PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
B. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJK tidak diketahui. Berbagai jenis obat,
penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab eksogen
penyakit jantung kongenital. Penyakit Rubella yang diderita ibu pada awal kehamilan
dapat menyebabkan PJK pada bayi. Disamping faktor eksogen terdapat pula faktor
endogen yang berhubungan dengan kejadian PJK. Pelbagai jenis penyakit genetik
dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJK seperti sindrom Down, Turner,
dan lain-lain.
C. Manifestasi Klinis
Gangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala yang
menggambarkan derajat kelainan. Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis,
berkurangnya toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang, dan
terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk awal terdapatnya kelainan
jantung pada seorang bayi atau anak.
a. Gangguan pertumbuhan. Pada PJK nonsianotik dengan pirau kiri kekanan, gangguan
pertumbuhan timbul akibat berkurangnya curah jantung. Pada PJK sianotik,
gangguan pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis. Gangguan pertumbuhan ini
juga dapat timbul akibat gagal jantung kronis pada pasien PJK.
b. Sianosis. Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah. Sianosis
mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut. Sianosis akibat
kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada sianosis perifer yang
sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis perifer lebih jelas terlihat
pada ujung- ujung jari.
c. Toleransi latihan. Toleransi latihan merupakan petunjuk klinis yang baik untuk
menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan jantung.
Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan berkurang. Gangguan
toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua dengan membandingkan pasien
dengan anak sebaya, apakah pasien cepat lelah, napas menjadi cepat setelah
melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam keadaan istirahat. Pada bayi
dapat ditanyakan saat bayi menetek. Apakah ia hanya mampu minum dalam jumlah
sedikit, sering beristirahat, sesak waktu mengisap, dan berkeringat banyak. Pada anak
yang lebih besar ditanyakan kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga. Pada
pasien tertentu seperti pada tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah lelah
berjalan.
d. Infeksi saluran napas berulang. Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah
keparu sehingga mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien dirujuk keahli
jantung anak karena anak sering menderita demam, batuk dan pilek. Sebaliknya
tidak sedikit pasien PJK yang sebelumnya sudah diobati sebagai tuberkulosis
sebelum di rujuk ke ahli jantung anak.
e. Bising jantung. Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam
menentukan penyakit jantung kongenital. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang
merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Lokasi
bising, derajat serta penjalarannya dapat menentukan jenis kelainan jantung. Namun
tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisis, tidak menyingkirkan
adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga menderita kelainan jantung,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis.
D. Diagnosis
Diagnosis penyakit jantung kongenital ditegakkan berdasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dasar serta lanjutan. Pemeriksaan penunjang
dasar yang penting untuk penyakit jantung kongenital adalah foto rontgen dada,
elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan lanjutan (untuk
penyakit jantung kongenital) mencakup ekokardiografi dan kateterisasi jantung.
Kombinasi kedua pemeriksaan lanjutan tersebut untuk visualisasi dan konfirmasi
morfologi dan patoanatomi masing-masing jenis penyakit jantung kongenital
memungkinkan ketepatan diagnosis mendekati seratus persen. Kemajuan teknologi
dibidang diagnostik kardiovaskular dalam dekade terakhir menyebabkan pergeseran
persentase angka kejadian beberapa jenis penyakit jantung kongenital tertentu. Hal ini
tampak jelas pada defek septum atrium dan transposisi arteri besar yang makin sering
dideteksi lebih awal.
Perburukan keadaan umum pada dua penyulit pertama ada hubungannya dengan
progresivitas penutupan duktus arterious, dalam hal ini terdapat ketergantungan pada
tetap terbukanya duktus. Keadaan ini termasuk kedalam golongan penyakit jantung
kongenital kritis. Tetap terbukanya duktus ini diperlukan untuk
(1) Percampuran darah pulmonal dan sistemik, misalnya pada transposisi arteri besar
dengan septum ventrikel utuh,
(2) Penyediaan darah kealiran pulmonal, misalnya pada tetralogi Fallot berat, stenosis
pulmonal berat, atresia pulmonal, dan atresia trikuspid,
(3)Penyediaan darah untuk aliran sistemik, misalnya pada stenosis aorta berat,
koarktasio aorta berat, interupsi arkus aorta dan sindrom hipoplasia jantung kiri.
Perlu diketahui bahwa penanganan terhadap penyulit ini hanya bersifat sementara
dan merupakan upaya untuk menstabilkan keadaan pasien, menunggu tindakan
operatif yang dapat berupa paliatif atau koreksi total terhadap kelainan struktural
jantung yang mendasarinya.
Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan yang harus
dilakukan adalah
(1) Mempertahankan suhu lingkungan yang netral misalnya pasien ditempatkan dalam
inkubator pada neonatus, untuk mengurangi kebutuhan oksigen,
(2) Kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada neonatus
dipertahankan diatas 15g/dl,
(4) Memberikan oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat menambah aliran
darah keparu,
(5) Pemberian prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka dengan dosis
permulaan 0,1 g/kg/menit dan bila sudah terjadi perbaikan maka dosis dapat
diturunkan menjadi 0,05pH. Pada PJK dengan sirkulasi pulmonal tergantung
duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka lebar dapat memperbaiki
sirkulasi paru sehingga sianosis akan berkurang. Pada PJK dengan sirkulasi
sistemik yang tergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan
menjamin sirkulasi sistemik lebih baik. Pada transposisi arteri besar, meskipun
bukan merupakan lesi yang bergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang
terbuka akan memperbaiki percampuran darah.
Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan pengobatan
yang agresif dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera diberikan dengan memakai
sungkup atau kanula hidung. Bila ventilasi kurang adekuat harus dilakukan intubasi
endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan ventilasi mekanis. Prostaglandin E 10,1
g/kg/menit dapat diberikan untuk melebarkan kembali dan menjaga duktus arteriosus
tetap terbuka. Obat-obatan lain seperti inotropik, vasodilator dan furosemid diberikan
dengan dosis dan cara yang sama dengan tatalaksana gagal jantung.
Pada pasien PJK dengan gagal jantung, tatalaksana yang ideal adalah memperbaiki
kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-obatan bertujuan untuk
memperbaiki perubahan hemo- dinamik, dan harus dipandang sebagai terapi sementara
sebelum tindakan definitif dilaksanakan. Pengobatan gagal jantung meliputi
(1) Penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian oksigen,
pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan asam basa dan
gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan gagal napas, perlu
dilakukan ventilasi mekanis
(a) Obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau
dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai dosis 30 g/kg. Dosis
pertamadiberikansetengah dosis digitalisasi, yang kedua diberikan 8 jam kemudian
sebesar seperempat dosis sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam berikutnya
sebesar seperempat dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-12 jam pemberian
dosis terakhir dengan dosis seperempat dari dosis digitalisasi. Obat inotropik
isoproterenol dengan dosis 0,05-1 g/kg/menit diberikan bila terdapat bradikardia,
sedangkan bila terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 g/ kg/menit atau
dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5 g/kg/menit.
Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik yang buruk
dan jika ada penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan
intoksikasi digitalis.
(b) Vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5 mg/kg/hari
terbagi 2-3 kali peroral.
(c) Diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2mg/kg/ hari
peroral atau intravena.
F. Terapi nutrisi
Tujuan penatalaksanaan gizi pada anak yang mengalami gagal tumbuh akibat
PJB adalah mencapai kejar tumbuh yang diinginkan. Sebagaimana diuraikan didepan
bahwa faktor utama yang menyebabkan kurang gizi pada PJB adalah ketidaksesuaian
yang bermakna antara masukan makanan dan dan pengeluaran metabolisme. Agar
dapat seimbang dengan meningkatkan makronutrien dan mikronutrien melalui oral,
enteral maupun parenteral. Pemberian makanan diberikan dengan porsi kecil tapi
sering lebih dapat ditoleransi daripada porsi besar dengan frekuensi jarang. Bila
pemberian makan peroral masih belum cukup bagi bayi dan anak untuk tumbuh maka
diperlukan langkah agresif dengan pemberian makanan lewat sonde nasogastrik atau
nasojejunal. Metode ini dapat dilakukan karena dapat meningkatkan kebutuhan nutrisi
namun saying jarang dilakukan. Pemberian makanan padat seharusnya dikenalkan
pada bayi dengan PJB antara umur 4 bulan, hal yang sama dikenalkan pada bayi
normal. Setiap usaha untuk mengenalkan makanan padat membutuhkan waktu. Pada
umumnya, pemberian makanan sereal bayi dengan fortifikasi besi diberikan dahulu,
diikuti dengan pemberian buah dan sayur. Daging dapat diberikan pada usia 7 bulan.
Makanan bertekstur dapat dikenalkan setelah usia bulan. Makanan padat dapat juga
diberikan fortifikasi kalori dengan memberikan suplemen kalori seperti polycose, sirup
jagung, minyak sayur dan margarin.
Menurut Hull pada pasien penyakit jantung bawaan, sumber energi yang
dibutuhkan adalah 120-135 kkal/kgBB/hari untuk rumatan dan untuk pertumbuhan
sebanyak 150-175 kkal/kgBB/hari, protein yang dibutuhkan sebanyak 2,0-2,5
g/kgBB/hari. Sedangkan komponen diet yang lain untuk pertumbuhan perlu natrium
sebanyak 8 meq/hari, tambahan besi, kalsium, vitamin A, D, E dan K perlu diberikan.
bermakna, yaitu perbaikan berat badan (p<0,01) dan panjang badan (p<0,05).
Kebutuhan vitamindan mineral juga perlu mendapat perhatian. Hansen dan Dorup,
dalam penelitian mengenai masukan makanan terhadap 22 anak dengan PJB mendapatkan
bahwa masukan vitamin D, E, B1, B6 dan vitamin C berada dibawah RDA. Untuk
mineral masukan kalium dan magnesium sesuai dengan kebutuhan, sedangkan rata-rata
masukan besi, seng dan kalsium masing-masing sebesar 47%, 59%, 88% dari RDA.
Orangtua diberikan nasehat untuk memberikan anak mereka suplemen vitamin dan
mineral untuk memberikan tambahan energi untuk anak dengan gagal tumbuh. Penelitian
yang dilakukan oleh Susanto dkk pada penelitian pasien pasca operasi Usus pada umur 4-
24 bulan dilakukan terapi diet selama 3 bulan dengan pemberian
suplementasi tempe. Didapatkan hasil kenaikan berat badan, panjang badan dan tebal
lipatan kulit pada kelompok suplementasi tempe dibandingkan dengan control dengan
perhitungan statistik didapatkan hasil yang berbeda bermakna (p< 0,05).
Penelitian Husaini dkk, pada anak prasekolah umur 1-5 tahun di Sukabumiyang
terbagi atas 4 kelompok, kelompok I sebagai kelompok kontrol, kelompok II diberi
makanan tambahan kalori tinggi (500 kalori dan 4 g protein), kelompok III diberi
makanan tambahan kalori tinggi protein tinggi(500 kalori dan 20 g protein), kelompok IV
diberi makanan kalori tinggi protein tinggi dan pendidikan intensif gizi, dengan intervensi
selama 4 bulan. Didapatkan hasil terdapat peningkatan status gizi pada kelompok
perlakuan. Jumlah anak yang menderita penyakit sebelum dan sesudah intervensi,
didapatkan penurunan jumlah anak yang terkena infeksi.
Penelitian Husaini dkk di Jawa Barat: konsumsi makanan perhari untuk anak umur
1-3 tahun adalah 607 sampai 1025 kalori dan 13,3 sampai 29,3 protein dan untuk anak 4-5
tahun adalah 732 sampai 1107 kalori dan 16,9-31,2 protein. Dapat dilihat bahwa asupan
kalori sebanyak 66-67 % dari RDA sedangkan protein sebanyak 92-93 % RDA.
Berdasarkan RDA, rata-rataa supan beberapa vitamin dan mineral tidak adekuat. Pada
anak 1-5 tahun asupan kalsium 30% RDA, Fe 40% RDA,Vit A 60% RDA,Vit B1 70%
RDA, Vit C 85% RDA. Umur 4-5 tahun asupan kalsium 40% RDA, asupan Fe 60%
RDA, vitamin A 70%, vitamin B1 75%, vitamin C 80%. Didapatkan adanya asupan
makronutrien dan mikronutrien dibawah RDA pada anak umur 1-5 tahun.
1).Kelompok biscuit tinggi lemak didapatkan kenaikan rerata berat badan sebesar1,7 kg
dan kenaikan rerata tinggi badan 6,1 cm selama setahun.
2).Kelompok biskuit tinggi karbohidrat didapatkan kenaikan rerata berat badan sebesar 1,6
kg dan kenaikan rerata tinggi badan 6,3 cm selama setahun.
3).Pada kelompok control kenaikan rerata berat badan 1,6 kg dan kenaikan rerata tinggi
bdan 6,1 cm. Hanya pada kelompok dengan biscuit tinggi lemak (63% total energi)
didapatkan peningkatan jaringan lemak. Penelitian ini tidak bermakna karena
suplementasi yang diberikan kurang dari rekomendasi yang diberikan, terjadi
peningkatan energy expenditure secara bermakna (p<0,05) sampai dengan akhir
penelitian yang memungkinkan adanya keseimbangan negatif sehingga memungkinkan
terjadinya peningkatan berat badan dan tinggi badan yang tidak bermakna
G. Bedah Jantung
Bedah jantung pada PJK merupakan bidang keilmuan yang terus berevolusi.
Terdapat 2 jenis pembedahan jantung pada PJK yakni bedah korektif yang bertujuan
untuk memulihkan ke-empat ruang jantung dan aliran darah baik ke sirkulasi pulmonal
maupun sirkulasi sistemik, serta bedah paliatif yang bertujuan sebagai tindakan
sementara sambil menunggu bedah korektif.
Pada prinsipnya penanganan PJK harus dilakukan sedini mungkin. Koreksi definitif
yang dilakukan pada usia muda akan mencegah terjadinya distorsi pertumbuhan jantung
dan hipertensi pulmonal. Bedah paliatif saat ini masih banyak dilakukan untuk
memperbaiki keadaan umum sambil menunggu bedah korektif dilakukan. Tindakan
paliatif sering menimbulkan distorsi pertumbuhan jantung dan pasien menghadapi
risiko dua kali pembedahan dengan biaya yang lebih besar. Kemajuan teknologi dalam
20 tahun terakhir ini mencetuskan paradigma baru dalam bidang bedah jantung dimana
pembedahan pada PJK ditujukan pada bedah korektif sedini mungkin tanpa didahului
oleh bedah paliatif.
1. Bedah Jantung Paliatif
Terdapat 2 prosedur paliatif utama yang digunakan yakni aortopulmonary
shunt (pirau aortopulmonal) untuk pasien dengan aliran darah paru yang kurang dan
sianosis dan pulmonary artery banding (PA-banding) untuk pasien dengan aliran
darah paru berlebih dan gagal jantung kongestif.
a. Pirau Aortopulmonal
Tujuan dari pirau aortopulmonal adalah memungkinkan sumber aliran darah
pulmonal pada pasien sianosis dan terutama diindikasikan lesi obstruktif
jantung kanan seperti ToF, Atresia Trikuspid, dan Atresia Pulmonal. Salah satu
pirau aortopulmonal yang paling dikenal adalah pirau Blalock-Taussiq. Pirau
Blalock-Taussiq adalah anastomosis end-to-side langsung dari arteri subklavia ke
arteri pulmonalis. Modifikasi pirau Blalock-Taussiq menggunakan tabung
politetrafluoroetilen (PTFE) sebagai pirauaortopulmonal.
b. Pulmonary Artery Banding
Pulmonary Artery Banding menjadi tindakan paliatif awal pada anak dengan
pirau kiri ke kanan yang besar dan peningkatan aliran darah pulmonal yakni DSV,
Defek Septum Atrioventrikular, atau Trunkus Arteriosus. Namun dengan adanya
kemajuan teknik Cardiopulmonary Bypass (CPB) dan teknik bedah, PA-banding
telah lama ditinggalkan pada hampir semua lesi. Band yang digunakan
terbuat dari dakron atau PTFE yang diletakkan pada arteri pulmonalis
sehingga menyebabkan stenosis arteri pulmonalis.
Pembedahan korektif pada PJK ditentukan oleh jenis lesi. Saat ini perencanaan
pembedahan pada PJK ditujukan pada bedah korektif sedini mungkin tanpa didahului
oleh bedah paliatif.
Penutupan DSA pada sebagian besar anak dapat dilakukan dengan jahitan
primer, namun pada remaja dan dewasa, defek ini biasanya besar sehingga diperlukan
perbaikan dengan patch.
Penutupan DSV dapat dilakukan dengan jahitan atau dengan patch pada defek
yang lebih besar. Bayi dengan DSV yang besar pada beberapa bulan pertama
kehidupan dengan gagal jantung kongestif berat harus menjalani perbaikan segera.
Penundaan operasi sampai pasien lebih besar tidak menguntungkan dan sering
menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Apa yang Harus Dilakukan bila Menghadapi Pasien atau Dicurigai Menderita
PJK?
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Pre-Operasi
1 Identitas
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Biasanya pasien-pasien yang akan dilaksanakan operasi bedah jantung
kebanyakan datang dengan keluhannya sesak nafas, nyeri dada, syanosis,
kelemahan, palpitasi dan nafas cepat
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas, nyeri dada, syanosis, kelemahan, nafas cepat, palpitasi
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya pernah merasa sesak dan nyeri pada dada tapi hilang
dengan obat warung
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kelainan jantung
3.Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Composmentis
Keadaan umun: biasanya dalam keadaan lemas
Kepala dan Leher
Thorax
Jantung
1) Inspeksi : tampak ictus cordis
2) Palpasi : ictus cordis kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung melebar
4) Auskultasi : BJ 1 dan 2 melemah, BJ S3 dan S4, disritmia, gallop
Paru
1) Inspeksi : pengembangan paru kanan-kiri simetris
2) Palpasi : ada otot bantu pernafasan
3) Perkusi : sonor
4) Auskultasi : weezing
Abdomen
1) Inspeksi : Bulat datar
2) Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3) Perkusi :-
4) Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
1) Eks. Atas : Ada clubbing fingers, terdapat oedema
2) Eks. Bawah :Ada clubbing fingers, terdapat oedema
Sistem Integumen : kulit kering dan turgor kulit juga jelek
4. Diagnosa Keperawatan pre operasi
- keluaran urin
adekuat
- Peralatan
pemantau
hemodinamik
memperlihatkan
hasil normal (
tekanan vena
central (CVP)
normal antara 2-8
mmHg atau 3-11
cm air, curah
jantung normal
antara 3-5L/menit,
tekanan kapiler
pulmonal (PCWP)
normal yaitu 6-12
mmHg, indeks
jantung normal 2,5-
3,5 L/mnt/mm2,
tekanan vaskuler
sistemik normal
antara 600-1400
dynes/sec, rerata
tekanan arteri
normal 70-
100mmHg)
- suara nafas
vesikuler
- Gambaran
adanya kestabilan
volume cairan
dengan
seimbangnya intake
output.
a) Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama
Biasanya pasien-pasien yang telah dilaksanakan operasi bedah jantung
kebanyakan keluhannya sesak nafas, nyeri dada, kelemahan, palpitasi dan
nafas cepat
Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas, nyeri dada, kelemahan, nafas cepat, palpitasi
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya belum pernah menjalani bedah jantung
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kelainan jantung hingga
dilakukan pembedahan
b) Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Apatis
Keadaan umun: biasanya dalam keadaan lemas
Kepala dan Leher
Thorax
Jantung
Inspeksi : terdapat bekas jahitan luka operasi
Palpasi : adanya nyeri tekan
Perkusi :-
Auskultasi : terdengar BJ 1 dan 2
Paru
Inspeksi : pengembangan paru kanan-kiri simetris
Palpasi : tidak ada otot bantu pernafasan
Perkusi :-
Auskultasi : weezing
Abdomen
Inspeksi : Bulat datar
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi :-
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Eks. Atas : Ada clubbing fingers, terdapat oedema
Eks. Bawah :Ada clubbing fingers, terdapat oedema
Sistem Integumen : turgor kulit kembali > 1 detik
Bila pasien telah dipindahkan ke unit perawatan kritis, 4-12 jam sesudahnya,
harus dilakukan pengkajian yang lengkap mengenai semua system untuk
menetukan status pascaoperasi pasien dibandingkan dengan garis dasar
perioperative dan mengetahui perubahan yang mungkin terjadi selama
pembedahan. Parameter yang dikaji adalah sebagai berikut :
4. Status pembuluh darah perifer :denyut nadi perifer, warna kulit, dasar
kuku, mukosa, bibir dan cuping telinga, suhu kulit, edema, kondisi balutan
dan pipa invasif.
6. Status cairan dan elektrolit asupan : haluaran dan semua pipa drainase.
semua parameter curah jantung, dan indikasi ketidakseimbangan elektrolit
berikut:
7. Nyeri :sifat, jenis, lokasi, durasi, (nyeri karena irisan harus dibedakan
dengan nyeri angina), aprehensi, respons terhadap analgetika.
6. Diagnosa Keperawatan pos operasi
2.Madiyono B. Kardiologi anak masa lampau, kini dan masa mendatang: perannya
dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit kardiovaskular.
Pidato pengukuhan guru besar tetap dalam bidang ilmu kesehatan
anak, FKUI, Jakarta, 11 Juni 1997. Jakarta: Lembaga Penerbit UI;1997.
9. Oesman IN. Tata laksana penyakit jantung bawaan dengan penyulit pada
neonatus. Dalam: Sastroasmoro S,Madiyono B, Putra ST, penyunting.
Pengenalan dini dan tatalaksana penyakit jantung kongenital pada
neonatus. Pendidikan tambahan berkala bagian ilmu kesehatan anak
FKUI ke-32, 1994. Jakarta:GayaBaru;1994. h.168-76.
14. Alwi M. Interventional cardiology for new born with critical pulmonary
stenosisor pulmonary atresia. Indones J PediatrCardiol 1998;1:10-3.
15. Rao PS. Interventional pediatric cardiology: state of theart and future direction.
Pediatr Cardio l1997;19:107-24