Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh


organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan
tersebut terjadi karena infeksi akut dengan virus hepatitis dimana terjadi
peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi
ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan regenerasi noduler
dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih
sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya
penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta
yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati
membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan.

Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga


pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker). Di seluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab
kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini.
Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang
perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar
kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan
seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma, peptikum, hepatorenal
sindrom, dan asites, Spontaneous bakterial peritonitis serta Hepatoselular
karsinoma.
Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia
terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di
Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40 – 50
% dan virus hepatitis C 30 – 40 %, sedangkan 10 – 20 % penyebabnya tidak
diketahui dan termasuk virus bukan B dan C (non B – non C). Alkohol sebagai
penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum
ada datanya.

1
Keluhan yang timbul umumnya tergantung apakah sirosisnya masih
dini atau sudah fase dekompensasi. Selain itu apakah timbul kegagalan fungsi
hati akibat proses hepatitis kronik aktif atau telah terjadi hipertensi portal. Bila
masih dalam fase kompensasi sempurna maka sirosis kadangkala ditemukan
pada waktu orang melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh (general
check-up) karena memang tidak ada keluhan sama sekali. Namun, bisa juga
timbul keluhan yang tidak khas seperti merasa badan tidak sehat, kurang
semangat untuk bekerja, rasa kembung, mual, mencret kadang sembelit, tidak
selera makan, berat badan menurun, otot - otot melemah, dan rasa cepat lelah.
Banyak atau sedikitnya keluhan yang timbul tergantung dari luasnya
kerusakan parenkim hati. Bila timbul ikterus maka sedang terjadi kerusakan
sel hati. Namun, jika sudah masuk ke dalam fase dekompensasi maka gejala,
yang timbul bertambah dengan gejala dari kegagalan fungsi hati dan adanya
hipertensi portal.

Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang
berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata
yang ditandai gejala – gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati
kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan satu tingkat
tidak terlihat perbedaan secara klinis. Hal ini dapat dibedakan melalui
pemeriksaan biopsi hati.

Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000


penduduk. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan -
laporan dari beberapa pusat pendidikan saja.

Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 –
49 tahun.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apakah sirosis hati dan bagaimana penanganannya?


2. Apakah fungsi hati ?
3. Bagaimana hasil pemeriksaan dan kasus yang terjadi pada pasien Sirosis?
4. Bagaimana proses terapinya ?

C. Tujuan Penulisan

1. Agar pembaca mengetahui fungsi dan anatomi hati.


2. Agar pembaca mengetahui difinisi Sirosis Hati dan mekanisme penularannya.
3. Agar pembaca mampu menginterpretasi hasil diagnosis dan data dari kasus yang
ada.
4. Agar pembaca mengetahui bagaimana cara tata laksana terapi pengobatan untuk
pasien Sirosis Hati.

3
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Anatomi dan Fisiologi Hati
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1500 gr atau 2%
berat badan orang dewasa normal. Hati merupakan organ lunak yang lentur dan terbentuk
oleh struktur sekitarnya. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan atap dari
ginjal kanan, lambung, penkreas, dan usus. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan
dan kiri. Setiap lobus terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobules, yang
merupakan mikroskopis dan fungsional organ. Hati manusia memiliki maksimal 100.000
lobulus.
Diantara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagai sinusoid
yang merupakan cabang vena porta dan arteria hepatica. Tidak seperti kapiler lain,
sinusoid dibatasi oleh sel fagositik atau sel kupffer. Sel Kupffer merupakan system
monosy makrofag, dan fungsi utamnya adalah menelan bakteri dan benda asing lain
dalam darah. Sejumlah 50% makrofag dalam hati adalah sel Kupffer; sehingga hati
merupakan salah satu organ penting dalam pertahanan melawan infasi bakteri dan agen
toksik.
Hati memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena
porta hepatica, dan dari aorta melalui arteri hepatica. Sekitar sepertiga darah yang masuk
adalah darah arteria dan dua pertiganya adalah darah vena dari vena porta. Volume total
darah yang melewati hati setiap menitnya adalah 1500 ml dan dialirkan melalui vena
hepatica kanan dan kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena cava inferior. Selain
merupakan organ prenkim yang paling besar. Hati sangat penting untuk mempertahankan
hidup dan berperan dalam hampir setiap fungsi metabolic tubuh, dan terutama bertangung
jawab atas lebih dari 500 aktivitas berbeda.
Hati adalah organ penting untuk sekresi empedu, namun juga memiliki fungi lain
antara lain :
1) Metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein setelah penyerapan dari saluran
pencernaan.
2) Detoksifikasi atau degradasi zat sisa dan hormon serta obat dan senyawa asing
lainya.

4
3) Sintesis berbagai macam protein plasma mencakup untuk pembekuan darah dan
untuk mengangkut hormon tiroid, steroid, dan kolesterol.
4) Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5) Pengaktifan vitamin D yang dilaksanakan oleh hati dan ginjal
6) Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang sudah rusak
7) Ekskresi kolesterol dan bilirubin.

2. Patogenesis dan Patofisiologi Sirosis

Fibrosis menggambarkan enkapsulasi atau penggantian jaringan yang terluka oleh


bekas luka kolagen. Fibrosis hati dihasilkan dari kelanjutan respons penyembuhan luka
normal yang mengakibatkan kelanjutan fibrogenesis abnormal (produksi dan
pengendapan jaringan ikat).Fibrosis berkembang pada tingkat variabel tergantung pada
penyebab penyakit hati, faktor lingkungan dan inang (1-3).
Sirosis adalah stadium lanjut dari fibrosis hati yang disertai distorsi pembuluh darah hati.
Hal ini menyebabkan shunting dari portal dan suplai darah arteri langsung ke aliran
keluar hati (central veins), mengkompromikan pertukaran antara sinusoid hepatic dan
parenkim hati yang berdekatan, yaitu hepatosit. Sinusoida hati dilapisi oleh endothelia

5
fenestrated yang berada pada selembar jaringan ikat yang permeabel (ruang Disse) yang
mengandung sel stellate hepatik (HSC) dan beberapa sel mononuklear. Sisi lain dari
ruang Disse dilapisi oleh hepatosit yang mengeksekusi sebagian besar fungsi hati yang
diketahui. Pada sirosis, ruang Disse diisi dengan jaringan parut dan fenestrasi endotel
hilang, sebuah proses yang disebut kapilerisasi sinusoidal. Secara histologis, sirosis
ditandai oleh septa fibrotik vaskularized yang menghubungkan saluran portal satu sama
lain dan dengan pembuluh darah pusat, mengarah ke pulau hepatosit yang dikelilingi oleh
septa fibrotik dan tidak memiliki vena sentral (Gambar 1). Konsekuensi klinis utama
sirosis adalah gangguan fungsi hepatosit (hati), peningkatan resistensi intrahepatik
(hipertensi portal) dan perkembangan karsinoma hepatoselular (HCC). Kelainan sirkulasi
umum pada sirosis (vasodilatasi splankiaria, vasokonstriksi dan hypoperfusi ginjal,
retensi air dan garam, peningkatan curah jantung) terkait erat dengan perubahan vaskular
hepatik dan hipertensi portal yang dihasilkan. Sirosis dan distorsi vaskularnya yang
terkait secara tradisional dianggap ireversibel namun data terakhir menunjukkan bahwa
regresi sirosis atau pembalikan mungkin terjadi.

Gbr.1. Perubahan vaskular dan arsitektural pada sirosis

Darah mesenterika mengalir melalui vena portal dan arteri hepatik yang
memperpanjang cabang menjadi saluran portal terminal. A, hati normal: Saluran darah

6
portal terminal mengalir melalui sinusoid hepar di mana endotelium sinusoidal
fenestrated yang berada pada jaringan ikat yang longgar (ruang Disse ') memungkinkan
pertukaran metabolik yang luas dengan hepatosit lobular; Darah sinusoidal dikumpulkan
oleh venula hepatik terminal yang dilepaskan ke salah satu dari 3 vena hepatik dan
akhirnya pembuluh darah vena. B, sirosis: Myofibroblast yang diaktivasi berasal dari sel
stellata hepatik perisinusoidal dan fibroblas pembuluh darah pusat atau pusat berkembang
biak dan menghasilkan matriks ekstraseluler ekstremular (ECM) yang berlebihan. Hal ini
menyebabkan perluasan saluran portal fibrosa, fibrosis vena sentral dan kapilerisasi
sinusoid, ditandai dengan hilangnya fenestrasi endotel, kemacetan ruang Disse 'dengan
ECM, dan pemisahan / pembekuan pulau hepatocyte perisinusoidal dari aliran darah
sinusoidal oleh septa kolagen. Darah secara langsung didorong dari pembuluh darah
terminal terminal dan arteri ke vena sentral, dengan hipertensi portal (intrahepatic)
konsentrat dan fungsi sintetis hati yang terganggu.

3. Epidemiologi dan Etiologi Sirosis


Hepatitis kronis didiagnosis berdasarkan histologi hati, bila tersedia atau pada
persistensi selama lebih dari 6 bulan ALT abnormal karena tidak ada tanda klinis sirok
hati, biokimia, dan ultrasound . Sirosis hati didiagnosis dengan biopsi hati, bila ada, atau
dengan adanya tanda klinis, biokimia dan ultrasound yang khas. Diagnosis hepatocellular
carcinoma (HCC) didasarkan pada temuan histologis dan / atau pencitraan dan pada
tingkat serum alfa-1-fetoprotein, sesuai dengan kriteria yang diterima.
Prevalensi yang tepat dari sirosis di seluruh dunia tidak diketahui. Prevalensi Cirrhosis
diperkirakan mencapai 0,15% atau 400.000 di Amerika Serikat, di mana ia menyumbang
lebih dari 25.000 kematian dan 373.000 rumah sakit yang dipecat pada tahun 1998. Ini
mungkin merupakan perkiraan yang kurang karena kami mengenali prevalensi sirosis
yang tidak terdiagnosis pada NASH dan hepatitis C. Jumlah yang sama telah dilaporkan
dari Eropa, dan jumlahnya bahkan lebih tinggi di sebagian besar negara Asia dan Afrika
di mana hepatitis virus hepatitis B atau C kronis sering terjadi. Karena sirosis kompensasi
sering tidak terdeteksi untuk jangka waktu lama, perkiraan yang masuk akal adalah
bahwa sampai 1% populasi mungkin memiliki sirosis histologis.

7
Etiologi sirosis biasanya dapat diidentifikasi berdasarkan riwayat pasien yang
dikombinasikan dengan evaluasi serologis dan histologis (Tabel 1). Penyakit hati
beralkohol dan hepatitis C adalah penyebab paling umum di dunia Barat, sementara
hepatitis B terjadi di sebagian besar wilayah Asia dan sub-Sahara Afrika. Setelah
identifikasi virus hepatitis C pada tahun 1989 dan steatohepatitis nonalkohol (NASH)
pada subjek obesitas dan diabetes, diagnosis sirosis tanpa penyebab yang jelas (sirosis
kriptogenik) jarang dilakukan.
Penting untuk mengetahui etiologi sirosis, karena dapat memprediksi komplikasi dan
keputusan pengobatan langsung. Ini juga memungkinkan diskusi tentang tindakan
pencegahan, misalnya, dengan anggota keluarga pasien dengan sirosis alkoholik atau
hepatitis virus kronis, dan pertimbangan pengujian (genetik) dan saran pencegahan untuk
keluarga pasien dengan penyakit genetik, seperti hemochromatosis atau penyakit Wilson.
Seringkali beberapa faktor etiologi berkontribusi terhadap pengembangan sirosis, seperti
yang dicontohkan dalam penelitian epidemiologi yang mengidentifikasi konsumsi
alkohol reguler (moderat), berusia di atas 50 tahun, dan jenis kelamin laki-laki sebagai
faktor risiko hepatitis C kronis , atau obesitas usia lanjut , resistensi insulin / diabetes tipe
2, hipertensi dan hiperlipidemia (semua fitur sindrom metabolik) pada NASH.

Clinical Features of Cirrhosis (Tabl 1)


Clinical Features of Cirrhosis
a
GENERAL FINDINGS DESCRIPTION ETIOLOGY REFs
Jaundice Yellow discoloration of skin, cornea Compromised hepatocyte excretory 1-3
and mucous membranes function, occurs when serum bilirubin >2mg/
dl
Spider angiomata Central arteriole with tiny radiating Elevated estradiol, decreased estradiol 16,17
vessels, mainly on trunk and face degradation in liver
Nodular liver Irregular, hard surface on palpation Fibrosis, irregular regeneration 2
Splenomegaly Enlarged on palpation or in ultrasound Portal hypertension, splenic congestion 2
Ascites Proteinaceous fluid in abdominal Portal hypertension 1-3,18
cavity, clinically detected when ≥1.5 L
Caput medusa Prominent veins radiating from Portal hypertension, reopening of the 2
umbilicus umbilical vein that shunts blood from the
portal vein
Cruveilhier Baumgarten syndrome Epigastric vascular murmur Shunts from portal vein to umbilical vein 19
branches, can be present without Caput
medusae
Palmar erythema Erythema sparing the central portion of Elevated estradiol, decreased estradiol 1-3
the palm degradation in liver
White nails Horizontal white bands and/or Hypoalbuminemia 20
proximal white nail plate
Hypertrophic osteoarthropathy/ Painful proliferative osteoarthropathy Hypoxemia due to right-to-left shunting, 21
Finger clubbing of long bones porto-pulmonary hypertension
Dupuytren’s contracture Fibrosis and contraction of the palmar Enhanced oxidative stress, elevated 22
fascia hypoxanthine (alcohol exposure or diabetes)
Gynecomastia, loss of male hair Benign proliferation of glandular male Enhanced conversion of androstenedione to 23

8
Pattern breast tissue estrone and estradiol, decreased estradiol
degradation in liver
Hypogonadism Mainly in alcoholic cirrhosis and Direct toxic effect of alcohol or iron 1-3
hemochromatosis
Flapping tremor (asterixis) Asynchronous flapping motions of Hepatic encephalopathy, disinhibition of 1-3
dorsiflexed hands motor neurons
Foetor hepaticus Sweet, pungent smell Volatile dimethylsulfide, especially in 24
portosystemic shunting and liver failure
Anorexia, fatigue, weight loss, muscle Occurs in >50% of cirrhotics Catabolic metabolism by diseased liver, 1-3
Wasting secondary to anorexia
Type 2 diabetes Occurs in 15-30% of cirrhotics Disturbed glucose utilization and/or 1-3
decreased insulin removal by the liver

4. Gambaran klinis dan Diagnosis Sirosis


Diagnosis sirosis asimtomatik biasanya dilakukan saat tes skrining insidentil seperti
pemeriksaan transaminase hati atau temuan radiologis menunjukkan penyakit hati dan pasien
menjalani evaluasi lebih lanjut dan biopsi hati. Pengakuan bahwa 20% pasien HCV dan
mungkin sebanyak mungkin karena 10% pasien dengan NASH dapat berkembang menjadi
sirosis telah menyebabkan seringnya dilakukan biopsi pada kelompok berisiko tinggi ini
sebelum pengembangan tanda-tanda klinis sirosis. Namun, presentasi klinis awal pasien
dengan sirosis dekompensasi masih umum dan ditandai dengan adanya komplikasi dramatis
dan mengancam jiwa, seperti perdarahan varises, asites, peritonitis bakteri spontan, atau
ensefalopati hati.
Ultrasonografi, computerized tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) tidak
sensitif untuk mendeteksi sirosis, dan diagnosis akhir masih bergantung pada histologi.
Namun, spesifisitasnya tinggi bila penyebabnya jelas dan pencitraan menunjukkan tekstur
hati yang tidak homogen atau permukaan, urat sentral hati yang langka, lobus kaudatus
membesar, splenomegali atau vena agunan. Namun, etiologi lain seperti trombosis vena
porta, penyakit parasit atau keganasan hematologis perlu dikesampingkan, dan temuan
radiografi normal tidak menyingkirkan sirosis kompensasi. Peran utama radiografi adalah
untuk mendeteksi dan menghitung komplikasi sirosis, yaitu ascites, HCC, dan hepar atau
portal vein thrombosis.
Ultrasonografi memberikan informasi penting tentang arsitektur hati, murah dan tersedia
secara luas. Nodularitas dan peningkatan ekogenisitas hati sering ditemukan pada sirosis
namun juga ada pada steatosis. Biasanya ada atrofi lobus kanan dan hipertrofi lobus kiri dan
terutama kaudatus. Namun, lebar kaudatus relatif terhadap lobus kanan adalah prediktor
sirosis yang buruk. Ultrasonografi dan ultrasonografi Doppler dari diameter dan kecepatan
vena port dan pusat adalah tes skrining yang berguna untuk hipertensi portal dan patensi

9
kapal. Kontras ultrasonografi memeriksa penampilan mikrobubbles ekogenik dalam vena
hepatik. Penampilan mereka setelah injeksi antecubital berkorelasi terbalik dengan fibrosis.
Ultrasonografi adalah modalitas pencitraan pertama untuk dugaan HCC, namun sensitivitas
dan spesifisitasnya untuk mendeteksi HCC berada di bawah CT atau MRI, dan lesi nodular
harus dikonfirmasi dengan CT heliks dan / atau MRI. Tingkat kecurigaan yang tinggi,
misalnya pada pasien dengan alfa-fetoprotein di atas 200 μg / L, atau evaluasi pretransplant
memerlukan teknik yang lebih ketat ini walaupun tidak ada lesi ultrasonografi. Kontras
ultrasonografi, pencitraan dan kekuatan harmonis Doppler memperbaiki deteksi HCC melalui
visualisasi sensitif pembuluh abnormal namun belum tersedia secara umum.
CT dan MRI konvensional tidak berguna untuk menentukan tingkat keparahan sirosis,
sementara CT heliks dan MRI dengan kontras adalah modalitas pilihan saat dicurigai adanya
lesi HCC atau vaskular. Dalam perbandingan MRI lebih unggul dari CT heliks untuk
mendeteksi ukuran HCC kecil berukuran 1-2cm. MRI juga telah terbukti efektif dalam
menentukan kandungan zat besi dan lemak hepar dalam hemochromatosis dan steatosis hati,
masing-masing.
Pengukuran elastisitas (Fibroscan) adalah teknik yang menjanjikan berdasarkan
kecepatan gelombang elastis melalui pemancar yang ditempatkan secara intercostally.
Kecepatan gelombang geser ditentukan oleh ultrasound nadi dan berkorelasi dengan
kekakuan hati, yaitu fibrosis. Pemeriksaan dibatasi oleh obesitas morbid, asites dan ruang
interkostal kecil. Dalam sebuah penelitian terhadap 327 pasien dengan hepatitis C, sirosis
histologis dibedakan dari fase fibrosis yang lebih ringan dengan kurva karakteristik operasi
penerima (ROC) 0,97 yang dianggap sebagai tes yang hampir ideal. Pemindaian elastisitas
memiliki kemampuan untuk mencicipi 1/500 dari hati dan merupakan tes non-invasif yang
berguna untuk mendiagnosis atau tidak termasuk sirosis.

5. Biopsi Hati
Biopsi dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis sirosis, dan penilaian
histologis peradangan dan stadium fibrosis secara berurutan dapat menilai risiko
perkembangan. Namun, biopsi rentan terhadap variabilitas sampling yang cukup besar pada
semua penyakit hati. Jadi saat pementasan fibrosis pada pasien hepatitis C yang
menggunakan sistem METAVIR yang sederhana dan hanya menggunakan 4 tahap (tahap 4

10
menjadi sirosis), sepertiga skor berbeda setidaknya satu tahap ketika biopsi dari lobus hati
kiri dibandingkan dengan yang dari lobus kanan, dan dengan hasil yang sama untuk penilaian
peradangan. Pada hepatitis C, stadium yang benar hanya dicapai pada 65% dan 75% kasus
saat biopsi masing-masing berumur 15 mm dan 25 mm, sedangkan pada praktik klinis hanya
16% biopsi yang mencapai 25mm. Meskipun ada kekurangan ini, biopsi masih diperlukan
untuk mengkonfirmasi sirosis pada pasien dengan fungsi hati yang berkompensasi dan untuk
menyarankan penyebabnya. Diagnosis sirosis sirosis tidak diperlukan saat tanda-tanda sirosis
yang jelas, seperti asites, koagulopati, dan hati nodular nampak kusut.
Biopsi hati diperoleh dengan cara perkutaneous (radiografi), rute transjugular atau
laparoskopi. Risiko perdarahan yang lebih tinggi setelah biopsi diamati dengan jarum
berdiameter lebih besar. Pada sirosis yang dicurigai, pemotongan lebih disukai daripada
jarum hisap, untuk mencegah fragmentasi jaringan. 2 sampai 3 persen pasien memerlukan
penerimaan di rumah sakit untuk penanganan komplikasi; Rasa sakit atau hipotensi adalah
penyebab utama. 60% komplikasi terjadi dalam dua, dan 96% dalam 24 jam setelah biopsi.
Kematian, terutama karena pendarahan hebat adalah 1 dari 10.000 sampai 12.000, dan
kemungkinan lebih tinggi pada sirosis (47). Produk darah harus diganti saat platelet di bawah
70.000 / μL atau waktu protrombin diperpanjang lebih dari empat detik, dan / atau
pendekatan transjugular atau laparoskopi yang dipilih. Aspirin dan zat anti-platelet lainnya
harus dihentikan setidaknya seminggu sebelum biopsi.

11
BAB III
STUDI KHASUS
1. Laporan Kasus
Pasien laki-laki, umur 43 tahun, beragama Islam, suku Madura, datang ke
poliklinik rumah sakit dengan keluhan lemas sejak seminggu sebelum datang, lemas
dikatakan pada seluruh tubuh. Hal ini membuat pasien enggan melakukan aktifitas sehari-
hari.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pada ulu hati. Nyeri ini seringkali dirasakan setelah
makan dan minum yang disertai perasaan mual dan muntah sehingga pasien kurang
bernafsu makan. Pasien menyatakan bahwa perasaan nyeri juga disertai dengan perasaan
penuh pada perut.
Frekuensi buang air kecil lebih meningkat sejak beberapa bulan terakhir, dikatakan
pasien sering bolak-balik hingga lebih dari 4 kali sehari ke kamar mandi untuk buang air
kecil, namun volume sekali kencing sekitar ¼ gelas aqua (240 cc) dengan warna
kecoklatan seperti teh. Keinginan buang air besar pasien dikatakan normal.
Pada bulan Desember 2012 Pasien mengeluh tidak bisa menggerakkan anggota
gerak dan tidak bisa jalan. Pasien diantar ke rumah sakit dan diopname selama 1 minggu.
Pasien mengatakan dirinya mengalami anemia dalam jangka waktu yang lama dan
penasaran mengapa tidak sembuh juga. Setelah dirawat dan diperiksa laboratorium,
pasien didiagnosis mengidap Hepatitis B. Pasien mengeluh dirinya sering merasa lelah
dan mudah capek.
Pada bulan April 2013, pasien kembali di opname di rumah sakit. Pasien
dikatakan muntah darah. Pasien tidak sadarkan diri sehingga segera dilarikan ke rumah
sakit oleh keluarga. Pasien muntah darah berkali-kali dan masih muntah ketika di UGD.
Pasien dirawat 1 minggu sebelum akhirnya diperbolehkan pulang.
Pasien tidak pernah mengeluh perut yang kembung dan bengkak pada ekstremitas.
Riwayat penyakit ginjal, hipertensi, dan kencing manis disangkal oleh pasien.
Pasien mengatakan dirinya menggunakan obat herbal sirup dalam kemasan botol
besar. Pasien mengeluh sering mencret sejak minum obat tersebut. Sehingga sudah
berhenti meminumnya. Pasien mengaku obat tersebut tersebut diminum bersamaan
dengan minum obat dari dokter.

12
Saat ini pasien kontrol rutin ke poliklinik gastrohepatologi rumah sakit di Denpasar setiap
2 minggu atau 1 bulan saat obat habis. Pasien diberikan obat Propanolol 2 x 10 miligram
dan Lamivudine. Pasien diresepkan obat Sebiro tablet sebagai pengganti Lamivudine
namun hingga saat ini resep tersebut belum ditebus karena obat tersebut dirasa terlalu
mahal dan tidak ditanggung Jamkesmas/JKBM.
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan
dirinya. Riwayat penyakit kuning dalam keluarga penderita disangkal oleh pasien. Ibu
pasien mengalami hipertensi. Dikatakan ibu pasien memiliki riwayat stroke, pernah
dirawat 3 hari di rumah sakit. Karena infuse macet, dikatakan pulang paksa untuk dirawat
di rumah. Namun meninggal pada keesokan hari setelah pulang dari rumah sakit. Ayah
pasien mengidap asma.
Pasien bekerja sebagai tukang cukur. Pasien bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam
setiap harinya. Sejak mengalami sakit hepatitis dan sirosis hati, pasien merasa terganggu
jika bekerja. Sehingga berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Saat ini pekerjaannya
dialih tugaskan ke saudara pasien.

Pasien mengatakan dahulu sebelum sakit, pasien merokok sebanyak 1 bungkus rokok dan
terkadang melebihi dari 1 bungkus dalam satu hari. Sejak dikatakan mengidap hepatitis,
pasien benar-benar berhenti merokok.

Pasien mengatakan dirinya rutin minum kopi dan berhenti sejak bulan April 2013 saat
dirinya diopname oleh karena keluhan muntah darah.

Pasien menyangkal dirinya meminum minuman beralkohol. Pasien mengaku sangat


sering minum minuman penambah energy dan Adem Sari. Dikatakan oleh istri pasien,
ketika bulan puasa setahun lalu, setiap hari saat sahur, pasien minum Adem Sari.
Dikatakan hal ini dilakukan agar kuat dan tidak merasa haus hingga tiba saatnya berbuka
puasa. Pasien mengaku minum minuman berenergi semisal Hemaviton ketika mudik ke
Madura untuk menambah tenaga. Saat ini pasien makan secara teratur 3 kali sehari dan
minum obat secara teratur. Namun karena tidak bernafsu makan, porsi makan pasien

13
termasuk dalam porsi yang sedikit meskipun teratur makan tiga kali sehari. Pasien tidak
berani makan makanan seperti gorengan.

Riwayat penggunaan tatoo disangkal oleh penderita. Penderita mengatakan tidak


mempunyai riwayat pernah menerima transfusi darah serta menyangkal adanya riwayat
aktivitas seksual multipartner.

Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis, tekanan
darah 120/80 mmHg, nadi 88 kali/menit, respirasi 20 kali/menit, suhu aksilla 36,5 °C, berat
badan 65 kg, tinggi badan 169 sentimeter, Body Mass Index 22,75 kg/m2.

Pada pemeriksaan generalis didapatkan mata anemis dextra dan sinistra, jantung dan paru
dalam batas normal, abdomen dalam batas normal. Tidak ada edema pada ekstremitas atas
bawah.
Dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hasil WBC 2,667 x 103/µL (rendah),
komposisi limfosit 48,14 % (tinggi), RBC 5,063 x106/µL, Hemoglobin 13,01 g/dL
(rendah), Hematokrit 39,95 % (rendah) MCV 78,9 fL (rendah), MCH 25,69 Pg, MCHC
32,56 g/dL, platelet 68,72 x 103/µL (rendah).

Dilakukan pemeriksaan kimia darah dengan hasil bilirubin total 2,411 mg/dL (tinggi),
bilirubin indirect 1,101 mg/dL (tinggi), bilirubin direct 1,31 (tinggi), alkali phosphatase
138,20 U/L (tinggi), SGOT 119,20 U/L (tinggi), SGPT 73,69 U/L (tinggi), gamma GT
122,30 U/L (tinggi), albumin 3,2 g/dL (rendah).

Pada pemeriksaan faal hemostassis, didapatkan hasil bleeding time 1 menit, clotting time 8
menit, PT 16 (memanjang), aPTT 54,50 (memanjang), INR 1,50 (tinggi).

14
Gambar 1. a. Foto thoraks; b. Foto BoF

Pada pemeriksaan imaging x-ray thorax dan BoF tidak ditemukan kelainan.

Gambar 2.
USG abdomen
Pada pemeriksaan USG abdomen didapatkan hasil pengecilan hepar dengan splenomegali sesuai dengan

gambaran cirrosis hepatis.

Hasil Esophagus varises grade II-III arah jam 2,3; Gaster pada cardia varises (+), pada
fundus varises (+), pada corpus normal, pada antrum erosi (+). Duodenal: normal.
Disimpulkan Varises Esofagus, Varises Fundus, Gastritis erosive Antrum.Pasien
didiagnosis dengan Sirosis Hepatis (CP A) dengan varises esophagus, varises fundus,
gastritis erosiva antrum.Pasien ditatalaksana rawat jalan dengan medikamentosa

15
Propanolol 3 x 10 mg intraoral dan Sebivo® 1 x 1 tablet.

Gambar 3. Esophagogastroduodenoscopy

Tabel 1. Klasifikasi Child-Pugh.4

A
Parameter (1) B(2) C(3)
Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Ringan,terkontrol Sedang-berat, sulit
Ascites - dengan terkontrol
diuretik. dengan diuretik.
Ensefalopati - Grade 1-2 (minimal) Grade 3-4 (berat/koma)
PT ( detik
memanjang) 4 4-6 >6
INR <1,7 1,7-2,3 >2,3
TOTAL SKOR 5-6 7-9 10-15

16
Klasifikasi Child A tergolong sirosis hati ringan; Klasifikasi Child B tergolong sirosis hati
sedang; Klasifikasi Child C tergolong sirosis hati berat
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan anemia, tidak ada ikterus, tidak ada ascites, tidak
ada spider nevi, tidak ada caput medusa. Hasil pemeriksaan darah lengkap anemia,
leukositopenia, trombositopenia. Hasil faal hemostasis PT memanjang, INR tinggi.
Pemeriksaan fisik bisa jadi ditemukan ascites, sipider nevi dan caput medusa. Dari darah
lengkap akan ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia, PT (INR) meningkat.6

Hasil imaging endoskopi menunjukkan varises esophagus dan varises gaster. Dari radio ,
pada endoskopi akan ditemukan varises esophagus dan gastropati.6 Varises esofagus
terjadi bendungan aliran darah menuju hati oleh karena dari temuan didapatkan total skor 6
(Klasifikasi Child-Pugh A) dikategorikan sirosis hati ringan.

2. Diskusi Kasus

Pasien datang dengan keluhan utama lemas dan muntah darah. Pada anamnesis yang
berkaitan dengan sirosis hepatik akan didapatkan lemah letih lesu, penurunan berat badan,
nyeri perut, ikterus (BAB kecoklatan dan mata kuning), perut membesar, riwayat konsumsi
alcohol, riwayat sakit kuning, muntah darah, BAB hitam.2,6 hal ini berkaitan dengan faal
hati yang terganggung oleh karna proses fibrotic pada kasus sirosis hati. Antara lain
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Gangguan pada pembentukan glukosa hasil
metabolisme monosakarida diperlukan mengakibatkan kebutuhan tubuh berkurang
sehingga timbul keluhan lemas. Cadangan energi yang berasal dari protein dan lemak juga
terganggu oleh karena gangguan produksi protein plasma dan lipoprotein serta zat lainnya.

Penyebab alkohol tidak ada, riwayat sakit kuning ada, etiologi sirosis hepatis yakni
hepatitis kronis, alcohol, penyakit metabolit, kholestasis yang berkepanjangan, obstruksi
vena hepatica, toksin, dan obat-obatan. Pada pasien ini didapatkan riwayat pernah
menderita hepatitis sebelumnya meskipun tidak pernah mengkonsumsi alcohol
sebelumnya.
Pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa Pada sirosis hati dekompensata pengobatan

17
didasarkan pada gejala/tanda yang menonjol dan komplikasi yang muncul pada penderita.
5
pada pasien ini diberikan beta-blocker propanolol untuk mengendalikan varises
esofagus dan Sebivo® yang mengandung telbivudine tablet 600 mg untuk mengobati
hepatitis B kronis yang diderita. Pasien ini didiagnosis sirosis hati serta didapatkan
varises esophagus. Varises esofagus biasanya merupakan komplikasi sirosis. Faktor-
faktor predisposisi dan memicu perdarahan varises masih belum jelas. Dugaan bahwa
esofagitis dapat memicu perdarahan varises telah ditinggalkan. Saat ini faktor-faktor
terpenting yang bertanggung jawab atas terjadinya perdarahan varises adalah ; tekanan
portal, ukuran varises, dinding varises dan tegangannya, dan tingkat keparahan penyakit
hati.

18
BAB IV
PENATALAKSANAAN TERAPI

1. PenangananUmum

a. Memberikan diet yang benar dengan kalori yang cukup sebanyak 2000-3000
kkal/hari dan protein (75-100 g/hari)
b. Bilamana tidak ada koma hepatik dapat diberikan diet yang mengandung
protein 1g/kg BB
c. Jika terdapat encephalopathy hepatic (koma hepatik), konsumsi protein
diturunkan sampai 0,5 g/hari.
d. Disarankan mengkonsumsi suplemen vitamin. Multivitamin yang mengandung
thiamine 100 mg dan asam folat 1 mg.
e. Diet ini harus cukup mineral dan vitamin; rendah garam bila ada retensi
garam/air
f. bila ada asites, komsumsi cairan dibatasi < 1000 cc / hari..
g. Bahan makanan yang tidak boleh diberikan adalah sumber lemak, yaitu semua
makanan dan daging yang banyak mengandung lemak. Diet pada sirosis hepatis
bertujuan memberikan makanan secukupnya guna mempercepat perbaikan faal
hati tanpa memberatkan pekerjaannya. Syarat diet ini adalah kalori tinggi, dan
protein disesuaikan dengan tingkat keadaan klinik pasien. Diet diberikan secara
berangsur-angsur disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi pasien terhadap
pasien terhadap protein.

2. Terapi pasien berdasarkan etiologi

a. Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan
penggunaannya.
b. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.

19
c. Hepatitis autoimun adalah sistem kekebalan tubuh yang tidak terkendali sehingga
membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat menyebabkan kerusakan dan
sirosis.Bisa diberikan steroid (kortokosteroid) atau imunosupresif dengan dosis
40-60 mg per hari.
d. Penyakit hati non alkoholik adalah kondisi di mana lemak menumpuk di hati
sehingga menciptakan jaringan parut dan sirosis. Kelebihan berat badan (obesitas)
meningkatkan risiko terjadinya sirosis hepatis.Menurunkan berat badan dapat
mencegah terjadinya sirosis hepatik.
e. Hemokromatosis
flebotomi setiap minggu sampai kadar besi menjadi normal dan diulang sesuai
kebutuhan.

3. Pengobatan fibrosis hati.

pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak
terhadap fibrosis. Pengobatan dilakukan dengan menempatkan sel stelata sebagai
target dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk
mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan.
Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan
aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah anti
fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagi anti fibrosis.
4. Pengobatan Sirosis Dekompensata
Asitesis
a. Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam 5,2 gram atau 90
mmol/hari atau
400-800 mg/hari.
b. Diet rendah garam dikombinasikan dengan obat-obatan diuretik.awalnya
dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.
c. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5kg/hari,
tanpa adanya edema kaki atau 1kg/hari bila edema kaki ditemukan.

20
d. Bila pemberian spironolakton belum adekuat maka bisa dikombinasi dengan
furosemide dengan dosis 20-40 mg/hari.
e. Pemberian furosemid bisa ditambahkan dosisnya bila tidak ada respon,
maksimal dosisnya 160 mg/hari.
f. Parasintesis dilakukan jika jumlah asites sangat besar.
g. pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dengan pemberian albumin.
5. Ensefalopati hepatik
a. Ensefalopati hepatik merupakan keadaan gangguan fungsi sistem saraf pusat
disebabkan hati gagal untuk mendetoksikasi bahan-bahan toksik dari usus
karena disfungsi hepatoselular dan portosystemic shunting.
b. Laktulosa membantu pasien untuk mengurangi amonia.
c. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia.
Diberikan dengan dosis 2-4 gram
d. Diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kgBB per hari. terutama diberikan yang
kaya asam amino rantai cabang.

6. Varises esofagus
1. Sebelum terjadi perdarahan dan sesudah perdarahan dapat diberikan obat
penyekat beta
( propanolol).
2. Pada pasien yang tidak tahan terhadap pemberian beta bloker dapat diberikan
isosorbide mononitrate.
3. Beta bloker dapat diberikan kepada pasien sirosis hati yang beresiko tinggi
terjadinya perdarahan, yaitu varises yang besar dan merah.
4. Profilaksis skleroterapi tidak boleh dilakukan kepada pasien yang belum pernah
mengalami perdarahan varises esofagus karena berdasarkan penelitian,
skleroterapi dapat meningkatkan angka kematian daripada pengguna beta bloker.
5. Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat somatostatin atau okterotid,
diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi

21
6. Pencegahan perdarahan kembali dapat dilakukan skleroterapi atau ligasi, beta
bloker non selektif (propanolol, nadolol) 20 mg sebanyak 2 kali sehari atau 40-80
mg sekali sehari, isosorbide mononitrate dapat diberikan 10 mg sebanyak 2 kali
sehari sehari atau 20-40 mg sebanyak 2 kali sehari.

7. Transplantasi hati
a. Transplantasi hati diindikasikan pada kasus irreversibel, penyakit hati kronik
progresif, gagal hati berat, dan penyakit metabolik dimana kelainannya terdapat di
hati.
b. Transplantasi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan status mentalis
yang berkurang, peningkatan bilirubin, pengurangan albumin, perburukan
koagulasi, asites refrakter, perdarahan varises berulang, atau ensefalopati hepatik
yang memburuk.
c. Transplantasi hati memberikan harapan hidup 5 tahun pada 80% pasien.

22
BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai
dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena infeksi
akut dengan virus hepatitis dimana terjadi peradangan sel hati yang luas dan
menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak
jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel
parenkim hati yang masih sehat.

Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada
pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Di
seluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000
orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan penyakit hati
yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di
Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai
penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma,
peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites, Spontaneous bakterial peritonitis serta
Hepatoselular karsinoma.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo,A.W, dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V,2009, internal
publising, Jakarta. Hal; 671-2
2. Gunawan, S.G, dkk, Farmakologi dan Terapi edisi 5, 2009, FK UI, Jakarta. Hal 648-9
3. Detlef Schuppan and Nezam H. Afdhal Division of Gastroenterology and Hepatology,
Beth Israel Deaconess Medical Center, Harvard Medical School, Boston, MA
4. E-JURNAL MEDIKA, VOL. 5 NO.7, JULI, 2016 http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
5. European Journal of Internal Medicine “Characteristics of liver cirrhosis in Italy:
Evidence for a decreasing role of HCV aetiology”

24

Anda mungkin juga menyukai