Anda di halaman 1dari 15

BAB V

SUNAN GUNUNG JATI, SUNAN KUDUS, DAN SUNAN MURIA

A. SUNAN GUNUNG JATI


1. Biografi Syarif Hidayatullah
Pangeran Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri Manggana raja
pertama daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika
Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta untuk berhaji.
Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah alias Walangsungsang dan
Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir.
Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah
Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang
selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir.
Dari perkawinan Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di
karuniai seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.
Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M,
ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di
Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji
Abdullah Iman.
2. Kontribusi
Sebelum menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan
Dakwah di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita
lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan
Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten
Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif
Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa
Banten Pesisir. Ia diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya
menjadi pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang
dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang
Panglima perang tentara Demak.
Empat tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam
Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah
(saat usia 31 th), sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu
Pakungwati.
Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi
Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan Padjadjaran.
Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati, di hadiri oleh
Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah. Ketika
Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya ditinggalkan untuk menjadi
pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.
Posisi Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Gunung Jati
bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon, tetapi dalam Dewan Wali
menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan Khatib Agung Masjid
Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada Pangeran Treggono (setelah
Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu Pangeran Trenggono), Sunan Bonang
memerintahkan Sultan Demak baru untuk mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada
kesempatan itu Sunan menganugrahkan gelar kepada Pangeran Trenggono sebagai
Sultan Ahmad Abdul-Arifin. Pemberian gelar tersebut mengandung arti legitimasi
bagi Pangeran Trenggono untuk memimpin Negara Islam Demak. Perintah Sunan
Bonang kepada Pangeran Trenggono untuk menemui Sunan Gunung Jati memberikan
petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati saat itu sebagai ketua Dewan Wali setelah
Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.
Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu
Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479,
karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri
Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang
dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif
Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu
Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu
Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama
Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke
Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya
saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan
Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi
Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang
putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif
Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya.
Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di
tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak
buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya
menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia
tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh
Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali
Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya
menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam
bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih
merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang
tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang.
Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan
Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di
Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon.
Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan
menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia
memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah
kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman
(ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan
Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh
(Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-
Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di
Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja.
3. Pendidikan
Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-
Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar
Tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut
Ilmu. Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat
itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh
Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-
Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan
agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak
ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta
kerajaan Islam Pakungwati.
4. Pemikiran
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.
Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan
yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan
Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum,
menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi
cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya
menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada
tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu
Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan
anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu
berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali
lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia
memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.
Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti
kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini
dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa
yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit
pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif
Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan
Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak
kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti :
Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah
Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri
asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang
keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke
Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.
Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan
putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari
dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin
erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan
bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya
menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali
putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang
peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih
ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi
dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung
Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau
istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak,
diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh seorang senopati.
Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan
Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.
Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya
yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk
memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya
bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan
wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan
Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah
Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat
menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha
bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan
kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan
senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung
kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan
Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah
selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia
Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran
Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara
Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai
diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di
Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya
mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya.
Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar
sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon
walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar
Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang
diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan
pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian
wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam
kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.

B. Sunan Kudus

Raden Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus lahir pada sekitar tahun 1500 Masehi putra
dari H. Raden Usman (Sunan Ngudung kawasan Utara Blora). Sunan Kudus belajar
agama dengan ayahnya sendiri. Selain belajar dengan ayahnya, Ja’far Shodiq juga belajar
kepada Kyai Telingsing dan Sunan Ampel. Kyai Telingsing merupakan ulama China yang
datang ke tanah Jawa bersama Cheng Hoo. Cheng Hoo merupakan Laksamana Jendral
dari China yang ingin menyebarkan agama Islam dan membuat tali persaudaraan dengan
orang Jawa dan meninggal pada tahun 1550 Masehi.

Raden Ja'far Shodiq dapat mewarisi kepribadian orang China selama berguru
dengan Kyai Telingsing. Semenjak saat itu, Ja’far Shodiq memiliki kepribadian yang
tekun dan disiplin dalam meraih suatu keinginan. Salah satu keinginan Raden Ja'far
Shodiq adalah berdakwah menyebarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat yang
masih beragama Hindu dan Budha. Setelah selesai berguru dengan Kyai Telingsing,
Raden juga berguru dengan Sunan Ampel selama beberapa tahun di Surabaya.

1. Kisah Perjuangan Sunan Kudus


Ayah Raden Ja’far Shodiq merupakan pemimpin pasukan Majapahit. Ayah
Sunan Kudus juga menjadi Senopati Demak yang dijuluki sebagai Sunan Ngudung.
Namun, Sunan Ngudung gugur dalam pertempuran yang sengit antara pasukannya
dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Sunan Kudus akhirnya
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Senopati Demak.

Walau menjadi Senopati di Demak, Raden Ja'far Shodiq tetap melanjutkan


dakwahnya di daerah Kudus dan sekitarnya. Perjuangan Raden Ja’far Shodiq dalam
dakwahnya adalah mengutamakan sikap tenang dan cara yang halus. Cara tersebut
ditempuhnya agar masyarakat tidak terpaksa untuk menerima ajaran-ajaran yang
diberikan Ja’far Shodiq.

Ja’far Shodiq juga seorang ulama yang suka mengembara. Beliau pernah
mengembara sampai ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Ketika Sunan Kudus berada di Mekkah, ada seorang penguasa mencari orang yang
mampu menghilangkan wabah penyakit pada saat itu dengan imbalan sebuah hadiah.
Sayangnya banyak Ulama yang gagal untuk menghentikan wabah tersebut. Setelah
Ja’far Sodiq mendengar kabar tersebut, Beliau menghadap penguasa itu. Tapi
kedatangan beliau disambut tidak baik oleh penguasa tersebut. Lalu Sunan Kudus
ditanya penguasa tersebut.

“Bagaimana caranya kamu menghilangkan wabah penyakit ini?”

“Doa.” Ja’far Shodiq dengan singkat menjawab pertanyaan.

“Kalau hanya dengan doa saja sudah banyak Ulama ternama yang berdo’a disini. Tapi
tetap saja gagal.”

“Memang benar disini tempat Ulama-Ulama ternama, tapi mereka mungkin masih ada
yang memiliki kekurangan sebagai seorang Ulama.” Kata Sunan Kudus.

“Hmmm, sungguh berani Tuan berkata demikian. Memangnya kamu tahu kekurangan
mereka?” Tanya penguasa itu dengan nada tinggi.
“Penyebab mereka menjadi seperti itu adalah Anda. Karena Anda telah menjanjikan
hadiah sehingga membuat mata mereka menjadi gelap dan doa mereka menjadi tidak
ikhlas. Kesimpulannya, mereka berdoa hanya mengharapkan hadiah darimu.” Kata
Sunan Kudus dengan tenang.

Sang penguasa akhirnya diam tanpa ada kata setelah mendengar jawaban itu.
Kemudian Sunan Kudus dipersilahkan melaksanakan niatnya. Akhirnya Sunan
Kudus berdoa dan membaca amalan-amalan ditempat tersebut. Tidak lama kemudian
wabah penyakit tersebut langsung hilang. Bahkan warga yang sakit karena wabah
tersebut tiba-tiba sembuh dengan cepat.

Penguasa Arab tersebut sangat senang dengan hilangnya wabah tersebut.


Hadiah yang dijanjikan akan diberikan kepada Ja’far Shodiq. Namun Ja’far Shodiq
menolak hadiah tersebut. Ja’far Shodiq hanya ingin meminta sebuah batu yang berasal
dari Baitul Madqis. Dan Sunan Kudus akhirnya mendapatkan keinginannya. Batu
tersebut kemudian dibawa pulang ke tanah Jawa. Dan batu tersebut diletakkan di area
imam Masjid Kudus yang sudah berdiri kokoh.

2. Cara Berdakwah

Dalam menyampaikan dakwah, Raden Ja'far Shodiq juga menerapkan strategi


dakwah yang diterapkan Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan
Gunung Jati. Selain mempunyai strategi yang sama, Sunan Kudus juga mempunyai
strategi tersendiri dalam berdakwah, antara lain :

a. Mendekati Masyarakat Hindu

Cara ini sangat sulit dilakukan karena masyarakat Hindu masih


memegang teguh kepercayaan mereka. Tapi cara ini tetap dilakukan agar
Masyarakat Hindu masuk ke agama Islam. Sunan Kudus mengajarkan toleransi
yang tinggi dalam agama Islam kepada masyarakat Hindu. Sehingga umat Hindu
tertarik untuk masuk ke agama Islam. Ajaran toleransi tersebut adalah
menghormati sapi yang dikramatkan oleh umat Hindu. Selain itu, Sunan Kudus
juga membangun menara masjid yang hampir sama dengan bangunan candi
Hindu.

b. Mendekati Masyarakat Budha

Setelah Masjid dibangun, Sunan Kudus membuat sebuah tempat wudhu


yang berbentuk pancuran sebanyak delapan buah. Setiap pancuran dberi arca
Kebo Gumarang yang dihormati umat Budha. Setelah umat Budha melihat arca
tersebut, mereka penasaran dan masuk ke area masjid. Setelah masuk ke masjid,
mereka terpengaruh dengan penjelasan Sunan Kudus. Akhirnya mereka masuk ke
agama Islam.

c. Mengubah Inti Ritual Mitoni (Selametan)

Acara Selametan Mitoni merupakan acara yang sejak dulu disakralkan


oleh masyarakat Hindu-Budha. Inti dari acara Mitoni adalah bersyukur atas
dikaruniai seorang anak. Namun, masyarakat Hindu-Budha dulu tidak bersyukur
kepada Allah SWT, melainkan kepada patung-patung dan arca. Disinilah tugas
Sunan Kudus untuk meluruskan inti dari acara tersebut. Sunan Kudus tidak
menghapus Selametan dalam kebiasaan masyarakat. Tapi, Sunan kudus
meluruskan acara mitoni menuju ke arah Islami.

3. Peninggalan-Peninggalan Sunan Kudus

a. Masjid dan Menara Kudus

b. Keris Cintoko

c. Dua tombak Sunan Kudus

d. Tembang Asmarandana
C. Sunan Muria

Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden
Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat
mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk
menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria. Tempat tinggal beliau di gunung
Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus.
Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah
satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat
dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom
dan Kinanti.

Sunan Muria adalah tokoh agama yang amat bersahaja. Dia tidak berkaitan dengan
hal-hal politik atau popularitas yang memungkinkan kisahnya lebih banyak tertulis dalam
sejarah. Sebagai wali, sunan muria lebih banyak membenamkan dirinya dalam kehidupan
rakyat kecil, yang miskin dan golongan marhaen. Para muridnya kebanyakan dari
kalangan para petani,pedagang, dan nelayan kecil. Dia berbaur dan menyelami setiap sisi
terdalam kehidupan masyarakat. Langkahnya yang sederhana ini telah membawanya
menciptakan tembang sinom dan kinanti. Satu tindakan lain yang membuktikan sunan
Muria menyusup dalam lubuk hati rakyat adalah tidak dilarangnya tradisi melakukan
kenduri setelah kematian seseorang yang dikenal denga tradisi hindu-jawa. Namun
walaupun begitu menurut catatan sejarah, ia tetap melarang tradisi-tradisi yang mutlak
sebagai amalan syirik. Contohnya membakar kemenyan dan menaruh sajian ditempat
yang di anggap keramat.

1. Metode

Metode yang merupakan lanjutan dari kerja dakwah ayahnya ini menyebabkan
sunan muria lebih mengenal tradisi jawa. Dia juga dikenal sebagai seorang seniman
yang melestarikan gamelan dan kesenian tradisi lainnya. Melalui cara ini sunan Muria
mulai sedikit demi sedikit memasukkan ajaran agama dan syiariat islam. Inilah awal
masuknya penyebaran islam yang dilakukan oleh sunan Muria, dengan begitu rakyat
tidak terkejut dengan ajaran baru islam. Pembenaran tentang ajaran islam diterima
rakyat secara rasional, sebab berjalan di wilayah yang akrab dengan mereka. Syair-
syair jawa diubah liriknya dengan kebajikan-kebajikan Islam. Rakyat mengenal islam
sebagai sesuatu yang lembut. Metode ini masih berlangsung hingga saat ini dijawa,
Nahdlatul Ulama menggunakan dalam menyebarkan syiar dan memberikan tentang
pembenaran ajaran islam kepada rakyat. Begitu dekatnya sunan Muria dengan
rakyatnya hingga luasnya wilayah dakwah merambah sampai daerah permukiman
terpencil. Seperti daerah gunung Muria sendiri sangat terpencil namun dakwahnya
sampai wilayah ke pati, pesisir jawa, selain tentunya kudus.

2. Ajaran yang disebarkan oleh sunan Muria

Jauh sejak zaman Walisongo, Sunan Muria telah mengajarkan pengikutnya


untuk bersama meruwat bumi. Hampir tak pernah disebut dan memang jarang yang
tahu ihwal kontribusi dakwah Walisongo terhadap pelestarian bumi. Walisongo
selama ini lebih banyak dipahami sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa yang
hanya menyampaikan risalah ketauhidan semata. Jauh di salah satu puncak gunung
Muria yang terpencil, Raden Umar Said (nama asli Sunan Muria) memilih menetap.
Di sana, ia tak hanya menghambakan diri dengan mengajak para penduduk gunung
beriman. Lebih dari itu, juga mengajarkan konsep teologi yang bersifat holistik-
integratif. Mafhum dengan kondisi geografis dan keberlanjutan bumi tempat mereka
tinggal, Sunan Muria mengarahkan energi keimanan pada konsentrasi hajat pelestarian
alam. Tauhid yang diajarkan Sunan Muria menyentuh tiga ranah, mulai dari dimensi
ketuhanan yang eskatologis-transendental, dimensi sosial-ijtima’iyyah
(antroposentrisme),sampaidimensilingkungan (ekosentrisme).Ketiganyakeniscayakan
diferensiasi terhadap cara dakwah Sunan yang lain. Baik ranah ketuhanan, sosial
hingga lingkungan, dapat menyatu dalam satu konsep keimanan. Segenap khazanah
lokal berupa kearifan lingkungan yang bersumber dari agama pun segera
diejawantahkan. Hal ini terlacak dari jejak-jejak peninggalan berupa beberapa situs
yang dikeramatkan. Antara lain; buah Pari Joto, kayu Pakis Haji, Air Gentong yang
terdapat di lokasi pemakaman, Ngebul Bulusan, pohon Kayu Adem Ati, serta hutan
Jati Keramat. Segenap mitologi situs keramat alami tersebut, hingga kini dipercaya
masyarakat mengandung tuah buah karomah Sunan Muria.

3. Memaknai Mitos

Pari Joto yakni sejenis buah yang menjadi oleh-oleh khas Muria terutama bagi
perempuan hamil. Masyarakat percaya jika memakannya akan menyebabkan
tambahnya kebaikan pada si jabang bayi. Buah ini menyimpan kiasan makna atas apa
yang disebutkan oleh Rasulullah berupa jintan hitam (HR. Al Bukhori) dan madu
lebah (QS. An-Nahl: 68-69). Bagi Sunan Muria, Pari Joto memiliki kemiripan dengan
keduanya dalam hal kandungan gizi untuk menjaga kesehatan. Kendati demikian,
pemaknaan ini tak lantas cenderung parsial dan antroposentris. Seruan hadits tentang
manfaat jintan hitam, informasi Al-Qur’an tentang manfaat madu lebah, maupun mitos
Pari Joto, tak sekedar memberi perintah konsumtif (intifa’), melainkan juga memuat
seruan untuk melestarikannya. Artinya, menjaga keberlangsungan eksistensi tumbuhan
dan hewan bertuah ini sama halnya menjaga manfaat kebaikannya, sehingga dapat
diwarisi umat di hari mendatang.

Mitos Pakis Haji dari Muria yang dipercaya dapat mengusir tikus pemakan
padi memakna spiritual-mistik yang bernuansa teologis-kosmologik, sebagai
bukti karomah yang diberikan Allah kepada Sunan Muria. Strategi mengusir tikus
dengan media alami berupa kayu ini sama sekali tak menghendaki pemusnahan hama.
Sunan Muria paham betul, bahwa bagaimanapun tikus tetap memiliki posisi penting
dalam putar rantai makanan, fitrah interdependensi alam. Tak hanya
mempertimbangkan efektifitas menjaga tanaman belaka, namun selayak mitos Pari
Joto, konsepsi pemanfaatan Pakis Haji ini pun mempertimbangkan aspek kelestarian
alam.

Kesalehan lingkungan dalam ajaran Sunan Muria berikutnya dapat ditemukan


pada situs Air Gentong Keramat di lokasi makam yang juga diyakini menyimpan tuah.
Di balik keramatnya, Air Gentong ini mendedahkan simbol spiritual. Keberkahannya
menyembuhkan dan mencegah penyakit, membersihkan dari kotoran jiwa dan
memberikan manfaat kecerdasan, merupakan inspirasi spiritual Islam atas benda suci
ini. Ini sekaligus merupakan multifungsi air tersebut sebagai simbol spiritual, medis
dan ilmiah. Meminjam hasil penelitian Masaru Emoto Jepang, bahwa air dapat
mentransformasi segala pesan yang masuk ke dalam dirinya, sehingga dapat
membentuk kualitas fisik dan manfaatnya. Demikian halnya kasus Air Gentong Sunan
Muria, ketika ia mendapat stimulus yang baik berupa doa, harapan dan itikad baik dari
pemercaya mitos keramatnya, maka air itu akan mentransformasi diri menjadi
kebaikan-kebaikan seperti diharapkan.

Jejak Sunan Muria yang keempat yakni Bulusan dan Kayu Adem Ati. Bulus
(penyu) dan pohon keramat yang kembali nampak pada 17 Agustus 1945 setelah
ratusan tahun sebelumnya menghilang ini menyimpulkan kesetaraan relasi antara
manusia dan alam. Segenap ritual yang sampai hari ini masih dilestarikan
mengajarkan masyarakat akan pentingnya menghormati keduanya sebagai sesama
makhluk. Mitos yang berkembang, Bulus tersebut adalah jelmaan manusia pada masa
Sunan Muria. Sehingga masyarakat segan melukai atau mengganggu kehidupan
makhluk yang dipandang sebagai nenek moyang mereka itu. Hal ini menjadi sarana
pembelajaran agar memperlakukan makhluk lain dengan baik, sama halnya
berperilaku terhadap sesama manusia. Segenap tuntunan ini pun terdapat dalam
berbagai riwayat hadits Rosulullah dan firman Allah dalam Al-Qur’an.

Terakhir, pohon Jati Keramat Masin yang konon mengisahkan cinta berdarah
putri Sunan Muria bersama seorang muridnya. Hutan jati ini berusia ratusan tahun
terhitung sejak zaman Sunan Muria dan tetap dilestarikan. Tak pernah sekalipun orang
berani menebangnya, jika tak ingin kena sial. Sebab diyakini bahwa, pohon-pohon itu
punya ruh, dan merupakan hal yang tak patut orang merusak dan melukainya.
Akhirnya, hingga kini mereka dibiarkan terus tumbuh dan dijaga kelangsungannya. Ini
sesungguhnya mengandung teladan akan pentingnya konservasi hutan, agar bumi yang
kian renta ini tetap terjaga kesehatannya.

4. Wali Lingkungan
Menafsirkan segenap situs tersebut, berarti membaca pikiran Sunan Muria
yang sarat dengan kesalehan lingkungan. Setidaknya terdapat lima bangunan religius,
yakni konsep Tauhid Lingkungan, Fikih Lingkungan, Tasawuf Lingkungan,
Filanekoreligi, dan Akidah Muttahidah, yang semuanya merujuk pada hajat pelestarian
alam semesta. Tauhid Lingkungan dalam segenap kajian mitos di atas bermakna akan
hakikat alam ini adalah bentuk teofani Tuhan. Alam menjelaskan segala sifat
ketuhanan, sejak ke-Esa-an, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi Rizki,
dan yang lain. Karenanya, alam ini hal yang sakral dan wajib dijaga. Fikih lingkungan
menerjemahkan prinsip Maqashid Al Syari’ah (tujuan ditetapkannya syariat) yang
menghendaki terwujudnya kemanusiaan berbasis ekoreligi. Sementara, Tasawuf
Lingkungan merupakan bangunan etika terhadap lingkungan yang berkembang dari
paradigma sufisme.

Istilah filanekoreligi yang tersematkan dalam ajaran Sunan Muria bermakna


membangun keadilan dan kesejahteraan lingkungan. Ini merupa kedermawanan
lingkungan yang pada akhirnya memunculkan konsekuensi logis; kontribusi positif
terhadap eksistensi nilai-nilai kemanusiaan. Puncak ajaran Sunan Muria adalah
Akidah Muttahidah. Yakni memaknai ibadah tak sebatas dimensi mahdhah, melainkan
sampai menyentuh persoalan lingkungan. Maksudnya, akidah Islam diejawantahkan
ke dalam tiga ranah hubungan sekaligus, yakni antara manusia, Tuhan, dan alam.
Terbentuk semacam segi tiga yang menunjukkan relasi antar ketiganya. Dalam hal ini,
Tuhan menjadi titik paling atas sebagai pusat hubungan. Sementara itu, alam
merupakan mitra manusia dalam melaksanakan ibadah, sekaligus alam sebagai wujud
teofani Tuhan yang dengannya memancar segenap sifat ketuhanan. Demikian, tugas
manusia sebagai seorang khalifah di muka bumi (khalifah fil Ardl), yang di antaranya
adalah mengelola alam, maka termasuk dimaknai juga sebagai ibadah. Perlu dipahami,
khalifah di sini berarti pemimpin, dan bukan penguasa. Artinya, tugas manusia adalah
mengelola alam dengan arif, bukan mengeksploitasinya secara serampangan.

Anda mungkin juga menyukai