Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kardiovaskular merupakan sistem yang memiliki sistem khusus dalam
proses embriologi, khususnya dalam penerimaan pengaturan makanan dan oksigen.
Pembuluh darah berasal dari bahan mesoderm saat embrio berusia 3 minggu.Pada
saat awal, terbentuk empat ruangan yang membentuk seperti tuba tunggal yang
akhirnya berpisah.Hal ini untuk memisahkan darah oksigenasi serta yang keluar
dari paru-paru dan sirkulasi tubuh.Kemudian pada akhir bulan kedua, ventrikel
telah terpisah dan dua atrium juga secara parsial.Keadaan ini tetap hingga setelah
lahir dan pada saat di dalam uterus darah secara bebas (mengingat paru belum
berfungsi secara maksimal) yakni semua darah masuk ke jantung embrio melalui
atrium kanan ke dalam vena kava superior dan inferior.Adanya pembukaan dua
atrium dapat memungkinkan separuh darah menyilang ke sisi kiri dan
kemungkinan fungsi pompa jantung di bagi di antara ventrikel. Kemudian
berangsur-angsur terjadi perubahan seiring dengan perkembanganya arkus aorta,
suatu arkus tunggal yang hingga dewasa tetap menjadi aorta dana arkus yang
terakhir menjadi aorta pulmonalis.

Penyakit jantung kongenital merupakan penyakit jantung yang terjadi


akibat kelainan dalam perkembangan jantung dan pembuluh darah, sehingga dapat
mengganggu dalam fungsi jantung dan sirkulasi darah jantung atau yang dapat
mengakibatkan sianosis dan asianosis. Penyakit jantung kongenital secara umum
terdiri atas dua kelompok yakni sianosis dan asianosis.Pada kelompok sianosis
tidak terjadi percampuran darah yang teroksigenasi dalam sirkulasi sistemik dan
pada yang asianosis terjadi percampuran sirkulasi pulmoner dan sistemik. Secara
umum penyakit jantung sianotik seperti tetralofifallot dan penyakit jantung
nonsianotik seperti cacat sekat ventrikel (ventrikel septal defect-VSD),cacat sekat
atrium (atrium septal defect-ASD), patent ductus arteriosus (PDA), stenosis aorta,
stenosis pulmonal, dan koartasio aorta. Di bawah ini beberapa macam kelainan
jantung bawaan yang sering di jumpai pada anak
Penyakit jantung congenital atau penyakit jantung kongenital (pjk) terjadi
pada sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup.Insiden lebih tinggi pada yang lahir mati
(2%), abortus (10-25%), dan bayi premature (sekitar 2% termasuk defek sekat
ventrikel), tetapi tidak termasuk duktus anteriosus paten sementara (PDA). Insiden
menyeluruh ini tidak termasuk prolaps katup mitral, PDA pada bayi premature dan
katup aorta bicuspid (ada sekitar 0,9% seri dewasa). Pada bayi-bayi dengan defek
jantung congenital, ada spectrum keparahan yang lebar, sekitar 2-3 dari 1000 bayi
neonatus total akan bergejala penyakit jantung pada usia 1 tahun pertama.
Diagnosis ditegakkan pada umur 1 minggu pada 40-50% penderita dengan
penyakit jantung congenital dan pada umur 1 bulan pada 50-60% penderita. Sejak
pembedahan paliatif atau korektif berkembang, jumlah anak yang hidup dengan
penyakit jantung congenital bertambah secara dramatis.

1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum

 Mahasiswa/i mampu memahami Penyakit Jantung Kongenital serta


tahapan dan proses dari pembedahannya.

b. Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu memahami Penyakit Jantung Kongenital melalui


etiologi;

2. Mahasiswa mampu memahami proses dan tahapan perioperatif pada


bedah jantung kongenital;
3. Mahasiswa mampu mengetahui diet pada pasien dengan pembedahan
jantung kongenital.

1.3 Rumusan Masalah


Adapun rumsan masalah dalam makalah ini adalah :

1. Apa itu pengertian dari penyakit jantung kongenital?


2. Bagaimana proses dan tahapan perioperatif pada penyakit jantung
kongenital?
3. Apa saja diet pada pasien dengan pembedahan jantung kongenital?
1.4 Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada
makalah ini yaitu dengan mencari sumber referensi baik dari buku sumber
maupun internet dalam menunjang penyusunan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyakit Jantung Kongenital


Penyakit jantung kongenital (PJK) merupakan bentuk kelainan jantung yang
sudah didapatkan sejak baru lahir. Manifestasi klinis kelainan ini bervariasi dari yang
paling ringan sampai berat. Pada bentuk yang ringan, sering tidak ditemukan gejala, dan
tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan klinis. Sedangkan pada kondisi berat, gejala
sudah tampak sejak lahir dan memerlukan tindakan segera. Dengan berkembangnya
teknologi, khususnya ekokardiografi, banyak kelainan jantung yang sebelumnya
tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis dan penunjang biasa. Dengan EKG dan
Radiologi penyakit ini dapat dideteksi dengan mudah.
Angka kejadian PJK di Indonesia adalah 8 tiap 1000 kelahiran hidup. Jika
jumlah penduduk Indonesia 200 juta, dan angka kelahiran 2%, maka jumlah penderita
PJK di Indonesia bertambah 32000 bayi setiap tahun. Kendala utama dalam menangani
anak dengan PJK adalah tingginya biaya pemeriksaan dan operasi.
Secara garis besar penyakit jantung kongenital dibagi 2 kelompok, yaitu
penyakit jantung kongenital sianotik dan penyakit jantung kongenital nonsianotik.
Penyakit jantung kongenital sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat adanya
pirau kanan kekiri, sebagai contoh tetralogi Fallot, transposisi arteri besar, atresia
trikuspid.
Termasuk dalam kelompok penyakit jantung congenital non sianotik adalah
penyakit jantung kongenital dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri
kekanan diantaranya adalah defek septum ventrikel, defek septumatrium, atau tetap
terbukanya pembuluh darah seperti pada duktus arteriosus persisten. Selain itu
penyakit jantung kongenital non sianotik juga ditemukan pada obtruksi jalan keluar
ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koarktasio aorta.

B. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJK tidak diketahui. Berbagai jenis obat,
penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab eksogen
penyakit jantung kongenital. Penyakit Rubella yang diderita ibu pada awal kehamilan
dapat menyebabkan PJK pada bayi. Disamping faktor eksogen terdapat pula faktor
endogen yang berhubungan dengan kejadian PJK. Pelbagai jenis penyakit genetik
dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJK seperti sindrom Down, Turner,
dan lain-lain.

C. Manifestasi Klinis
Gangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala yang
menggambarkan derajat kelainan. Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis,
berkurangnya toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang, dan
terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk awal terdapatnya kelainan
jantung pada seorang bayi atau anak.

a. Gangguan pertumbuhan. Pada PJK nonsianotik dengan pirau kiri kekanan, gangguan
pertumbuhan timbul akibat berkurangnya curah jantung. Pada PJK sianotik,
gangguan pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis. Gangguan pertumbuhan ini
juga dapat timbul akibat gagal jantung kronis pada pasien PJK.
b. Sianosis. Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah. Sianosis
mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut. Sianosis akibat
kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada sianosis perifer yang
sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis perifer lebih jelas terlihat
pada ujung- ujung jari.
c. Toleransi latihan. Toleransi latihan merupakan petunjuk klinis yang baik untuk
menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan jantung.
Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan berkurang. Gangguan
toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua dengan membandingkan pasien
dengan anak sebaya, apakah pasien cepat lelah, napas menjadi cepat setelah
melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam keadaan istirahat. Pada bayi
dapat ditanyakan saat bayi menetek. Apakah ia hanya mampu minum dalam jumlah
sedikit, sering beristirahat, sesak waktu mengisap, dan berkeringat banyak. Pada anak
yang lebih besar ditanyakan kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga. Pada
pasien tertentu seperti pada tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah lelah
berjalan.
d. Infeksi saluran napas berulang. Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah
keparu sehingga mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien dirujuk keahli
jantung anak karena anak sering menderita demam, batuk dan pilek. Sebaliknya
tidak sedikit pasien PJK yang sebelumnya sudah diobati sebagai tuberkulosis
sebelum di rujuk ke ahli jantung anak.
e. Bising jantung. Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam
menentukan penyakit jantung kongenital. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang
merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Lokasi
bising, derajat serta penjalarannya dapat menentukan jenis kelainan jantung. Namun
tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisis, tidak menyingkirkan
adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga menderita kelainan jantung,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis.

D. Diagnosis
Diagnosis penyakit jantung kongenital ditegakkan berdasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dasar serta lanjutan. Pemeriksaan penunjang
dasar yang penting untuk penyakit jantung kongenital adalah foto rontgen dada,
elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan lanjutan (untuk
penyakit jantung kongenital) mencakup ekokardiografi dan kateterisasi jantung.
Kombinasi kedua pemeriksaan lanjutan tersebut untuk visualisasi dan konfirmasi
morfologi dan patoanatomi masing-masing jenis penyakit jantung kongenital
memungkinkan ketepatan diagnosis mendekati seratus persen. Kemajuan teknologi
dibidang diagnostik kardiovaskular dalam dekade terakhir menyebabkan pergeseran
persentase angka kejadian beberapa jenis penyakit jantung kongenital tertentu. Hal ini
tampak jelas pada defek septum atrium dan transposisi arteri besar yang makin sering
dideteksi lebih awal.

Makin canggihnya alat ekokardiografi yang dilengkapi dengan Doppler berwarna,


pemeriksaan tersebut dapat mengambil alih sebagian peran pemeriksaan kateterisasi dan
angiokardiografi. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya untuk bayi dengan PJK
kompleks, yang sukar ditegakkan diagnosisnya hanya berdasarkan pemeriksaan dasar
rutin dan sulitnya pemeriksaan kateterisasi jantung pada bayi. Ekokardiografi dapat
pula dipakai sebagai pemandu pada tindakan septostomi balon transeptal pada
transposisi arteri besar. Disamping lebih murah, ekokardiografi mempunyai
keunggulan lainnya yaitu mudah dikerjakan, tidak menyakitkan, akurat dan pasien
terhindar dari pajanan sinar X. Bahkan dirumah sakit yang mempunyai fasilitas
pemeriksaan ekokardiografi, foto toraks sebagai pemeriksaan rutin pun mulai
ditinggalkan. Namun demikian apabila ditangan seorang ahli tidak semua pertanyaan
dapat dijawab dengan menggunakan sarana ini, pada keadaan demikian angiografi radio
nuklir dapat membantu. Pemeriksaan ini disamping untuk menilai secara akurat fungsi
ventrikel kanan dan kiri, juga untuk menilai derasnya pirau kiri kekanan. Pemeriksaan
ini lebih murah daripada kateterisasi jantung, dan juga kurang traumatis.

Tingginya akurasi pemeriksaan ekokardiografi, membuat pemeriksaan kateterisasi


pada tahun 1980 menurun drastis. Sarana diagnostik lainterus berkembang, misalnya
digital substraction angiocardiography, ekokardiografi
transesofageal,danekokardiografi intravaskular. Sarana diagnostik utama yang baru
adalah magnetic resonance imaging, dengan dilengkapi modus cine sarana pemeriksaan
ini akan merupakan andalan dimasa mendatang.

E. Tatalaksana Penyakit Jantung Kongenital


Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan penyakit
jantung kongenital dapat diselamatkan dan mempunyai nilai harapan hidup yang lebih
panjang. Umumnya tatalaksana penyakit jantung kongenital meliputi tatalaksana non-
bedah dan tata laksana non-bedah meliputi tatalaksana medikamentosa dan kardiologi
interg/kg/menit.Obat ini akan bekerja dalam waktu 10-30 menit sejak pemberian dan
efek terapi ditandai dengan kenaikan PaO215-20mmHg.

Tatalaksana medika mentosa umumnya bersifat sekunder sebagai akibat


komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau akibat adanya kelainan lain yang
menyertai. Dalam hal ini tujuan terapi medika- mentosa untuk menghilangkan gejala
dan tanda di samping untuk mempersiapkan operasi. Lama dan cara pemberian obat-
obatan tergantung pada jenis penyakit yang dihadapi. Hipoksemia, syok kardiogenik,
dan gagal jantung merupakan tiga penyulit yang sering ditemukan pada neonatus atau
anak dengan kelainan jantung bawaan.

Perburukan keadaan umum pada dua penyulit pertama ada hubungannya dengan
progresivitas penutupan duktus arterious, dalam hal ini terdapat ketergantungan pada
tetap terbukanya duktus. Keadaan ini termasuk kedalam golongan penyakit jantung
kongenital kritis. Tetap terbukanya duktus ini diperlukan untuk

(1) Percampuran darah pulmonal dan sistemik, misalnya pada transposisi arteri besar
dengan septum ventrikel utuh,

(2) Penyediaan darah kealiran pulmonal, misalnya pada tetralogi Fallot berat, stenosis
pulmonal berat, atresia pulmonal, dan atresia trikuspid,
(3)Penyediaan darah untuk aliran sistemik, misalnya pada stenosis aorta berat,
koarktasio aorta berat, interupsi arkus aorta dan sindrom hipoplasia jantung kiri.
Perlu diketahui bahwa penanganan terhadap penyulit ini hanya bersifat sementara
dan merupakan upaya untuk menstabilkan keadaan pasien, menunggu tindakan
operatif yang dapat berupa paliatif atau koreksi total terhadap kelainan struktural
jantung yang mendasarinya.

Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan yang harus
dilakukan adalah

(1) Mempertahankan suhu lingkungan yang netral misalnya pasien ditempatkan dalam
inkubator pada neonatus, untuk mengurangi kebutuhan oksigen,

(2) Kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada neonatus
dipertahankan diatas 15g/dl,

(3) Memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa,

(4) Memberikan oksigen menurunkan resistensi paru sehingga dapat menambah aliran
darah keparu,

(5) Pemberian prostaglandin E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka dengan dosis
permulaan 0,1 g/kg/menit dan bila sudah terjadi perbaikan maka dosis dapat
diturunkan menjadi 0,05pH. Pada PJK dengan sirkulasi pulmonal tergantung
duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka lebar dapat memperbaiki
sirkulasi paru sehingga sianosis akan berkurang. Pada PJK dengan sirkulasi
sistemik yang tergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan
menjamin sirkulasi sistemik lebih baik. Pada transposisi arteri besar, meskipun
bukan merupakan lesi yang bergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang
terbuka akan memperbaiki percampuran darah.

Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan pengobatan
yang agresif dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera diberikan dengan memakai
sungkup atau kanula hidung. Bila ventilasi kurang adekuat harus dilakukan intubasi
endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan ventilasi mekanis. Prostaglandin E 10,1
g/kg/menit dapat diberikan untuk melebarkan kembali dan menjaga duktus arteriosus
tetap terbuka. Obat-obatan lain seperti inotropik, vasodilator dan furosemid diberikan
dengan dosis dan cara yang sama dengan tatalaksana gagal jantung.
Pada pasien PJK dengan gagal jantung, tatalaksana yang ideal adalah memperbaiki
kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-obatan bertujuan untuk
memperbaiki perubahan hemo- dinamik, dan harus dipandang sebagai terapi sementara
sebelum tindakan definitif dilaksanakan. Pengobatan gagal jantung meliputi

(1) Penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian oksigen,
pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan asam basa dan
gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan gagal napas, perlu
dilakukan ventilasi mekanis

(2) Pengobatan medika-mentosa dengan menggunakan obat-obatan. Obat-obat yang


digunakan pada gagal jantung antara lain

(a) Obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau
dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai dosis 30 g/kg. Dosis
pertamadiberikansetengah dosis digitalisasi, yang kedua diberikan 8 jam kemudian
sebesar seperempat dosis sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam berikutnya
sebesar seperempat dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-12 jam pemberian
dosis terakhir dengan dosis seperempat dari dosis digitalisasi. Obat inotropik
isoproterenol dengan dosis 0,05-1 g/kg/menit diberikan bila terdapat bradikardia,
sedangkan bila terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 g/ kg/menit atau
dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5 g/kg/menit.
Digoksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik yang buruk
dan jika ada penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan
intoksikasi digitalis.

(b) Vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5 mg/kg/hari
terbagi 2-3 kali peroral.

(c) Diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2mg/kg/ hari
peroral atau intravena.

F. Terapi nutrisi

Tujuan penatalaksanaan gizi pada anak yang mengalami gagal tumbuh akibat
PJB adalah mencapai kejar tumbuh yang diinginkan. Sebagaimana diuraikan didepan
bahwa faktor utama yang menyebabkan kurang gizi pada PJB adalah ketidaksesuaian
yang bermakna antara masukan makanan dan dan pengeluaran metabolisme. Agar
dapat seimbang dengan meningkatkan makronutrien dan mikronutrien melalui oral,
enteral maupun parenteral. Pemberian makanan diberikan dengan porsi kecil tapi
sering lebih dapat ditoleransi daripada porsi besar dengan frekuensi jarang. Bila
pemberian makan peroral masih belum cukup bagi bayi dan anak untuk tumbuh maka
diperlukan langkah agresif dengan pemberian makanan lewat sonde nasogastrik atau
nasojejunal. Metode ini dapat dilakukan karena dapat meningkatkan kebutuhan nutrisi
namun saying jarang dilakukan. Pemberian makanan padat seharusnya dikenalkan
pada bayi dengan PJB antara umur 4 bulan, hal yang sama dikenalkan pada bayi
normal. Setiap usaha untuk mengenalkan makanan padat membutuhkan waktu. Pada
umumnya, pemberian makanan sereal bayi dengan fortifikasi besi diberikan dahulu,
diikuti dengan pemberian buah dan sayur. Daging dapat diberikan pada usia 7 bulan.
Makanan bertekstur dapat dikenalkan setelah usia bulan. Makanan padat dapat juga
diberikan fortifikasi kalori dengan memberikan suplemen kalori seperti polycose, sirup
jagung, minyak sayur dan margarin.

Bartondkk melaporkan, Recommended Dietary Allowances (RDA) yang


dibutuhkan oleh anak umur kurang dari 6 bulan dengan PJB berat adalah 40 % lebih
besar dari kebutuhannya. Namun pada penelitian ini tidak dijelaskan tipe dari PJB dan
derajat berat dari PJB yang tentunya mempengaruhi dari RDA yang dibutuhkan.

Menurut Hull pada pasien penyakit jantung bawaan, sumber energi yang
dibutuhkan adalah 120-135 kkal/kgBB/hari untuk rumatan dan untuk pertumbuhan
sebanyak 150-175 kkal/kgBB/hari, protein yang dibutuhkan sebanyak 2,0-2,5
g/kgBB/hari. Sedangkan komponen diet yang lain untuk pertumbuhan perlu natrium
sebanyak 8 meq/hari, tambahan besi, kalsium, vitamin A, D, E dan K perlu diberikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Indra dan kawan-kawan di Poliklinik Jantung


Anak RS Adam Malik Medan : perhitungan masukan kalori dan protein selama 24 jam
antara kelompok pasien PJB dan tanpa PJB didapatkan adanya perbedaan bermakna.
p0,05.11. Anak PJB asupan kalori berdasarkan RDA < 50 % sebanyak 34,5%, 50-
75% 27,6%, >75% 37,9% sedangkan asupan protein berdasarkan RDA <50% 13,8 %, 50-
75 % 12,1 %, >75 % 74,1 %.(11). Pada anak PJB perlu adanya asupan nutrisi yang lebih
dibandingkan dengan anak normal. Energi yang dibutuhkan adalah 20-30 % diatas RDA
agar dapat mencapai tumbuh kejar.

Schwartz dkk melakukan penelitian terhadap 3 kelompok bayi malnutrisi dengan


PJB dan gagal jantung kongestif. Kelompok pertama diberi pipa nasogastrik 24 jam terus
menerus. Kelompok kedua diberi pipa nasogastrik 12 jam pada malam hari dan minum
peroral sebanyak dia mampu. Kelompok ketiga hanya diberi minum peroral. Setelah 6
bulan penelitian, hanya kelompok pertama yang mengalami perbaikan status gizi yang

bermakna, yaitu perbaikan berat badan (p<0,01) dan panjang badan (p<0,05).

Penelitian dilakukan oleh Bougle dkk melakukan penelitian terhadap bayi


berumur 2-14 minggu dengan PJB yang mengalami gagal jantung dan gagal tumbuh serta
memperoleh digitalis dan diuretik.Mereka diberi minum melalui sonde lambung secara
kontinyu selama40hari.Cairan susu formula bayi yang diperkaya energy dalam bentuk
MCT dan karbohidrat, diberikan mulai 40 ml/kgBB/hari ditingkatkan secara progresif
sampai terjadi kenaikan berat badan. Jumlah kalori yang diberikan rata-rata 137
kkal/kgBB/hari. Terjadi peningkatan berat badan bermakna.

Resiko pemberian makanan per enteral meliputi: resiko kontaminasi formula,


aspirasi akibat salah letak sonde atau refluks, kelebihan makanan akibat tetesan infus yang
terlalu cepat. Resiko ini bisa dikurangi bila keluarga penderita sebelumnya diajari metode
ini dan caramengatasibilagangguan ini timbul. Sondenya sendiri dapat mengakibatkan
esofagitis, refluks gastroesofagus, dan iritasi pada hidung.

Kebutuhan vitamindan mineral juga perlu mendapat perhatian. Hansen dan Dorup,
dalam penelitian mengenai masukan makanan terhadap 22 anak dengan PJB mendapatkan
bahwa masukan vitamin D, E, B1, B6 dan vitamin C berada dibawah RDA. Untuk
mineral masukan kalium dan magnesium sesuai dengan kebutuhan, sedangkan rata-rata
masukan besi, seng dan kalsium masing-masing sebesar 47%, 59%, 88% dari RDA.
Orangtua diberikan nasehat untuk memberikan anak mereka suplemen vitamin dan
mineral untuk memberikan tambahan energi untuk anak dengan gagal tumbuh. Penelitian
yang dilakukan oleh Susanto dkk pada penelitian pasien pasca operasi Usus pada umur 4-
24 bulan dilakukan terapi diet selama 3 bulan dengan pemberian
suplementasi tempe. Didapatkan hasil kenaikan berat badan, panjang badan dan tebal
lipatan kulit pada kelompok suplementasi tempe dibandingkan dengan control dengan
perhitungan statistik didapatkan hasil yang berbeda bermakna (p< 0,05).

Penelitian Nugroho dkk padaanakTK berumur 3-7 tahun di Semarang diberikan


pemberian susu F100 dibandingkan dengan formula kedelai diberikan terapi diet selama 1
bulan didapatkan adanya peningkatan dalam WAZ, HAZ maupun WHZ.

Penelitian Husaini dkk, pada anak prasekolah umur 1-5 tahun di Sukabumiyang
terbagi atas 4 kelompok, kelompok I sebagai kelompok kontrol, kelompok II diberi
makanan tambahan kalori tinggi (500 kalori dan 4 g protein), kelompok III diberi
makanan tambahan kalori tinggi protein tinggi(500 kalori dan 20 g protein), kelompok IV
diberi makanan kalori tinggi protein tinggi dan pendidikan intensif gizi, dengan intervensi
selama 4 bulan. Didapatkan hasil terdapat peningkatan status gizi pada kelompok
perlakuan. Jumlah anak yang menderita penyakit sebelum dan sesudah intervensi,
didapatkan penurunan jumlah anak yang terkena infeksi.

Penelitian Husaini dkk di Jawa Barat: konsumsi makanan perhari untuk anak umur
1-3 tahun adalah 607 sampai 1025 kalori dan 13,3 sampai 29,3 protein dan untuk anak 4-5
tahun adalah 732 sampai 1107 kalori dan 16,9-31,2 protein. Dapat dilihat bahwa asupan
kalori sebanyak 66-67 % dari RDA sedangkan protein sebanyak 92-93 % RDA.
Berdasarkan RDA, rata-rataa supan beberapa vitamin dan mineral tidak adekuat. Pada
anak 1-5 tahun asupan kalsium 30% RDA, Fe 40% RDA,Vit A 60% RDA,Vit B1 70%
RDA, Vit C 85% RDA. Umur 4-5 tahun asupan kalsium 40% RDA, asupan Fe 60%
RDA, vitamin A 70%, vitamin B1 75%, vitamin C 80%. Didapatkan adanya asupan
makronutrien dan mikronutrien dibawah RDA pada anak umur 1-5 tahun.

Pemberian suplementasi makanan menggunakan berbagai macam salah satunya


dengan biskuit. Penelitian mengenai diet tambahan pada anak dengan penyakit jantung
bawaan dengan pemberian berupa biscuit belum ada. Penelitian mengenai suplementasi
biscuit didapatkan di Gambia pada anak dengan perawakan pendek. Subyek berumur 3-9
tahun. Dibagi atas 3 kelompok perlakuan yaitu kelompok pertama diberikan dengan
biscuit tinggi lemak, kelompok kedua diberikan dengan biskuit tinggi karbohidrat dan
kelompok ketiga tanpa suplementasi. Diberikan perlakuan selama 12 bulan
Hasilnya:

1).Kelompok biscuit tinggi lemak didapatkan kenaikan rerata berat badan sebesar1,7 kg
dan kenaikan rerata tinggi badan 6,1 cm selama setahun.

2).Kelompok biskuit tinggi karbohidrat didapatkan kenaikan rerata berat badan sebesar 1,6
kg dan kenaikan rerata tinggi badan 6,3 cm selama setahun.

3).Pada kelompok control kenaikan rerata berat badan 1,6 kg dan kenaikan rerata tinggi
bdan 6,1 cm. Hanya pada kelompok dengan biscuit tinggi lemak (63% total energi)
didapatkan peningkatan jaringan lemak. Penelitian ini tidak bermakna karena
suplementasi yang diberikan kurang dari rekomendasi yang diberikan, terjadi
peningkatan energy expenditure secara bermakna (p<0,05) sampai dengan akhir
penelitian yang memungkinkan adanya keseimbangan negatif sehingga memungkinkan
terjadinya peningkatan berat badan dan tinggi badan yang tidak bermakna

G. Bedah Jantung
Bedah jantung pada PJK merupakan bidang keilmuan yang terus berevolusi.
Terdapat 2 jenis pembedahan jantung pada PJK yakni bedah korektif yang bertujuan
untuk memulihkan ke-empat ruang jantung dan aliran darah baik ke sirkulasi pulmonal
maupun sirkulasi sistemik, serta bedah paliatif yang bertujuan sebagai tindakan
sementara sambil menunggu bedah korektif.

Pada prinsipnya penanganan PJK harus dilakukan sedini mungkin. Koreksi definitif
yang dilakukan pada usia muda akan mencegah terjadinya distorsi pertumbuhan jantung
dan hipertensi pulmonal. Bedah paliatif saat ini masih banyak dilakukan untuk
memperbaiki keadaan umum sambil menunggu bedah korektif dilakukan. Tindakan
paliatif sering menimbulkan distorsi pertumbuhan jantung dan pasien menghadapi
risiko dua kali pembedahan dengan biaya yang lebih besar. Kemajuan teknologi dalam
20 tahun terakhir ini mencetuskan paradigma baru dalam bidang bedah jantung dimana
pembedahan pada PJK ditujukan pada bedah korektif sedini mungkin tanpa didahului
oleh bedah paliatif.
1. Bedah Jantung Paliatif
Terdapat 2 prosedur paliatif utama yang digunakan yakni aortopulmonary
shunt (pirau aortopulmonal) untuk pasien dengan aliran darah paru yang kurang dan
sianosis dan pulmonary artery banding (PA-banding) untuk pasien dengan aliran
darah paru berlebih dan gagal jantung kongestif.
a. Pirau Aortopulmonal
Tujuan dari pirau aortopulmonal adalah memungkinkan sumber aliran darah
pulmonal pada pasien sianosis dan terutama diindikasikan lesi obstruktif
jantung kanan seperti ToF, Atresia Trikuspid, dan Atresia Pulmonal. Salah satu
pirau aortopulmonal yang paling dikenal adalah pirau Blalock-Taussiq. Pirau
Blalock-Taussiq adalah anastomosis end-to-side langsung dari arteri subklavia ke
arteri pulmonalis. Modifikasi pirau Blalock-Taussiq menggunakan tabung
politetrafluoroetilen (PTFE) sebagai pirauaortopulmonal.
b. Pulmonary Artery Banding
Pulmonary Artery Banding menjadi tindakan paliatif awal pada anak dengan
pirau kiri ke kanan yang besar dan peningkatan aliran darah pulmonal yakni DSV,
Defek Septum Atrioventrikular, atau Trunkus Arteriosus. Namun dengan adanya
kemajuan teknik Cardiopulmonary Bypass (CPB) dan teknik bedah, PA-banding
telah lama ditinggalkan pada hampir semua lesi. Band yang digunakan
terbuat dari dakron atau PTFE yang diletakkan pada arteri pulmonalis
sehingga menyebabkan stenosis arteri pulmonalis.

2. Bedah Jantung Korektif

Pembedahan korektif pada PJK ditentukan oleh jenis lesi. Saat ini perencanaan
pembedahan pada PJK ditujukan pada bedah korektif sedini mungkin tanpa didahului
oleh bedah paliatif.

Pembedahan korektif pada DAP dapat dilakukan dengan pemotongan duktus


yang merupakan baku emas atau ligasi baik dengan klip maupun jahitan.

Penutupan DSA pada sebagian besar anak dapat dilakukan dengan jahitan
primer, namun pada remaja dan dewasa, defek ini biasanya besar sehingga diperlukan
perbaikan dengan patch.
Penutupan DSV dapat dilakukan dengan jahitan atau dengan patch pada defek
yang lebih besar. Bayi dengan DSV yang besar pada beberapa bulan pertama
kehidupan dengan gagal jantung kongestif berat harus menjalani perbaikan segera.
Penundaan operasi sampai pasien lebih besar tidak menguntungkan dan sering
menyebabkan morbiditas dan mortalitas.

Penatalaksanaan ToF telah berubah dari pendekatan dua tahap (paliatif


awal dengan pirau Blalock-Taussiq diikuti perbaikan definitif beberapa bulan
atau tahun kemudian) menjadi satu tahap seiring dengan pengalaman yang semakin
banyak dalam penggunaan CPB dan teknik bedah. Usia optimal untuk dilakukan
pembedahan belum diketahui, namun disarankan perbaikan pada masa bayi. Setelah
penetapan waktu intervensi, prosedur operasi memiliki dua tujuan yakni meniadakan
obstruksi aliran ventrikel kanan dan memisahkan sirkulasi pulmonal dan sistemik
dengan penutupan DSV. Peniadaan obstruksi aliran ventrikel kanan dilakukan
dengan insisi berkas otot atau reseksi bila diperlukan, serta pembebasan komisura-
komisura yang menyatu. Penutupan DSV dilakukan dengan pendekatan melalui
atrium dengan penjahitan atau ditutup dengan patch dakron.

Koreksi Transposisi Arteri Besar (TAB) adalah pemindahan aliran darah


kanan dan aliran darah kiri yang dapat dilakukan dengan pendekatan tiga tingkatan
yakni tingkat atrium (perbaikan intra-atrium seperti prosedur Senning atau Mustard),
tingkat ventrikel (prosedur Rastelli), dan tingkat arteri besar (arterial switch
operation—ASO). Arterial switch operation merupakan prosedur pilihan pada
sebagian besar sentra.15 Teknik dari ASO meliputi transeksi dari arteri-arteri besar,
pemindahan asal arteri koroner, dan reposisi arteri besar.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit jantung kongenital antara lain

1. Sindrom Eisenmenger. Komplikasi ini terjadi pada PJK non-sianotik yang


menyebabkan aliran darah keparu yang meningkat. Akibatnya lama kelamaan
pembuluh kapiler diparu akan bereaksi dengan meningkatkan resistensinya
sehingga tekanan di arteri pulmonal dan di ventrikel kanan meningkat. Jika
tekanan di ventrikel kanan melebihi tekanan di ventrikel kiri maka terjadi
pirau terbalik dari kanan ke kiri sehingga anak mulai sianosis. Tindakan
bedah sebaiknya dilakukan sebelum timbul komplikasi ini.
2. Serangan sianotik. Komplikasi ini terjadi pada PJK sianotik. Pada saat
serangan anak menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak sesak
bahkan dapat timbul kejang. Kalau tidak cepat ditanggulangi dapat
menimbulkan kematian.
3. Abses otak .Abses otak biasanya terjadi pada PJK sianotik. Biasanya abses
otak terjadi pada anak yang berusia diatas 2 tahun. Kelainan ini diakibatkan
adanya hipoksia dan melambatnya aliran darah diotak. Anak biasanya
datang dengan kejang dan terdapat defisit neurologis.

Apa yang Harus Dilakukan bila Menghadapi Pasien atau Dicurigai Menderita
PJK?

Bila menghadapi seorang anak yang dicurigai menderita penyakit jantung


kongenital, yang perlu dilakukan adalah :

1. Menempatkan pasien khususnya neonatus pada lingkungan yang hangat,


dapat dilakukan dengan membedong atau menempatkannya pada inkubator;
2. Memberikan oksigen;
3. Memberikan cairan yang cukup dan mengatasi gangguan elektrolit serta asam
basa;
4. Mengatasi kegawatan dengan menggunakan obat-obatan jika terdapat tanda-
tanda seperti gagal jantung, serangan sianotik, renjatan kardiogenik;
5. Menegakkan diagnosis/jenis kelainan yang diderita. Jika tidak memiliki
fasilitas, pasien dapat dirujuk ketempat yang fasilitasnya lengkap terutama
tersedia alat ekokardiografi. Tatalaksana PJK dan edukasi yang disampaikan
ke orangtua pasien, tergantung dari jenis kelainan yang ada.
6. Pemantauan yang cermat untuk mengetahui adanya komplikasi, sehingga
dapat dilakukan tindakan sebelum komplikasi ada.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Pre-Operasi

1 Identitas

Nama : tidak berpengaruh

Umur : kebanyakan disemua umur (pada anak-anak juga bisa


seperti pada kelainan jantung bawaan) (pada orang
dewasa juga bisa dilakukan dengan indikasi gagal
jantung) tapi lebih sering pada anak-anak

Jenis kelamin : kebanyakan terjadi pada laki-laki tapi tidak menutup


kemungkinan terjadi juga pada perempun

2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama
Biasanya pasien-pasien yang akan dilaksanakan operasi bedah jantung
kebanyakan datang dengan keluhannya sesak nafas, nyeri dada, syanosis,
kelemahan, palpitasi dan nafas cepat
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas, nyeri dada, syanosis, kelemahan, nafas cepat, palpitasi
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya pernah merasa sesak dan nyeri pada dada tapi hilang
dengan obat warung
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kelainan jantung
3.Pemeriksaan Fisik

 Kesadaran : Composmentis
 Keadaan umun: biasanya dalam keadaan lemas
 Kepala dan Leher
 Thorax
 Jantung
1) Inspeksi : tampak ictus cordis
2) Palpasi : ictus cordis kuat angkat
3) Perkusi : batas jantung melebar
4) Auskultasi : BJ 1 dan 2 melemah, BJ S3 dan S4, disritmia, gallop
 Paru
1) Inspeksi : pengembangan paru kanan-kiri simetris
2) Palpasi : ada otot bantu pernafasan
3) Perkusi : sonor
4) Auskultasi : weezing
 Abdomen
1) Inspeksi : Bulat datar
2) Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3) Perkusi :-
4) Auskultasi : Bising usus (+)
 Ekstremitas
1) Eks. Atas : Ada clubbing fingers, terdapat oedema
2) Eks. Bawah :Ada clubbing fingers, terdapat oedema
 Sistem Integumen : kulit kering dan turgor kulit juga jelek
4. Diagnosa Keperawatan pre operasi

No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional

1 Penurunan cardiac output Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Mengetahui keadaan umum


berhubungan dengan proses keperawatan TTV pasien
penurunan kontraktilitas selama 1x24 jam
miokard. diharapkan 2. Auskultasi 2. disritmia khusus lebih jelas
keseimbangan heart bunyi jantung, terdeteksi dengan pendengaran
rate dan frekuensi catat frekuensi, dari pada dengan palpasi.
jantung dapat irama. Catat Pendenganaran terhadap bunyi
terjaga dengan KH adaya denyut jantung ekstra atau penurunan
: jantung ekstra, nadi membantu mengidentifikasi
penurunan nadi disritmia pada pasien tak
K : pasien dan terpantau
keluarga pasien 3. Observasi
mengetahui apa status mental, 3. Menurunnya perfusi otak
yang menyebabkan catat dapat mengakibatkan perubahan
dari menurunnya perkembangan observasi/ pengenalan dalam
cardiac output. kekacauan, sensori.
disorientasi.
A : pasien dan 4. Sirkulasi periferal turun
keluarga pasien 4. Catat warna ketika Cardiac Output menurun,
bisa menunjukan kulit, adanya membuat/menjadikan warna
bagaimana cara kuwalitas pulse . pucat/abu-abu bagi kulit
untuk menjaga (tergantung dari derajat hipoksia)
cardiac output tetap dan penurunan kekuatan dari
stabil. 5. Pantau denyut periferal.
status 5. untuk mengevaluasi
P : pasien dan kardivaskuler
keluarga pasien efektifitas pengobatan, banyak
setiap jam sampai parameter digunakan untuk
bisa stabil melalui mengevaluasi
mempertahankan fungsi
parameter kardiovaskuler
cardiac output tetap hemodinamik
stabil 6. Meringankan beban
P : - TTV normal : jantung
(TD : 110/70- 6. Kolaborasi
120/80 mmHg, obat anti aritmia
Suhu: 36,5-37,50 C,
RR: 16-24 x/mnt,
Nadi: 60-100 x/mnt

- Tidak ada bunyi


jantung tambahan
S3 (gallop) dan S4
(murmur)

- keluaran urin
adekuat

- tidak ada edema

- Peralatan
pemantau
hemodinamik
memperlihatkan
hasil normal (
tekanan vena
central (CVP)
normal antara 2-8
mmHg atau 3-11
cm air, curah
jantung normal
antara 3-5L/menit,
tekanan kapiler
pulmonal (PCWP)
normal yaitu 6-12
mmHg, indeks
jantung normal 2,5-
3,5 L/mnt/mm2,
tekanan vaskuler
sistemik normal
antara 600-1400
dynes/sec, rerata
tekanan arteri
normal 70-
100mmHg)

2 Gangguan intoleransi Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Mengetahui keadaan umum


aktifitas berhubungan proses keperawatan TTV pasien
dengan adanya selama 1x24 jam
ketidakseimbangan antara pasien dapat 2. Catat respon 2. Penurunan/ketidakmampuan
suplay oksigen melakukan kardiopulmonal miokardium untuk meningkatkan
aktivitas seperti terhadap aktivitas, volume sekuncup selama
biasa dan tidak catat takikardi, aktivitas, dengan menyebabkan
mudah lelah disritmia, peningkatan segera pada
dispnea, frekuensi jantung dan kebutuhan
dengan KH : berkeringat, pucat oksigen, juga peningkatan
kelelahan dan kelemahan.
K : pasien dan
keluarga pasien 3. Sianosis kuku
mengetahui 3. Observasi menunjukkan vasokontriksi
penyebab dari warna kulit, respon tubuh terhadap
gangguan membran mukosa demam/menggigil namun
intoleransi aktivitas dan kuku. Catat sianosis pada daun telinga,
adanya sianosis membran mukosa dan kulit
A : pasien dan perifer (kuku) sekitar mulut menunjukkan
keluarga pasien atau sianosis hipoksemia sistemik.
mampu sentral.
menunjukan 4. Dapat menunjukkan
bagaimana cara 4. Evaluasi peningkatkan dekompensasi
mengatasi peningkatan jantung daripada kelebihan
gangguan intoleransi aktivitas.
intoleransi aktivitas aktivitas.
5. Membantu menjaga jalan
P : pasien dan 5. Anjurkan nafas tetap paten, mencegah
keluarga pasien untuk menarik atelectasis dan memungkinkan
mampu mengatasi nafas dalam, pengembangan paru.
gangguan batuk efektif,
intoleransi aktivitas berpindah posisi,
memakai
P : - TTV normal : spirometer dan
(TD : 110/70- mematuhi terapi
120/80 mmHg,
Suhu: 36,5-37,50 C, nafas.
RR: 16-24 x/mnt,
Nadi: 60-100 x/mnt

- suara nafas
vesikuler

- mukosa dan dasar


kuku berwarna
merah muda

3 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Untuk mengetahui keadaan


berhubungan dengan proses keperawatan TTV. umum pasien.
menurunnya filtrasi selama 1x24 jam
glomelurus. diharapkan 2. Observasi 2. Output urine mungkin
keseimbangan output urine, catat sangat sedikit dan pekat, karena
cairan dalam tubuh jumlah dan menurunnya perfusi jaringan
dapat warnanya
3. Dengan posisi berbaring
tercapaidengan 3. Atur posisi semi fowler meningkatkan
KH: semi fowler filtrasi glomerulus dan
K : pasien dan selama fase akut mengurangi produksi ADH
keluraga pasien sehingga menambah diuresis.
4. Periksa
mengetahui tubuh dari edema 4. Retensi cairan yang
penyebab dari dengan/tanpa berlebihan dimanifestasikan
kelebihan volume pitting, catat dengan adanya edema.
cairan adanya edema Meningkatnya kongesti vaskuler
A : pasien dan seluruh tubuh yang akhirnya mengakibatkan
keluarga pasien (anasarka) edema jaringan sistemik.
mampu 5. Palpasi 5. Bertambah beratnya gagal
menunjukan adanya jantung menambah kongesti vena
bagaimana carahepatomegali. , mengakibatkan distensi perut
menangani Catat keluhan dan nyeri. Ini dapai merubah
kelebihan volume nyeri pada fungsi hati dan merugikan
cairan kwadran atas metabolisme obat.
P : pasien dan bagian kanan 6. Diuretic (Furosemic),
keluarga pasien 6. Kolaborasi Meningkatkan aliran urine dan
mampu mengatasi dengan tim menghalangi reabsorsi dari
kelebihan volume kesehatan dengan sodium/klorida didalam tubulus
cairan pemberian ginjal. Thiazide
diuretic, thiazide (Spironolactone), Meningkatnya
P : - TTV normal : dan pengganti diuresis tanpa kehilangan
(TD : 110/70- potasium. potassium yang berlebihan.
120/80 mmHg,
Suhu: 36,5-37,50 C,
RR: 16-24 x/mnt,
Nadi: 60-100 x/mnt

- Gambaran
adanya kestabilan
volume cairan
dengan
seimbangnya intake
output.

- tidak ada edema.

5. Pengkajian Post Operasi

a) Riwayat Kesehatan
 Keluhan Utama
Biasanya pasien-pasien yang telah dilaksanakan operasi bedah jantung
kebanyakan keluhannya sesak nafas, nyeri dada, kelemahan, palpitasi dan
nafas cepat
 Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak nafas, nyeri dada, kelemahan, nafas cepat, palpitasi
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya belum pernah menjalani bedah jantung
 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami kelainan jantung hingga
dilakukan pembedahan
b) Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran : Apatis
 Keadaan umun: biasanya dalam keadaan lemas
 Kepala dan Leher
 Thorax
 Jantung
 Inspeksi : terdapat bekas jahitan luka operasi
 Palpasi : adanya nyeri tekan
 Perkusi :-
 Auskultasi : terdengar BJ 1 dan 2
 Paru
 Inspeksi : pengembangan paru kanan-kiri simetris
 Palpasi : tidak ada otot bantu pernafasan
 Perkusi :-
 Auskultasi : weezing
 Abdomen
 Inspeksi : Bulat datar
 Palpasi : tidak ada nyeri tekan
 Perkusi :-
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Ekstremitas
 Eks. Atas : Ada clubbing fingers, terdapat oedema
 Eks. Bawah :Ada clubbing fingers, terdapat oedema
 Sistem Integumen : turgor kulit kembali > 1 detik

 Bila pasien telah dipindahkan ke unit perawatan kritis, 4-12 jam sesudahnya,
harus dilakukan pengkajian yang lengkap mengenai semua system untuk
menetukan status pascaoperasi pasien dibandingkan dengan garis dasar
perioperative dan mengetahui perubahan yang mungkin terjadi selama
pembedahan. Parameter yang dikaji adalah sebagai berikut :

1. Status neurologis :tingkat responsivitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap


cahaya, refleks, gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan.
2. Status Jantung :frekuensi dan irama jantung, suara jantung, tekanan darah
arteri, tekanan vena sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji arteri
paru (PAWP = pulmonary artery wedge pressure). tekanan atrium kiri
(LAP), bentuk gelombang dan pipa tekanan darah invasif, curah jantung
atau indeks. tahanan pembuluh darah sistemik dan paru, saturasi oksigen
arteri paru bila ada, drainase rongga dada, dan status serta fungsi
pacemaker.

3. Status respirasi : gerakan dada, suara napas, penentuan ventilator


(frekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, mode [mis, SIMV], tekanan
positif akhir ekspirasi [PEEP], kecepatan napas, tekanan ventilator,
saturasi oksigen anteri (SaO2), CO2 akhir tidal, pipa drainase rongga dada,
gas darah arteri.

4. Status pembuluh darah perifer :denyut nadi perifer, warna kulit, dasar
kuku, mukosa, bibir dan cuping telinga, suhu kulit, edema, kondisi balutan
dan pipa invasif.

5. Fungsi ginjal :haluaran urin, berat jenis urin, dan osmolaritas.

6. Status cairan dan elektrolit asupan : haluaran dan semua pipa drainase.
semua parameter curah jantung, dan indikasi ketidakseimbangan elektrolit
berikut:

a. Hipokalemia : intoksikasi digitalis, disritmia (gelombang U, AV blok,


gelombang T yang datar atau terbalik).

b. Hiperkalemia : konfusi mental, tidak tenang, mual, kelemahan,


parestesia eksremitas, disrirmia (tinggi, gelombang T puncak,
meningkatnya amplitudo, pelebaran kompleks QRS; perpanjangan
interval QT).

c. Hiponatremia : kelemahan, kelelahan, kebingungan, kejang, koma.

d. Hipokalsemia parestesia, spasme tangan dan kaki, kram otot, tetani.

e. Hiperkalsemia intoksikasi digitalis, asistole.

7. Nyeri :sifat, jenis, lokasi, durasi, (nyeri karena irisan harus dibedakan
dengan nyeri angina), aprehensi, respons terhadap analgetika.
6. Diagnosa Keperawatan pos operasi

No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi Rasional

1 Menurunnya curah Setelah dilakukan proses 1. Observasi TTV 1. Mengetahui


jantung berhubungan keperawatan selama 2x24 keadaan umum pasien
dengan kehilangan jam diharapkan curah
darah dan fungsi jantung pasien normaluntuk 2. perbedaan
jantung yang menjaga gaya hidup yang frekuensi, kesamaan
terganggu. diinginkan dengan KH : 2. Raba nadi (radial, dan keteraturan nadi
carotid, femoral, menunjukkan efek
K : pasien dan keluarga dorsalis pedis) catat gangguan curah
pasien mengetahui apa yang frekuensi, keteraturan, jantung pada sirkulasi
menyebabkan dari amplitude (penuh/kuat) sistemik/perifer.
menurunnya curah jantung. dan simetris. Catat
A : pasien dan keluarga adanya pulsus alternan,
pasien bisa menunjukan nadi bigeminal, atau
bagaimana cara untuk deficit nadi.
menjaga curah jantung tetap
stabil. 3. disritmia khusus
3. Auskultasi bunyi lebih jelas terdeteksi
P : pasien dan keluarga jantung, catat frekuensi, dengan pendengaran
pasien bisa mempertahankan irama. Catat adaya dari pada dengan
curah jantung tetap stabil denyut jantung ekstra, palpasi.
P : - TTV normal : (TD penurunan nadi. Pendenganaran
: 110/70-120/80 mmHg, terhadap bunyi jantung
0
Suhu: 36,5-37,5 C, RR: 16- ekstra atau penurunan
24 x/mnt, Nadi: 60-100 nadi membantu
x/mnt mengidentifikasi
disritmia pada pasien
- Tidak ada bunyi jantung tak terpantau
tambahan S3 (gallop) dan
S4 (murmur) 4. untuk mengetahui
4. Pantau keluaran urin
fungsi ginjal
- keluaran urin adekuat 5. Pantau status
5. untuk mengevaluasi
kardivaskuler setiap
- tidak ada edema efektifitas pengobatan,
jam sampai stabil
banyak parameter
- Peralatan pemantau melalui parameter
hemodinamik hemodinamik digunakan untuk
memperlihatkan hasil mengevaluasi fungsi
normal ( tekanan vena kardiovaskuler
central (CVP) normal antara 6. Kolaborasi obat anti
2-8 mmHg atau 3-11 cm air, aritmia 6. Meringankan beban
curah jantung normal antara jantung
3-5L/menit, tekanan kapiler
pulmonal (PCWP) normal
yaitu 6-12 mmHg, indeks
jantung normal 2,5-3,5
L/mnt/mm2, tekanan
vaskuler sistemik normal
antara 600-1400 dynes/sec,
rerata tekanan arteri normal
70-100mmHg)

2 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan proses 1. Observasi TTV 1. Mengetahui


gas berhubungan keperawatan selama 1x24 keadaan umum pasien
dengan trauma akibat jam pertukaran gas adekuat
pembedahan dada dengan KH : 2. AGD dan volume
2. Pantau gas darah tidal menunjukan
ekstensi.
K : pasien dan keluarga volume tidal, tekanan efektifitas ventilator
pasien mengetahui penyebab inspirasi puncak, dan dan perubahan yang
dari gangguan pertukaran parameter ektubasi harus dilakukan untuk
gas memperbaiki
pertukaran gas
A : pasien dan keluarga 3. Observasi warna
pasien mampu menunjukan kulit, membran mukosa 3. Sianosis kuku
bagaimana cara mengatasidan kuku. Catat adanya menunjukkan
gangguan pertukaran gas sianosis perifer (kuku) vasokontriksi respon
tubuh terhadap
P : pasien dan keluarga atau sianosis sentral. demam/menggigil
pasien mampu mengatasi namun sianosis pada
gangguan pertukaran gas daun telinga, membran
P : - TTV normal : (TD mukosa dan kulit
: 110/70-120/80 mmHg, sekitar mulut
0
Suhu: 36,5-37,5 C, RR: 16- menunjukkan
24 x/mnt, Nadi: 60-100
x/mnt hipoksemia sistemik.

-AGD normal : (PO2 : 80- 4. Auskultasi dada 4. Krekel menunjukan


95 mmHg, PCO2 : 35-45 terhadap suara nafas kongesti paru,
mmHg, HCOO-3 : 21-26 penurunan atau
mmHg, PH : 7,35- 7,45, hilangnya suara nafas
SO2 : 90-100 mmHg) menunjukan
pneumothoraks
- suara nafas vesikuler
5. Membantu
- jalan nafas tidak terganggu mencegah retensi
- mukosa dan dasar kuku 5. Berikan fisioterapi sekresi dan
berwarna merah muda athelektasis
dadasesuai resep
6. Membantu menjaga
jalan nafas tetap paten,
mencegah atelectasis
dan memungkinkan
6. Anjurkan untuk pengembangan paru.
menarik nafas dalam,
batuk efektif, berpindah
posisi, memakai
spirometer dan
mematuhi terapi nafas.

3 Nyeri berhubungan Setelah dilakukan proses 1. Observasi TTV. 1. Untuk mengetahui


dengan trauma keperawatan selama 1x24 keadaan umum pasien.
operasi. jam diharapkan nyeri pasien
dapat berkurang dengan KH: 2. Tentukan 2. Untuk mengetahui
riwayat skala nyeri.
K : pasien dan keluraga nyeri misalnya lokasi,
pasien mengetahui penyebab frekuensi, durasi
dari nyerinya 3. Berikan tindakan 3. Meringankan nyeri
A : pasien dan keluarga kenyamanan dasar dan memberikan rasa
pasien mampu menunjukan (reposisi, gosok nyaman.
bagaimana cara menangani punggung) dan
nyerinya aktivitas hiburan

P : pasien dan keluarga


pasien mampu mengatasi 4. Memberikan rasa
nyerinya nyaman pada saat
4. penggunaan nyeri.
P : - TTV normal : (TD ketrampilan manajemen
: 110/70-120/80 mmHg, nyeri (teknik relaksasi,
0
Suhu: 36,5-37,5 C, RR: 16- visualisasi, bimbingan
24 x/mnt, Nadi: 60-100 imajinasi) musik,
x/mnt sentuhan terapeutik

‐ Skala nyeri normal 5. kontrol Kolaborasi :


(1-3) berikan analgesik
sesuai indikasi 5. Untuk mempercepat
‐ Wajah tidak misalnya Morfin hilangnya nyeri dan
meringai kesakitan metadon atau campuran untuk penghilang rasa
narkotik nyeri.

4 Terjadinya hipertermi Setelah dilakukan proses 1. Observasi TTV 1. Untuk


berhubungan dengan keperawatan selama x24 jam khususnya suhu mengetahui keadaan
terjadinya infeksi pasien dapat melakukan umum pasien
atau sindrom aktifitas seperti biasa dengan
pascaperikardiotomi. KH : 2. Menurunkan
2. Gunakan teknik kemungkinan
K : pasien dan keluarga steril saat mengganti terjadinya infeksi
pasien mengetahui penyebab balutan
hipertermi atau demam 3. Terjadi pada
3. Observasi adanya 10% sampai 40%
A : pasien dan keluarga gejala sindrom pasca pasien setelah bedah
pasien mampu menunjukan perikardiotomi : jantung
cara mengurangi demam demam, malese, efusi
pericardium, nyeri
P : pasien dan keluarga sendi
pasien mampu melakukan
pengurangan demam 4. Ajarkan teknik
kompres air hangat
P : - TTV normal : (TD untuk mengurangi 4. Untuk
: 110/70-120/80 mmHg, demam mengurangi demam
0
Suhu: 36,5-37,5 C, RR: 16-
24 x/mnt, Nadi: 60-100 5. Kolaborasi
x/mnt pemberian antiradang
sesuai resep
- tidak ada bengkak

- tidak ada kemerahan 5. Untuk


menghilangkan gejala
- tidak ada rasa nyeri peradangan (mis :
demam, bengkak, rasa
penuh, kaku atau
gatal, dan kelelahan)
DAFTAR PUSTAKA

1. Allen HD, Franklin WH, Fontana ME. Congenital heart disease:untreated


andoperated. Dalam:Emmanoulides GC, Riemenschneider TA, Allen
HD, Gutgesell HP, penyunting. Mossand Adams heart disease in
infants, children, andadolescents. Edisi ke-5. Baltimore: Williams &
Wilkins;1995. h.657-64.

2.Madiyono B. Kardiologi anak masa lampau, kini dan masa mendatang: perannya
dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit kardiovaskular.
Pidato pengukuhan guru besar tetap dalam bidang ilmu kesehatan
anak, FKUI, Jakarta, 11 Juni 1997. Jakarta: Lembaga Penerbit UI;1997.

3. Rahayoe AU. Pelayanan penderita penyakit jantung kongenital di Indonesia.


Perkembangan, permasalahan dan antisipasi dimasa depan. Dalam: Putra
ST, Roebiono PS, AdvaniN, penyunting. Penyakit jantung bawaan pada
bayi dan anak. Jakarta:Forum Ilmiah Kardiologi Anak Indonesia;
1998.h.1-17.

4. Rilantono LI. Kardiologi anak: tuntutan dan perkembangannya.


Dalam:PutraST, Advani N, Rahayoe AU, penyunting. Dasar-dasar
diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung kongenital pada anak.
Jakarta: Forum Ilmiah Kardiologi Anak Indonesia; 1996. h.10-21.

5. Sastroasmoro S, NurhamzahW, Madiyono B, Oesman IN, Putra ST. Association


between maternal hormone exposure and the development of congenital
heart disease of the truncal type A. Acase-control study. Paediatr Indones
1993;33:291-300.
6. Emmanouilides GC. The development of pediatric cardiology:history
milestones. Dalam: Emmanoulides GC, Riemenschneider TA, Allen
HD, Gutgesell HP, penyunting. Mossand Adams heart disease in
infants, children, and adolescents. Edisi ke-5. Baltimore
Williams&Wilkins;1995. h.xxi-iv.

7. Rahayuningsih SE, Rahayoe AU, Harimurti GM, Roebiono PS, Rachmat J.


Diagnostic accuracy of echocardiography inisolated ventricular septal
defect. Indones J Pediatr Cardiol 1999,1:19-21.

8. Wilkinson JL. Practical guidelines to early detection of congenital heart disease in


the new born period. Indones J Pediatr Cardio l1999,1:30-9.

9. Oesman IN. Tata laksana penyakit jantung bawaan dengan penyulit pada
neonatus. Dalam: Sastroasmoro S,Madiyono B, Putra ST, penyunting.
Pengenalan dini dan tatalaksana penyakit jantung kongenital pada
neonatus. Pendidikan tambahan berkala bagian ilmu kesehatan anak
FKUI ke-32, 1994. Jakarta:GayaBaru;1994. h.168-76.

10. Sastro asmoro S, Rahayuningsih SE. Tatalaksana medis neonatus dengan


penyulit jantung bawaan kritis. Dalam: Putra ST, Roebiono PS, Advani N,
penyunting. Penyakit jantung bawaan pada bayi dan anak. Jakarta:
Forum Ilmiah Kardiologi Anak Indonesia; 1998.h.147-56.

11. Racmat J.Perkembanganbedah jantung di Indonesia: penyakit jantung


kongenital. Dalam: Putra ST, Advani N, Rahayoe AU, penyunting.
Dasar- dasar diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung kongenital pada
anak. Jakarta:Forum Kardiologi Anak Indonesia; 1996. h.23-31.

12. Rachmat J. Pembedahan jantung pada neonatus. Dalam: Sastroasmoro S,


Madiyono B, Putra ST, penyunting. Pengenalan dini dan tatalaksana
penyakit jantung kongenital pada neonatus. Pendidikan tambahan
berkala bagian ilmu kesehatan anak FKUI ke-32, 1994. Jakarta: Gaya
Baru;1994. h.213-24.

13. Haryono N. Kardiologi intervensi pada penyakit jantung kongenital: pengalaman


di Indonesia. Dalam: Putra ST, Roebiono PS,Advani N, penyunting.
Penyakit jantung kongenital pada bayi dan anak. Jakarta: Forum Ilmiah
Kardiologi Anak Indonesia; 1998. h.217-9.

14. Alwi M. Interventional cardiology for new born with critical pulmonary
stenosisor pulmonary atresia. Indones J PediatrCardiol 1998;1:10-3.

15. Rao PS. Interventional pediatric cardiology: state of theart and future direction.
Pediatr Cardio l1997;19:107-24

Anda mungkin juga menyukai