Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

HEMATEMESIS MELENA

PEMBIMBING
dr. Nikko Darnando, Sp.PD

Disusun oleh :
Muh. Kafabillah 1113103000087
Salsabila Firdausi 1113103000083

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN EMERGENCY MEDICINE
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-nya kami
dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus ini yang berjudul “Hematemesis
melena”.
Makalah presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
dalam kepaniteraan klinik di stase Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati Jakarta.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini,
terutama kepada :
1. dr. Nikko Darnando, Sp.PD, selaku pembimbing makalah ini.
2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF IGD dan Penyakit Dalam Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Emergency Medicine Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah presentasi kasus ini masih
banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah presentasi kasus ini sangat kami
harapkan.
Demikian, semoga makalah presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama dalam
bidang penyakit dalam.

Jakarta, Juni 2018

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dari
saluran cerna atas, mulai dari esofagus sampai dengan duodenum (dengan batas
anatomik di ligamentum Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis,
melena, hematokezia, atau kombinasi.1
Secara klinis harus dibedakan perdarahan SCBA akibat varises dan non-
varises karena pengelolaannya akan berbeda. Penyebab tersering perdarahan
SCBA yaitu pecahnya varises esofagus akibat hipertensi porta, gastritis erosif,
ulkus peptikum, sindrom Mallory-Weiss, dan keganasan.2 Menurut European
Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE) 2015, perdarahan SCBA
merupakan kondisi yang umum terjadi didunia dengan perkiraan insiden tiap
tahunnya 40-150 kasus per 100.000 populasi. Penyebab yang sering terjadi adalah
non-varises dengan ulkus peptikum 28-59% (ulkus duodenal 17%-37%, ulkus
gaster 11%-24%).3 Di Indonesia sendiri, berdasarkan studi retrospektif di RS
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2001-2005 sebanyak 20,15% mengalami
perdarahan SCBA. Ulkus peptikum 26,9% dan gastritis erosif 26,2%.1
Ulkus peptikum dan gastritis erosif memegang peranan penting pada
perdarahan SCBA. Perdarahan pada gastritis erosif dan ulkus peptikum dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID dalam jangka waktu lama sehingga penilaian
risiko dengan cepat, resusitasi, dan endoskopi dini diperlukan untuk penanganan
dini pada perdarahan yang hebat. Endoskopi yang dilakukan dalam 24 jam
pertama setelah hemodinamik stabil dapat mengurangi morbiditas, lamanya rawat
inap, dan risiko perdarahan berulang.4
Tulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai perdarahan saluran cerna
bagian atas non varises yang kemungkinan disebabkan oleh gastritis erosif karena
penggunaan NSAID serta contoh penerapan kasusnya.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1 Anamnesis
2.1.1 Identitas
No. RM : 01605747
Nama : Tn. S
Tanggal lahir : kuningan, 6 Maret 1962
Umur : 56 tahun
Agama : Islam
Alamat : Tangerang selatan
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : swasta
Status perkawinan : Menikah

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 30 mei 2018


pukul 11.00.
2.1.2 Keluhan utama
BAB Hitam sejak 1 hari SMRS

2.1.3 Riwayat penyakit sekarang


Pasien laki-laki 56 th datang ke IGD fatmawati dengan keluhan
BAB hitam sejak 1 hari SMRS, BAB berwarna hitam pekat seperti aspal,
cair, tidak ada ampas, BAB sebanyak 1 kali dengan volume + 2 gelas.
Pasien mengaku mengalami BAB berdarah sejak seminggu yang lalu,
namun sempat tidak BAB berdarah lagi selama 2-3 hari SMRS. Muntah
darah juga dialami oleh pasien dengan warna hitam sebanyak 2 kali.
Sebelumnya pasien mengaku mengkonsumsi obat montalin untuk
meredakan sakit di lutut kanannya sejak 6 bulan SMRS.
Saat ini pasien mengelukan badan dirasakan lemas diseluruh tubuh,
riwayat lemah sesisi dan bicara pelo disangkal. Nafsu makan berkurang,
dikatakan pasien merasa hambar di mulut dan sering mual-mual yang
membuat pasien tidak nafsu makan. Berat badan dikatakan tidak
menurun.
Pasien juga mengeluhkan sakit kepala dan nyeri di ulu hati, terasa
begah. Keluhan batuk, demam dan sesak nafas disangkal.
2.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit yang serupa sebelumnya.
Riwayat asma disangkal. Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat-
obatan. Riwayat sakit jantung disangkal, riwayat sakit ginjal disangkal,
riwayat sakit kuning disangkal.

2.1.5 Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada keluhan yang serupa dikeluarga. Riwayat Penyakit
jantung, paru-paru, ginjal, dan keganaan di keluarga disangkal

2.1.6 Riwayat sosial dan kebiasaan


Pasien perokok aktif sejak usia 20 tahun, 1/2 bungkus/hari.
Konsumsi alkohol disangkal. Riwayat penggunaan obat-obatan dengan
jarum suntik disangkal. Pola makan tidak teratur, minum air putih sekitar
1,5 L/hari.

2.2 Pemeriksaan Fisik


2.2.1 Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 76 kg
TB : 166 cm
BMI : 27,63 kg/m2
Keadaan Gizi : Obesitas grade 1
Cara bicara : Aktif dan jelas
Sikap dan watak : Kooperatif

2.2.2 Tanda Vital


 Tekanan Darah : 104/76 mmHg
 Nadi : 75x/menit, irama reguler, isi cukup
 Pernapasan : 20x/menit
 Suhu : 36,5ºC
2.2.3 Status Generalis
ORGAN HASIL PEMERIKSAAN
Kepala Normosefal, rambut putih beruban, merata, tidak mudah dicabut
Mata Alis +/+, bulu mata +/+, konjungtiva pucat +/+, sklera tidak ikterik,

Telinga Nyeri tekan tragus (-), normotia, liang telinga lapang, sekret-/-,
preauricular tag (-), preauricular sinus (-)
Hidung Napas cuping hidung -, conca oedema -/-, hiperemis -/-, sekret -/-

Mulut Mukosa tampak basah, oral ulcer -, lidah kotor -

Tenggorok Uvula ditengah, faring hiperemis -/-, tonsil T1/T1

Leher Trakea di tengah


KGB sub mentalis membesar: -
KGB sub mandibularis membesar: -/-
KGB supraklavikula membesar: -/-
KGB infraklavikula membesar: -/-
Kelenjar Tiroid membesar: -/-
Jantung Inspeksi: ictus kordis tidak terlihat
Palpasi: ictus cordis teraba pada ICS V MCS 2 Jari Medial
Perkusi: - batas jantung kanan ICS IV parasternal dextra
- batas jantung kiri ICS V MCS 2 Jari Medial
- pinggang jantung ICS III parasternal sinistra
Auskultasi: S1-S2 Normal, murmur -, gallop -
Paru Inspeksi: pergerakan dada simetris statis dan dinamis, retraksi sela iga -
Palpasi: vocal fremitus normal
Perkusi: sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen Inspeksi: datar
Auskultasi: BU normal
Palpasi: nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba besar,
asites –
Perkusi: timpani di seluruh lapang abdomen
Punggung Nyeri ketok CVA -/-

Anus RT; sfingter ani baik, mukosa licin, feses hitam (+), massa (-)
Ekstremitas Akral hangat, CRT < 2s, oedema peritibial bilateral -/-
2.3 Pemeriksaan Penunjang
2.3.1 Pemeriksaan Lab (30 mei 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 7,6 g/dl 13.2-17.3
Hematocrit 23 % 33-45
Leukosit 9300 Ribu/ul 5.0-10.0
Trombosit 252000 Ribu/ul 150-440
Eritrosit 2.77 Juta/ul 4.40-5.90
VER/HER/KHER/RDW
VER 88.8 Fl 80-100
HER 31.2 Pg 26-34
KHER 35.2 g/dl 32-36
RDW 15.4 % 11.5-14.5
FUNGSI HATI

SGOT 17 U/I 0-34


SGPT 38 U/I 0-40
FUNGSI GINJAL

Ureum darah 62 Mg/dl 20-40


Kreatinin darah 0.8 Mg/dl 0.6-1.5
Diabetes

Gula Darah Sewaktu 73 Mg/dl 70-140

ELEKTROLIT
Natrium 139 mmol/L 135-147
Kalium 3.65 mmol/L 3.5-5.0
Klorida 108 mmol/L 95-108
Golongan Darah O/Rhesus (+)

2.3.2 EKG (30 mei 2018)


Sinus rythm, HR 88x/menit, normoaksis, gelombang P normal, PR interval 0,1 s,
QRS kompleks 0,05 s, ST segmen : tidak ada kelainan, gelombang T tidak ada
kelainan, LVH (-), RVH (-), LBBB (-), RBBB (-).
Kesan dalam batas normal

2.4 Daftar masalah dan Diagnosis


1. Anemia ec. GI bleeding
2. Hematemesis melena ec ulkus peptikum dd/PVO

2.5 Penatalaksanaan

Resusitasi awal A: airway clear

B: pasang saturasi oksigen, RR 20x/ menit, pemberian 02 2


lpm, bunyi napas tambahan (-). penggunaan otot bantu nafas
(-)

C : nadi 76x/m, TD 104/66 mmHg, pasang akses IV dan


kateter urin

Non-farmakologi Rawat inap


Stabilisasi dan monitoring ABC, tanda vital

Pemasangan NGT

Nutrisi
Parenteral dgn IVFD RL 500 ml/8 jam dan aminofluid 500
ml/24 jam
Diet puasa 24 jam

2.5.1 Rencana Diagnosis:


Laboratorium : Hemostasis (PT, APTT), Analisis feses
Radiologi : rontgen thorax AP lateral
Penunjang : EGD

2.5.2 Rencana Terapi:


Medikamentosa:
 Omeprazole 3x40 mg IV
 Ceftriaxone 1x2 gr iv
 Transamin 3x500 mg
 Somatostatin 1 amp dalam 50 cc, 250 mg bolus lanjut 250 mg/jam
 Transfusi PRC, target Hb 10

2.7 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

3.1.1 Definisi

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan


darah dari saluran cerna atas, mulai dari esofagus sampai dengan
duodenum (dengan batas anatomik di ligamentum Treitz), dengan
manifestasi klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia, atau
kombinasi.1 Hematemesis merupakan muntahan darah segar atau seperti
kopi karena asam lambung mengubah hem menjadi hematin asam warna
coklat. Melena merupakan tinja yang berwarna hitam. Hematokezia
merupakan tinja berwarna merah segar dapat terjadi pada SCBA bila
perdarahan cepat dan banyak biasanya disertai syok.2,4

3.1.2 Epidemiologi

Menurut European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE)


2015, perdarahan SCBA merupakan kondisi yang umum terjadi didunia
dengan perkiraan insiden tiap tahunnya 40-150 kasus per 100.000
populasi. Penyebab yang sering terjadi adalah non-varises dengan ulkus
peptikum 28-59% (ulkus duodenal 17%-37%, ulkus gaster 11%-24%)
penyakit erosif pada mukosa esofagus/gaster/duodenum 1%-47%, sindrom

Mallory-Weiss 4%-7%, dan keganasan 2%-4%.3

Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan distribusi data lama yang


menyebutkan lebih kurang 70% penyebab perdarahan SCBA adalah
pecahnya varises esofagus. Namun demikian, diperkirakan adanya
peningkatan pelayanan terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya
populasi usia lanjut maka proporsi perdarahan akibat ulkus peptikum akan
bertambah. Berdasarkan studi retrospektif pada 4.154 pasien yang
menjalani endoskopi selama tahun 2001-2005 di Pusat Endoskopi
RS.Cipto Mangunkusummo Jakarta sebanyak 20,15% mengalami
perdarahan SCBA. Ulkus peptikum 26,9%, dan gastritis erosif 26,2%.1
Perdarahan ulkus peptikum dapat terjadi akibat infeksi H.pylori
dan penggunaan NSAID jangka lama. Dalam studi metanalisis 16 studi atas
1633 pengguna NSAID, penggunaan NSAID meningkatkan risiko
perdarahan SCBA (OR=4,8) dan risiko meningkat bila disertai dengan
infeksi H.pylori (OR=6,1).5

3.1.3 Etiologi

Penyebab terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas


diantaranya dapat berupa varises esofagus, ulkus peptikum, gastritis,
sindrom Mallory-Weiss, keganasan, dan malformasi artervena.

Diagnosis Gambaran klinis


Perdarahan ulkus peptikum Riwayat konsumsi aspirin atau NSAID sehingga
(PUP) timbul nyeri perut, nyeri berkurang dengan makan,
timbul gejala di malam hari, riwayat PUP atau infeksi
H.pylori
Gastritis erosif dan duodenitis Sama dengan perdarahan ulkus peptikum
Varises esofagus Riwayat sirosis hepatis dan hipertensi porta
Sindrom Mallory-Weiss Riwayat muntah-muntah berulang
Keganasan Riwayat BB turun, merokok, alkohol; umumnya pada
orang Asia
Malformasi arterivena Perdarahan yang tidak nyeri pada pasien usia lanjut
(>70 tahun), riwayat anemia defisiensi besi

Gambar 3.1 Tabel penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas

Sumber: Wilkins T, et al, 2012

3.1.4 Patofisiologi

a. Ulkus peptikum
Ulkus peptikum merupakan keadaan terputusnya kontinuitas
mukosa yang meluas di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan
mukosa hingga muskularis mukosa dengan garis tengah ≥ 5 mm dari
suatu daerah SCBA yang berhubungan dengan cairan asam
lambung/pepsin. Terjadinya ulkus peptikum merupakan hasil dari
ketidakseimbangan faktor pertahanan mukosa dengan faktor yang
menyebabkan kerusakan mukosa.

Sistem pertahanan mukosa terbagi menjadi lini pertama, lini


kedua, dan lini ketiga. Pertahanan lini pertama berupa lapisan
mukus/bikarbonat. Mukus disekresikan oleh sel epitel perumakan
gastroduodenal yang mengandung air dan campuran lipid-
glikoprotein(musin), sedangkan bikarbonat bersifat basa melindungi
gaster dari pH lumen 1-2. Pertahanan lini kedua berupa mekanisme sel
epithelial, fungsi perlindungan membran plasma apikal, dan proses
pengeluaran asam. Adanya sel epitel ini akan menjaga tight junction
intraseluler. Prostaglandin merupakan turunan dari asam arakidonat yang
dibentuk dari membran fosfolipid oleh aktivasi enzim fosfolipase A2.

Gambar 3.2 Komponen pertahanan gaster

Sumber: Longo, Kasper, et al, 2012

Asam arakidonat dengan bantuan enzim COX (1 dan 2) akan membantu


sintesis prostaglandin yang kemudian dibawa oleh aliran darah ke mukosa
gaster dan membantu pelepasan bikarbonat-mukus, hambat serkresi sel
parietal, dan menjaga aliran darah mukosa. Sedangkan pertahanan lini
ketiga berupa subepitel terkait dengan aliran darah yang dapat
menyediakan bikarbonat sebagai penetral asam lambung.
Adanya infeksi H.pylori pada gaster menyebabkan struktur bakteri
akan menempel pada epitel gaster dan menimbulkan proses inflamasi yang
akan melepaskan sitokin-sitokin (TNF alfa, IFN gamma, IL-8) yang akan
menghambat sel D sehingga produksi somastatin meningkat,
meningkatkan aktivitas sel G sehingga peningkatan gastrin dan stimulasi
sel parietal sehingga asam lambung meningkat. Peningkatan asam
lambung ini akan merusak lapisan pertahanan lambung. Selain itu, adanya
faktor bakteri seperti urease yang menghasilkan amonia akan merusak sel
epitel gaster yang apabila kerusakannya dalam dapat mencetuskan
terjadinya ulkus gaster. Proses terjadinya ulkus duodenal akibat infeksi
H.pylori belum sepenuhnya dimengerti. Ada teori yang mengatakan bahwa
metaplasia sel gaster pada duodenum menyebabkan bakteri tersebut ada
pada duodenum dan menyebabkan kerusakan. Teori lain menyebutkan
bahwa infeksi bakteri pada antrum mencetukan peningkatan produksi
asam, peningkatan asam duodenum, dan kerusakan mukosa.6
Terjadinya ulkus peptikum ini akan menyebabkan kerusakan pada
vaskular sehingga mudah terjadi perdarahan. Selain akibat infeksi bakteri,
dapat pula terjadi akibat konsumsi NSAID yang akan dijelaskan pada
subbab selanjutnya.

b. Gastritis erosif

Gastritis erosif terjadi apabila kerusakan pada lapisan gaster


hanya terbatas sampai mukosa saja, tidak melewati lapisan muskularis
mukosa. Erosif terbentuk akibat kerusakan epitel yang melebihi
kemampuan regenerasi epitel. Kerusakan epitel ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya yaitu asam lambung, NSAID, alkohol, akibat
pajanan bahan kimia, akibat hemostasis endoskopi, dan akibat
pemasangan NGT.7 Untuk mekanisme terjadinya perdarahan pada
gastritis erosif sama dengan pada ulkus peptikum.

Gambar 3.3 Potongan melintang lapisan gaster. (A) struktur normal (B) erosif
superfisial (C) erosif dalam (D) ulkus gaster akut (E) ulkus gaster kronik

Sumber: Toljamo K, 2012

c. Sindrom Mallory-Weiss

Merupakan robekan pada mukosa gaster dekat dengan


squamocolumnar mucosal junction. Robekan ini terjadi akibat riwayat
muntah-muntah yang berulang, batuk-batuk yang kuat. Akibat robekan
mukosa ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah sehingga
risiko terjadinya perdarahan saluran cerna. Pada beberapa pasien dapat
dengan derajat berat, namun pada kebanyakan pasien perdarahan

berhenti secara spontan.6

3.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada perdarahan SCBA berupa hematemesis


(muntah darah warna segar atau warna seperti kopi), melena (tinja
berwarna hitam, lembek, lengket, terkadang berbau khas), atau kombinasi
keduanya. Warna hitam pada tinja disebabkan oleh besi sulfida yang
dibentuk oleh kerja bakteri kolon pada hem. Hematoskezia (tinja berwarna
merah segar) dapat terjadi pada perdarahan SCBA bila perdarahannya
cepat dan banyak melebihi 1000 ml biasanya disertai dengan hemodinamik
tidak stabil atau syok.2,4
Selain itu dapat disertai gejala dan tanda berupa mual, cepat lelah,
lemas, pusing, sesak napas, nyeri perut, pucat, takikardi, hipotensi hingga
syok bila perdarahan berat. Namun dapat pula penderita tidak sadar akan
adanya perdarahan yang terjadi pada saluran cernanya, ini disebut dengan
darah samar. Dapat dilakukan pemeriksaan darah samar tinja.8,9

3.1.6 Diagnosis

Dalam diagnosis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis perlu ditanyakan onset terjadinya
perdarahan dan perkiraan darah yang keluar, apakah sebelumnya ada
riwayat perdarahan, riwayat perdarahan dalam keluarga, ada tidaknya
perdarahan pada bagian tubuh lain, apakah mengkonsumsi obat-obatan
seperti NSAID, antikoagulan, tablet besi, apakah ada kebiasaan konsumsi
alkohol, mencari tahu kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam
berdarah, gagal ginjal kronik, diabetes mellitus, hipertensi, dan ditanyakan
riwayat transfusi sebelumnya. Dari anamnesis juga perlu dibedakan
apakah perdarahannya berasal dari saluran cerna atas atau bawah.

Dari pemeriksaan fisik, perhatikan tanda-tanda hemodinamiknya


stabil atau tidak. Jika hemodinamik tak stabil seperti hipotensi, takikardi,
CRT>2s, akral dingin yang kearah syok, perlu dilakukan penanganan
gawat darurat dan resusitasi terlebih dahulu. Anamnesis dan pemeriksaan
fisik dapat dilanjutkan bila kondisi stabil. Selain itu, dari pemeriksaan fisik
juga perlu dicari apakah konjungtiva tampak anemis, sklera ikterik atau
tidak, stigmata penyakit hati kronik (asites, eritema palmaris, spider navy,
kaput medusae, ikterik), dan nyeri tekan pada abdomen. Pemeriksaan
digital rektum juga dapat dilakukan untuk memastikan keterangan
melena.2 Pada pemeriksan penunjang diperlukan darah perifer lengkap,
fungsi hati, fungsi ginjal (BUN/ureum dapat meningkat pada perdarahan
SCBA karena pemecahan darah oleh kuman usus akan meningkat),
elektrolit, crossmatch dan tes golongan darah untuk persiapan transfusi.2
Pemeriksaan darah samar tinja perlu dilakukan pada kemungkinan
perdarahan yang tidak terlihat. Pemasangan selang nasogastrik dapat
dilakukan untuk menentukan apakah berasal dari saluran cerna atas atau
bawah. Jika berisi empedu dan tidak mengandung darah, perdarahan
mungkin sudah berhenti atau perdarahan berasal dari saluran cerna bagian
bawah.9 Namun, pemasangan selang nasogastrik tidak rutin dilakukan.
Memang pada beberapa kasus menuntun terapi, tetapi tindakan ini tidak
dianjurkan sebagai alat diagnostik perdarahan SCBA karena memiliki
sensitivitas rendah dan likelihood ratio rendah.10

Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB


Manifestasi Klinik Hematemesis dan atau Hemoskezia
Umumnya melena
Aspirasi nasogastric Berdarah Jernih
Rasio (BUN/kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

Gambar 3.4 Tabel perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB

Sumber: Sudoyo A, 2013

Gambar 3.5 Tabel lokasi saluran cerna dan tipe perdarahannya


Sumber: American College of Gastroenterology, 2012
Endoskopi merupakan standar baku diagnosis perdarahan SCBA.
Tidak hanya menentukan diagnosis dan menentukan stigmata perdarahan,
tetapi juga dapat sebagai tindakan hemostasis. Pentingnya stigmata ini
untuk menentukan risiko perdarahan berulang dengan Klasifikasi stigmata
Forrest. Risiko tinggi perdarahan berulang 90% pada perdarahan aktif,
50% pada pembuluh darah visibel tidak berdarah, dan 33% pada bekuan
darah.

Gambar 3.6 Klasifikasi Forrest

Sumber: Nugraha DA, 2017

Gambar 3.7 Stigmata perdarahan ulkus peptikum dari endoskopi. (A) Dasar bersih
(B) bintik pigmentasi (C) bekuan adheren (D) pembuluh darah visibel tidak
terdarah (E) perdarahan aktif memancar

Sumber: Longo, Kasper, et al, 2012


Gambar 3.8 Skor Blatchford

Sumber: Nugraha DA, 2017

Terdapat juga skor Blatchford untuk memprediksi perlunya rawat


inap dan intervensi (transfusi, terapi endoskopi, atau pembedahan). Skor 0
pasien dapat pulang dan tidak memerlukan intervensi. Skor 1 atau lebih
termasuk risiko tinggi.10

3.1.7 Penatalaksanaan

Pengelolaan awal pada perdarahan saluran cerna bagian atas non


variseal adalah fokus pada status hemodinamiknya karena merupakan
termasuk dalam kasus gawat darurat. Dari status hemodinamiknya kita
evaluasi apakah ada tanda-tanda syok seperti tekanan darah rendah atau
hanya perpalpasi, takikardi atau nadi tak teraba, akral dingin, takipnea,
kesadaran menurun, dan produksi urin yang menurun. Jika ditemukan
tanda-tanda tersebut, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pasang infus
cairan kristaloid dengan jarum diameter besar dan ambil sampel darah
untuk pemeriksaan laboratorium (darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal,
PT/APTT) serta tes golongan darah dan crossmatch untuk kebutuhan
transfusi darah.2 Transfusi darah bergantung dari klinis dan tanda vital
pasien, biasanya dilakukan pada Hb ≤ 7 g/dl kecuali bila perdarahan masif,
penyakit janutng koroner, hipotensi, takikardi, dan usia lanjut.2 Denga

target Hb 7-9 g/dl. Bila ada komorbid, target Hb harus lebih tinggi.3

Pemasangan NGT dilakukan pada perdarahan yang diduga masih


berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT ini bertujuan
untuk cegah aspirasi, dekompresi gaster, dan menilai perdarahan sehingga

tidak semua pasien dilakukan pemasangan NGT.11

Dalam pengelolaan pre-endoscopy, pemberian vitamin K dapat


digunakan sebagai terapi emipirik pada kasus ini mengingat vitamin K

merupakan kofaktor dari faktor koagulasi.2 Berdasarkan European Society

of Gastroenterology Endoscopy (ESGE 2015), pemberian asam


traneksamat sebagai antifibrinolitik tidak direkomendasikan. Metanalasis
Cochrane mengevaluasi penggunaan asam traneksamat menunjukan efek
bermanfaat terhadap mortalitas dibandingkan dengan plasebo, tetapi tidak
pada pasien dengan outcomes perdarahan, pebedahan, atau kebutuhan

transfusi dan ternyata efek ini tidak bertahan pada subgroup analysis.3

Meskipun asam traneksamat efektif untuk mengurangi perdarahan


pada bagian tubuh lain, diduga juga dapat memberikan efek positif
terhadap sistem gastrointestinal. Namun, tetap dibutuhkan penelitian lebih
lanjut tentang peran asam traneksamat terhadap kondisi perdarahan ulkus

peptikum.12 Oleh karena itu, peran asam traneksamat terhadap perdarahan

saluran cerna atas belum sepenuhnya diteliti. Selain itu, obat golongan PPI
dapat diberikan secara bolus 80 mg diikuti continous infusion (drip)
8mg/jam. Jika endoskopi tidak dilakukan atau ditunda, pemberian PPI ini

juga dapat mengurangi perdarahan lanjut.3,13

Endoskopi dini perlu dilakukan dalam 24 jam pertama. Endoskopi


sangat dini (< 12 jam) dilakukan bila pada hemodinamik yang tidak stabil,
muntah darah, atau darah segar pada NGT. Pada pasien dengan
hemodinamik stabil dan tanpa faktor komorbid dapat terlebih dahulu di

endoskopi sebelum pasien dipulangkan.11

Endoskopi teraupetik pada perdarahan ulkus peptikum bergantung


dari jenis stigamatanya.
Tujuannya adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dan mencegah
perdarahan berulang. Teknik yang digunakan dapat berupa injeksi, ablasi,
dan mekanik. Seperti bagan dibawah ini.

Gambar 3.9 Algoritma endoskopi teraupetik pada ulkus peptikum

Sumber: ESGE, 2015

Pada stigmata risiko tinggi biasanya dirawat selama 3 hari bila tak
ada perdarahan ulang dan tak ada indikasi lain untuk rawat inap.
Pembedahan darurat atau embolisasi angiografi dilakukan bila perdarahan
memancar yang tak dapat dihentikan dengan endoskopi, titik perdarahan
yang tak terlihat oleh karena perdarahan aktif yang masif, dan bila
perdarahan berulang yang muncul setelah endoskopi teraupetik kedua.11
Endoskopi teraupetik (hemostasis) pada kasus esofagitis, gastritis,
duodenitis erosif tidak perlu dilakukan, pasien dapat dipulangkan dengan
pemberian PPI dosis tinggi. Pada kasus sindrom Mallory-Weiss dengan
perdarahan aktif dapat dihemostasis, namun bila tidak ada perdarahan aktif
diberikan PPI dosis tinggi saja.
Setelah dilakukan endoskopi teraupetik berupa hemostasis dan
pada stigmata bekuan darah yang tidak dihemostasis diperlukan PPI dosis
tinggi bolus yang dilanjutkan continous infusion 80 mg lalu 8mg/jam
selama 72 jam post endoscopy dan jika kondisinya memungkinkan, dapat
diberikan PPI oral.3

Gambar 3.10 Algoritma perdarahan saluran cerna bagian atas non variseal

Sumber: The Indonesian Society of Gastroenterology, 2014


Tes H.pylori direkomendasikan pada pasien dengan perdarahan
ulkus peptikum. Uji diagnostiknya memiliki nilai prediksi negatif rendah
pada perdarahan SCBA akut dikarenakan kesulitan untuk melakukan
biopsi atau ketidakakuratan uji pada lingkungan alkalin yang disebabkan
oleh darah sehingga perlu diulang pemeriksaannya. Jika hasil positif, maka
diberikan terapi tripel selama 1 minggu. Bila terapi gagal mengeradikasi
H.pylori, maka perlu diebrikan terapi lini kedua. Bila eradikasi berhasil,
PPI dapat dihentikan, namun tetap dilanjutkan pada pengguna NSAID.
Pada pasien ulkus idiopatik (non H.pylori, non NSAID) perlu terapi PPI
jangka panjang.10,11

3.1.8 Prognosis

Terdapat Skor Rockall untuk menilai prognosis risiko kematian


berdasarkan usia, hemodinamik, komorbid, dan temuan endoskopi. Skor ≤
2 risiko rendah, 3-7 risiko sedang, dan ≥ 8 risiko tinggi.

Gambar 3.11 Skor Rockall

Sumber: Nugraha DA, 201710

Selain itu ada beberapa faktor risiko terkait dengan prognosis yang
buruk setelah kejadian perdarahan akibat ulkus peptikum yang apabila
terjadi maka klinisi harus lebih agresif dalam menentukan tatalaksana yang
tepat.
Gambar 3.12 Faktor risko yang menandakan prognosis buruk

Sumber: The Indonesian Society of Gastroenterology, 2014

3.1.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi akibat perdarahan saluran cerna


bagian atas non varises diantaranya adalah syok hipovolemik akibat
hilangnya darah. Kemudian dapat terjadi gagal ginjal akut akibat perfusi
yang menurun sehingga kompensasi dengan aktivasi sistem renin
angiotensin aldosteron yang menyebabkan vasokonstriksi dan retensi
garam serta cairan sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus.
Selain itu dapat terjadi gagal multiorgan dan berakhir dengan kematian.1

3.2 Hubungan NSAID dengan Gastritis erosif dan ulkus peptikum

NSAID (non steroidal anti inflammatory drugs) merupakan obat anti


inflamasi dan analgetik yang umum digunakan. Mekanisme kerja NSAID dengan
menghambat enzim siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) sehingga dikenal
dengan penghambat COX-1, penghambat COX-2, atau COX nonselektif. Pada
penghambat COX-1 akan menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin
sehingga fungsi proteksi mukosa gastroduodenal menurun yang menyebabkan
penurunan sekresi mukus-bikarbonat.
Gambar 3.13 Mekanisme kerja NSAID. TXA2 tromboksan A2
PGE2 prostaglandin. PGI1 prostasiklin

Sumber: Longo, Kasper, et al, 2012

Penurunan mukus-bikarbonat ini akan menyebabkan lingkungan lumen


gaster menjadi asam, merusak mukosa, rentan terbentuknya erosi hinga ulkus, dan
risiko terjadinya perdarahan. Hal ini merupakan komplikasi akibat penggunaan
NSAID jangka lama. Pada beberapa obat NSAID ternyata memiliki persentase
risiko kemungkinan perdarahan dalam tingkat yang berbeda seperti tabel di bawah
ini. Tabel tersebut menunjukan bila risiko penggunaan piroksikam (RR 9,3) dan
ketorolak (RR 14) untuk terjadinya perdarahan SCBA lebih besar daripada
penggunaan ibuprofen (RR 2,7).5

Gambar 3.14 Tabel risiko relatif perdarahan saluran cerna atas terkait NSAID

Sumber: Wilkins T, et al, 2012


Sedangkan pada penghambat COX-2 lebih rendah risiko terjadinya ulkus
dikarenakan prostaglandin yang diproduksi dari COX-1 tidak dihambat sehingga
integritas mukosa tetap terjaga. Tetapi tidak menutupi kemungkinan bahwa COX-
1 juga dapat dihambat. Pemberian PPI/antagonis histamin-2 dengan NSAID
dilaporkan juga memberikan hasil yang efektif untuk mengurangi gejala dispepsia
dan komplikasi akibat NSAID.14,15 Adapun faktor risiko yang dapat meningkatkan
komplikasi gastrointestinal akibat penggunaan NSAID yaitu usia > 60 tahun,
infeksi H.pylori, pasien yang melakukan hemodialisis, konsumsi dosis tinggi atau
multipel NSAID, riwayat luka pada saluran cerna atas, pengguna antikoagulan,
dan pengguna kortikosteroid.15
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus nasional
penatalaksanaan perdarahan saluran cerna non varises di Indonesia. PGI.
2012

2. Sudoyo, Aru W. 2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta:
Interna Publishing

3. Gralnek IM, Dumonceau JM, Kuipers EJ, Lanas A, Sanders DS, Kurien M, et
al. Diagnosis and management of nonvariceal upper gastrointestinal
hemorrhage: European Society of Gastrointestinal Endoscopy (ESGE)
Guideline. Endoscopy. 2015;47(10):1-46.

4. Jain V, Argarwal PN, Singh R, et al. Management of upper gastrointestinal


bleed. MAMC J of Med Sciences 2015;1(2):1-39

5. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR. Diagnosis and management of


upper gastrointestinal bleeding. Am Fam Physician 2012;85(5):469-76

6. Longo DL, Kasper DL, Jamenson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J,
editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: Mc
Graw Hill; 2012.

7. Toljamo K. Gastric erosions - clinical significance and pathology, a long term


follow up study. Acta Univ Oul, 2012

8. American College of Gastoenterology. Understanding ulcers, NSAIDs, and


GI bleeding. ACG, 2012

9. National Institutes of Health. Bleeding in the digestive tract. 2010

10. Nugraha DA. Diagnosis dan tatalaksana perdarahan saluran cerna bagian atas
non variseal. CDK 2017;44(5):323-27

36
11. The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on
management of non-variceal upper gastrointestinal tract bleeding in Indonesia.
Acta Medica Indonesiana. 2014;46(2):163-71

12. Saidi H, Shojaie S, Ghavami Y, et al. Role of intragastric tranexamic acid in


management of acute upper gastrointestinal bleeding. IIOABJ 2017;8(1):76-81

13. Laine L, Jensen DM. Management of patients with ulcer bleeding. Am J


Gastroenterol. 2012;107:345- 60

14. Sostres C, Gargallo CJ, Lanas A. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and


upper and lower gastrointestinal mucosal damage. Arthritis Research&Therapy
2013;15(3):1-8

15. Goldstein JL, Cryer B. Gastrointestinal injury associated with NSAID use: a
case study and review of risk factors and preventive strategies. Drug, Healthcare
and Patient Safety 2015;7:31-41

16. Soegondo S, Gustaviani R. Diabetes Melitus. In: Sudoyo AW, Setyohadi B,


Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S.(Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
6, Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2014; 2315-2432.

17. Panduan praktis klinis (PPK) bagi dokter di fasilitas kesehatan primer. IDI; 2014

27

Anda mungkin juga menyukai