Anda di halaman 1dari 15

Sekularisasi Politik

Sekularisasi telah memperlemah agama secara umum. Dalam kondisi yang lebih
ekstrem, sekularisasi politik maupun sekularisasi pada umumnya, telah memancing atau
merupakan kondisi yang membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan-gerakan keagamaan
yang bercorak Miienarian atau Mesias atau Revitalisasi, yakni gerakan yang berusaha
melakukan perubahan-perubahan secara mendasar dalam struktur masyarakat serta
membangun struktur baru yang lebih bermakna, yang dalam dimensi lain sering
memunculkan gerakan radikal seperti gerakan Ratu Adil, fundamentalisme, sekte, dan
sebagainya.

Dalam.catatan Sanderson (1995:532), gerakan revitalisasi secara khusus terjadi


dalam kondisi-kondisi masyarakat yang penuh ketegangan atau krisis sosial yang
ekstrem. Krisis yang ekstrem tersebut terjadi seperti dalam masa perubahan sosial yang
cepat ketika masyarakat mengalami disorientasi dari pola-pola hidup tradisional mereka
dan juga ketika kebudayaan setempat diubah oleh kolonialisme, perang, atau invasi
kebudayaan asing; serta ketika penindasan dan eksploitasi mencapai batas-batas yang tak
dapat ditoleransi. Sekularisasi politik di negeri-negeri muslim seperti Indonesia juga
merupakan kenyataan sosiologis yang tak terbantah, yang melahirkan berbagai macam
reaksi dan dampak dalam kehidupan termasuk dalam kehidupan umat beragama.

Dalam kehidupan bangsa Indonesia sekularisasi politik dapat dijumpai dalam


pandangan yang konservatif mengenai keniscayaan pemisahan agama dan politik atau
agama dan negara dengan meletakkan agama sebagai urusan pribadi manusia dan politik
atau negara sebagai wilayah sekular yang tidak boleh diintervensi oleh agama. Polemik
tentang Indonesia sebagai negara sekular dan bukan negara agama sebagaimana pernah
terjadi antara kaum konservatisme nasionalis naif dengan kalangan muslim di Indonesia
merupakan contoh dari masalah mekarnya pandangan mengenai sekularisasi politik
dalam kehidupan kenegaraan.

Sekularisasi politik juga tumbuh dalam bentuk pemikiran maupun sikap politik
yang negatif terhadap agama dan kekuatan-kekuatan agama yang melahirkan stigma atau
seterotipe mengenai agama dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Kaum nasionalis
naif dan kelompok-kelompok sekular lain dalam kancah politik nasional sering
memandang agama dan umat beragama sebagai kaum radikal dan konservatif dalam
dimensi yang negatif, kadang dengan nada nyinyir, yang melahirkan marginalisasi nilai-
nilai agama dalam kehidupan ber bangsa dan bemegara. Sebagaimana terkait dengan
sekularisasi bentuk pertama dan kedua, lahir pula sekularisasi politik dalam bentuk
perilaku dan kebijakan politik kenegaraan yang melakukan marjinalisasi, pemasungan,
pemotongan jalur atau pintu masuk, hingga sikap represif terhadap kekuatan-kekuatan
berbasis agama.

Di Indonesia pernah terjadi ketika rezim Orde Baru pada masa-masa awal dan
pertengahan melakukan marjinalisasi dan represi terhadap kekuatankekuatan Islam, yang
memunculkan kesan kuat tentang Islam garis keras atau fundamentalis dalam kancah
politik nasional. Dengan stereotipe peristiwa-peristiwa gerakan Islam radikal masa
lampau seperti gerakan NII (Negara Islam Indonesia), Komando Jihad, dan sejenisnya,
terjadi perluasan citra dan diikuti kebijakan-kebljakan politik nasional untuk
mendiskreditkan kekuatan umat Islam pada umumnya ke arah generalisasi Islam keras.
Dalam konteks yang demikian lahir secara kental tentang citra fundamentalisme Islam
sebagai ancaman terhadap bangunan negara nasional Indonesia, yang secara kategoris
pula melahirkan dikhotomi kelompok Islam versus kelompok nasionalis, yang
sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai nasionalis Islam versus nasionalis sekular.

Kebijakan sekularisasi politik dapat berlanjut pada tindakan-tindakan pemerintah


yang membawa implikasi merugikan umat Islam. Peristiwa Undang Undang Perkawinan,
dimasukkannya Aliran Kepercayaan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara),
dan kebijakan-kebijakan serupa secara langsung maupun tidak langsung merupakan
bentuk dari aktualisasi sekularisasi politik melalui kebijakan negara. Bentuk lain yang
dapat dijumpal dalam kenyataan emplrlk dari sekularlsasi politik juga muncul dalam
kebijakan-kebljakan pemerintah yang menetapkan atau setidaktidaknya memblarkan
mekarnya berbagai macam kemaksiatan seperti pelacuran, perjudian, penyebartuasan
pemakaian obat obatterlarang dan narkotika, sampai pada berbagai bentuk demoralisasi
dan penyelewengan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara.
Pemerintah atau negara seakan tidak peduli dengan nilainilai moraldan keagamaan, yang
sebenamya dapat menjadi energi yang dahsyat untuk menciptakan humanisasi dan
transendensi politikkenegaraan. Kehidupan masyarakat termasuk di lingkungan institusi-
institusi kenegaraan menjadi serba boleh, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral
dan keagamaan. Kondisi-kondisi ekstrem semacam yang dilahirkan oleh sekularlsasi
politik yang disebutkan itulah yang kemudian melahirkan atau memancing reaksi keras
dari kalangan umat beragama, yang antara lain muncul dalam bentukfundamentalisme
agama, selain dalam bentuk-bentuk lainnya seperti kebiasaan masyarakat untuk
melakukan tindakan-tindakan ekstrem termasuk main hakim sendiri.

Pengaruh Sekularisasi di dunia Pendidikan

Pendidikan Islam merupakan sebuah proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai


ajaran Islam dalam setiap perilaku, dimana seluruh penalaran dan perilaku hidupnya
diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Azyumardi Azra mengatakan bahwa pendidikan Islam
memiliki tiga karakteristik: a. penekanan pada pencarian, penguasaan, pengembangan
ilmu pengetahuan atas dasar ibadah yang dilakukan sepanjang hayat, b. pengakuan akan
kemampuan atau potensi seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian, c.
Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat
manusia. Oleh karena itu, inti dari pendidikan Islam adalah tidak hanya proses pada
penghayatan dan pengetahuan saja, melainkan adalah pengamalannya secara benar dan
bertanggungjawab, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah swt. Nabi
Muhammad s.a.w. telah mengajak orang beriman untuk beriman dan beramal shaleh serta
berakhlak mulia sesuai dengan ajarannya. Maka secara umum bahwa pendidikan Islam
pada hakikatnya bertujuan untuk memperbaiki sikap, mental dan perilaku yang akan
terwujud dalam amal perbuatan, berdasarkan nilai-nilai budaya dan agama, baik itu terkait
untuk kebutuhan individu maupun masyarakat banyak secara aplikatif. Oleh karena itu,
maka pendidikan Islam, di samping pendidikan yang menekankan pada aspek keimanan,
juga menekankan pada aspek amal, bahkan iman tidak bermakna kalau tidak diikuti oleh
amal shalihnya. Zakiah Daradjat menambahkan bahwa pengertian pendidikan Islam,
akan dapat terlihat apabila seseorang dapat memahami Islam secara utuh, sehingga
seseorang menjadi “al-insan al-kamil” dengan pola taqwa, al-insan al-kamil artinya
manusia sempurna rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan
normal karena taqwanya kepada Allah swt. Sejalan dengan tujuan tersebut, maka
pendidikan merupakan media yang sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai islami
dalam setiap individu, bahkan ia merupakan agen yang paling penting dalam
mensosialisasikan doktrin dan ide-ide Islam. Namun sejak kedatangan Belanda ke
Indonesia dengan berbagai misinya, telah mampu memporak-porandakan peradaban
bangsa Indonesia dari bangsa yang memiliki peradaban tinggi berdasarkan nilai Islam,
semua system sosial pun mengalami perubahan yang cukup signifikan, sehingga budaya
gotong royong bangsa ini semakin terkikis dan berubah menjadi sikap individualistik.
Hal lain yang juga sangat terasa adalah persoalan pendidikan, dimana mereka
memanfaatkan media pendidikan untuk melakukan hegemoni kekuasaan, yang dalam
prakteknya akses pendidikan hanya diperuntukkan kepada keturunan Belanda sendiri atau
pribumi yang memiliki darah atau garis keturunan bangsawan, inilah awal dari
komersialisasi pendidikan di Indonesia. Di samping itu, Belanda juga menanamkan
sistem sekularisme dalam dunia pendidikan, dengan memisahkan kehidupan agama
dengan dunia, dan pendidikan agama dengan pendidikan umum, yang kemudian
melahirkan sistem pendidikan baru di Indonesia. Sebutan Sekolah merupakan model
pendidikan yang diterapkan oleh Belanda, padahal di Indonesia telah ada model
pendidikan, seperti surau, langgar, padepokan, dan sampai kepada Pesantren, kehadiran
model pendidikan Sekolah secara tidak langsung telah menjadi anti tesa dari model
pendidikan di Indonesia, sehingga kesan yang muncul adalah pendidikan seperti
pesantren dianggap pendidikan Tradisional sedangkan sekolah dianggap modern.
Sekularisasi pendidikan tampil dengan gagasan ”politik asosiasi”. Politik ini bertujuan
utuk menciptakan suatu negara Belanda, dengan cara mempromosikan sistem pendidikan
baru dalam skala luas yang berbasis kenetralan terhadap agama, yang bertujuan untuk
memutus kaitan antara kaum terpelajar dengan pengetahuan dan komunitas keagamaan.
Mulkhan menambahkan bahwa pemerintah kolonial berupaya untuk mengucilkan sistim
pendidikan Islam, melalui modernisasi pendidikan dan rekayasa politik telah mengubah
kerangka sosial masyarakat teologi dan ideologi santri mengubah kepada kultur
priyayi.18

Prinsip sekular lain yang diterapkan Belanda dalam merubah pola pikir masyarakat dapat
terlihat pada rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk
melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah
Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam
Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi
kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam
bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan
masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan,
pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan
ide Pan Islam. 19

Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan
liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya
mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat
kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje menjadi
cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai
kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk


menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang
ditanamkan penjajah. Tapi rupanya hal tersebut tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan
Indonesia hanyalah mengganti rezim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi
penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologinya tetap sama yaitu sekular.
Sejalan dengan itu, maka faham sekularisme terus berkembang dan masuk dalam semua
ranah kehidupan, bahkan setelah Indonesia merdekapun paham sekuler terus mendapat
tempat dan dikembangkan oleh pemerintah Indonesia, dimana pendidikan agama yang
dimasukkan dalam kurikulum hanya beberapa jam saja, dan yang lebih menyedihkan lagi
adalah pemisahan antara pendidikan agama dan umum, yang hingga saat ini terus
dipraktekkan. Salah satu wujud nyata faham tersebut dapat kita lihat dalam Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003, pada Bab VI tentang
jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi,
keagaman, dan khusus.20 Dari pasal di atas tampak jelas bahwa adanya dikotomi
pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum Lebih lanjut bahwa
sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut
agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan
umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum
yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Demikian juga dapat kita lihat pada
pasal 4 yang disebutkan bahwa; Pertama, pendidikan diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Kedua, Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan
multimakna. Ketiga, Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Keempat, Pendidikan
diselengarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Kelima,
Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, manulis dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat. Keenam, Pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Ketidakjelasan ini semakin
kelihatan ketika Peraturan Menteri mengenai Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan
dan Standar Proses pendidikan diterbitkan. Di mana posisi pendidikan agama semakin
terlihat jelas. Agama bukan diletakkan sebagai ruh dari semua mata pelajaran yang ada.
Agama memiliki ruang tersendiri, sementara pelajaran lain berada di tempat yang lain
lagi. Keterpisahan ini semakin menegaskan ada paradigma keliru yang melandasi struktur
kurikulum dan proses penyelenggaraannya dalam sistem pendidikan nasional di negeri
ini. 21 Oleh karena itu, jika kita lihat dari beberapa prinsip penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan Undang-undang Sisdiknas bahwa faham sekuler benar-benar telah masuk
dan mempengaruhinya, kita dapat melihat di poin satu bahwa hal utama yang harus
dijunjung tinggi adalah hak asasi manusia, sehingga hak asasi menjadi hal yang utama di
atas prinsip-prinsip lainnya, termasuk agama, sehingga nilainilai agama tidak boleh
berbenturan dengan nilai-nilai hak asasi manusia Sejalan dengan itu, maka sekularisme
bukan hanya sekadar berpandangan “politik satu suku dan agama suku lain” tetapi dengan
menyempitkan ruan3. Sekularisasi Agama Untuk lebih memahami sekularisasi agama,
tiga konsep yang dikemukakan oleh Cohn sangat cocok untuk dijadikan analisis. Untuk
lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel Definisi Sekularisasi Agama g
lingkup agama, itu juga termasuk dalam sekularisme seperti beramal dengan Islam secara
separuh. Apa yang memberi keuntungan dan kemudahan diterima. Namun, manakala
mendatangkan kesusahan ditolak. Sebab itulah perbuatan ini dicela oleh Allah melalui
firmanNya yang artinya, “adakah kamu percaya (beriman) kepada sebahagian kandungan
Kitab (al-Quran) dan ingkar akan sebahagiannya?" (QS. Al-Baqarah: 85) Oleh karena itu,
maka sekularisme merupakan faham yang sangat berbahaya untuk melestarikan nilai-
nilai Islam dalam kehidupan umat Islam.
3. Sekularisasi Agama

Untuk lebih memahami sekularisasi agama, tiga konsep yang dikemukakan oleh Cohn
sangat cocok untuk dijadikan analisis. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel di
bawah ini. Tabel Definisi Sekularisasi Agama

Agama Institusional Institusional Agama Kognitif


Agama Normatif
Decline of Religion Transformation Segmentation
Routinisation Generalisation Seculatisation
(Industrialisation,
Urbanisation,
Modernisation)
Differentiation Desacralisation -
Disengagement Secularism -
Sumber: dikutip dari jurnal Lektur dan Kazanah Keagamaan Cetakan 1 Desember 2013

A. Sekularisasi Agama Institusional Berdasarkan tabel di atas, maksud sekularisasi jika


berdasarkan definisi agama secara institusional dapat terwujud melalui terjadinya
kemerosotan atau kemunduran wibawa lembaga agama atau biasa disebut sebagai decline
of religion, rutinisasi, diferensiasi, dan pemisahan lembaga agama (disengagement of
religion).

a. Sekularisasi sebagai Decline of Religion Decline of religion atau kemunduran peran


lembaga agama barangkali salah satu definisi yang paling dikenal dalam masyarakat.
Kemunduran lembaga agama dalam hal ini adalah bahwa agama sebagai suatu lembaga
mengalami kemerosotan, kemunduran atau penurunan agamanya. Bahkan lebih dari itu
institusi agama kehilangan otoritas, wewenang dalam mengatur segenap urusan agama
masyarakat penganutnya. Gejala seperti inilah yang ditangkap oleh banyak peneliti di
barat. Dalam melihat gejala kemerosotan ini umumnya para peneliti menggunakan
indikator-indikator yang berkaitan dengan gereja misalnya partisipasi keagamaan,
keanggotaan gereja, jumlah peserta sekolah minggu, pernikahan gereja, pemanfaatan hari
sabath dan lain-lain yang berkaitan dengan gereja menjadi ukuran keberadaan institusi
agama..

b. Sekularisasi sebagai Proses Diferensiasi Arti kedua dari sekularisasi jika dilihat dari
definisi agama secara institusional adalah diferensiasi. Yang dimaksud dengan
diferensiasi adalah perubahan-perubahan dinamik progresif dalam suatu organisasi yang
berkaitan dengan klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan yang biasanya sama, atau
proses di mana peran-peran masyarakat bertambah banyak dan meningkat
spesialisasinya. Untuk mengkaji diferensiasi sebagai proses sekularisasi, perlu untuk
melihat paradigma parsonian. Dalam konteks ini Talcott Parsons melukiskan kondisi
sosio-kultural masyarakat sekular Amerika modern, menyebutkan bahwa agama
dibandingkan dengan sebelumnya, kehilangan tersebut terutama adalah diakibatkan oleh
terjadinya diferensiasi struktural dalam masyarakat yang berkaitan dengan proses-proses
perubahan orientasi religius, meskipun tidak menyebabkan hilangnya kekuatan-kekuatan
nilai-nilai religius itu sendiri. Pengungkapan Parsons di atas memperlihatkan bahwa di
tengah kehidupan masyarakat Amerika yang terkenal pragmatis, agama mengalami
banyak kehilangan peran. Di antara penyebabnya adalah adanya proses diferensiasi
struktural dalam masyarakat, terutama yang berhubungan dengan orientasi keagamaan.
Diferensiasi struktural berkaitan dengan dua aspek. Pertama adalah aspek perkembangan
organisasi-pluralistik di satu pihak, dan kedua aspek perkembangan yang berkaitan
dengan tingkat generalitas yang lebih tinggi di pihak lain yang mengawali lahirnya apa
yang disebut dengan generic religion. Proses diferensiasi struktural berkaitan dengan
tumbuhnya organisasi masyarakat pluralistik, seiring dengan berkembangnya budaya
spesialisasi fungsional dari struktur-struktur kehidupan masyarakat akibat terjadinya
perubahan evolusioner masyarakat. Perkembangan evolusioner masyarakat terjadi
lantaran terjadinya peningkatan adaptif masyarakat. Demikian pula unitunit atau sub-
sistem yang terdapat di dalam masyarakat kemudian membagi diri menjadi unit, atau
subsistem lebih banyak lagi. Diferensiasi antara komunitas sosial di satu pihak dengan
komunitas religius di pihak lain dalam tubuh institusi agama (dalam hal ini agama
Kristen) itu sendiri, atau antara keyakinan atau keimanan dan etika naturalistik pada
saatnya menghadirkan timbulnya kehidupan sekular dengan tatanan normatif dan
legitimasi religius baru. Suatu tatanan hidup dimana proses-proses sosial ekonomi,
pendidikan, politik, hukum, kesejahteraan, kesehatan dan sebagainya berjalan dan berada
secara specialized dan diferentiated. Para sosiolog menggambarkan kondisi sosio-kultural
masyarakat barat telah mengalami proses diferensiasi. Di mana sejak abad reformasi
terutama sekali sejak revolusi industri, masyarakat barat telah mengalami segmentasi dan
spesialisasi, serta kompartementalisasi. Dimensi agama tidak lagi meliputi bidang luas
menyangkut bidang kehidupan keseharian dalam semua sektor. Gereja hanya merupakan
institusi yang mengkhususkan diri dalam bidang kerohanian yang sangat terbatas gerakan
dan kewenangannya. Seperti digambarkan secara jelas oleh Bruce Wilson dalam
tulisannya The Church in a Secular Society, mengatakan bahwa Sejak zaman reformasi,
terlebih sejak Revolusi Industri, masyarakat telah mengalami segmentasi dan
terspesialisasi. Agama tidak lagi berperan mencakup kehidupan sehari-hari. Kebanyakan
prosesproses sosial, misalkan proses ekonomi, politik, hukum, kesejahteraan, kesehatan
dan pendidikan memerankan bentuknya sebagai institusi, personnel, dan cara berpikir
secara sendiri-sendiri (masing-masing). Pun termasuk Gereja pada saat yang bersamaan,
berubah bentuknya menjadi suatu institusi yang mengkhususkan diri dalam hal "sakral"
atau suatu bentuk tertentu yang disakralkan.24 Demikian proses diferensiasi yang terjadi
akibat perkembangan masyarakat pada gilirannya melahirkan perubahan persepsi
masyarakat terhadap peran agama itu sendiri. Dan perubahan persepsi ini melahirkan
sikap ketidakpedulian mereka atas peran agama dan religius dalam derap kehidupan
mereka.

c. Sekularisasi sebagai proses rutinisasi Istilah rutinisasi (routinisation) sebagai bentuk


proses sekularisasi didasarkan pada pandangan teoretik mengenai dikotomi gereja dan
sekte dari Weber-Troeltsch. Menurut mereka, Gereja harus dimengerti sebagai kasus
yang berbeda dari kasus lain. Gereja dipandang memiliki otoritas luas, birokratik, serta
bersifat kompromistik dengan dunia luas, sementara sekte dipandang menolak
kompromi dengan tuntutan Gereja. Sekte merupakan saluran perubahan sosial, dan
memandang pengalaman religius pada hakekatnya bersifat pribadi dan individual.
Warner Stark menyebut antara keduanya sebagai typically a contra culture, atau sebagai
suatu hal yang secara khas mempunyai ciri kultural yang bertentangan.25 Bila
Gereja adalah besar, birokratik, dan kompromi dengan dunia luas, maka sekte adalah
kecil, personal, individual dan non-kompromi dengan dunia luas. Berdasarkan
karakteristik sosial-kultural tersebut, maka sekte suatu ketika cenderung bakal kehilangan
ciri-ciri sosio-etiknya lewat proses rutinisasi yang terjadi. Proses selanjutnya, sekte akan
menjadi suatu kelompok yang bertujuan hanya untuk mempertahankan kemurnian ajaran
yang mereka yakini. Dalam konteks kelembagaan, dengan demikian, proses rutinisasi
secara sosiologis dapat dipahami sebagai gejala dari suatu proses sekularisasi. Hal ini,
karena agama konvensional tidak berperan sebagai agama yang operatif, dalam arti
agama sebagai sistem kepercayaan dan sistem kaidah yang secara nyata sanggup
menyediakan bagi masyarakat makna dan nilai kehidupan yang sebenarnya. Rutinisasi
sebagai gejala dan proses sekuralisasi adalah timbul manakala agama konvensional
(conventional religion) tidak lagi berperan sebagai agama operatif dalam pengertian
sosiologik, namun telah digantikan dengan atau oleh seperangkat ideide upacara dan
simbol yang lain.26

d. Sekularisasi Sebagai Proses Pelepasan Pengertian sekularisasi lainnya bila dilihat dari
definisi agama secara institusional adalah pelepasan diri agama dari kehidupan dunia.
Kehidupan tidak lagi didominasi institusi agama atau kewenangan lembaga agama. Para
Ilmuwan sosial menyebut proses ini sebagai disengagement of religion yaitu pelepasan
atau pemisahan lembaga agama dari lembaga sekuler. Antara keduanya tidak lagi terjadi
intervensi otoritas. Glasner merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan sekularisasi
adalah suatu gerakan perubahan dan kewenangan kontrol gereja kepada negara atau
pemerintah dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Sekularisasi merupakan gejala
tumbuhnya negara sekular dan pengambil-alihan kekuasaan, peran, fungsi atau seluruh
aktivitas yang semula diselenggarakan oleh institusi keagamaan. Dengan perkataan lain,
sekularisasi adalah gerakan pemisahan atau pelepasan diri dari kekuasaan institusi agama
dalam berbagai aspeknya. Proses perubahan pelepasan atau pemisahan yang terjadi dalam
proses disengagement of religion ini, secara sosio-kultural dan sosio-idiologik, adalah
dikarenakan oleh gerakan kebangkitan negara sekular yang secara administrasional
mengambil alih hampir seluruh aktivitas kemasyarakatan yang pada mulanya
diselenggarakan oleh institusi keagamaan. Walau demikian, tidak seperti sekularisme
yang pada hakekatnya menolak transendensi Tuhan maka sekularisasi dalam pengertian
pelepasan pemisahan ini hanya menghendaki terlepas atau terpisahkannya institusi-
institusi pengatur kehidupan duniawi dan institusi pengatur kehidupan akhirat. Terhadap
gejala hal ini Mehl (1970),27 menyebutnya sebagai The transfer of the corpus mysticum
dari gereja kepada negara dalam segala aspeknya, sehingga melahirkan berbagai bentuk
makna kehidupan baru. Pada akhirnya terjadilah pemisahan antara “dunia” di satu pihak
dan institusi religius di pihak lain, dengan wilayah yang masingmasing pula. Di mana
Gereja, sebagai institusi religius kian terpencil dan terpisah dari hiruk pikuknya
keramaian kiprah kehidupan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Gereja semakin
menyendiri dalam suasana yang sangat berlainan dengan kurun waktu sebelumnya.
Emansipasi dunia dan dominasi institusi religius, secara historik-kultural berakar pada
abad humanisme-renaisans, terutama sekali pada zaman pencerahan (Aufklarung). Pada
masa ini, hampir semua sektor kehidupan manusia mencoba melepaskan diri dari otoritas
dan ikatan dengan institusi religius. Di Perancis misalnya, pemisahan atau pelepasan
dalam hal undang-undang Gereja dan negara sepenuhnya terjadi pada saat republik ketiga
tahun 1905. Gereja kehilangan dana dari masyarakat luas. Bangunan-bangunan gereja
beralih menjadi milik pemerintah. Pengajaran agama di sekolah-sekolah umum mulai
dihapuskan pada tahun 1982. Kemudian diganti dengan pengajaran etika umum.28 Pada
tahun 1904, semua institusi religius dilarang mengadakan pengajaran bantu apapun. Pada
zaman pencerahan ini dapat pula disebut zaman akhir dari suatu proses pemisahan
institusi religius dengan institusi kehidupan sekular (duniawi). Bahkan dapat dikatakan
lebih dari itu, pada saat ini, mulai tumbuh suatu bentuk ideologi yang lebih ekstrim
dinamikanya ketimbang proses disengagement itu sendiri. Yakni, hadirnya sekularisme,
suatu idiologi yang secara terangterangan menolak keberadaan segala bentuk
supernaturalisme di muka bumi manusia. Konsekuensi logisnya, sangat sulit untuk
menentukan batas waktu yang pasti kapan proses disengagement of religion berhenti, juga
kapan sekularisme bermula. B. Sekularisasi Agama Normatif Secara normatif agama
difahami sebagai suatu sistem norma atau kaidah berasal dari dzat yang diimaninya, yakni
Tuhan atau kekuatan adikodrati (supernatural power). Termasuk kategori proses
sekularisasi berakar pada agama sebagai sistem norma adalah transformasi, generalisasi,
desakralisasi, dan sekularisme itu sendiri.

a. Transformasi Nilai/Norma Agama Sekularisasi sebagai proses transformasi


dimaksudkan di sini adalah suatu proses perubahan dari nilai-nilai religius (religious
value) yang bersumber atau berporos pada nilai-nilai transendental dan kekuatan ilahiah
(devine power) ke arah bentuk nilai-nilai bersifat sekular, dalam artian duniawi temporal.
Bila ditinjau dari prosesnya, maka transformasi religius tidak lebih dari proses pergeseran
atau penggeseran nilai-nilai religious ke arah bentuk nilai-nilai sekular (profan, temporal)
yang dianggapnya nilai praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian.
Pergeseran ini diakibatkan oleh tumbuhnya sikap para penganut agama yang cenderung
untuk melakukan adaptasi diri dengan struktur kehidupan masyarakat modern, yang
bersifat materialistik, rasional, dan pragmatik, serta sangat menuntut terwujudnya
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Tentang ini Weber dalam bukunya The Protestant Ethic
and The Spirit of Capitalism menyebutkan bahwa keceriaan ahli waris zaman Pencerahan
tak dapat dihindari lagi tampak kian memudar dan kehilangan warna pasti, dan ide-ide
tentang kewajiban yang terdapat diri seseorang berputar-putar mencari sesuatu di sekitar
kehidupan kita bagai hantu keyakinan religius yang telah mati. Di mana pemenuhan
kewajiban tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual dan budaya
paling luhur, atau ketika kebutuhan tidak lagi dirasakan sebagai desakan ekonomi, maka
orang pada umumnya meninggalkan sama sekali usaha untuk membenarkannya.30

b. Generalisasi Generalisasi merupakan salah situ bentuk proses sekularisasi yang


berkaitan dengan agama sebagai suatu sistem norma. Yaitu berkaitan dengan tata aturan,
norma, atau kaidah-kaidah yang menata dan mengatur tingkah laku kehidupan keserasian
individu atau masyarakat. Dalam masyarakat tradisional, normanorma religius
memegang peran sangat penting sebagai sistem kaidah yang mengatur berbagai sektor
atau lapangan kehidupan. Hampir segala kegiatan kehidupan diatur, dipertimbangkan,
dan diputuskan berdasarkan norma atau kaidah agama, sejak persoalan kecil seperti
makan, minum, bekerja, berbusana sampai pada masalah besar menyangkut kebijakan
berskala nasional, maka norma agama ikut serta di dalamnya. Namun, manakala
kehidupan modern yang bercirikan industrialisasi, urbanisasi, ilmu pengetahuan dan
teknologi, pada gilirannya melahirkan sebuah proses yang disebut diferensiasi atau
spesialisasi, maka normanorma religius dan agama konvensional atau nilai tradisional
yang terdapat dalam masyarakat mengalami berbagai perubahan yang menjurus kepada
posisi penyempitan peran agama itu sendiri. Akibat perubahan peran dan terjadinya cara
persepsi sekular, maka agama menjadi tidak lagi ditafsirkan dan didudukkan pada dan
sebagai sistem norma yang mengatur segalanya, akan tetapi, agama hanya ditempatkan
pada posisi tertentu dengan tugas dan fungsi yang teramat sempit. Masyarakat tidak lagi
memandang agama menjadi pusat atau sumber segala peraturan atau norma, kecuali
hanya sebagai norma yang amat terbatas.31 Negara mengambil alih peran agama tersebut
dengan cara mengganti dengan suatu bentuk baru sejenis agama yang bersifat sangat
umum suatu agama berbentuk common religion atau public religion yang memiliki
karakteristik idiologik yang bersifat universal, generik, dan humanistik, seperti halnya
agama humanistik, liberalism, komunisme, ataupun bentuk sistem berpikir dan
berperilaku yang memberikan kerangka orientasi dan obyek pengabdiannya, yang dicipta
dalam rangka menggantikan peran agama konvensional tradisional. Demikian pula,
proses bergabungnya agama-agama atau denominasi yang membentuk satu agama yang
lebih umum juga merupakan indikator yang menggejala sebagai proses generalisasi, yang
notabenenya juga merupakan proses sekularisasi.32

c. Desakralisasi Sakral berasal dan perkataan latin sacer, berarti suci, kudus, keramat, atau
ilahi. Kebalikan dari kata sakral adalah Profan yang berarti apa yang terletak di depan
yang suci, yang kudus, atau yang sakral. Jelasnya, profan sesuatu yang bersifat duniawi.
Dalam pengalaman religius, karena itu suatu barang sakral berarti merupakan barang suci,
kudus, atau ilahi. Dengan demikian apa yang disebut desakralisasi (bentukan dari de +
sakral + isasi) dapat dimengerti sebagai proses penghilangan atau peniadaan hal-hal
bersifat sakral. Salah satu ciri sosio-kultural dari masyarakat modern adalah
menghilangnya dimensi sakral. Berbeda dengan masyarakat tradisional, yang bersifat
religius, di mana mereka memandang dunia penuh hierofani-hierofani dan barang sakral,
maka masyarakat modern cenderung mempercayai dunia tidak merujuk kepada realitas
lain yang transendental atau mengatasi dunia ini. Dunia, bagi orang modern, tidak lebih
daripada dunia belaka. Karena itu yang sakral hilang dari dunia. Desakralisasi sebagai
suatu proses sekuralisasi merupakan peristiwa sosiologis sebagai akibat terjadinya
perubahan sosiokultural. Masyarakat modern yang oleh Max Weber disebut sebagai
masyarakat yang ditandai oleh rasionalisasi dan intelektualisasi juga oleh adanya sikap
kecewa dari dunia, tepatnya, nilai-nilai tertinggi dan makna terakhir tentang kehidupan
telah diasingkan dari kehidupan khalayak ramai dalam bentuk alam transendental
kehidupan mistik ke dalam bentuk persaudaraan manusia bersifat langsung dan pribadi.33
Di sini, norma-norma sekular seperti: efisiensi, efektivitas, keterpakaian (practicability),
materialitas, menempati kedudukan lebih penting dari pada norma dan nilai religius.
Lebih jauh, dalam masyarakat modern dengan struktur sosialnya yang industrial dan sikap
modernitas yang dimilikinya menjadikan desakralisasi kosmis dan alam kian terwujud.
Menghilangnya sakralitas kosmis dan alam semakin dapat disaksikan secara jelas. Di
mana masyarakat tiada lagi membedakan antara mana yang sakral dan mana yang profan.
Antara persoalan akherat dan dunia fana. Di bidang waktu, misalkan, antara hari atau
waktu-waktu suci dan hari biasa dipandang sama saja, tiada berbeda. Demikian pula
antara ruang atau tempat suci dan tempat umum atau lapangan hidup lainnya. Ternyata
orang atau masyarakat modern tidak lagi memandang ada sakral yang profan. d.
Sekularisme Sekularisme sebagai suatu bentuk sekularisasi merupakan suatu proses
penolakan atau pegingkaran terhadap norma-norma religius dari dan dalam kehidupan di
dunia. Sekularisme sebagai suatu ideologi menolak eksistensi pengaturan sakral bentuk
anti religius, anti agama. Dengan demikian tumbuhnya organisasi irreligius pada dasarnya
merupakan indikator sosio-idiologis atau sosio-kultural terjadinya proses yang berkaitan
dengan sekularisasi.34 Sekularisme menolak keberadaan tatanan ilahi. Sekularisme,
sebaliknya, meyakini kehidupan hanya terjadi di dunia. Tiada kehidupan setelahnya
apapun namanya. C. Sekularisasi Kategori Kognitif Bagian terakhir penjelasan
pengertian dan proses sekularisasi dalam kajian ini, adalah pengertian sekularisasi yang
diacuhkan kepada definisi agama yang diakarkan pada kategori kognitif. Apa yang
dimaksudkan dengan istilah kognitif di sini adalah berkaitan dengan pengetahuan atau
pengalaman. Dalam kaitannya dengan pengertian agama secara kognitif, di mana agama
diartikan sebagai suatu tradisi atau adat istiadat dari kepercayaan yang secara turun
temurun dipelihara, maka sekularisasi dapat mengerti sebagai suatu proses meluntur atau
menghilangnya tradisi dalam kesadaran masyarakat atau individu.35 Kesadaran individu
atau masyarakat modern yang kian dipenuhi dengan berbagai persoalan hidup duniawi
yang kompleks, runtutan ekonomi, kebebasan, kemerdekaan, ataupun pencapaian
kebutuhan yang layak cenderung menumbuhkan sikap, motivasi, persepsi, orientasi baru
yang seringkali berlawanan dengan sikap, orientasi maupun persepsi dengan saat
sebelumnya. Demikian pula, kondisi sosio-kultural yang semakin bersifat pluralistik
dikarenakan terjadinya diferensiasi atau spesialisasi kehidupan pada saatnya juga
menumbuhkan sikap yang kurang menghargai tradisi-tradisi yang sebelum ditempatkan
dalam posisi dan peran yang luhur. Demikian pula berbagai perkembangan sosio-kultural
dan sosio-struktural kehidupan pada saatnya juga menyebabkan semakin berkurangnya
penghargaan kepada tradisitradisi religius maupun agama.36 Masyarakat moderen yang
ditandai juga oleh gejala rasionalisasi struktural yang secara institusional mewujudkan
dalam bentuk birokrasi tak luput membantu pula dinamika gerakan sekuralisasi. Peter L.
Berger mengatakan bahwa proses birokratisasi terjadi baik dalam hubungan-hubungan
sosial internal maupun eksternalnya, dan makin banyak kelompok-kelompok agama
melihat peran pendeta sebagai pegawai, umat beragama dipandang hanya sebagai
pelanggan, serta kelompok agama yang berbeda dipandang sebagai organisasi sahabat
yang memiliki masalah yang sama.37 Birokratisasi yang tumbuh bersamaan dengan
sistem manajemen modern ternyata juga membawa pengaruh mengurangi penghayatan
umat beragama terhadap Tuhan serta penghargaannya terhadap agama sebagai suatu yang
dominan dalam kehidupan manusia.

Anda mungkin juga menyukai