HEMATEMESIS MELENA
PEMBIMBING
dr. Nikko Darnando, Sp.PD
Disusun oleh :
Muh. Kafabillah 1113103000087
Salsabila Firdausi 1113103000083
KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN EMERGENCY MEDICINE
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami
dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus ini yang berjudul “Hematemesis
melena”.
Makalah presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
dalam kepaniteraan klinik di stase Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada :
1. dr. Nikko Darnando, Sp.PD, selaku pembimbing makalah ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF IGD dan Penyakit Dalam Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Emergency Medicine Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah presentasi kasus ini masih
banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah presentasi kasus ini sangat kami
harapkan.
Demikian, semoga makalah presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam
bidang penyakit dalam.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dari
saluran cerna atas, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan batas
anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis,
melena, hematokezia, atau kombinasi.1
Secara klinis harus dibedakan perdarahan SCBA akibat varises dan non-
varises karena pengelolaannya akan berbeda. Penyebab tersering perdarahan
SCBA yaitu pecahnya varises esofagus akibat hipertensi porta, gastritis erosif,
ulkus peptikum, sindrom Mallory-Weiss, dan keganasan.2 Menurut European
Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) 2015, perdarahan SCBA
merupakan kondisi yang umum terjadi didunia dengan perkiraan insiden tiap
tahunnya 40-150 kasus per 100.000 populasi. Penyebab yang sering terjadi adalah
non-varises dengan ulkus peptikum 28-59% (ulkus duodenal 17%-37%, ulkus
gaster 11%-24%).3 Di Indonesia sendiri, berdasarkan studi retrospektif di RS
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2001-2005 sebanyak 20,15% mengalami
perdarahan SCBA. Ulkus peptikum 26,9% dan gastritis erosif 26,2%.1
Ulkus peptikum dan gastritis erosif memegang peranan penting pada
perdarahan SCBA. Perdarahan pada gastritis erosif dan ulkus peptikum dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID dalam jangka waktu lama sehingga penilaian
risiko dengan cepat, resusitasi, dan endoskopi dini diperlukan untuk penanganan
dini pada perdarahan yang hebat. Endoskopi yang dilakukan dalam 24 jam
pertama setelah hemodinamik stabil dapat mengurangi morbiditas, lamanya rawat
inap, dan risiko perdarahan berulang.4
Tulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai perdarahan saluran cerna
bagian atas non varises yang kemungkinan disebabkan oleh gastritis erosif karena
penggunaan NSAID serta contoh penerapan kasusnya.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1 Anamnesis
2.1.1 Identitas
No. RM : 01605747
Nama : Tn. S
Tanggal lahir : kuningan, 6 Maret 1962
Umur : 56 tahun
Agama : Islam
Alamat : Tangerang selatan
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : swasta
Status perkawinan : Menikah
Telinga Nyeri tekan tragus (-), normotia, liang telinga lapang, sekret-/-,
preauricular tag (-), preauricular sinus (-)
Hidung Napas cuping hidung -, conca oedema -/-, hiperemis -/-, sekret -/-
Anus RT; sfingter ani baik, mukosa licin, feses hitam (+), massa (-)
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2s, oedema peritibial bilateral -/-
2.3 Pemeriksaan Penunjang
2.3.1 Pemeriksaan Lab (30 mei 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 7,6 g/dl 13.2-17.3
Hematocrit 23 % 33-45
Leukosit 9300 Ribu/ul 5.0-10.0
Trombosit 252000 Ribu/ul 150-440
Eritrosit 2.77 Juta/ul 4.40-5.90
VER/HER/KHER/RDW
VER 88.8 Fl 80-100
HER 31.2 Pg 26-34
KHER 35.2 g/dl 32-36
RDW 15.4 % 11.5-14.5
FUNGSI HATI
ELEKTROLIT
Natrium 139 mmol/L 135-147
Kalium 3.65 mmol/L 3.5-5.0
Klorida 108 mmol/L 95-108
Golongan Darah O/Rhesus (+)
2.5 Penatalaksanaan
Pemasangan NGT
Nutrisi
Parenteral dgn IVFD RL 500 ml/8 jam dan aminofluid 500
ml/24 jam
Diet puasa 24 jam
2.7 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
3.1.2 Epidemiologi
3.1.3 Etiologi
3.1.4 Patofisiologi
a. Ulkus peptikum
Ulkus peptikum merupakan keadaan terputusnya kontinuitas
mukosa yang meluas di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan
mukosa hingga muskularis mukosa dengan garis tengah ≥ 5 mm dari
suatu daerah SCBA yang berhubungan dengan cairan asam
lambung/pepsin. Terjadinya ulkus peptikum merupakan hasil dari
ketidakseimbangan faktor pertahanan mukosa dengan faktor yang
menyebabkan kerusakan mukosa.
b. Gastritis erosif
Gambar 3.3 Potongan melintang lapisan gaster. (A) struktur normal (B) erosif
superfisial (C) erosif dalam (D) ulkus gaster akut (E) ulkus gaster kronik
c. Sindrom Mallory-Weiss
3.1.6 Diagnosis
Gambar 3.7 Stigmata perdarahan ulkus peptikum dari endoskopi. (A) Dasar bersih
(B) bintik pigmentasi (C) bekuan adheren (D) pembuluh darah visibel tidak
terdarah (E) perdarahan aktif memancar
3.1.7 Penatalaksanaan
target Hb 7-9 g/dl. Bila ada komorbid, target Hb harus lebih tinggi.3
transfusi dan ternyata efek ini tidak bertahan pada subgroup analysis.3
saluran cerna atas belum sepenuhnya diteliti. Selain itu, obat golongan PPI
dapat diberikan secara bolus 80 mg diikuti continous infusion (drip)
8mg/jam. Jika endoskopi tidak dilakukan atau ditunda, pemberian PPI ini
Pada stigmata risiko tinggi biasanya dirawat selama 3 hari bila tak
ada perdarahan ulang dan tak ada indikasi lain untuk rawat inap.
Pembedahan darurat atau embolisasi angiografi dilakukan bila perdarahan
memancar yang tak dapat dihentikan dengan endoskopi, titik perdarahan
yang tak terlihat oleh karena perdarahan aktif yang masif, dan bila
perdarahan berulang yang muncul setelah endoskopi teraupetik kedua.11
Endoskopi teraupetik (hemostasis) pada kasus esofagitis, gastritis,
duodenitis erosif tidak perlu dilakukan, pasien dapat dipulangkan dengan
pemberian PPI dosis tinggi. Pada kasus sindrom Mallory-Weiss dengan
perdarahan aktif dapat dihemostasis, namun bila tidak ada perdarahan aktif
diberikan PPI dosis tinggi saja.
Setelah dilakukan endoskopi teraupetik berupa hemostasis dan
pada stigmata bekuan darah yang tidak dihemostasis diperlukan PPI dosis
tinggi bolus yang dilanjutkan continous infusion 80 mg lalu 8mg/jam
selama 72 jam post endoscopy dan jika kondisinya memungkinkan, dapat
diberikan PPI oral.3
Gambar 3.10 Algoritma perdarahan saluran cerna bagian atas non variseal
3.1.8 Prognosis
Selain itu ada beberapa faktor risiko terkait dengan prognosis yang
buruk setelah kejadian perdarahan akibat ulkus peptikum yang apabila
terjadi maka klinisi harus lebih agresif dalam menentukan tatalaksana yang
tepat.
Gambar 3.12 Faktor risko yang menandakan prognosis buruk
3.1.9 Komplikasi
Gambar 3.14 Tabel risiko relatif perdarahan saluran cerna atas terkait NSAID
2. Sudoyo, Aru W. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing
3. Gralnek IM, Dumonceau JM, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS, Kurien M, et
al. Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal
hemorrhage: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE)
Guideline. Endoscopy. 2015;47(10):1-46.
6. Longo DL, Kasper DL, Jamenson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J,
editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: Mc
Graw Hill; 2012.
10. Nugraha DA. Diagnosis dan tatalaksana perdarahan saluran cerna bagian atas
non variseal. CDK 2017;44(5):323-27
36
11. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on
management of non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in Indonesia.
Acta Medica Indonesiana. 2014;46(2):163-71
15. Goldstein JL, Cryer B. Gastrointestinal injury associated with NSAID use: a
case study and review of risk factors and preventive strategies. Drug, Healthcare
and Patient Safety 2015;7:31-41
17. Panduan praktis klinis (PPK) bagi dokter di fasilitas kesehatan primer. IDI; 2014
27