LP RDS

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

Respiratory Distress Syndrom (RDS)

Oleh:
Erda Riyadi A, S.Kep
15.0103.1034

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
DESEMBER 2015
LEMBAR KONSULTASI

Tanggal Materi yang Dikonsulkan dan Uraian Nama dan


Pembimbing Tanda Tangan
Pembimbing

BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Konsep Dasar
1. Pengertian RDS
Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini
merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan
maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi
dan Yuliani, 2006). Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline
membran desease (HMD) atau penyakit membran hialin karena pada penyakit
ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli.
Syndrom gawat napas (RDS) juga dikenal sebagai idiopathic respiratory
distress syndrome) adalah sekumpulan temuan klinis, radiologis, dan
histologis yang terjadi terutama akibat ketidakmaturan paru dengan unit
pernapasan yang kecil dan sulit mengembang dan tidak menyisakan udara
diantara usaha napas. Istilah-istilah Hyaline Membrane Disease (HMD) sering
kali digunakan saling bertukar dengan RDS (Bobak, 2005).
Sindrom gangguan pernafasan (respiration distress syndrom) dalah istilah
yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini
Merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan
maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah sulfaktan dalam paru (Marmi dan
Kukuh Rahardjo, 2012).
Dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa RDS adalah penyakit
yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan ketidakmampuan sel untuk
menghasilkan surfaktan yang memadai. Sindrom ini terdiri atas dispue,
merinti/gruncing, tachipnue, retraksi dinding dada serta sianosis. Gejala ini
timbul biasanya dalam 24 jam pertama setelah lahir dengan degradasi yang
berbeda-beda, namun yang selalu adalah dispnue yang merupakan tanda
kesulitan ventilasi paru.

2. Etiologi
Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan,
suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. RDS seringkali
terjadi pada bayi prematur, karena produksi surfaktan, yang dimulai sejak
kehamilan minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup
bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadinya
RDS.
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:
a. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
b. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar
kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
c. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam
proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh
makrofag.
d. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
e. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru.
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).
f. Bayi prematur atau kurang bulan
Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini
dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan,
maka semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.

3. Patofisiologi
Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan
oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan
kurangsempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan
kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus
sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 %
dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis
respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan
10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan
menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru
tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu
paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang.
Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal
menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.
Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya
defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan
barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan
pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga
menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran
hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir.
Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72 jam
setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek pada bayi yang
immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu
dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal
Displasia (BPD).

5. Tanda dan Gejala


Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat
dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia
kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Manifestasi dari RDS
disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerosakan sel dan
selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinikal yang timbul yaitu adanya sesak
nafas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea
(> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan
sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir.
Berdasarkan foto thorak, ada 4 stadium RDS yaitu:
a. Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara.
b. Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer
menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c. Alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih
opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih
luas.
d. Seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak dapat
dilihat.

Tanda dan gejala yang muncul dari RDS adalah:


a. Pernapasan cepat
b. Pernapasan terlihat parodaks
c. Cuping hidung
d. Apnea
e. Murmur
f. Sianosis Pusat

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe :

Pemeriksaan 0 1 2

Frekuensi < 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit


Nafas
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilangSianosis menetap
dengan O2 walaupun diberi O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringanTidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengarDapat didengar tanpa
dengan stetoskop alat bantu

Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe


Skor < 4 gangguan pernafasan ringan
Skor 4 – 6 gangguan pernafasan sedang
Skor > 7 Ancaman gagal nafas (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)

6. Komplikasi
a. Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1) Ruptur alveoli, bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel), pada
bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis
hipotensi, apnea, atau bradikardi.
2) Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan
thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti
pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi.
3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventricular, perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4) PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan
terapi surfaktannya.
b. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi:
1) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD), merupakan penyakit paru kronik
yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan
yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya
infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
2) Retinopathy premature, kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-
70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia,
komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan AGD didapat adanya hipoksemia kemudian hiperkapni
dengan asidosis respiratorik.
b. Pemeriksaan radiologis, mula-mula tidak ada kelainan jelas pada foto
dada, setelah 12-24 jam akan tampak infiltrate alveolar tanpa batas yang
tegas diseluruh paru
c. Biopsi paru , terdapat adanya pengumpulan granulosit secara abnormal
dalam parenkim paru

10. Perawatan
1) Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC) dengan cara
meletakkan bayi dalam incubator. Kelembapan ruangan juga harus
adekuat.
2) Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati
karena berpengaruh kompleks pada bayi premature. pemberian oksigen
yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi seperti fobrosis
paru,dan kerusakan retina. Untuk mencegah timbulnya komplikasi
pemberian oksigen sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan analisa gas
darah arteri. Bila fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah arteri
tidak ada, maka oksigen diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari
40% sampai gejala sianosis menghilang.
3) Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan
homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan
glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan berat
badan ialah 60-125 ml/kgBB/hari. Asidosis metabolic yang selalu
dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara
intravena yang berguna untuk mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45.
Bila tidak ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah, NaHCO3
dapat diberi langsung melalui tetesan dengan menggunakan campuran
larutan glukosa 5-10% dan NaHCO3 1,5% dalam perbandinagn 4:1
4) Pemberian antibiotic. bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotic untuk
mencegah infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin dengan dosis
50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan
atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
5) Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian
surfaktan eksogen (surfaktan dari luar). Obat ini sangat efektif tapi
biayanya sangat mahal.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu, pernafasan
mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung,
sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit
bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal
kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan
pernapasan dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan
pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi
kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1) Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada
bayi. Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan
usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada
syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat,
dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan
ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang
merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.
2) Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping
hidung, retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan
nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor
dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha
pernafasan.
3) Warna kulit/ membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba
dingin.
b. Pemeriksaan penunjang
1) Foto rontgen thorak
Untuk mengetahui kemungkinan adanya kardiomegali bila sistim lain bila
terkena.
2) Pemeriksaan hasil analisa gas darah
Untuk mengetahui adanya hipoksemia, hipokapnia, dan alkalosis
respiratori ( pH >7,45) pada tahap dini.
3) Tes fungsi paru
Untuk mengetahui keadaan paru kanan dan paru kiri.

c. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dari RDS yang muncul menurut Suriadi dan Yulianni
(2006) yaitu:
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding
dada atau kurangnya jumlah cairan surfaktan.
2) Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi atau
pemasangan intubasi trakea yang kurang tepat dan adanya secret pada jalan
napas.
3) Tidak efektif pola napas berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi
dan ventilator, dan posisi bantuan bentilator yang kurang tepat.
4) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan
yang tanpa disadari (IWL).
5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, motilitas gastrik menurun, dan penyerapan.
d. Perencanaan
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan imatur paru dan dinding
dada atau kurangnya jumlah cairan surfaktan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan pola nafas efektif.

Kriteria hasil:
 Jalan nafas bersih
 Frekuensi jantung 100-140 x/menit
 Pernapasan 40-60 x/menit
 Takipneu atau apneu tidak ada
 Sianosis tidak
Intervensi:
 Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi
telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap
dalam posisi ’mengendus’.
Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
 Hindari hiperekstensi leher.
Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea.
 Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan, kenali
tanda-tanda distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung,
apnea.
Rasional: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan
mencegah terjadinya distres pernafasan.
 Lakukan penghisapan mukus.
Rasional: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring,
trakea, dan selang endotrakeal.
 Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan.
Rasional: memastikan bahwa jalan napas bersih.
 Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan.
Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar.
 Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian
surfaktan.
Rasional: menilai fungsi pemberian surfaktan.
 Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak
dan oksigen.
 Rasional: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.

2) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi


jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
ditandai dengan: dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot
pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan: Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang
jernih dan ronchi (-).
Kriteria hasil:
 Pasien bebas dari dispneu
 Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
 Memperlihatkan tingkah laku dan mempertahankan jalan nafas.
Intervensi:
 Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya.
Rasional: Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat
meningkatkan usaha dalam bernafas.
 Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan
fremitu.
Rasional: Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi
cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus.
 Catat karakteristik dari suara nafas.
Rasional: Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati
batang tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau
sumbatan lain dari saluran nafas.
 Catat karakteristik dari batuk
Rasional: Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada
penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam
jumlah yang banyak, tebal dan purulent.
 Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas
tambahan bila perlu.
Rasional: Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten.
 Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan
lakukan suction bila ada indikasi.
Rasional: Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi
perkembangan atelektasis dan infeksi paru.
 Peningkatan oral intake jika memungkinkan.
Rasional: Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif.
 Berikan oksigen, cairan IV; tempatkan di kamar humidifier sesuai
indikasi.
Rasional: Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen.
 Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi.
Rasional: Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan
sekret.
 Berikan fisiotherapi dada misalnya: postural drainase, perkusi dada/
vibrasi jika ada indikasi.
 Rasional: Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi
penggunaan otot-otot pernafasan.
 Berikan bronchodilator misalnya: aminofilin, albuteal dan mukolitik.
Rasional: Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan
viskositas sekret dan meningkatkan ventilasi.
3) Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas
bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan
ventilator yang kurang tepat.
Tujuan: Pola nafas efektif
Kriteria Hasil:
 Mempertahankan pola pematasan efektif.
 Irama nafas, kedalaman nafas normal.
 Oksigenasi adekuat

Intervensi:
 Analisa Monitor serial gas darah sesuai program.
Rasional: Mempertahankan gas darah optimal dan mengetahui
perjalanan penyakit.
 Gunakan alat bantu nafas sesuai intruksi.
Rasional: Memudahkan memelihara jalan nafas atas.
 Pantau ventilator setiap jam
Rasional: Mencegah turunnya konsentrasi mekanik dan kemungkinan
terjadinya komplikasi.
 Berikan lingkungan yang kondusif
Rasional: Supaya bayi dapat tidur dan memberikan rasa nyaman.
 Auskultasi irama jantung, suara nafas dan lapor adanya penyimpangan.
Rasional: Mendeteksi dan mencegah adanya komplikasi.
4) Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan
yang tanpa disadari.
Tujuan: mempertahankan cairan dan elektrolit
Kriteria Hasil:
Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan
Intervensi:
 Pertahankan cairan infus 60- 10 ml /kg/hari atau sesuai protokol yang
ada.
Rasional: Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah
ketidakseimbangan.
 Tingkatkan cairan infus 10 ml/ kg, tergantung dari urin output,
penggunaan pemanas dan jumlah fendings.
Rasional: mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien,
penggunaan pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan cairan.
5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, motilitas gerak menurun dan penyarapan.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi adekuat.
Kriteria hasil:
 Mencapai status nutrisi normal dengan berat hadan yang sesuai.
 Mencapai kadar gula darah normal.
 Mencapai keseimbangan intake dan output.
 Bebas dari adanya komplikasi Gl.
 Lingkar perut stabil.
 Pola eliminasi nonnal
Intervensi:
 Timbang helat badan tiap hari.
Rasional: Mendeteksi adanya penurunan atau peningkatan berat
badan.
 Berikan glukosa 5-10% banyaknya sesuai umur dan berat badan.
Rasional: Diperlukan keseimbangan cairan dan kehutuhan kalori
secara parsiasif.
 Monitor adanya hipoglikemi.
Rasional: Masukkan nutrisi inadekuat menyebabkan penurunan
glukosa dalam darah.
 Monitor adanya komplikasi GI:
o Disstres
o Konstipasi / diare.
o Frekwensi muntah
Rasional: Mempertahankan nutrisi cukup energi dan keseimbangan
intake dan output

DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermik. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC

Betz, Cecily lyn, dan linda A. sowden 2009. Keperawatan pediatric, edisi 5. Jakarta:
EGC

Indrasanto, Eriyanti., dkk. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obsetri Dan Neonatal
Emergensi Komprehensif (PONEK).

Kosim. M.S., 2010. Deteksi Dini Dan Manajemen Gangguan Napas Pada Neonatus
Sebagai Aplikasi P O N E K (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency
Komprehensif). Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi/ FK UNDIP
Semarang.

Suriadi dan Yuliani, R. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV
Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai