaya geologi, bahaya hidrometeorologi, bahaya biologi,
bahaya teknologi, dan penurunan kualitas lingkungan. (12)

b. Kerentanan (Vulnaribility) = V
Kerentanan merupakan suatu kondisi yang menurunkan kema mpuan seseorang
atau komunitas masyarakat untuk menyiapkan diri, bertahan hid up, atau merespon
potensi bahaya. Kere ntanan masyarakat secara kultur dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti kemis kinan, pendidikan, sosial dan budaya. Selanjutnya aspek
infrastruktur yang juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kerentanan.

11
c. Kapasitas (Capacity) = C
Kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang ada pada tiap individu dan
lingkungan yang mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap menghadapi dan pulih
dari akibat bencana dengan cepat.
d. Risiko bencana (Risk) = R
Risiko bencana merupakan interaksi tingkat kerentanan dengan bahaya yang ada.
Ancaman bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dina mika proses alami,
sedangkan tingkat kerentanan dapat dikurangi sehingga kemampuan dalam
menghadapi ancaman bencana semakin meningkat.
Prinsip atau konsep y ang digunakan dalam penilaian risiko bencana adalah:

(13)

D. TAHAPAN/PROSES DALAM PENANGGULANGAN BENCANA

Manajemen penanggulangan bencana dapat didefinisikan sebagai segala upaya


atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka upaya pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang
dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.(12)

Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu proses yang dinamis,


yang dikembangkan dari fungsi manajemen klasik yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan pengawasan. Proses tersebut
juga melibatkan berbagai macam organisasi yang harus bekerjasama untuk
melakukan pencegahan. mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan
akibat bencana.

Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan bencana, dilaksanakan


melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut (13):

1. Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika sedang tidak terjadi bencana dan ketika
sedang dalam ancaman potensi bencana.

12
2. Tahap tanggap darurat yang dirancang dan dilaksanakan pada saat sedang terjadi
bencana.
3. Tahap pasca bencana yang dalam saat setelah terjadi bencana.
Dalam keseluruhan tahapan penanggulangan bencana tersebut, ada 3 (tiga)
manajemen yang dipakai yaitu :
1. Manajemen Risiko Bencana
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada
faktor-faktor yang mengurangi risiko secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan
menyeluruh pada saat sebelum terjadinya bencana dengan fase-fase antara lain :
a. Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
b. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
c. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu serangkaian
kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang.

2. Manajemen Kedaruratan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada
faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan pengungsi
secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat terjadinya bencana
dengan fase nya yaitu fase tanggap darurat. (13,14)

Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan


segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan,
yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan

13
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan,serta pemulihan
prasarana dan sarana.

3. Manajemen Pemulihan
Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada
faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup
yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan
sarana secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh setelah terjadinya
bencana dengan fase-fasenya nya yaitu :
a. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
b. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana.(15)

14
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Indonesia adalah sebuah Negara rawan bencana, dimana bencana tersebut harus
dihadapi dalam setiap saat maupun dalam waktu tertentu. Oleh karena itu
penanggulangan bencana harus ditangani secara integral, holistik dan komprehensif.

Dalam merespon sistem penanggulangan bencana saat itu, Pemerintah


Indonesia sangat serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting. Setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun
2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Perubahan paradigma dalam penanggulangan bencana ada 4 fase, yaitu,


paradigma relief / tanggap darurat (tahun 60-an), paradigma mitigasi (tahun 80-an),
paradigma pembangunan (tahun 90-an), dan paradigma reduksi risiko (tahun 2000-
an). Dalam upaya pengurangan risiko bencana, dampak sebuah bencana dapat
diprediksi dengan mengidentifikasi Ancaman/bahaya (Hazard), Kerentanan
(Vulnaribility), Kapasitas (Capacity), dan Risiko bencana (Risk).Adapun tahapan
penyelenggaraan penanggulangan bencana dibagi menjadi tiga fase yaitu fase pra
bencana ( pencegahan, mitigasi, pengalihan dan kesiapsiagaan), fase saat tanggap
darurat ( operasi tanggap darurat ), fase pascabencana (rehabilitasi dan rekonstruksi).

B. Saran

Diharapkan melalui makalah ini mahasiswa atapun pembaca dapat memahami


lebih dalam tahapan sistem penanggulangan bencana nasional dengan demikian dapat
turut serta dalam pengendalian dini bencana yang akan terjadi.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Kholid, Ahmad S.Kep, Ns. Prosedur Tetap Pelayanan Medik Penanggulangan


Bencana.
2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007.
3. Benson, Charlote Dkk. 2007. Perangkat Untuk Mengarusutamakan Risiko
Bencana.Switzerland. Provention Consortium
4. Bustami, Del Afriadi. 2011. Modul Pelatihan Dasar Manajemen
Penanggulangan Bencana. Jakarta. UNDP.
5. Daliyo, dkk. 2008. “Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi
Bencana Alam di Kabupaten Sikka”. LIPI, Jakarta.
6. Hidayati, Deny dkk. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam
Mengantisipasi Bencana Gempa & Tsunami di Indonesia. LIPI –. Jakarta.
7. Hidayati, Sri dkk. 2009. Modul Pelatihan Pengintegrasian Pengurangan
Risiko Bencana (PRB) ke dalam Sistem Pendidikan. Pusat Kurikulum Badan
Penelitian dan Pengembangan Kriteria Pendidikan Nasional. Jakarta
8. Rafliana, Irina. 2009. Panduan Table Top Simulation, LIPI. Jakarta
9. Supeno, Wahjudin. 2009. Modul Kepemimpinan Damai. Forum LSM Aceh.
Banda Aceh.
10. Strategi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko PRB di Sekolah, Kementrian
Pendidikan Nasiaonal. 2010.
11. http://www.info.gov.za/view/DownloadFileAction?id=68922
12. http://file.upi.edu/Direktori/PROCEEDING/GEOGRAFI/Integrasi_Pengurang
an_Resiko_Bencana_(PRB )_dalam_Kegiatan_Pendidikan_di_Sekolah.pdf
13. http://www.beritaindonesia.co.id/berita-utama/bencana-masih-hantui-tahun-
2007/all
14. http://iipjustiip.blogspot.com/2008/12/10-bencana-terbesar-sepanjang-
sejarah.html
15. http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi

16
17

Anda mungkin juga menyukai