Anda di halaman 1dari 2

Menurut Kurokawa msayarakat dewasa ini sedang mengalami evolusi dari

masyarakat industri menjadi masyarakat informasi. Dalam evolusi masyarakat


informasi, perencanaan kota dan arsitektur lebih dari sekedar kenyamanan, fungsi,
dan kesenangan semata. Oleh sebab itu, menurut Kurokawa, tidak cukup hanya
melihat posmodern sebagai sebuah gerakan seni dan sastra yang mempengaruhi
arsitektur dan perencanaan urban. Pengertian posmodern juga berubah mengikuti
arah transformasi besar nilai-nilai di dalam masyarakat secara keseluruhan
(Kurokawa,1991).
Kisho Kurokawa dalam Internal Architecture (1991) mencoba mendefinisikan
posmoderenisme arsitektur dengan menggunakan pendekatan analisis filsafat-
kebudayaan. Kurokawa mengajukan konsep “simbiosis” sebagai dasar pemikiran
postmoderenismenya.
Menurut Kurokawa (1991:163), filsafat simbiosis adalah sebuah teks untuk
mendekonstruksikan metafisika, logos, dan budaya Barat. Filsafat ini mencakup
simbiosis budaya yang heterogen, manusia dan teknologi, interior dan eksterior, whole
dan part, sejarah dan masa depan, akal dan intuisi, agama dan ilmu, manusia dan
alam, dalam era posmodern, material dan mental, fungsi dan emosi, keindahan dan
ketakutan, pemikiran analitik dan sintetik akan eksis dalam simbiosis.
Arsitektur berdasarkan filsafat simbiosis diciptakan dengan menelusuri akar
sejarah dan budaya secara mendalam, dan pada saat yang sama berusaha untuk
menggabungkan (unification) elemen-elemen dari budaya lain di dalam karyanya.
Tidak ada satupun ikon arsitektural ideal yang universal. Arsitek harus
mengekspresikan budayanya, pada saat yang sama “menabrak” (collision) dengan
budaya lain, mennyesuaikan dengan dialog, dan melalui simbiosis menciptakan
arsitektur baru (Kurokawa, 1991).
Menurut Kurokawa, posmodernisme berarti ditinggalkannya pemikiran
humanisme, era third class, menghargai pluralitas, penghargaan atas sejarah,
simbiosis whole dan part, pleasure (intermediate zone), simulacra, dan ambiguitas
(relativitas). Berikut ini akan dijelaskan pemikiran-pemikiran tersebut.
Pertama, ditinggalkannya pemikiran humanisme. Kurokawa (1991) melihat
“humanisme” sebagai landasan diciptakannya banyak hal dalam masyarakat modern,
bahkan humanisme digunakan sebagai slogan masyarakat industri. Humanisme telah
menyebabkan perkembangan teknologi tanpa pengawasan. Dalam era posmodern,
konsep humanisme haruslah ditinggalkan. Kota, bangunan, dan rumah harus didesain
untuk seseorang yang nyata identitas dan kepribadiannya, tidak untuk seseorang
yang abstrak. “Tidak ada manusia abstrak, yang ada adalah laki-laki dan perempuan,
tua, dewasa, muda, dan anak-anak, dengan berbagai jenis kelamin dan umurnya.”
Kedua, zaman “the third class” ‘kelas ketiga’. Posmodern adalah masa saat
tidak ada lagi “kekuatan” yang memiliki kewenangan untuk menentukan aturan dan
mengontrolnya atas yang lain, baik secara de jure maupun de facto. Kurokawa
mengilustrasikan perbedaan antara masa pra modern, modern, dan posmodern,
sebagai berikut.
“Masa pra modern adalah masa kekuasaan terpusat. Raja atau pengatur selalu
didalam pusat dimana semua aturan, garis pandang, memancar keluar. Didalam
desain urban dan arsitektur zaman pramodern, khususnya renaisans, sebuah
lapangan atau plaza berkedudukan dipusat dan jalan-jalan keluar darinya. Garis
pandang kita meluas tak terbatas dari pusat lapangan, sebagai simbol kekuasaan.
Jika masa pramodern adalah zaman kode transendental, zaman modern adalah
zaman pembebasan dari kode transendental. Jika raja disimbolkan sebagai dosen
atau guru, zaman pra modern diibaratkan sebagai guru yang berdiri didepan kelas
mengawasi murid-murid. Pada zaman modern, guru sudah tidak ada, tetapi murid-
murid merasa guru mengawasi mereka dari belakang. Pada zaman posmodern,
perasaan ada guru yang mengawasi murid-murid dari belakang kelas dihilangkan,
yang oleh Kurokawa disebut “the third class” (kelas ketiga). Kurokawa (1991:142-142).
Kedua, posmodern menghargai pluralitas budaya sekaligus menolak hegemoni
budaya Barat. Sebagaimana dikatakan oleh Kurokawa.
“Posmodern recognises the value of the world’s varietyand world hybrid styles,
acknowledging that Western values are not the only legitimate ones and that a
nearinfinite variety of cultures exists around the globe.” (Kurokawa, 1991:146).
(Posmodern mengenali nilai keragaman dunia dan menghargai gaya hibrid,
menyatakan bahwa nilai-nilai Barat bukanlah satu-satunya nilai yang sah dan
bahwa terdapat budaya yang hampir tak terbatas jumlahnya dimuka bumi).
Levi-Strauss menghubungkan semua kebudayaan diatas bumi, dan oleh sebab
itun merelatifkan kebudayaan Barat, yang dipuji superioritas absolutnya.
Strukturalisme memberikan status yang sama antara kebudayaan Eropa Barat,
Amerika, Afrika, dan negara-negara Islam serta Asia, dan menempatkannya pada
jarak yang sama satu terhadap yang lainnya.
Menurut Kurokawa (1991), didalam epistemologi arsitektur modern, hanya
terdapat satu fenomena arsitektur universal yang benar, yang secara logis dapat
dipahami oleh semua manusia dan semua negara dan budaya. Dalam epistemologi
ini, gaya arsitektur internasional diterima sebagai kreasi universal yang mengatasi
semua kebudayaan dan diterapkn diseluruh dunia. Seandainya dapat dapat dikatakan
bahwa arsitektur modern menciptakan ikon universal berdasarkan budaya Barat, kita
dapat melihatnya sebagai “meta-statement”. Budaya dan tradisi adalah sesuatu yang
“tidak terbatas” untuk disentuh pancaindera (tangible). Gaya hidup, kebiasaan,
sensibilitas estetik, dan ide-ide adalah sesuatu yang sulit diraba (intangible) dan dibagi
(indivisible) dari aspek kebudayaan dan tradisi.
Ketiga, penghargaan atas sejarah (respect to history). Arsitektur modern telah
melepaskan diri dari masa lalu dan menempatkan masa depan jauh didepan.
Arsitektur modern menyusun konsep waktu atas masa lalu, masa sekarang, dan masa
depan secara piramidal. Menurut Kurokawa, waktu adalah sebuah evolusidari masa
lalu ke masa sekarang, menuju masa depan. “Time is not a linear series” ‘waktu tidak
tersusun secara linier’.

Anda mungkin juga menyukai