Wa0006
Wa0006
DOKTER PTT
Sebagai seorang dokter yang telah lulus UKMPPD dan menyelesaikan Internship, dokter Agus
mendapat tawaran untuk berpraktik di beberapa instansi kesehatan yang ada di kota
kelahirannya. Akan tetapi, ia memutuskan untuk mengabdi sebagai dokter PTT di puskesmas
daerah sangat terpencil di Aceh. Ia merupakan satu-satunya dokter yang ada di daerah tersebut.
Pada suatu ketika, datang seorang pasien wanita dengan diantar suaminya mengeluh perdarahan
dari jalan lahir disertai gumpalan kecoklatan dan terasa kram pada perut bawah. Pasien mengaku
sedang hamil anak pertama dengan usia kehamilan 1 bulan. Sesuai prosedur, dokter harus
melakukan pemeriksaan dalam (vaginal touche) untuk mendiagnosis jenis abortus dan
menetukan tata laksana yang tepat. Setelah dokter Agus menjelaskan prosedur pemeriksaan
tersebut, pasien menolak untuk diperiksa dan hanya meminta untuk diresepkan obat. Dengan
mempertimbangkan prinsip dasar etika kedokteran, etika klinik, dan etika Islam, bagaimana
seharusnya yang dilakukan dokter Agus dalam mengambil keputusan untuk mengatasi dilema
etik pada kasus tersebut.
Langkah 1
1. Pemeriksaan dalam (vaginal touche) : pemeriksaan genitalia bagian dalam mulai dari
vagina sampai serviks menggunakan dua jari, yang salah satu tekniknya adalah menggunakan
skala ukuran jari (lebar jari berarti 1 cm) untuk menentukan diameter dilatasi serviks
(pembukaan serviks atau portio).
3. Mengapa dokter mengalami dilema etik? Bagaimana solusi untuk dokter yang sedang
mengalami dilema etik?
4. Bagaimana cara dokter menyikapi dan meyakinkan pasien yang tidak mau diperiksa?
5. Apakah boleh pasien meminta diresepkan obat tanpa melalui tahap pemeriksaan?
6. Apa dasar pasien bisa menentukan tindakan meminta resep dari dokter tanpa melalui
pemeriksaan?
9. Mengapa dokter Agus memutuskan untuk penempatan sebagai dokter PTT di daerah terpencil
Aceh?
1. Hal ini diatur dalam etika kedokteran (Kode Etik Kedokteran Indonesia) pasal 10-13. Selain
itu dokter diperkenankan untuk menangani pasien lawan jenis namun memperhatikan emosional
dan bersikap profesional karena hubungan dokter dengan pasien sebatas hak dan kewajiban.
2. – Berada di daerah terpencil, pendidikan atau ilmu pengetahuan pasien yang kurang memadai,
dokter kurang bisa meyakinkan pasien dalam menginformasikan terapi yang akan diberi.
- Merasa malu karena dokter yang memeriksa berlawanan jenis dengan pasien.
3. Dokter mengalami dilema etik karena saat itu dokter akan melakukan pemeriksaan dalam
untuk menegakkan diagnosa dan melakukan terapi yang sesuai untuk pasien namun di sisi lain
pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan dalam. Pada kondisi ini dokter dapat menuliskan
surat keterangan bahwa pasien menolak untuk dilakukan pemeriksaan agar jika pada kemudian
hari terjadi hal-hal buruk maka pasien tidak dapat menuntut pasien. Selain itu dokter bisa
merujuk pasien kepada bidan atau dokter lain yang memiliki gender yang sama.
4. Pada kasus ini yang harus dilakukan dokter adalah menghormati hak pasien. Kemudian dokter
dapat meminta persetujuan pada orang terdekat dari pasien ini yaitu suaminya. Untuk cara
meyakinkan pasien, dokter bisa menjelaskan resiko yang akan dialami pasien ketika tidak
melakukan pemeriksaan dalam. Selain itu dokter juga dapat mengedukasi pasien beserta wali
mengenai tata laksana pemeriksaan dalam.
5. Dalam KODEKI, dokter berhak menolak permohonan pasien jika bertentangan dengan hati
nurani dokter karena dikhawatirkan akan berdampak buruk pada kesehatan pasien.
8. Abortus boleh dilakukan jika memang dianggap membahayakan bagi ibu dengan usia
kehamilan kurang dari 20 minggu dengan berat kurang dari 500 gram serta tindakan abortus ini
hanya boleh dilakukan oleh tenaga medis yang ahli.