Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

Schizophrenia Paranoid

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik


di Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Keluarga Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

disusun oleh :

Nanda Pinteniateni Arsa NIM: 1507101030078


Siti Chairunnisa NIM: 1507101030163

Pembimbing:
dr. Zulfa Zahra, Sp. KJ

SMF/BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
“Schizophrenia Paranoid”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW. yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/ SMF Ilmu Kedokteran Keluarga
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ucapan terima kasih
dan penghargaan penulis sampaikan kepada dr. Zulfa Zahra, Sp. KJ yang telah
bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan
yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2


DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 6
2.1 Anatomi Cavum Nasalis ...................................................................... 6
2.2 Fisiologi Indera Penciuman ................................................................. 2
2.3 Rhinitis Alergi .................................................................................. 11
2.4 Epidemiologi Rhinitis Alergi ............................................................. 11
2.5. Etiologi Rhinitis Alergi .................................................................... 11
2.6 Patofisiologi Rhinitis Alergi .............................................................. 12
2.7 Klasifikasi Rhinitis Alergi ................................................................ 15
2.8 Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi ..................................................... 16
2.9 Diagnosis Rhinitis Alergi .................................................................. 16
2.10 Diagnosis Banding ........................................................................... 19
2.11 Penatalaksanaan Rhinitis Alergi ...................................................... 19
2.12 Komplikasi Rhinitis Alergi .............................................................. 20
2.13 Prognosis ......................................................................................... 22
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................ 23
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................. 28
BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 32
BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan hanya
berupa keadaan tanpa penyakit atau kelemahan tubuh. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa seseorang dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam
keadaan tidak terganggu baik tubuh, psikis, maupun sosial. Kesehatan seharusnya
dilihat dan dinilai secara menyeluruh sehingga kesehatan jiwa merupakan bagian
dari kesehatan yang tidak dapat dipisahkan, dan juga harus diperhatikan1.
WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami
gangguan mental, dimana sekitar 10% diantaranya adalah orang dewasa dan 25%
lainnya adalah penduduk pada kelompok usia lain dan diperkirakan akan
mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Usia ini biasanya
terjadi pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun2. Menurut National institute of
Mental Health , gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan
diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan
memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di
berbagai negara. Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004,
diperkirakan 26,2 % penduduk yang berusia 18 – 30 tahun atau lebih mengalami
gangguan jiwa3.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2007), menunjukkan bahwa
prevalensi gangguan jiwa secara nasional mencapai 5,6% dari jumlah penduduk,
dengan kata lain menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat
empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa. Prevalensi gangguan jiwa
tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta (24,3 %),
diikuti Nagroe Aceh Darussalam (18,5 %), Sumatera Barat (17,7 %), NTB (10,9
%), Sumatera Selatan (9,2 %) dan Jawa Tengah (6,8%). Berdasarkan dari data
tersebut bahwa data pertahun di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa selalu
meningkat4. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI mengatakan bahwa
jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat sangat tinggi, yakni satu
dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa rasa cemas, depresi, stress,
penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia5.
Schizophrenia atau skizofrenia adalah salah satu bentuk gangguan psikosis
yang menunjukkan beberapa gejala psikotik, Pasien psikotik tidak dapat mengenali
atau tidak memiliki kontak dengan realitas. Beberapa gejala psikotik adalah delusi,
halusinasi, pembicaraan kacau, tingkah laku kacau. Skizofrenia juga dijelaskan
sebagai suatu penyakit otak persisten serius yang mengakibatkan perilaku psikotik,
pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan
interpersonal, serta memecahkan masalah6.
Skizofrenia merupakan salah satu penyakit yang paling membahayakan
kehidupan penderitanya karena mempengaruhi setiap aspek dari kehidupannya.
Seorang yang menderita skizofrenia akan mengalami gangguan dalam pembicaraan
yang terstruktur, proses atau isi pikir dan gerakan serta akan tergantung pada orang
lain selama hidupnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hasmila Sari, et
al (2015) didapatkan data distribusi kunjungan pasien rawat jalan di BLUD RSJ
Aceh tahun 2013 menunjukkan bahwa dari 13.088 pasien gangguan jiwa 81,33%
orang diantaranya mengidap skizofrenia. Wawancara pendahuluan yang dilakukan
pada awal April 2014 dengan 5 orang pasien di Poliklinik Rawat Jalan BLUD RSJ
Aceh tentang alasan yang menyebabkan pasien skizofrenia berkunjung ke RSJ,
diantaranya sebanyak 20% karena penggunaan ganja, 60% karena faktor keturunan,
60% karena kerusakan struktur otak, 40% karena stress di masa konflik, dan 40%
karena ditinggal oleh orang terdekat mereka8.
Berdasarkan tingginya prevelansi skizofrenia saat ini, terutama di Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam, penulis ingin membahas bagaimana penegakan
diagnosa skizofrenia dan juga cara penatalaksanaan secara holistic serta edukasi
yang dapat diberikan kepada keluarga pasien dengan skizofrenia. Diharapkan
laporan ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kasus pasien dengan
skizofrenia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang memengaruhi berbagai
area fungsi individu, termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima,
menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi. Dalam literatur
lain menambahkan definisi skizofrenia yaitu penyakit kronis, parah, dan
melumpuhkan, gangguan otak yang ditandai dengan pikiran kacau, waham,
halusinasi, dan perilaku aneh9,10.
Orang-orang dengan skozofrenia umunya mengalami beberapa episode
akut, dan diantara setiap episode pasien sering mengalami serangkaian gejala yang
tidak terlalu parah namun tetap sangat mengganggu aktivitas mereka.
Komorbiditas dengan penyalahguanaan zat merupakan masalah utama bagi para
pasien skizofrenia, dimana terjadi pada sekitar 50 persennya11.

2.2 Epidemiologi
Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan
kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat
serius. Pada tahun 2001 WHO menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang
di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. WHO memperkirakan ada sekitar
450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa2.
Prevalensi skizofrenia diperkirakan 0,2% meningkat menjadi 1,5% setara
untuk pria dan wanita di semua tingkatan usia. National Institute of Mental Health,
mengatakan sebanyak 2–4 juta orang atau 1,1% dari populasi di bumi menderita
skizofrenia atau gangguan yang mirip dengan skizofrenia yang merusak kesadaran
diri bagi banyak individu tapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sakit dan
membutuhkan pengobatan. Statistik menunjukkan sekitar 40% dari kasus tersebut
tidak menerima perawatan psikiatri yang menyebabkan terjadinya tuna wisma,
penahanan atau kekerasan3,12.

2.3 Etiologi
Skizofrenia merupakan penyakit kronik dari gangguan jiwa yang umum
terjadi. Hal yang mendasari mekanisme psikopatologi skizofrenia sulit untuk
dipahami. Hal ini dapat disebabkan karena penyebab skizofrenia yang belum jelas.
Skizofrenia disebabkan oleh kombinasi dari beberapa variabel penyebab
skizofrenia, diantaranya faktor genetik, gangguan biokimia, fisiologis, dan tekanan/
masalah psikososial. Hal yang sama juga dikemukan oleh National Health Service,
dimana penelitian menunjukkan bahwa penyebab seseorang mengalami skizofrenia
merupakan kombinasi dari faktor masalah/penyakit fisik, genetik, psikologis dan
lingkungan. Penyebab pasti skizofrenia belum diketahui hingga saat ini. Namun,
skizofrenia dapat dialami oleh seseorang karena adanya multipel faktor
penyebab3,13.

2.4 Patofisiologi
Ada berbagai variasi penyebab skizofrenia dari beberapa pendapat. Rubesa,
Gudelj, dan Kubinska (2011) menyatakan bahwa neurotransmiter dopamin,
glutamat, serotonin, asetilkolin, neurodegeneratif, perkembangan saraf, gangguan
sintesis protein dan pospolipid berperan sebagai penyebab skizofrenia. Pendapat
lainnya dikemukan oleh Vidal, Grant, dan Kwapil (2015) bahwa skizofrenia
disebabkan oleh faktor genetik, biologis dan psikososial. Selain faktor genetik,
biokimia, biologis, dan stres/ maslah psikososial, skizofrenia juga dapat disebakan
oleh penggunaan narkoba, kurangnya asupan nutrisi, dan gangguan di area serebal,
terutama di lobus frontal13.
Hipotesis/teori tentang patofisiologi skizofrenia :
a) Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas sistem dopaminergik
b) Hiperdopaminegia pada sistem meso limbik berkaitan dengan gejala positif
c) Hipodopaminergia pada sistem meso kortis dan nigrostriatal
bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal13,14.

2.5 Klasifikasi Skizofrenia


Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang
terdapat padanya. Akan tetapi batasbatas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-
gejala dapat berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan
ke dalam satu jenis15.
a. Skizofrenia paranoid
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah usia 30 tahun.Permulaanya
mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit
sering dapat digolongkan schizoid15.

b. Skizofrenia hebefrenik
Permulaanya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa
remaja atau antara 15 – 25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses
berpikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality.
Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-
kanakan sering terdapat pada skizofrenia heberfrenik, waham dan halusinasinya
banyak sekali15.

c. Skizofrenia katatonik
Timbulnya pertama kali antara usia 15 sampai 30 tahun, Mungkin terjadi
gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik. Gejala yang penting adalah gejala
psikomotor seperti:

 Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup, muka tanpa mimik,


seperti topeng, stupor penderita tidak bergerak sama sekali untuk
waktu yang sangat lama, beberapa hari, bahkan kadang-kadang
beberapa bulan.
 Bila diganti posisinya penderita menentang.
 c. Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di
dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan15.

d. Skizofrenia simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis
simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
ditemukan15.

e. Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya
satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang kearah gejala
negative yang lebih menonjol. Gejala negative terdiri dari kelambatan psikomotor,
penurunan aktivitas, penumpukan afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan
pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya perawatan diri dan
fungsi sosial15.

2.6 Gejala Klinis


Klien skizofrenia 70% mengalami halusinasi. Halusinasi merupakan
keadaan seseorang mengalami perubahan dalam pola dan jumlah stimulasi yang
diprakarsai secara internal atau eksternal di sekitar dengan pengurangan,
berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon terhadap setiap stimulus. Hal ini juga
didukung oleh Fontaine (2009), menyatakan halusinasi dengar merupakan gejala
skizofrenia yang paling sering dijumpai mencakup 50–80% dari keseluruhan
halusinasi. Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah
sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan
merupakan respon maladaptif dari kemarahan, hasil dari kemarahan yang ekstrim
atau panik. Perilaku kekerasan yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan
adanya perasaan tidak berharga, takut, dan ditolak oleh lingkungan sehingga
individu akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain7,16.

2.7 Status Psikiatri


a) Deskripsi umum
o Penampilan : Penampilan pasien skizofrenia dapat
berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit, dan agitasi
hingga orang dengan obsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan imobil17.
o Sikap terhadap pemeriksa : Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat
dideskripsikan sebagai kooperatif, bersahabat, penuh perhatian, tertarik,
balk-blakan, seduktif, defensif, merendahkan, kebingungan, apatis,
bermusuhan, suka melucu, menyenangkan, suka mengelak, atau berhati-
hati17.
b) Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang
mewarnai persepsi orang tersebut terhadap dunia. Afek didefinisikan sebagai
responsivitas emosi pasien saat ini, yang tersirat dari ekspresi wajah pasien,
termasuk jumlah dan kisaran perilaku ekspresif17.

c) Karakteristik gaya bicara


Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasih, pendiam,
tidak spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari pewawancara. Gaya
bicara dapat cepat atau lambat, tertekan, tertahan, emosional, dramatis, monoton,
keras, berbisik, cadel, terputus-putus, atau bergumam. Gangguan bicara, contohnya
gagap, dimasukkan dalam bagian ini17.

d) Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau
lingkungannya, dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat
(contohnya: auditorik, visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi
tersebut harus dijelaskan. Ilusi adalah sbagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi
merupakan distorsi citra yang nyata, sementara halusinasi tidak didasarkan pada
citra atau sensasi yang nyata. Ilusi dapat terjadi pada pasien skizofrenik selama fase
aktif, namun dapat pula terjadi dalam fase prodromal dan selama periode remisi17.

e) Proses dan Isi Pikir


o Proses pikir (bentuk pemikiran) : Pasien dapat memiliki ide yang
sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat terjadi proses pikir yang
cepat, yang bila berlangsung sangat ekstrim, disebut flight of ideas.
Seorang pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang lambat atau
tertahan. Gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang bersifat
tangensial, sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau perseveratif.
Gangguan proses pikir dapat tercermin dari word salad (hubungan
antarpemikiran yang tidak dapat dipahami atau inkoheren), clang
association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi berdasarkan
makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh
pasien melalui kombinasi atau pemadatan kata-kata lain) 17.
o Isi pikir : Gangguan isi pikir meliputi waham,
preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia, rencana, niat, ide berulang mengenai
bunuh diri atau pembunuhan, gejala hipokondriakal, dan kecenderungan
antisosial tertentu17.

f) Sensorium dan kognisi


Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan
inteligensi pasien, kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan
daya nilai17.
o Kesadaran : Gangguan kesadaran biasanya
mengindikasikan adanya kerusakan organik pada otak.
o Orientasi dan memori : Ganggaun orientasi biasanya dibagi
berdasarkan waktu, tempat, dan orang.
o Konsentrasi dan perhatian : Konsentrasi pasien terganggu karena
berbagai alasan. Gangguan kognitif, ansietas, depresi, dan stimulus
internal, seperti halusinasi auditorik, semuanya dapat berperan
menyebabkan gangguan konsentrasi.
o Membaca dan menulis
o Kemampuan visuospasial
o Pikiran abstrak : Kemampuan untuk menangani konsep-
konsep. Pasien mungkin memiliki gangguan dalam membuat konsep atau
menangani ide.
o Informasi dan inteligensi

g) Daya nilai dan tilikan


o Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian
sosial. Dapatkah pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam
situasi imajiner.
o Tilikan : tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan
penyakitnya. Pasien dapat menunjukkan penyangkalan total akan
penyakitnya atau mungkin menunjukkan sedikit kesadaran kalau dirinya
sakit namun menyalahkan orang lain, faktor eksternal, atau bahkan faktor
organik. Mereka mungking menyadari dirinya sakit, namun menganggap
hal tersebut sebagai sesuatu yang asing atau misterius dalam dirinya. 17

2.8 Pedoman Diagnosis


Berdasarkan alur diagnosis PPDGJ-III, harus ada sedikitnya satu gejala
berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala
tersebut kurang jelas atau kurang tajam)18 :
a. Isi Pikiran : thought eco, thought insertion or withdrawl, thought
broadcasting
b. Waham : delusion of control, delusion of passivity, delusion of
influence, delusion perception,
c. Halusinasi auditorik :
1. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien
2. Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara)
3. Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d. Waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar.
Atau terdapat paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus ada dengan
jelas18:
a. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apapun
b. Perilaku katatonik
c. Arus pikiran yang terputus (break)
d. Gejala”negatif” seperti sikap sangat apatis
Adanya gejala gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal) 18.
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap larut dalam
diri sendiri, tidak berbuat sesuatu, dan penarikan diri secara sosial18.
2.9 Penatalaksanaan
a) Terapi Non Farmakologis
o Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu
mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi
keluarga atau masyarakat. Pada terapi ini, pasien diupayakan untuk bisa
mengerjakan segala sesuatu dengan mandiri, tidak banyak melamun, banyak
kegiatan atau aktivitas positif dan mampu mengontrol emosi.
o Terapi Psiko Religius
Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual
keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.
o Terapi Olahraga

b) Terapi Farmakologis
Obat-obat antipsikotik juga dikenal sebagai neuroleptik dan juga sebagai
trankuiliser mayor. Obat antipsikotik pada umumnya membuat tenang dengan
mengganggu kesadaran dan tanpa menyebabkan eksitasi paradoksikal.
Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat cukup kuat reseptor
dopamine (D2) di sistem limbis otak dan di samping itu juga menghambat reseptor
D1/D2 ,α1 (dan α2) adrenerg, serotonin, muskarin dan histamin. Akan tetapi pada
pasien yang kebal bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade tuntas dari
reseptor D2 tersebut. Golongan obat antipsikotik ada 2 macam yaitu20:
o Golongan antipsikotik tipikal : chlorpromazine, fluperidol,
haloperidol, loxapine, molindone, mesoridazine, perphenazine,
thioridazine, thiothixene, trifluperezine.
o Golongan antipsikotik atipikal : aripiprazole, clozapin, olanzapine,
quetiapine, risperidone, ziprasidone20.

2.10 Prognosis
Prognosis untuk skizofrenia pada umumnya kurang begitu
menggembirakan. Sekitar 25 persen pasien dapat pulih dari episode awal dan
fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid sebelum munculnya gangguan
tersebut. Sekitar 25 persen lainnya tidak akan pernah pulih dan perjalanan
penyakitnya cenderung terus memburuk. Sekitar 50 persen berada diantaranya,
ditandai ada kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif
kecuali untuk waktu yang singkat. Mortalitas pasien skizofrenia lebih tinggi secara
signifikan daripada populasi umum. Sering terjadi bunuh diri, gangguan fisik yang
menyertai, masalah penglihatan dan gigi, tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit
yang ditularkan secara seksual6
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. FH
Umur : 35 th
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Alamat : Ulee Lheu
Pendidikan Terakhir : Diploma
Agama : Islam
Suku : Aceh
Tanggal pemeriksaan : 10 November 2018

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Pasien sering mendengar bisikan dan bayangan.


Riwayat Penyakit Sekarang : Pada awalnya yaitu sejak tahun 2002 pasien
kehilangan ayah kandung pasien karena meninggal dunia. Sejak saat itu pasien
merasa terpukul dan sangat sedih, sehingga pasien menarik diri dari aktivitas
biasanya, mengurung diri di kamar, dan tidak bersosialisasi dengan siapapun.
Pasien tinggal seorang diri di rumah peninggalan orang tuanya, hingga kakak pasien
mendapat laporan dari tetangga bahwa pasien sering berbicara dan berteriak-teriak
sendiri seperti sedang ketakutan, terutama di sore hari. Atas laporan tersebut,
keluarga pasien membawanya ke RSJ Provinsi Aceh. Pasien juga mengatakan
sering melihat bayangan ayah pasien yang sangat kecewa terhadap pasien apabila
pasien sulit tidur di malam hari. Pasien juga merasa tetangga disekitar rumahnya
membicarakan kebiasaan pasien yang terbilang aneh ini. Pada satu bulan terakhir,
pasien mulai merasa keluhannya sudah tidak muncul lagi, dan pasien dapat tidur
nyenyak di malam hari.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien rutin berobat jalan di Rumah sakit jiwa sejak
tahun 2003, dan rutin mengkonsumsi obat psikiatri.
Riwayat Penyakit Keluarga : Pasien tidak mengetahui secara pasti riwayat
penyakit yang ada pada keluarganya.
Riwayat Pengobatan :
1. Riwayat Gangguan Psikiatrik
Pasien berobat ke rutin ke poli Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh dan mendapatkan
obat : Clozapin 1x100 mg dan Diazepan 1x2mg.
2. Riwayat Penyakit Medis Umum
Pasien juga rutin berobat ke puskesmas karena pasien menderita Gastritis sejak
tahun 2017 dan pasien mendapat obat : Omeprazole 20 mg, Vit B Complex.
Riwayat Kebiasaan Sosial : Pasien sudah belum menikah. Pasien juga tidak
memiliki pekerjaan tetap. Kesehariaanya pasien membantu kakak kandung pasien
menjaga keponakan-keponakan pasien di rumah. Kebiasaan merokok (+)

3.3 Pemeriksaan Fisik


Vital Sign
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Denyut Nadi : 86 kali/menit
Frekuensi Napas : 16 kali/menit
Suhu Tubuh : 36,8°C

Status Gizi
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 169 cm
IMT : 25,4 kg/m2
Kesan : Normal

Status Generalisata
Keadaan Umum : Baik
1. Kepala : Dalam batas normal
2. Leher : Dalam batas normal
3. Paru : Dalam batas normal
4. Jantung : Dalam batas normal
5. Abdomen : Dalam batas normal
6. Ekstremitas : Dalam batas normal
7. Genetalia : Tidak diperiksa

Status Neurologik
1. GCS : E4M6V5 = 15
2. Tanda Rangsang Meningeal : (-)
3. Peningkatan TIK : (-)
4. Mata : Pupil bulat, isokor (+),
Ø 3mm/ 3mm
RCL (+/+), RCTL (+/+).
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi-fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : (-)

I. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Laki-laki, wajah sesuai usia
2. Kebersihan ` : Bersih
3. Kerapian : Rapi
4. Kesadaran : Jernih
5. Perilaku dan psikomotor : Normoaktif
6. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif

B. Keadaan Emosi
1. Afek : Inappropriate
2. Mood : Eutimik
3. Emosi
 Arus : Tidak Terganggu
 Pengendalian : Tidak Terganggu
 Stabilitas : Tidak Terganggu
 Empati : Terganggu

C. Pembicaraan
1. Kuantitatif : Spontan, Loggorhea
2. Kualitatif : Kurang baik (melantur)

D. Pikiran
1. Proses pikir
 Koheren : (-)
 Neologisme : (-)
 Sirkumstansialitas : (+)
 Tangensial : (-)
 Asosiasi longgar : (+)
 Flight of ideas : (+)
 Blocking : (-)
2. Isi pikir
 Cukup ide : (+)
 Waham
1) Waham bizzare : (+)
2) Waham somatik : (-)
3) Waham nihilistik : (-)
4) Waham paranoid
- Waham persekutorik : (-)
- Waham kebesaran : (-)
- Waham referensi : (+)
- Waham kejar : (-)
 Thought
1) Thought withdrawal : (-)
2) Thought insertion : (-)
3) Thought broadcasting : (-)
4) Thought echo : (-)

 Delusion
1) Delusion of control : (-)
2) Delusion of influence : (-)
3) Delusion of passivity : (-)
4) Delusion of perception : (-)

E. Persepsi
1. Halusinasi
 Halusinasi auditorik : (+)
 Halusinasi visual : (+)
 Halusinasi taktil : (-)
 Halusinasi olfaktorik : (-)
2. Ilusi : (-)

F. Intelektual
1. Intelektual : Baik
2. Daya konsentrasi : Baik
3. Orientasi
 Diri : Baik
 Tempat : Baik
 Waktu : Baik
4. Daya ingat
 Seketika : Baik
 Jangka pendek : Baik
 Jangka panjang : Baik.
5. Pikiran abstrak : Baik
6. Bakat kreatif : Baik

G. Daya Nilai
1. Norma sosial : Baik
2. Uji daya nilai : Baik
3. Penilaian realitas : Terganggu

H. Tilikan (Insight)
T2
I. Judgement: Baik

3.4 Diagnosis Banding


a. F20.0 Skizofrenia Paranoid
b. F22.0 Gangguan Waham Menetap
c. F25.0 Gangguan Skizoafektif tipe Manik
d. F30.2 Mania dengan Gejala Psikotik
e. F20.3 Skizofrenia Tak Terinci

Diagnosis Kerja
F20.0 Skizofrenia Paranoid
3.5 Diagnosis Multiaksial
Axis I : Skizofrenia Paranoid
Axis II : Gangguan kepribadian paranoid

Axis III : Tidak ada (none)


Axis IV : Tidak ada (none)
Axis V : GAF scale 70-61 (gejala ringan dan menetap, disabilitas
ringan dalam fungsi, secara umum masih baik)

3.6 Tatalaksana
1. Terapi psikofarmaka
 Clozapine 100 mg 1x1
 Diazepam 2 mg

2. Psikoedukasi terhadap pasien: Menjelaskan kepada pasien tentang apa


penyakit yang dideritanya saat ini, apa saja yang dapat menjadi penyebab
penyakitnya lalu meyakinkan pasien bahwa kondisinya dapat membaik
dengan cara teratur minum obat dan menjelaskan dampak buruknya jika
pasien tidak teratur minum obat. Menjelaskan kepada pasien untuk menahan
diri apabila timbul keinginan-keinginan/bisikan untuk melakukan sesuatu
yang buruk. Selanjutnya, menyampaikan keadaan pasien apabila telah
mengalami perbaikan maka boleh untuk dijemput pulang dan bersosialisasi
lagi seperti dulu.

3. Psikoedukasi terhadap keluarga: Memberikan penjelasan kepada keluarga


tentang penyakit pasien saat ini dan menyarankan keluarga untuk mengawasi
secara ketat kepatuhan pasien minum obat dan juga ikut berpartisipasi untuk
menyembuhkan pasien. Menjelaskan kepada keluarga bahwa apabila
gangguan jiwa pada pasien dapat kambuh kembali apabila pasien tidak teratur
minum obat.

3.7 Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam: dubia ad bonam
BAB IV

PEMBAHASAN
Telah diperiksa pasien laki laki berusia 35 tahun merupakan pasien layanan
kesehatan primer Puskesmas Baiturrahman dan sudah terdiagnosa Schizofrenia
Paranoid di RS Jiwa Provinsi Aceh. Pada awalnya yaitu sejak tahun 2002 pasien
kehilangan ayah kandung pasien karena meninggal dunia. Sejak saat itu pasien
merasa terpukul dan sangat sedih, sehingga pasien menarik diri dari aktivitas
biasanya, mengurung diri di kamar, dan tidak bersosialisasi dengan siapapun.
Pasien tinggal seorang diri di rumah peninggalan orang tuanya, hingga kakak pasien
mendapat laporan dari tetangga bahwa pasien sering berbicara dan berteriak-teriak
sendiri seperti sedang ketakutan, terutama di sore hari. Atas laporan tersebut,
keluarga pasien membawanya ke RSJ Provinsi Aceh. Pasien juga mengatakan
sering melihat bayangan ayah pasien yang sangat kecewa terhadap pasien apabila
pasien sulit tidur di malam hari. Pasien juga merasa tetangga disekitar rumahnya
membicarakan kebiasaan pasien yang terbilang aneh ini. Pada satu bulan terakhir,
pasien mulai merasa keluhannya sudah tidak muncul lagi, dan pasien dapat tidur
tepat waktu di malam hari. Hal ini dijelaskan oleh pasien karena pasien rajin minum
obat yang diberikan di RS Jiwa Provinsi Aceh yaitu Clozapine dan Diazepam.
Berdasarkan hasil anamnesis tersebut, pasien memiliki keluhan yang
memenuhi kriteria diagnosis Skizofrenia paranoid berdasarkan PPDGJ III yaitu
adanya waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks masih
terdapatnya fungsi kognitif dan afek yang relatif masih terjaga. Hingga saat ini
belum terdapat uji laboratorium dan fisik yang dapat secara pasti mendiagnosis
skizofrenia. Diagnosis skizofrenia dilakukan secara klinis dengan anamnesis gejala
yang dialami pasien18.
Sebelum muncul gejala-gejala positif skizofrenia pada pasien (halusinasi
dan waham), pasien mengalami gejala-gejala negatif skizofrenia seperti menarik
diri, tidak antusias terhadap lingkungan disekitarnya, dan pendiam. Menurut
Hawari (2007) gejala negatif skizofrenia yaitu :
1) Alam perasaan “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini
dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak
dengan orang lain, suka melamun.
3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5) Sulit dalam berfikir abstrak.
6) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif dan
serba malas19.
Setelah ditelusuri, berdasarkan keterangan kakak kandung pasien, pasien
adalah anak bungsu dari lima bersaudara dan selama ini tinggal bersama ayah
kandung pasien. Awal mula keluhan skizofrenia dialami oleh pasien adalah sejak
ayah kandung pasien meninggal dunia dan menjadi stressor terberat dalam hidup
pasien. Berdasarkan literatur yang menjelaskan penyebab terjadinya skizofrenia
adalah, skizofrenia tidak disebabkan oleh penyebab yang tunggal, tetapi dari
berbagai faktor. Sebagaian besar ilmuwan meyakini bahwa skizofrenia adalah
penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik, ketidakseimbangan
kimiawi di otak, abnormalitas struktur otak, atau abnormalitas dalam lingkungan
prenatal. Berbagai peristiwa stress dalam hidup dapat memberikan kontribusi pada
perkembangan skizofrenia pada meraka yang telah memiliki predisposisi pada
penyakit ini6. Seseorang yang rentan jika dikenai stressor akan lebih mudah untuk
menjadi skizofrenia, selain itu lingkungan emosional yang tidak stabil mempunyai
risiko yang besar pada perkembangan skizofrenia. Stressor sosial juga
mempengaruhi perkembangan suatu skizofrenia9.
Keluarga pasien menjelaskan saat belum mengkonsumsi obat-obatan,
pasien sering berbicara sendiri, berteriak-teriak ketakutan dan bahkan melempar
barang. Pada pasien skizofrenia, 70% mengalami halusinasi. Halusinasi merupakan
keadaan seseorang mengalami perubahan dalam pola dan jumlah stimulasi yang
diprakarsai secara internal atau eksternal di sekitar dengan pengurangan,
berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon terhadap setiap stimulus. Hal ini juga
didukung oleh Fontaine (2009), menyatakan halusinasi dengar merupakan gejala
skizofrenia yang paling sering dijumpai mencakup 50–80% dari keseluruhan
halusinasi. Halusinasi dapat menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara yang memberinya perintah
sehingga rentan melakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku kekerasan
merupakan respon maladaptif dari kemarahan, hasil dari kemarahan yang ekstrim
atau panik. Perilaku kekerasan yang timbul pada klien skizofrenia diawali dengan
adanya perasaan tidak berharga, takut, dan ditolak oleh lingkungan sehingga
individu akan menyingkir dari hubungan interpersonal dengan orang lain7,16
Dari hasil pemeriksaan fisik, tidak didapatkan kelainan atau gangguan yang
bermakna pada diri pasien. Hal demikian juga disebutkan oleh Meyer (1996) dalam
Maramis (2004) bahwa, Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu penyakit
badaniah, sebab sampai sekarang para ilmuwan tidak dapat menemukan kelainan
patologis anatomis atau fisiologis yang khas pada susunan saraf. Sebaliknya Meyer
mengakui bahwa penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia15.
Adanya dua gejala klinis khas skizofrenia pada pasien, pasien dibawa ke
RSJ Provinsi Aceh dan berobat rutin di poliklnik. Pasien mendapat obat anti
psikotik yaitu Clozapin 1x100mg per hari. Dalam pemilihan obat anti psikotik,
praktisi harus memahami bahwa adanya neurotransmiter dopamin, glutamat,
serotonin, asetilkolin, neurodegeneratif, perkembangan saraf, gangguan sintesis
protein dan pospolipid berperan sebagai penyebab skizofrenia, sehingga diharapkan
anti psikotik yang dipilih dapat menghambat seluruh neurotransmitter tersebut.
Mekanisme Kerja Antipsikotik menghambat cukup kuat reseptor dopamine (D2) di
sistem limbis otak dan di samping itu juga menghambat reseptor D1/D2 ,α1 (dan
α2) adrenerg, serotonin, muskarin dan histamin. Akan tetapi pada pasien yang kebal
bagi obat-obat klasik telah ditemukan pula blokade tuntas dari reseptor D2 tersebut.
Riset baru mengenai otak telah menunjukkan bahwa blokade-D2 saja tidak selalu
cukup untuk menanggulangi skizofrenia secara efektif. Untuk ini neurohormon
lainnya seperti serotonin ( 5HT2), glutamate dan GABA (gamma-butyric acid)
perlu dipengaruhi. Klozapin bekerja dengan menghambat reseptor-D2 agak ringan
dibandingkan obat-obat klasik (60-75%). Namun efek antipsikotisnya kuat, yang
bias dianggap paradoksal. Juga afinitasnya pada reseptor lain dengan efek
antihistamin, antiserotonin, antikolinergis dan antiadrenergis adalah relative tinggi.
Menurut perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh blokade kuat dari reseptor-
D2,-D4, dan -5HT2. Blokade reseptor-muskarin dan –D4 diduga mengurangi GEP,
sedangkan blokade 5HT2 meningkatkan sintesa dan pelepasan dopamin di otak20.
Pasien dan keluarga pasien merasa keluhan pasien mulai membaik setalah
rutin minum obat. Pasien dan keluarga pasien di edukasi untuk teratur minum obat,
dan bahayanya apabila pasien malas minum obat. Pasien dengan skizofrenia sering
juga mengalami kekambuhan karena kekambuhan adalah keadaan penyakit setelah
berada pada periode pemulihan yang disebabkan tiga faktor yaitu: aspek obat, aspek
pasien, dan aspek keluarga . Pasien menghentikan pengobatan karena merasa
pengobatan sudah tidak diperlukan. Kegagalan dan ketidakpatuhan dalam
meminum obat sesuai program adalah alasan paling sering dalam kekambuhan
skizofrenia dan kembali masuk rumah sakit. Penyebab pasien skizofrenia tidak
teratur meminum obat yaitu karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan
mengambil keputusan, dan hospitalisasi yang lama memberi konsekuensi
kemunduran pada pasien (ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab,
apatis, menghindar dari kegiatan dan hubungan sosial, kemampuan dasar sering
terganggu, seperti perawatan mandiri dan aktifitas hidup seharian). Oleh karena itu
edukasi tentang pentingnya minum obat dalam mengontrol gejala skizofrenia
sangat penting diberikan ke pasien dan keluarga pasien16.
BAB V

KESIMPULAN
Skizofrenia merupakan penyakit kronik dari gangguan jiwa yang umum
terjadi. Hal yang mendasari mekanisme psikopatologi skizofrenia sulit untuk
dipahami. Hal ini dapat disebabkan karena penyebab skizofrenia yang belum jelas.
Skizofrenia disebabkan oleh kombinasi dari beberapa variabel penyebab
skizofrenia, diantaranya faktor genetik, gangguan biokimia, fisiologis, dan tekanan/
masalah psikososial. Penatalaksanaan pada kasus skizofrenia paranoid selain
dengan pemberian anti psikotik dan dukungan keluarga, edukasi ke pasien tentang
pentingnya teratur minum obat untuk mencegah kekambuhan juga sangat
berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hidayati, Eni. Pengaruh Terapi Kelompok Suportif terhadap Kemampuan
Mengatasi Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia di RSJ. DR. Amino
Gondohuyomo Semarang. 2012. [Disitasi: 10 November 2018]; Tersedia
pada: www. jurnal.unimus.ac.id
2. WHO. (2009). Improving health system and service for mental health:
WHO Library Cataloguing-in-Publication Data.
3. NIMH. (2011). National institute of mental health : USA.
4. Riskesdas. (2013). Riset kesehatan dasar. [Dikutip pada tanggal 10
November 2018], dari http://terbitan.litbang.depkes.go.id.
5. Departemen Kesehatan RI. (2015). Schizophrenia. [Disitasi: 10 November
2018]; Diunduh dari http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.
go.id/assets/files/downloads/f1375258333- schizophrenia.pdf.
6. Arif, I. S. (2006). Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien.
Bandung: Rafika Aditama.
7. Stuart, G.W. (2009). Principles and practive of psychiatric nursing, (9th ed).
Missouri : Mosby, Inc.
8. Hasmila S. FAKTOR PREDISPOSISI PENDERITA SKIZOFRENIA DI
POLI KLINIK RUMAH SAKIT JIWA ACEH. IDea Jurnal. 2015. 6(2): p.
1-9
9. Isaacs, A. (2005). Keperawatan kesehatan jiwa & psikiatri (3th Ed.).
Jakarta: EGC.
10. Rhoads, J. (2011). Clinical consult for psychiatric mental health care. New
York: Springer Publishing Company.
11. Davison, C. G., Naele, M. J., & Kring, M. A. (2010). Psikologi Abnormal.
Ed, 9. Jakarta: Rajawali Pers.
12. Barlow, D.H., & Durand, V.M. (2011). Abnormal psychology: An
integrative approach (5th Ed.). USA: Wadsworth Cengage Learning.
13. Novitayanti, S. Etiology of Schizophrenia on Outpatients in Aceh. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala. 2017. 8(3): p. 1-7
14. Sobell JL, Mikesell MJ, Mcmurray CT. Genetics and etiopathophysiology
of schizophrenia. Mayo Clin Proc Oct 2005;77:1068-82
15. Maramis WF. 2006. Catatan Kuliah Kedokteran Jiwa. Cetalan ketujuh.
Surabaya: Penerbit Airlangga University Press
16. Pardede JA, Keliat BA, dan Yulia I. Kepatuhan dan Komitmen Klien
Skizofrenia Meningkat Setelah Diberikan Acceptance and Commitment
Therapy dan Pendidikan Kepatuhan Minum Obat. Jur Keperawatan Indo.
2015. 18(3): p. 157-166
17. Muttaqin H, Sihombing RNE, penyunting. Skizofrenia. Dalam: Sadock BJ,
Sadock VA. Kaplan & sadock’s concise textbook of clinical psychiatry.
Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2010.h.147-75.
18. Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
19. Hawari, D. (2009). Pendekatan holistik pada gangguan jiwa skizofrenia.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
20. Tjay, T.H & Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan
dan Efek-Efek Sampingya, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai