B. Sunan Kudus
Raden Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus lahir pada sekitar tahun 1500 Masehi putra
dari H. Raden Usman (Sunan Ngudung kawasan Utara Blora). Sunan Kudus belajar
agama dengan ayahnya sendiri. Selain belajar dengan ayahnya, Ja’far Shodiq juga belajar
kepada Kyai Telingsing dan Sunan Ampel. Kyai Telingsing merupakan ulama China yang
datang ke tanah Jawa bersama Cheng Hoo. Cheng Hoo merupakan Laksamana Jendral
dari China yang ingin menyebarkan agama Islam dan membuat tali persaudaraan dengan
orang Jawa dan meninggal pada tahun 1550 Masehi.
Raden Ja'far Shodiq dapat mewarisi kepribadian orang China selama berguru
dengan Kyai Telingsing. Semenjak saat itu, Ja’far Shodiq memiliki kepribadian yang
tekun dan disiplin dalam meraih suatu keinginan. Salah satu keinginan Raden Ja'far
Shodiq adalah berdakwah menyebarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat yang
masih beragama Hindu dan Budha. Setelah selesai berguru dengan Kyai Telingsing,
Raden juga berguru dengan Sunan Ampel selama beberapa tahun di Surabaya.
Ja’far Shodiq juga seorang ulama yang suka mengembara. Beliau pernah
mengembara sampai ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Ketika Sunan Kudus berada di Mekkah, ada seorang penguasa mencari orang yang
mampu menghilangkan wabah penyakit pada saat itu dengan imbalan sebuah hadiah.
Sayangnya banyak Ulama yang gagal untuk menghentikan wabah tersebut. Setelah
Ja’far Sodiq mendengar kabar tersebut, Beliau menghadap penguasa itu. Tapi
kedatangan beliau disambut tidak baik oleh penguasa tersebut. Lalu Sunan Kudus
ditanya penguasa tersebut.
“Kalau hanya dengan doa saja sudah banyak Ulama ternama yang berdo’a disini. Tapi
tetap saja gagal.”
“Memang benar disini tempat Ulama-Ulama ternama, tapi mereka mungkin masih ada
yang memiliki kekurangan sebagai seorang Ulama.” Kata Sunan Kudus.
“Hmmm, sungguh berani Tuan berkata demikian. Memangnya kamu tahu kekurangan
mereka?” Tanya penguasa itu dengan nada tinggi.
“Penyebab mereka menjadi seperti itu adalah Anda. Karena Anda telah menjanjikan
hadiah sehingga membuat mata mereka menjadi gelap dan doa mereka menjadi tidak
ikhlas. Kesimpulannya, mereka berdoa hanya mengharapkan hadiah darimu.” Kata
Sunan Kudus dengan tenang.
Sang penguasa akhirnya diam tanpa ada kata setelah mendengar jawaban itu.
Kemudian Sunan Kudus dipersilahkan melaksanakan niatnya. Akhirnya Sunan
Kudus berdoa dan membaca amalan-amalan ditempat tersebut. Tidak lama kemudian
wabah penyakit tersebut langsung hilang. Bahkan warga yang sakit karena wabah
tersebut tiba-tiba sembuh dengan cepat.
2. Cara Berdakwah
b. Keris Cintoko
d. Tembang Asmarandana
C. Sunan Muria
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden
Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat
mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk
menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria. Tempat tinggal beliau di gunung
Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus.
Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah
satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat
dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom
dan Kinanti.
Sunan Muria adalah tokoh agama yang amat bersahaja. Dia tidak berkaitan dengan
hal-hal politik atau popularitas yang memungkinkan kisahnya lebih banyak tertulis dalam
sejarah. Sebagai wali, sunan muria lebih banyak membenamkan dirinya dalam kehidupan
rakyat kecil, yang miskin dan golongan marhaen. Para muridnya kebanyakan dari
kalangan para petani,pedagang, dan nelayan kecil. Dia berbaur dan menyelami setiap sisi
terdalam kehidupan masyarakat. Langkahnya yang sederhana ini telah membawanya
menciptakan tembang sinom dan kinanti. Satu tindakan lain yang membuktikan sunan
Muria menyusup dalam lubuk hati rakyat adalah tidak dilarangnya tradisi melakukan
kenduri setelah kematian seseorang yang dikenal denga tradisi hindu-jawa. Namun
walaupun begitu menurut catatan sejarah, ia tetap melarang tradisi-tradisi yang mutlak
sebagai amalan syirik. Contohnya membakar kemenyan dan menaruh sajian ditempat
yang di anggap keramat.
1. Metode
Metode yang merupakan lanjutan dari kerja dakwah ayahnya ini menyebabkan
sunan muria lebih mengenal tradisi jawa. Dia juga dikenal sebagai seorang seniman
yang melestarikan gamelan dan kesenian tradisi lainnya. Melalui cara ini sunan Muria
mulai sedikit demi sedikit memasukkan ajaran agama dan syiariat islam. Inilah awal
masuknya penyebaran islam yang dilakukan oleh sunan Muria, dengan begitu rakyat
tidak terkejut dengan ajaran baru islam. Pembenaran tentang ajaran islam diterima
rakyat secara rasional, sebab berjalan di wilayah yang akrab dengan mereka. Syair-
syair jawa diubah liriknya dengan kebajikan-kebajikan Islam. Rakyat mengenal islam
sebagai sesuatu yang lembut. Metode ini masih berlangsung hingga saat ini dijawa,
Nahdlatul Ulama menggunakan dalam menyebarkan syiar dan memberikan tentang
pembenaran ajaran islam kepada rakyat. Begitu dekatnya sunan Muria dengan
rakyatnya hingga luasnya wilayah dakwah merambah sampai daerah permukiman
terpencil. Seperti daerah gunung Muria sendiri sangat terpencil namun dakwahnya
sampai wilayah ke pati, pesisir jawa, selain tentunya kudus.
3. Memaknai Mitos
Pari Joto yakni sejenis buah yang menjadi oleh-oleh khas Muria terutama bagi
perempuan hamil. Masyarakat percaya jika memakannya akan menyebabkan
tambahnya kebaikan pada si jabang bayi. Buah ini menyimpan kiasan makna atas apa
yang disebutkan oleh Rasulullah berupa jintan hitam (HR. Al Bukhori) dan madu
lebah (QS. An-Nahl: 68-69). Bagi Sunan Muria, Pari Joto memiliki kemiripan dengan
keduanya dalam hal kandungan gizi untuk menjaga kesehatan. Kendati demikian,
pemaknaan ini tak lantas cenderung parsial dan antroposentris. Seruan hadits tentang
manfaat jintan hitam, informasi Al-Qur’an tentang manfaat madu lebah, maupun mitos
Pari Joto, tak sekedar memberi perintah konsumtif (intifa’), melainkan juga memuat
seruan untuk melestarikannya. Artinya, menjaga keberlangsungan eksistensi tumbuhan
dan hewan bertuah ini sama halnya menjaga manfaat kebaikannya, sehingga dapat
diwarisi umat di hari mendatang.
Mitos Pakis Haji dari Muria yang dipercaya dapat mengusir tikus pemakan
padi memakna spiritual-mistik yang bernuansa teologis-kosmologik, sebagai
bukti karomah yang diberikan Allah kepada Sunan Muria. Strategi mengusir tikus
dengan media alami berupa kayu ini sama sekali tak menghendaki pemusnahan hama.
Sunan Muria paham betul, bahwa bagaimanapun tikus tetap memiliki posisi penting
dalam putar rantai makanan, fitrah interdependensi alam. Tak hanya
mempertimbangkan efektifitas menjaga tanaman belaka, namun selayak mitos Pari
Joto, konsepsi pemanfaatan Pakis Haji ini pun mempertimbangkan aspek kelestarian
alam.
Jejak Sunan Muria yang keempat yakni Bulusan dan Kayu Adem Ati. Bulus
(penyu) dan pohon keramat yang kembali nampak pada 17 Agustus 1945 setelah
ratusan tahun sebelumnya menghilang ini menyimpulkan kesetaraan relasi antara
manusia dan alam. Segenap ritual yang sampai hari ini masih dilestarikan
mengajarkan masyarakat akan pentingnya menghormati keduanya sebagai sesama
makhluk. Mitos yang berkembang, Bulus tersebut adalah jelmaan manusia pada masa
Sunan Muria. Sehingga masyarakat segan melukai atau mengganggu kehidupan
makhluk yang dipandang sebagai nenek moyang mereka itu. Hal ini menjadi sarana
pembelajaran agar memperlakukan makhluk lain dengan baik, sama halnya
berperilaku terhadap sesama manusia. Segenap tuntunan ini pun terdapat dalam
berbagai riwayat hadits Rosulullah dan firman Allah dalam Al-Qur’an.
Terakhir, pohon Jati Keramat Masin yang konon mengisahkan cinta berdarah
putri Sunan Muria bersama seorang muridnya. Hutan jati ini berusia ratusan tahun
terhitung sejak zaman Sunan Muria dan tetap dilestarikan. Tak pernah sekalipun orang
berani menebangnya, jika tak ingin kena sial. Sebab diyakini bahwa, pohon-pohon itu
punya ruh, dan merupakan hal yang tak patut orang merusak dan melukainya.
Akhirnya, hingga kini mereka dibiarkan terus tumbuh dan dijaga kelangsungannya. Ini
sesungguhnya mengandung teladan akan pentingnya konservasi hutan, agar bumi yang
kian renta ini tetap terjaga kesehatannya.
4. Wali Lingkungan
Menafsirkan segenap situs tersebut, berarti membaca pikiran Sunan Muria
yang sarat dengan kesalehan lingkungan. Setidaknya terdapat lima bangunan religius,
yakni konsep Tauhid Lingkungan, Fikih Lingkungan, Tasawuf Lingkungan,
Filanekoreligi, dan Akidah Muttahidah, yang semuanya merujuk pada hajat pelestarian
alam semesta. Tauhid Lingkungan dalam segenap kajian mitos di atas bermakna akan
hakikat alam ini adalah bentuk teofani Tuhan. Alam menjelaskan segala sifat
ketuhanan, sejak ke-Esa-an, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi Rizki,
dan yang lain. Karenanya, alam ini hal yang sakral dan wajib dijaga. Fikih lingkungan
menerjemahkan prinsip Maqashid Al Syari’ah (tujuan ditetapkannya syariat) yang
menghendaki terwujudnya kemanusiaan berbasis ekoreligi. Sementara, Tasawuf
Lingkungan merupakan bangunan etika terhadap lingkungan yang berkembang dari
paradigma sufisme.