Anda di halaman 1dari 5

NAMA KELOMPOK :

1. Nurul Yuliati 2012-11-361


2. Nur Fitri Maira 2012-11-348
3. Nina Damayanti 2012-33-369
4. Henny Maria Magdalena 2013-11-509
5. Riri Apriyani 2013-11-375

Pariaman, 8 November 2012


Teori Motivasi dalam Pemberdayaan: Antara Teori dengan Praktik
“Alam Takambang Jadikan Guru”. Demikian bunyi pepatah adat Minangkabau yang artinya kurang
lebih mari belajar dari alam/lapangan. Semua bisa kita jadikan guru sekaligus narasumber. Namun
dalam praktiknya tidak semudah kita mengucapkannya, termasuk dalam hal manajerial di tingkat
konsultan sendiri.
Implementasi dari “Alam Takambang Jadikan Guru” dalam dunia kita, pemberdayaan, ada dalam
metode pembelajaran yang selama ini dikenal dengan istilah metode pembelajaran dewasa (POD).
Sebuah metode pembelajaran yang sangat pas dan sudah teruji. Dan dalam kesehariannya, dimana
POD selalu didengungkan, bahkan menjadi bahan “jualan” kita ke masyarakat, sudahkah kita
praktikkan di internal konsultan sendiri? Sebuah pertanyaan, yang tanpa kita sadari bersama,
sebenarnya sudah sangat pantas diperhatikan.
Dalam implementasinya ternyata masih ada keegoan, kekakuan, terkesan text-book, manut pada
atasan bukan aturan, sehingga menutup ruang inovasi apalagi kebebasan. Hal ini tentu saja akan
berimbas pada pendampingan di masyarakat yang menjadi sasaran pendampingan. Banyak sudah
pakar manajemen yang telah melakukan penelitian menyangkut hal ini. Berjubel sudah teori tentang
kepemimpinan, jabatan serta hubungan atasan dan bawahan termasuk dalam ranah pemberdayaan.
Berikut kami mencoba mengkaji antara teori-teori yang ada dan membandingkan dengan
implementasinya di tingkat konsultan sendiri.
Di tahun 1943, seorang Psikolog dari Amerika Abraham Maslow (1908-1970), menulis sebuah
mahakaryanya yang sangat berpengaruh di bidang psikologi motivasi. “Teori Motivasi Manusia”
adalah tulisan Maslow yang menjadi inspirasi bagi banyak kebijakan di beragam perusahaan
modern untuk memotivasi para karyawannya. Piramida Maslow ini berfokus pada lima tingkat
kebutuhan, mulai dari yang mendasar untuk bertahan hidup hingga kepada kebutuhan sosial dan
kebutuhan untuk mengembangkan diri di dalam kehidupan.
Kelima tingkat kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisik untuk bertahan hidup (makanan,
air, dan seterusnya); Kebutuhan akan keamanan (tempat tinggal serta kepastian keuangan,
kesehatan yang terjaga, dan seterusnya); Kebutuhan untuk bersosialisasi dan saling menyayangi
(seperti berkeluarga, memiliki sahabat serta merasa menjadi bagian dari sesuatu, dan seterusnya;
Kebutuhan untuk meninggikan harga diri (seperti meraih prestasi atau pencapaian,
meningkatkan rasa kebanggaan pribadi serta dihargai/dihormati oleh orang lain, dan seterusnya);
Kebutuhan untuk mengaktualisasikan potensi diri (berkembang menjadi yang terbaik sesuai
kata hati, mengoptimalkan kreativitas serta bakat untuk menjadi pakar atau inovator yang berguna
bagi sesama, dan seterusnya).
Pertanyaan buat kita, sampai seberapa jauhkah kita atau program dapat memenuhi kebutuhan dalam
Teori Abraham Maslow yang sedemikian terkenal? Tentu saja belum semua terpenuhi 100%.
Banyak situasi serta kondisi yang memengaruhinya. Salah satu hal yang memberikan kontribusi
besar tentu saja manajerial dalam tubuh konsultan itu sendiri secara menyeluruh.
Apakah praktik kepemimpinan yang kita terapkan dapat menutup kekurangan yang ada, atau malah
memperburuk situasi? Baik buruknya situasi yang terjadi pada institusi konsultan akan berpengaruh
nyata pada masyarakat dampingan. Dan hal ini tidak dapat dipungkiri.
Dan ketika kita melihat Teori XY dari Douglas McGregor serta Teori Z dari William Ouchi, akan
semakin menambah wawasan bersama tentunya. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan saling
berkorelasi antara satu hal dengan yang lainnya. Apalagi ketika harus membicarakan cara
mengimplementasikannya.
McGregor memaparkan Teori X dengan asumsi awal bahwa karyawan itu secara alamiah bersifat
malas atau tidak menyukai pekerjaannya, dan harus dimotivasi dengan gaya kepemimpinan yang
otoriter. Biasanya Teori X ini kurang efektif dalam praktik manajemen modern, apalagi jika
dikaitkan dengan konsep pemberdayaan. Tapi Teori X ini tetap harus digunakan, khususnya
terhadap beberapa jenis karyawan yang memiliki karakter yang lebih termotivasi secara efektif dan
memberikan hasil kinerja yang lebih baik dengan gaya kepemimpinan yang otoritatif. Teori ini
mengutamakan kepatuhan sebagai faktor pendorong kinerja karyawan.
McGregor menyatakan dalam Teori Y, para karyawan diasumsikan sebagai orang yang berambisi,
mau menerima tanggung jawab, bahkan mencari wewenang agar bisa bekerja secara optimal
dengan potensi diri yang dimiliki. Para karyawan dianggap secara alamiah menikmati pekerjaan,
serta termotivasi sendiri berprestasi. Gaya kepemimpinan dalam Teori Y adalah manajemen
parsitipatif yang mengundang diskusi dan keterlibatan karyawan dalam membuat keputusan dan
memberikan peluang untuk mengembangkan keahlian serta karier sang karyawan atau promosi.
Teori Y mendorong perluasan wawasan karyawan dan perbaikan kualitas SDM yang berkelanjutan.
Penerapan Teori Y terbukti lebih menguntungkan daripada Teori X, khususnya dalam perusahaan-
perusahaan yang membutuhkan para profesional berkeahlian tinggi.
Teori Z mengkombinasikan Teori XY dengan gaya kepemimpinan bisnis ala Jepang dan
mengharapkan karyawan selalu loyal atau memiliki kesetiaan yang tinggi kepada organisasi. Teori
Z bisa juga dibilang sebagai penyempurnaan dari Teori Y dalam memotivasi karyawan. Teori Z ini
memandang kebutuhan karyawan sebagai faktor pendorong motivasi kerjanya tidak hanya sebatas
pada kebutuhan fisik dan keamanan/kepastian saja. Kepedulian perusahaan terhadap kesejahteraan
dan pemenuhan kebutuhan mental-emosional-sosial-spiritual karyawan sangat diperhatikan.
Sesuai struktur yang lebih tinggi dalam Hierarki Kebutuhan Maslow, Teori Z memperhatikan
pemenuhan kebutuhan karyawan untuk bersosialisasi, berkelompok, mempererat hubungan dengan
sesama rekan kerja dan perusahaan, serta menguatkan kepercayaan diri yang akhirnya mendukung
aktualisasi diri sang karyawan.
Dalam uji cobanya, Daniel Pink dan Edward Deci menemukan hal menarik dari menyikapi teori-
teori motivasi yang ada dan dilakukan pada tahun 1969. Melanjutkan apa yang telah dimulai oleh
Harry F. Harlow tahun 1949, yang kemudian melahirkan teori Motivasi Intrinsik atau sebuah
motivasi yang terlahir dari dalam diri sendiri. Temuan Daniel Pink membuktikan ternyata, reward
eksternal seperti uang hanya memberikan motivasi dalam jangka pendek selama insentifnya
dibayarkan. Imbalan berupa uang seperti gaji dan upah hanya memotivasi sejauh apa yang diminta.
Insentif eksternal memang menciptakan kepatuhan, tapi tidak mendorong kontribusi yang lebih
bernilai. Para pekerja bayaran tidak termotivasi untuk memberikan hasil yang terbaik. Orang
menjadi kurang kreatif dan inovatif dalam jangka panjang. Ada kejenuhan, kebosanan turut
membayangi, apalagi jika telah dibanding-bandingkan.
Dan gejala ini telah mulai terlihat pada program kita, di mana sebagian tim fasilitator kita, termasuk
semua jajaran yang ada, mulai membandingkan dengan program sejenis lainnya.
Imbalan moneter bisa menjadi senjata makan tuan, berbalik menjadi demotivator, jika pekerja
tersebut merasa bahwa uang yang diterimanya dinilai kurang. Uang hanya memotivasi orang untuk
mengerjakan aktivitas rutin, tanpa perlu pengembangan dengan kreativitas serta inovasi baru.
Inisiatif karyawan menjadi sangat tergantung pada tingkat kepuasannya terhadap gajinya, dan
motivasinya semakin menurun seiring waktu. Hal ini telah mulai menggejala di jajaran kita. Ada
yang mesti diperbaiki dan benahi sebelum semuanya terlanjur lebih parah.
Daniel Pink dalam bukunya, “Drive”, memaparkan tiga faktor dalam teori motivasi intrinsik.
Ketiganya adalah Mastery atau penguasaan keahlian; Autonomy atau kemandirian; dan Purpose
atau tujuan yang bermakna. Ketiganya harus dimiliki oleh seseorang yang ingin bekerja dengan
semangat konstan dan motivasi tinggi.
Manajemen perusahaan mesti mengelola ketiga faktor ini agar dapat secara optimal memotivasi
karyawannya selain dengan gaji dan tunjangan. Individu juga bisa mengatur dirinya agar menjadi
pribadi yang produktif dengan memperhatikan ketiga faktor motivasi intrinsik ini dalam
aktivitasnya.
Lebih jauh Daniel Pink menguraikannya sebagai berikut
1. Mastery atau penguasaan keahlian, berarti para karyawan diberikan peluang untuk
mengembangkan dirinya. Pekerjaan yang diberikan harus cukup menantang tapi tidak terlalu
mustahil. Tugas-tugas yang terlalu mudah akan menciptakan kebosanan dan tidak membuat
keahlian seorang pekerja meningkat. Sedangkan tugas-tugas yang sedikit lebih sulit akan
memacu pengembangan keahlian dan memicu suatu kondisi yang disebut flow.
2. Autonomy atau kemandirian diberikan perusahaan kepada para karyawannya dalam bentuk
kebijakan yang flekibel. Prosedur kerja yang tidak terlalu mengekang dan memberikan
kebebasan untuk berinovasi serta menjadi kreatif. Perasaan tertekan karena tidak memiliki
kendali akan mendemotivasi seseorang.
3. Purpose atau penetapan tujuan yang bermakna akan saya bahas dalam tulisan yang lain agar
pemaparannya lebih detail. Namun, inilah faktor terpenting dalam teori motivasi intrinsik.
Perusahaan yang memprioritaskan penanaman tujuan yang utama kepada para karyawannya
akan mendapatkan tingkat produktivitas serta loyalitas yang tinggi. Purpose memberikan
arti penting dalam suatu aktivitas menjadi layak diperjuangkan. Semangat juang inilah yang
akan memotivasi seseorang dalam bekerja. Purpose adalah bahan bakar utama dalam
mengobarkan api motivasi.
Implementasinya dalam Pemberdayaan
Saat kita membicarakan implementasi lapangan tentu saja akan banyak mengundang banyak
pendapat serta alasan bahkan sanggahan. Di saat SOP dan aturan ditegakkan, hal yang sudah
membudaya dan hampir dipastikan mendapat sanggahan. Berbagai bentuk pengingkaran dan
perlawanan adalah hal yang lumrah ditemukan. Akan ada banyak variasi di lapangan yang terjadi
dalam mengawal program apabila dikaitkan dengan beberapa teori di atas. Motivasi bawahan dalam
bekerja akan banyak dipengaruhi oleh bagaimana sang pemimpin yang mengomandoinya.
Demikian juga dalam dunia nyata kita yang notabenenya berlabelkan pemberdayaan dengan POD-
nya. Adalah hal yang tidak mudah untuk memimpin puluhan, apalagi ratusan manusia/SDM yang
berlabel sarjana. Walau kadang gelar tidak selalu berimplikasi positif dengan sikap, perilaku dan
motivasi seseorang dalam bekerja.
Bagaimana seninya memimpin sepasukan tim fasilitator dengan segala warna warninya.
Kemampuan apa yang harus dimiliki sebut saja seorang TL,TA,Korkot,Asisten maupun SF jika
ingin berhasil dalam memimpin bawahannya. Kemampuan minimal apa yang harus dimiliki dan
mampu praktikkan dalam menghadapi situasi lapangan. Di satu sisi pemberdayaan takkan boleh
berhenti, di sisi lain proyek menuntut berbeda.
Hingga pertanyaan “Apakah ini proyek atau pemberdayaan” tidak lagi menjadi pertanyaan, tapi
berubah menjadi tantangan. Apa yang harus kita ketahui bersama dan lakukan di saat beberapa teori
motivasi di atas telah memaparkan banyak hal. Apakah kita yang gagal dalam memimpin hingga
capaian progres stagnan, lambat atau kemampuan yang kita punyai sendiri tidak lagi sebanding
dengan kebutuhan lapangan. Pertanyaan demi pertanyaan akan muncul secara silih berganti jika kita
semua mau jujur mengakui.
Fakta di lapangan, sebagian kecil dari kita malah cenderung mencari alasan pembenaran untuk
menutupi kekurangan diri. Terdapat sebagian kecil dari kita yang cenderung takut menghadapi
kenyataan bahwa bawahan jauh lebih pintar. Untuk mempertahankan status quo jabatan, berbagai
upaya negatif dilakukan hingga lebih terkesan arogan. Kepintaran bawahan malah dipandang
sebagai bentuk ancaman bukan kekuatan yang harusnya bisa dimanfaatkan.
Pemimpin menutup akses dan mematikan kreativitas bawahan hingga sang bawahan pun akan
bekerja asal-asalan. Ada bagian dari kemampuan diri bawahan yang sengaja dia hilangkan akibat
pola kepemimpinan yang salah.
Kiranya apa yang telah dikemukan oleh Daniel Pink dalam bukunya “Drive” pantas untuk kita
jadikan bahan renungan bersama. Seorang pemimpin (leader) takkan akan ada artinya tanpa
bawahan. Ini sebuah fakta lapangan dan bukan bualan. Seorang leader atau pemimpin tidaklah
harus menjadi kotak-kotak yang mengekang bawahannya.
Maxwell menyimpulkan bahwa setiap orang masing-masing memengaruhi dan dipengaruhi orang
lain. Itu berarti bahwa semua orang memimpin dalam beberapa bidang, sementara dalam bidang
lain seseorang dipimpin. Ini yang harus kita sadari bersama. Dan tiap diri manusia terlahir dengan
segala keunikan masing-masing. Salah satu tanggungjawab utama seorang pemimpin adalah
mengembangkan orang lain untuk melakukan pekerjaan.
Seorang pemimpin hebat bukan hanya kekuasaan saja, tetapi karena kemampuannya memberikan
kekuatan kepada orang lain. Loyalitas kepada pemimpin mencapai puncak tertinggi ketika pengikut
secara pribadi tumbuh melalui bimbingan si pemimpin. Pemimpin merebut hati pengikutnya dengan
membantu bawahan tumbuh secara pribadi (Maxwell.1995:10). Kemampuan memimpin bukan
hanya suatu bakat sejak lahir, tetapi sesungguhnya merupakan kumpulan dari berbagai ketrampilan,
yang hampir seluruhnya dapat dipelajari serta ditingkatkan. Namun diperlukan suatu proses yang
tidak terjadi hanya dalam semalam, karena aspek kepemimpinan sangat banyak: kehormatan,
pengalaman, kekuatan, emosional, ketrampilan membina hubungan dengan sesama, disiplin, visi,
dan sebagainya.
Maxwell mengatakan bahwa pemimpin yang sukses adalah orang yang belajar, dimana proses
belajarnya berkelanjutan, sebagai hasil dari disiplin pribadi dan ketekunan. Jadi kepemimpinan
berjalan dari hari ke hari dimana sasaran setiap harinya haruslah menjadi sedikit lebih baik atau
membangun di atas kemajuan hari sebelumnya.
Seorang pemimpin dapat memperoleh kehormatan dengan mengambil keputusan-keputusan yang
mantap, mengakui kekeliruan-kekeliruan dan mendahulukan kepentingan para pengikut serta
organisasinya daripada diri sendiri. Dengan memberikan nilai tambah kepada hidup para pengikut
maka dengan sendirinya orang akan menghormati sang pemimpin (Maxwell, 2001:121-128).
Hingga pada akhirnya Maxwell menggambarkan bahwa kepemimpinan perlu untuk
mengembangkan orang lain, menjadikan orang lain pemimpin-pemimpin baru yang dapat
memimpin orang lain.
Jika seorang pemimpin dapat melahirkan pemimpin yang sama dengannya atau bahkan lebih besar
darinya maka pemimpin memiliki posisi yang tidak dapat tergantikan karena pemimpin telah
membantu orang lain mencapai sukses. Kunci dalam memberdayakan orang lain adalah keyakinan
yang besar terhadap orang lain. “Memperbesar orang lain akan memperbesar Anda,” itulah dampak
hukum pemberdayaan (Maxwell.2001:229).
Akhirul kata, kami mencoba merangkai beberapa potongan teori ini tidak dalam rangka
mendiskreditkan siapapun, sebagai bentuk berbagi dan saling mengingatkan di tengah kegalauan .
Ada kegalauan dan temuan yang menyatakan kejenuhan di tingkat pendampingan dimana gejalanya
semakin lama semakin menguat. Apa yang mesti kita hadapi bersama ke depannya menyikapi ini.
Semoga saja uraian singkat ini ada artinya buat kita bersama lebih khusus lagi buat diri kami
pribadi. [Sumbar]

Anda mungkin juga menyukai