Anda di halaman 1dari 11

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PPH PASAL 21

Oleh:
Yupita Anggara 170020102011008
Resky Nuraziza 170020102011009

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
Tax Planning dan Pengendalian Atas PPh Pasal 21
1. Kompensasi karyawan : Tunai vs natura
Karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan dan pemberi kerja lain akan menerima imbal hasil
dari jasa yang ia berikan, berupa kompensasi. Kompensasi yang diberikan oleh pemberi dana
pensiun dan tanggungan biaya kenikmatan atau natura. Pemberi kerja tentu ingin memaksilmalkan
biaya yang bisa mereka bebankan sebagai pengurang penghasilan, agar pajak yang mereka
bayarkan semakin sedikit. Di lain pihak, pemberi kerja juga ingin memacu motivasi karyawannya
agar dapat bekerja secara produktif dan memberikan kompensasi tambahan disamping kompensasi
pokok yang mereka berikan.
Dalam hal ini pemberi kerja harus memperhitungkan dengan cermat kebijakan yang akan mereka
pilih. Idealnya tentu mereka ingin agar dapat memberikan kompensasi tambahan, dan biayanya
dibebankan. Maka dari itu, pemberi kerja dapat mempertimbangkan cara pemberian kompensasi
tersebut.
Natura menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai “barang yang sebenarnya, bukan
dalam bentuk uang”. Sedangkan menurut surat edaran dirjen pajak no SE-03/PJ.23/1984 tentang
pengertian kenikmatan dalam bentuk natura (seri PPh ps 21-02), kenikmatan dalam bentuk natura
adalah setiap balas jasa yang diterima atau diperoleh pagawai, karyawan, dan keluarganya tidak
dalam bentuk uang dari pemberi kerja. Di dalam PP PPh nomor 26 tahun 2008, istilah natura dapat
dilihat dalam beberapa pasal, diantaranya pasal 4 ayat 3 huruf D dan ps 9 ayat 1.
Natura mengandung konsep taxable dan deductable. Artinya natura dapat dibebankan sebagaimana
kompensasi pokok, sejauh natura yang diberikan dan pemberiannya sesuai dengan ketentuan
perpajakan. Natura yang dapat dikurangkan sebagai beban perusahaan (PMK No. 83/PMK.
03/2009, PER 51/PJ/2009 dan pasal 9 aat 1 huruf E UU no. 36 tahun 2008) adalah natura yang :
a. Berupa pemberian makanan dan minuman bagi seluruh pegawai. Contohnya tersedianya
kantin untuk semua karyawan, untuk pegawai yang dinas luar diberikan kupon seperti pegawai
bagian pemasaran dan transportasi.
b. Natura yang diberikan berkenaan dengan palaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam
rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
Contohnya sarana dan fasilitas dilokasi kerja antara lain tempat tinggal utuk pegawai dan
keluarganya, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan dan ibadah, transportasi bagi pegawai
dan keluarganya, faslitas tempat olah raga.
c. Natura yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan
kerja atau karena bersifat pekerjaan yang pengharuskannya. Contohnya baju safety, seragam
keamanan, sarana antar jemput pegawai, penginapan awak kapal.

Penerapan tax planning dalam PPh pasal 21 antara lain:


a. Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenai pajak bersifal final, diupayakan seminimal
mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan karena
pengeluaran tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan. Sebagai gantinya
untuk kesejahteraan pegawai diberikan dalam bentuk tunjangan sehingga bisa dibiayakan
(mengurangi profit).
b. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan pajak bersifal final, memberikan tunjangan
kepada karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan merupakan salah satu pilihan untuk
menghindari lapisan tarif maksimum PPh pasal 21. Pilihan pemberian dalam bentuk
kenikmatan/natura atau dalam bentuk tunjangan tidak memengaruhi PPh badan karena
pendapatan perusahaan sudah dikenakan PPh final. Tetapi untuk tujuan komersial, baik
pemberian dalam natura, kenikmatan atau dalam bentuk tunjangan tetap bisa menjadi
pengurang penghasilan bruto untuk menunjang penghasilan netto
c. Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenai pajak bersifat final. Contohnya perusahaan jasa
konstruki, maka efisiensi PPh pasal 21 karyawan dapat dilakukan dengan cara memberikan
semaksimal mungkin tunjangan karyawan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang bukan
merupakan objek pajak PPh pasal 21, sebagai salah satu pilihan untuk menghindari lapisan
tarif maksimum PPh pasal 21, selain itu pengluaran untuk pemberian natura atau kenikmatan
tersebut tidak dipengaruh besarnya PPH badan. Contohnya pemberian makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai dan penyediaan bus antar jemput pegawai, kedua hal tersebut dapat
dibiayakan tetapi tidak menambah PPh pasal 21 karena tidak menambah pendapatan dalam
perhitungan PPh pasal 21 karyawan.
2. Metode Perhitungan Pph Pasal 21
Dalam perhitungan pajak penghasilan pasal 21 ada 3 metode yang bisa digunakan yaitu:
a. Gross method
Adalah metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak
penghasilannya. Perusahaan hanya berkewajiban memungut dari pagawai dan melaporkan
atau menyetor ke kantor pajak atas jumlah yang telah dipotong dari pegawai.
b. Net method
Merupakan pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak karyawannya dalam hal
ini jumlah PPh pasal 21 yang terutang akan ditanggung oleh perusahan yang bersangkutan.
Dengan demikian, gaji yang diterima oleh karyawan tersebut tidak dikurangi dengan PPh
pasal 21 karena perusahaan yang menanggung biaya PPh pasal 21.
c. Gross up method
Adalah metode dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak sama besarnya dengan PPh
pasal 21 yang dipotong atas gaji karyawan. Metode ini menimbulkan beban bagi perusahaan
yang tidak menimbulkan koreksi positif dan rekonsiliasi fiskal, sehingga pajak terhutang
perusahaan lebih efisien atau dengan kata lain penerapan metode ini menimbulkan perlakuan
fiskal atas beban yang timbul bagi pemberi penghasilan atas perusahaan merupakan biaya
yang dapat menjadi pengurang penghasilan, maka ini dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto perusahaan sehingga dapat mengefisiensikan besarnya jumlah pembayaran pajak
penghasilan perusahaan. Bagi karyawan pemberian tunjangan ini diakui sebagai tambahan
penghasilan yang kemudian jumlah pajak penghasilan yang dipotong jumlahnya sama besar
dengan tunjangan yang diterima sehingga take home pay jumlahnya sama dengan apabila
menerapkan metode net dan kewajiban PPh pasal 21 juga terpenuhi. Penggunaan metode gross
up adalah untuk memuaskan dan meningkatkan motivasi karyawan. Dengan menggunakan
metode ini karyawan akan merasa puas karena PPh pasal 21 ditanggung seluruhnya oleh
perusahaan. Dengan demikian karyawan merasa lebih diperhatikan. Meningkatkan motivasi
dan kepuasan karyawan akan meningkatkan produktivitas mereka. Semua metode ini
diperblehkan UU dan Peraturan Perpajakan. Jadi perusahaan dapat memilih penggunakaan
metode yang mana, yang paling efisien bagi perusahaan dan menguntungkan karyawan.
Secara sistematis, untuk menghitung PPh pasal 21 Metode gross up yaitu :
Lapisan 1 untuk PKP 0 – Rp 50.000.000
Pajak : 1/0,95 (PKP x 5%)
Lapisan 2 untuk PKP Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000
Pajak : 1/0,85 (PKP x 15%) – Rp 5.000.000
Lapisan 3 untuk PKP Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000
Pajak : 1/0,75 (PKP x 25%) – Rp 30.000.000
Lapisan 4 untuk PKP diatas Rp 500.000.000
Pajak : 1/0,70 (PKP x 30%) – Rp 55.000.000

Contoh:
Pak amir serang pegawai tetap PT ABC dengan status TK/0 mendapatkan gaji Rp
120.000.000/tahun. Perusahaan memberikan tunjangan JKK 0,89%, JKM 0,30% sedangkan
tunjangan JHT sebesar 2% ditanggung sendiri oleh karyawan PTKP Rp 54.000.000. perhitungan
PPh pasal 21 adalah sebagai berikut:

Penerimaan
gaji (setahun) 120.000.000
JKK (0,89%) 1.068.000
JKM (0,30%) 360.000
Jumlah 121.428.000

Pengurang
biaya jabatan 5% 6.000.000
JHT 2% 2.400.000
Jumlah 8.400.000

penghasilan netto 113.028.000

PTKP TK/0 54.000.000


PKP 59.028.000
PPh terutang Lapisan ke 2 (𝑃𝐾𝑃 𝑋 15 %) − 5.000.000
0.85
Tunjangan Pajak (59.028.000 𝑥 15 %) − 5.000.000
0.85
tunjangan Pajak 4.534.353

Pembuktian
Penerimaan
gaji (setahun) 120.000.000
tunjangan pajak 4.534.353
JKK (0.89%) 1.068.000
JKM (0.30%) 360.000
Jumlah 125.962.353

Pengurang
biaya jabatan 5% 6.000.000
JHT 2% 2.400.000
Jumlah 8.400.000

penghasilan Netto 117.562.353

PTKP TK/0 54.000.000


PKP 63.562.353

PPh terutang
5% x 50.000.000 2.500.000
15% x 13.562.353 2.034.353
pajak terutang 4.534.353

Tabel perbandingan keryawan dengan penerapan metode pemotongan


Pajak penghasilan pasal 21

Keterangan net method gross method gross up method


gaji (setahun) 120.000.000 120.000.000 120.000.000
tunjangan pajak 4.534.353
JKK (0.89%) 1.068.000 1.068.000 1.068.000
JKM (o.30%) 360.000 360.000 360.000
Jumlah 121.428.000 121.428.000 125.962.353

Pengurang
biaya jabatan 5% 6.000.000 6.000.000 6.000.000
JHT 2% 2.400.000 2.400.000 2.400.000
jumlah 8.400.000 8.400.000 8.400.000

penghasilan netto 113.028.000 113.028.000 117.562.353

PTKP TK/0 54.000.000 54.000.000 54.000.000


PKP 59.028.000 59.028.000 63.562.353

PPh terutang
5% x 50.000.000 2.500.000 2.500.000 2.500.000
15% x 9.028.000 1.354.200 1.354.200 2.034.353
pajak terutang 3.854.200 3.854.200 4.534.353

penghasilan yang diterima kary 121.428.000 117.573.800 121.428.000


jumlah dikeluarkan oleh
perusahaan 125.282.200 121.428.000 125.962.353

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan net method dan gross method jumlah PPH
pasal 21 atas karyawan tidak berbeda yaitu Rp 3.854.200 namun karyawan akan menerima take
home pay lebih besar jika menerapkan net mehthod (PPH pasal 21 ditanggung oleh pemberi kerja)
Rp 121.428.000 dibandingkan gross method (PPh pasal 21 ditanggung oleh karyawan, pemberi
kerja hanya sebagai pemotong dan penyetor) Rp 117.573.800 jumlah PPh pasal 21 atas karyawan
berbeda jika menggunakan gross up method menjadi Rp 4.534.353 selisih Rp 680.153 lebih tinggi
dibanding kedua metode sebelumnya.
Dari sudut pandang karyawan, metode gross up menjadikan besarnya penghasilan bruto bertambah
atas tunjangan pajak (bersifat taxable) yang diperhitungkan dengan rumus gross up sedangkan take
home pay sama dengan net method Rp 121.428.000 karena kewajiban PPh pasal 21 karyawan yang
akan dipotong sama besar dengan tunjangan pajak yang diterima. Bagi pihak perusahaan, apabila
menerapkan net method menjadikan jumlah yang dikeluarkan perusahaan terdiri dari biaya gaji
dan biaya PPh pasal 21 atas karyawan. Namun besarnya PPh pasal 21 atas karyawan yang
ditanggung akan dikoreksi secara fiskal positif adalah Rp 3.854.200 mengakibatkan tambahan
pajak perusahaan.
Apabila menggunakan metode gross tidak ada pengaruh yang terjadi pada perusahaan karena
perusahaan hanya memotong, memungut, melapor dan kemudian menyetorkan kepada negara,
jumlah yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar total biaya gaji untuk karyawan. Berbeda apabila
menerapkan metode gross up, jumlah yang dikeluarkan perusahaan merupakan deductable
expenses sehingga tidak akan dikoreksi fiskal positif. Hal tersebut menyebabkan laba sebelum
pajak perusahaan lebih kecil, selanjutnya terjadi penghematan pajak perusahaan.
3. Konsep taxable dan deductible terkait dengan unsur-unsur biaya karyawan.

Konsep taxable dan deductible adalah konsep yang menjelaskan tentang pos-pos yang dapat/tidak
dapat dikenai pajak penghasilan (objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan) dan pos yang
dapat/tidak dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto) yang mekanismenya jika pada pihak
pemberi kerja pemberian imbalan/penghasilan dapat dibiayakan (pengurang penghasilan bruto),
maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Sebaliknya pada pihak
karyawan pemberian imbalan, penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada
pihak pemberi kerja tidak dapat dibiayakan (bukan pengurang penghasilan bruto).
Konsep taxable dan deductible merupakan konsep dasar yang lazim diterapkan dalam
perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan dengan mengubah atau mengkonversi
penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang bukan objek pajak, atau
sebaliknya mengubah biaya yang tidak dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan
dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat perubahan dan konversi tersebut.

Jika kondisi perusahan baik dan menghasilkan laba yang besar maka salah satu alternatif yang
direkomendasi adalah mengkaji mana yang lebih menguntungkan antara memberikan
kesejahteraan bagi karyawan dalam bentuk tunjangan (uang) atau dalam natura. Berikut Konsep
taxable dan deductible mengenai imbalan (uang/natura)

Jenis imbalan Perlakuan biaya bagi pemberi Perlakuan PPh 21 bagi


kerja penerima

Imbalan dalam bentuk uang Deductible Taxable

Imbalan dalam bentuk natura Non deductible Non taxable

Berikut ini penjabaran dalam bentuk natura kepada para pegawai :

PT XYZ menyediakan dokter dan obat obatan dengan cuma-cuma untuk pemeliharaan kesehatan
pegawainya.

Sebelum taxplanning : berdasarkan pasal 3 ayat 4 huruf d UU Pajak Penghasilan, natura (biaya
dokter dan obat) itu bukan merupakan objek penghasilan (Non taxable) sehingga tidak dikenai
pajak. Sebaliknya dari sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya secara komersial
pengeluaran itu merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan perusahaan tetapi
secara fiskal (pasal 9 ayat 1 huruf e UU PPh) merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non
deductible) sehingga harus dilakukan koreksi fiskal. Konsekuensinya karena biaya tersebut
merupakan biaya fiskal yang tidak boleh dikurangkan maka koreksi fiskal yang dilakukan oleh
Dirjen Pajak menimbulkan tambahan pajak (PPh badan).
Ditinjau dari segi komersil biaya fiskal yang besar tersebut tampak seperti pemborosan atau
inefisiensi karena adanya kebijakan pemberian tunjangan kesehatan (tunai), namun harus pula
diperhatikan bahwa kebijakan itu akan berdampak pada laba sebelum pajak menjadi lebih kecil
dan selanjutnya beban PPh badan yang terutang akan menjadi lebih kecil. Namun yang lebih
penting diperhatikan adalah strategi perpajakan bukan satu-satunya alat pengambil keputusan,
jangan sampai strategi perpajakan menghambat strategi komersial tetapi saling sinergi untuk
mencapai tujuan perusahaan.

4. Rekonsiliasi objek PPh 21 dengan unsur-unsur biaya karyawan

Untuk meyakinkan bahwa seluruh objek PPh pasal 21 telah dipotong pajaknya perlu dilakukan
rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal dari akun neraca maupun akun biaya.
Jika penghitungan PPh 21 dilakukan oleh bagian SDM maka rekonsiliasi juga harus dilakukan
oleh bagian SDM dengan data dibagian akuntansi (buku besar). Rekonsiliasi sangat berguna dalam
rangka pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa seluruh objek PPh 21 telah dipotong PPh
nya. Hal semacam ini akan memudahkan WP ketika diperiksa oleh petugas pajak nantinya.

Hubungan kerja antara karyawan dengan perusahaan berlaku prinsip umum yaitu taxability dan
deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income (penghasilan yang menjadi objek
pajak PPh) diperusahaan menjadi deductible expanse (biaya) dan sebaliknya jika bagi karyawan
non taxable income (penghasilan yang bukan menjadi objek pajak PPh) maka diperusahan menjadi
non deductible expanse (bukan biaya). Dengan prinsip tersebut senantiasa akan terdapat pihak
yang akan dikenai pajak apakah bagi karyawan dalam bentuk PPh pasal 21 atau diperusahaan
dalam bentuk PPh badan.

Terkait dengan biaya terdapat perbedaan pengakuan yang disebabkan oleh penggunaan pedoman
penyusunan laporan antara penyusunan laporan menurut PSAK dan UU Pajak yaitu beda tetap dan
beda waktu.

1. Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi
komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal
yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya.
Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh
telah dikenakan PPh Final, contohnya bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan berupa
hadiah undian, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,
penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh).

Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi
komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya
yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, yang bukan objek pajak, yang pengenaan pajaknya bersifat final, yang
dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan, penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan.

Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang
diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan
merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena
pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.

Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh
akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan
bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.

2. Beda Waktu.

Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi
komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal
yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.

Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena:

Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial
penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip
matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus
diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :

1. Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan


yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
2. Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode
penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
3. Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak
tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu

Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan
diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini
akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun
berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya
dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang
digunakan.

Anda mungkin juga menyukai