Anda di halaman 1dari 2

Pisau Berkarat

Darah bercerceran di mana-mana, barang-barang, buku, baju, celana, meja, kursi, semuanya
berantakan, berhamburan. Di luar hujan deras, angin menerbangkan segala benda, sesekali
semburat petir meludahi wajah langit, bias cahayanya bahkan terlihat di balik kaca jendela. “A-apa
yang-yang kau i-inginkan?” suara Radit tersengal-sengal, napasnya tak beraturan, ia duduk
bersandar di sudut ruangan dapur di dekat alat-alat memasak, darah sudah membanjiri bajunya.
Lelaki yang mengenakan topeng itu mendekat lagi mengarahkan pisau berkarat yang ia pegang
tepat di punggung hidung Radit.

Napas lelaki itu bahkan semakin menggebu, ia seperti harimau kelaparan yang sedang mengepung
kijang patah kaki. Radit tak berdaya, hanya diam menanti malaikat maut datang di ujung pisau
berkarat itu, napasnya tersengal bahkan untuk mengelap keringat bercampur darah yang mengucur
di pelipisnya pun ia tak sempat. “A-apa salah saya, jika-jika kau ingin mengambil hartaku, ambil
saja, tapi jangan ambil nyawaku..” Radit menghembuskan napas, mendengus sepelan mungkin.
Lelaki itu mendekat, jongkok lalu mengarahkan bibirnya yang tertutup topeng ke arah telinga Radit,
“aku bukan butuh harta, aku butuh nyawa. Nyawa pecundang..” Radit bergidik, menelan ludah yang
kini terasa pahit. Nyawaku sudah di ujung tanduk, batinnya.

Hujan di luar semakin deras, berkali-kali petir menerangi kolong langit seper sekian detik. Jalanan di
dekat rumah Radit lengang, siapa pula yang akan ke luar saat tengah malam, hujan deras. Lebih
baik menarik selimut bermain di dalam mimpi. Tak akan ada yang tahu kalau ada keributan di dalam
rumah di dekat persimpangan itu. 30 menit sebelum kedatangan lelaki bertopeng itu, Radit baru
pulang dari kerja ke dapur untuk menyiapkan mie, memasak nasi dan membuat secangkir teh
hangat. ketika ia sedang menuangkan air panas ke dalam cangkirnya, lelaki itu langsung memukul
kepala Radit dari belakang, menghantam tubuh Radit dengan tendangan dan melukai punggung
Radit dengan pisau berkarat. Darah berceceran, bahkan banjir. Melihat Radit yang tak lagi berdaya
lelaki itu kembali ke ruangan tengah, memecahkan kaca lemari, tv, pas bunga, menghambur-
hamburkan berkas penting, merusak segala benda, yang akhirnya membuat seisi rumah seperti
kapal pecah.

“Apa yang-yang kau cari, ji-jika bukan mencari uangku?” Radit bertanya pelan, volume suaranya ia
rendahkan supaya lelaki itu tidak tersinggung. Lelaki itu mendekat, mengenggam erat dagu Radit,
membuat bibir pria malang itu monyong, “apa kau tuli pecundang! Aku tak butuh uang, emas, baju,
bahkan celana dalammu yang bekas kurap itu, aku tak butuh! aku hanya ingin mengambil
nyawamu..” Radit semakin terdesak, dadanya menyempit. Lelaki itu melepaskan tanganya dengan
kasar.

“la-lu-lalu siapa kau? A-apa.. apa salahku?”


“salahmu?” lelaki itu menjambak rambut Radit yang sudah dilumuri darah, mendengus kuat. Lalu
lelaki itu membuka topengnya. “Kak Damar!” Radit kaget, matanya membulat, ludah ditelan berkali-
kali. Lelaki yang membantainya, yang ingin membunuhnya itu ternyata Kak Damar. “Kak ampun
Kak, maaf Kak!” Radit meminta iba, Menatap damar lamat lamat. “sudah terlambat Radit, kau tak
bisa mengembalikkan keperawanan adikku, nyawa adikku. Kau menjadikannya pacar hanya ingin
menikmati tubuhnya, kau pikir dia anak ayam, hah!” jambakan Damar semakin kuat, seperti hendak
melepaskan rambut Radit dari batok kepalanya.

“Maaf kak, Radit minta maaf, Radit khilaf.” Radit tersungkur menangis kencang separuh bersujud,
“kau harus menanggung perbuatanmu, adikku meninggal karena depresi dan bunuh diri karena kau!
Mulut dibalas mulut, gigi dibalas gigi dan nyawa dibalas nyawa pecundang, cuih..!!” Ludah itu
sampai ke wajah Radit yang semakin pucat. Jam dinding di ruang tengah berdentang-dentang
menopang pukul 12 malam, Suasana yang mencekam hening sesaat bersamaan dengan redanya
hujan di luar rumah.

“CASS.. AKKKK…”

Malaikat maut sudah datang, genderang langit sudah ditabuh, darah tumpah ruah, membanjiri
dapur, suara berde–akkkk itu memecah hening, lampu dapur berkedap-kedip, remang seketika.
Seper sekian detik sebelumnya Radit mengambil pisau berkarat yang jatuh dari tangan Damar, ia
menghujamkan pisau itu ke perut Damar yang sedang lengah karena membayangkan nasib pilu
adiknya. Damar tersungkur, tidur di atas darah, tidur menyusul adiknya. Suasana kembali hening
seketika, seisi rumah bahkan mungkin sejagad. Hanya ada suara burung gagak yang datang saat
hujan telah redah tadi.

TAMAT

Sumber https://www.ufroog.com/cerpen-horor.html/2

Anda mungkin juga menyukai