Anda di halaman 1dari 34

SAP TB PARU PADA ANAK

KELOMPOK 9
NAMA ANGGOTA :

1. SIFFA NUR AULIANA


2. SUCI MAUDY AULIA
3. TRI WULANDARI
4. YUDHA PRATAMA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN


KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PRODI D-IV KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2018
SATUAN ACARA PENYULUHAN
1. Pokok bahasan : TB Pada Anak
2. Sub pokok Bahasan :
a. Pengertian Penyakit TB
b. Penularan dan Penyebaran Bakteri TB Pada Anak
c. Gejala Klinis Penyakitr TB Pada Anak
d. Pencegahan Penyakit TB Pada Anak
e. Tindakan Lanjut Pada Anak dengan Penyakit TB
3. Sasaran : Masyarakat
4. Tempat : Poli Anak RS TK II Dr. AK Gani Palembang
5. Hari/ Tanggal : Rabu 21 November 2018
6. Waktu : 1x20 menit
7. Tujuan
Umum : Setelah dilakukan penyuluhan, diharapkan

menambah pengetahuan masyarakat tentang

penyakit TB pada anak.


Khusus : Setelah dilakukan penyuluhan, diharapkan
a. Masyarakat mengerti Pengertian penyakit TB
b. Masyarakat mengerti Penularan dan Penyebaran

Bakteri TB Pada Anak


c. Masyarakat mengerti Gejala Klinis Penyakit TB

Pada Anak
d. Masyarakat mengerti Pencegahan Penyakit TB Pada

Anak
e. Masyarakat mengerti Tindakan Lanjut Anak dengan

Penyakit TB
8. Metode : Penyuluhan dan tanya jawab
9. Media : LeafLet
10. Materi : Terlampir
11. Kegiatan

No Kegiatan Waktu Kegiatan Sasaran


1 Pembukaan 3 menit - Menyiapkan peralatan
- Mengucapkan salam dan menyapa

audience
- Memperkenalkan diri
- Mohon izin dan menjelaskan

maksud dan tujuan


- Menjelaskan pokok bahasan yang

akan disampaikan

2 Inti 7 menit - Menjelaskan materi


- Memberi kesempatan kepada

masyarakat untuk bertanya

3 Jawab - Menjawab pertanyaan


- Evaluasi hasil penyuluhan
Pertanyaan

No Kegiatan Waktu Kegiatan Sasaran


4 Penutup 5 menit - Membuat kesimpulan dari materi

secara menyeluruh
- Memberikan saran kepada

masyarakat untuk melakukan apa

yang telah disampaikan


- Salam berpamitan dan

mengucapkan terima kasih untuk

partisipasinya

12. Rencana Evaluasi :


a. Apakah Masyarakat mengerti tentang pengertian penyakit TB?
b. Apakah Masyarakat mengerti penularan dan penyebaran bakteri TB

pada anak?
c. Apakah Masyarakat mengerti gejala klinis penyakit TB pada anak ?
d. Apakah Masyarakat mengerti pencegahan penyakit TB pada anak?
e. Apakah Masyarakat mengerti tindakan lanjut pada anak dengan TB?

TB PADA ANAK

Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga

disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau

organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru.1

Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang

dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis,

pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa

sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,

dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama

TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang

tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab

tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di

negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar

140.000 orang per tahun.

Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis

pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan

spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB

pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak,

ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena

sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan

asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan

pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang diperhatikan.

Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga

disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau

organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru. Bila

kuman TB menyerang otak dan sistem saraf pusat, akan menyebabkan meningitis

TB. Bila kuman TB menginfeksi hampir seluruh organ tubuh, seperti ginjal,

jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut TB milier atau TB

ekstrapulmoner.

Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita

oleh anak <15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki

kontak yang signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada
tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika

seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman

tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid

sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat

granuloma atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta

didapatkan uji tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit

TB jika terdapat gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran

kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita

tuberkulosis.

TB ditularkan melalui udara (melalui percikan dahak penderita TB).

Ketika penderita TB batuk, bersin, berbicara atau meludah, mereka memercikkan

kuman TB atau basil ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan

menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil

Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang

lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB.

Seseorang yang tertular dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB. Kuman

TB dapat menjadi tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan

membentuk suatu dinding sel berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem

kekebalan tubuh seseorang menurun, kemungkinan menjadi sakit TB menjadi

lebih besar. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat

secara lengkap dan teratur.

Etiologi
Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang

merupakan patogen terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari

Mycobacterium yang paling umum menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis,

M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M. Canetti. Dari kelima jenis ini M.

Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari penyakit tuberkulosis pada

manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus, bovinum dan

avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis

varian humanus.

M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak

berkapsul, nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta

memiliki ukuran panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M.

Tuberkulosis tumbuh optimal pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob

obligat yang berkembang biak secara optimal pada jaringan yang mengandung

banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel yang kaya akan lipid menjadikan

basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan komplemen. Sebagian

besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan

arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut

BTA dan kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena

ketahanannya terhadap asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang

stabil antara asam mikolat pada dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan

golongan aryl methan seperti carbolfuchsin, auramine dan rhodamin. Kuman ini

dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah karena kuman dalam

keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi kembali.
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam

sitoplasma makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid.

Kuman ini bersifat aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi

jaringan yang tinggi mengandung oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini

adalah bagian apikal paru karena tekanan O2 pada apikal lebih tinggi dari pada

tempat lainnya.

Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur

dan glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat,

dengan waktu generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media

sintetik yang solid membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas

terhadap obat membutuhkan tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu,

pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3 minggu dengan menggunakan

medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas terhadap obat

hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.

Patogenesis

Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis


Perjalanan alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,

sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender

terjadinya TB di berbagai organ.

Gambar 3.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer


Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin

biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada

awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema

nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.

Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung

dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.

Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.

Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi

pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,

yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB

terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian

karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.

Manifestasi klinis

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat

bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara

keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya,

sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta

kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.

Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu.

Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan
sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan

clinically silent dissease.

Manifestasi sistemik

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik

karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa

manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang

dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan

demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus.

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan

dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik

pertumbuhan.

3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan

tidak naik dengan adekuat (failure to thrive).

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya

multipel.

5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi

pada anak bukan merupakan gejala utama.

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

Manifestasi Spesifik Paru.

TB Asimptomatis
Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang

diasosiasikan dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa

gejala klinis dan manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran

nodus limfe di rongga dada, walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-

kadang, demam subfebris ditemukan pada onset penyakit. Sekiranya anak

berkontak dengan individu dengan TB menular yg tes tuberkulin positif, diagnosis

TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto thorak dan

pemeriksaan fisik yang teliti.

TB Paru Primer

Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan

limfadenitis regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis

yang relatif besar berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak

berlangsung secara predominan dari kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas

paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.

Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan

terlihat jelas apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis.

Apabila nodus limfe membesar, obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan

hiperinflasi dan berlanjut kepada atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit

ini mirip penyakit yang disebabkan oleh aspirasi benda asing. Atelektasis

segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.

Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan

diameter saluran nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling

sering adalah batuk non produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya
obstruksi bronkus dengan tanda adanya air trapping dan gejala wheezing jarang

dikeluhkan.

TB Paru Progresif

TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer.

Kompleks primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi

membesar dengan stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh

ke dalam broncus adjacent membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini

berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB, merupakan faktor yang

menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis kepada

individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan

ke seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia

dengan demam tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada

perkusi, rales, dan penurunan bunyi nafas.

TB Paru Kronis/Reaktivasi

Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat

jarang ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak

yang mempunyai strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada

anak dengan diagnosis TB yang lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan

pada remaja berbanding anak dengan gambaran radiologis mirip pada orang

dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan kavitas. Anak dengan

penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise, penurunan berat

badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.

Efusi pleura
Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau

digeneralisir, unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak

kurang dari 2 tahun dan hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun.

Onset dari pleurisy berlangsung cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran

klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi dullness dan penurunan bunyi nafas.

Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung beberapa minggu.

Pemeriksaan penunjang

 Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat

antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang

telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan.

Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23

2TU secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-

72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang

timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai

negatif.
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm

dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian

besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan

oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah

mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif,

kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin


disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat

mungkin karena infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan

uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada

keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan

radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.


 Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen

tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut

telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan

interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini

hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.
 Radiologi
Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan

radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.


Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:
- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
- Konsolidasi segmental/lobar
- Milier
- Kalsifikasi dengan infiltrat
- Atelektasis
- Kavitas
- Efusi pleura
- Tuberkuloma
 Serologi
Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB,

mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi,

hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat

membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.


 Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan

mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan

kuman M. Tuberkulosis dan pemeriksaan PCR.


Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit

mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas

lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada

kultur hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter

spesimen. Saat ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum

digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.


 Patologi Anatomik
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya

kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit.

Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis

kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia

langhans.
Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu

pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA(+)


keluarga
(BTA
negatif atau
tidak jelas)
Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10
mm atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan / - BB/TB < 90% Klinis gizi -
Status Gizi atau buruk

BB/U < 80% atau BB/TB


< 70%

atau BB/U <


60%
Demam tanpa - ≥ 2 minggu - -
sebab yang
jelas

Batuk - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran - ≥ 1 cm, jumlah - -


kelenjar koli,
aksila, inguinal > 1, tidak nyeri

Pembengkakan - Ada - -
tulang / sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto Thorak Normal/kelainan Gambaran - -
tidak jelas sugestif TB

Catatan:

 Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

 Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

 Berat badan dinilai saat datang.

 Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.

 Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan

infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam

skor karena diperlakukan secara khusus.


 Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak,

maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.

 Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7

hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan

merupakan alat diagnostik.

 Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal

13).

 Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks,

dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan

penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas,

pasien harus di rawat inap di RS.


Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis

Penatalaksanaan

 Obat TB yang Digunakan

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R),

isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin

dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid,

etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-

aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,


ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,

amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.

Nama Obat Dosis harian Dosis Efek Samping


(mg/kgBB/ha maksimal
ri) (mg/hari)

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,


hipersensitivitas

Rifampisin 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,


** trombositopenia, peningkatan enzim
hati, cairan tubuh berwarna oranye
kemerahan

Pirazinami 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia,


d gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan


berkurang, buta warna merah-hijau,
penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisi 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik


n

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh


melebihi 10 mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi
dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu
jam sebelum makan.

Gambar 5.1. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

 Panduan Obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan

pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga

macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase

lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang,

selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya

kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari,

bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan

setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada

anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif

diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan

hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti

milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan

minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol

atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama

10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura

TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid

(prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal

60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan

dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.

2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan

Isoniazid

Rifampisin

Pirazinamid
Etambutol

Streptomisin

Prednison

Gambar 5.2. Paduan Obat Antituberkulosis

 Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan

setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada

anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan

dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan

LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau

membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan,

misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan

nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan

dilanjutkan.

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan

secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti

TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto

rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan,

sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan

setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila

pada awal pengobatan nilainya tinggi.

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan

tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan

evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi
adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya

pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang

lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi

evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,

kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi.

Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat

dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu

dilakukan secara rutin.

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu

subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan

dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya

kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi

menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan

pengobatan 6 bulan

 Evaluasi efek samping pengobatan

OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang

cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan

gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek

samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak

melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15

mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan

Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat


Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas normal (40

U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta

peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai

dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati

yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak

membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan

enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi

spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala,

atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian

rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat

pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya

penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan

rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan

dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.

Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali

batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian

kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT

diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya

dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang

dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan

laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada


pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose)

dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.

 Putus obat

Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2

minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi

klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan

berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan

selanjutnya.

 Multi Drug Resistance (MDR) TB

Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten

terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan

rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada

perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan

meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa

penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,

penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang

tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji

kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB

tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus

meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah

di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut
WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %,

sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi

directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya

1,6% saja.

Nonmedikamentosa

 Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan

obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan

dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps

dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah

dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed

treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang

telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan

TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB

dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.

Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen

yaitu sebagai berikut :

 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

 Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

 Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan

langsung oleh pengawas minum obat (PMO).

 Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.


 Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB.

 Sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari

sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber

penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan

anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan

radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan

sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di

sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak

disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB

(pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis,

pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.3,5

 Aspek edukasi dan sosial ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena

pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu

yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan

juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin,

dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan

medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan
kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak

tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada

orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali

pada TB berat.

Pencegahan

 Imunisasi BCG

Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2

bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara

intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan

lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda

baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji

tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan

dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian

vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%.

Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan

spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap

terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di

klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.

Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak

dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif

aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering
ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan

insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi

imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal

tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan

optimal.

 Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan

kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah

terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah

berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan

isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis

ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA

sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan

ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan

sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif),

maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi

status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah

dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk

evaluasi lebih lanjut.

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi

belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan

radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi


hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang

menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh

anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,

varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan

kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam

kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis

sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan

terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.

Komplikasi Dan Prognosis

 Komplikasi

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,

penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang

dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang

besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan

nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran

mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.

 Prognosis

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini

memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman

sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa

yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya.
Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten

terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan

komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya

meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan

rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam

menjalanin pengobatan.

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin,

angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT

(terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB

milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai

100%.

Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan

 Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru,

sehingga disebut dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa

menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih

berbahaya dari pulmonary TB.

 Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik

karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain.

Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam


lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan

turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia

dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang

tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare

persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon,

radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi.

 Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB

 Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif

dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau

lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin

(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).

Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah

dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.

 Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis,

osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata,

telinga tengah dan kulit dapat terjadi.

Saran

 Banyaknya jumlah anak yang terinfeksi TB menyebabkan tingginya biaya

pengobatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pencegahan infeksi TB


merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan. Pencegahan ini

dilakukan dengan pengendalian berbagai faktor resiko infeksi TB.

 Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, diperlukan usaha penyegaran

kembali tentang TB anak, khususnya bagi dokter umum maupun dokter

anak yang sering menangani kasus TB anak.

Anda mungkin juga menyukai