Oleh:
Yupita Anggara 170020102011008
Resky Nuraziza 170020102011009
Contoh:
Pak amir serang pegawai tetap PT ABC dengan status TK/0 mendapatkan gaji Rp
120.000.000/tahun. Perusahaan memberikan tunjangan JKK 0,89%, JKM 0,30% sedangkan
tunjangan JHT sebesar 2% ditanggung sendiri oleh karyawan PTKP Rp 54.000.000. perhitungan
PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:
Penerimaan
gaji (setahun) 120.000.000
JKK (0,89%) 1.068.000
JKM (0,30%) 360.000
Jumlah 121.428.000
Pengurang
biaya jabatan 5% 6.000.000
JHT 2% 2.400.000
Jumlah 8.400.000
Pembuktian
Penerimaan
gaji (setahun) 120.000.000
tunjangan pajak 4.534.353
JKK (0.89%) 1.068.000
JKM (0.30%) 360.000
Jumlah 125.962.353
Pengurang
biaya jabatan 5% 6.000.000
JHT 2% 2.400.000
Jumlah 8.400.000
PPh terutang
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 13.562.353 2.034.353
pajak terutang 4.534.353
Pengurang
biaya jabatan 5% 6.000.000 6.000.000 6.000.000
JHT 2% 2.400.000 2.400.000 2.400.000
jumlah 8.400.000 8.400.000 8.400.000
PPh terutang
5% x 50.000.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000
15% x 9.028.000 1.354.200 1.354.200 2.034.353
pajak terutang 3.854.200 3.854.200 4.534.353
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan net method dan gross method jumlah PPH
pasal 21 atas karyawan tidak berbeda yaitu Rp 3.854.200 namun karyawan akan menerima take
home pay lebih besar jika menerapkan net mehthod (PPH pasal 21 ditanggung oleh pemberi kerja)
Rp 121.428.000 dibandingkan gross method (PPh pasal 21 ditanggung oleh karyawan, pemberi
kerja hanya sebagai pemotong dan penyetor) Rp 117.573.800 jumlah PPh pasal 21 atas karyawan
berbeda jika menggunakan gross up method menjadi Rp 4.534.353 selisih Rp 680.153 lebih tinggi
dibanding kedua metode sebelumnya.
Dari sudut pandang karyawan, metode gross up menjadikan besarnya penghasilan bruto bertambah
atas tunjangan pajak (bersifat taxable) yang diperhitungkan dengan rumus gross up sedangkan take
home pay sama dengan net method Rp 121.428.000 karena kewajiban PPh pasal 21 karyawan yang
akan dipotong sama besar dengan tunjangan pajak yang diterima. Bagi pihak perusahaan, apabila
menerapkan net method menjadikan jumlah yang dikeluarkan perusahaan terdiri dari biaya gaji
dan biaya PPh pasal 21 atas karyawan. Namun besarnya PPh pasal 21 atas karyawan yang
ditanggung akan dikoreksi secara fiskal positif adalah Rp 3.854.200 mengakibatkan tambahan
pajak perusahaan.
Apabila menggunakan metode gross tidak ada pengaruh yang terjadi pada perusahaan karena
perusahaan hanya memotong, memungut, melapor dan kemudian menyetorkan kepada negara,
jumlah yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar total biaya gaji untuk karyawan. Berbeda apabila
menerapkan metode gross up, jumlah yang dikeluarkan perusahaan merupakan deductable
expenses sehingga tidak akan dikoreksi fiskal positif. Hal tersebut menyebabkan laba sebelum
pajak perusahaan lebih kecil, selanjutnya terjadi penghematan pajak perusahaan.
3. Konsep taxable dan deductible terkait dengan unsur-unsur biaya karyawan.
Konsep taxable dan deductible adalah konsep yang menjelaskan tentang pos-pos yang dapat/tidak
dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos yang
dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto) yang mekanismenya jika pada pihak
pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto),
maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya pada pihak
karyawan pemberian imbalan, penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada
pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).
Konsep taxable dan deductible merupakan konsep dasar yang lazim diterapkan dalam
perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan dengan mengubah atau mengkonversi
penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang bukan objek pajak, atau
sebaliknya mengubah biaya yang tidak dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan
dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat perubahan dan konversi tersebut.
Jika kondisi perusahan baik dan menghasilkan laba yang besar maka salah satu alternatif yang
direkomendasi adalah mengkaji mana yang lebih menguntungkan antara memberikan
kesejahteraan bagi karyawan dalam bentuk tunjangan (uang) atau dalam natura. Berikut Konsep
taxable dan deductible mengenai imbalan (uang/natura)
PT XYZ menyediakan dokter dan obat obatan dengan cuma-cuma untuk pemeliharaan kesehatan
pegawainya.
Sebelum taxplanning : berdasarkan pasal 3 ayat 4 huruf d UU Pajak Penghasilan, natura (biaya
dokter dan obat) itu bukan merupakan objek penghasilan (Non taxable) sehingga tidak dikenai
pajak. Sebaliknya dari sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya secara komersial
pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan tetapi
secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh) merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non
deductible) sehingga harus dilakukan koreksi fiskal. Konsekuensinya karena biaya tersebut
merupakan biaya fiskal yang tidak boleh dikurangkan maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh
Dirjen Pajak menimbulkan tambahan pajak (PPh badan).
Ditinjau dari segi komersil biaya fiskal yang besar tersebut tampak seperti pemborosan atau
inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan kesehatan (tunai), namun harus pula
diperhatikan bahwa kebijakan itu akan berdampak pada laba sebelum pajak menjadi lebih kecil
dan selanjutnya beban PPh badan yang terutang akan menjadi lebih kecil. Namun yang lebih
penting diperhatikan adalah strategi perpajakan bukan satu-satunya alat pengambil keputusan,
jangan sampai strategi perpajakan menghambat strategi komersial tetapi saling sinergi untuk
mencapai tujuan perusahaan.
Untuk meyakinkan bahwa seluruh objek PPh pasal 21 telah dipotong pajaknya perlu dilakukan
rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal dari akun neraca maupun akun biaya.
Jika penghitungan PPh 21 dilakukan oleh bagian SDM maka rekonsiliasi juga harus dilakukan
oleh bagian SDM dengan data dibagian akuntansi (buku besar). Rekonsiliasi sangat berguna dalam
rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh objek PPh 21 telah dipotong PPh
nya. Hal semacam ini akan memudahkan WP ketika diperiksa oleh petugas pajak nantinya.
Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum yaitu taxability dan
deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income (penghasilan yang menjadi objek
pajak PPh) diperusahaan menjadi deductible expanse (biaya) dan sebaliknya jika bagi karyawan
non taxable income (penghasilan yang bukan menjadi objek pajak PPh) maka diperusahan menjadi
non deductible expanse (bukan biaya). Dengan prinsip tersebut senantiasa akan terdapat pihak
yang akan dikenai pajak apakah bagi karyawan dalam bentuk PPh pasal 21 atau diperusahaan
dalam bentuk PPh badan.
Terkait dengan biaya terdapat perbedaan pengakuan yang disebabkan oleh penggunaan pedoman
penyusunan laporan antara penyusunan laporan menurut PSAK dan UU Pajak yaitu beda tetap dan
beda waktu.
1. Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi
komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal
yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya.
Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh
telah dikenakan PPh Final, contohnya bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan berupa
hadiah undian, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh).
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi
komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya
yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, yang bukan objek pajak, yang pengenaan pajaknya bersifat final, yang
dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan, penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan.
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang
diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan
merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena
pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.
Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh
akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan
bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.
2. Beda Waktu.
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi
komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal
yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena:
Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial
penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip
matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus
diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan
diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini
akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun
berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya
dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang
digunakan.