01-02 - 04 - Puisi Yang Tak Akan Memperindah Kata-Kata - Abdul Wachid BS - Lengkap
01-02 - 04 - Puisi Yang Tak Akan Memperindah Kata-Kata - Abdul Wachid BS - Lengkap
Jika ahli sastra Indonesia dari Jerman Berthold Damshauser mempertanyakan, puisi
Indonesia kehilangan sajak? dan karenanya, puisi Indonesia miskin estetika sebagai sajak
yang memperhitungkan irama bunyi di dalam berbahasa (Jurnal Sajak, No.2, Tahun 2011);
Di Hall Universitas Ahmad Dahlan Jalan Pramuka Yogyakarta Rabu malam 12-12-
2012, didiskusikan buku puisi saya yang berjudul Kepayang. Boleh jadi, kritik dari sastrawan
Joni Ariadinata juga dilandasi oleh spirit yang sama, bahwa "puisi ziarah" dan "puisi
silaturrahmi" karya saya justru terjebak kepada persoalan "Kata-kata yang oleh Sapardi
Damono harus dihindari jika karya itu akan layak disebut sebagai puisi".
Puisi dan sajak dalam pemakaiannya pada akhirnya memang harus dibedakan. Jika
kata "puisi" dan "sajak" diberi awalan dan akhiran "per" dan "an", maka menjadi "perpuisian"
dan "persajakan". "Perpuisian" dapat dikatakan sebagai keseluruhan dari hal-ikhwal yang
disampaikan oleh seorang penyair di dalam puisinya melalui kekhasan poetika yang
Memang, "persajakan" merupakan hal yang niscaya ada di dalam tiap perpuisian, yang
membedakannya dengan "prosa". Akan tetapi, di suatu bangsa bila dibandingkan dengan
bangsa lain di dalam menyikapi "persajakan" tentu beda-berbeda antara satu dengan lainnya.
Uniksitas "persajakan" dari sama-sama puisi klasik misalnya, "gurindam" dengan "pantun"
1
saja, adalah dua hal yang berbeda, apalagi jika hal itu sudah menyangkut tentang selera irama
Memang, "persajakan" dan estetika yang dibangun melalui bahasa itu adalah hal yang
penting di dalam puisi. Akan tetapi, setiap penyair memiliki bangunan sendiri-sendiri, yang
hal itu pada akhirnya disebut sebagai masing-masing poetika keseorangan dari penyair
tersebut. Hal itu menjadi penting, yang disebut sebagai karakter perpuisian dari seorang
penyair. Sebab jika tidak demikian, maka perpuisian yang dibangun oleh seorang penyair itu
Persoalannya adalah? menjadi runyam bila poetika itu saling ditabrakkan. Poetika
Sapardi Djoko Damono apakah bisa untuk mengukur poetika yang dibangun oleh Rendra?
Bila perpuisian yang baik dan menarik dan tidaklah menjadi epigon itu seharusnya
diposisikan di suatu tempat, oleh A. Teeuw disebutnya sebagai "Berdiri di antara dua tegangan
yang tarik-menarik di antara konvensi dan inovasi", di antara hal-hal yang sudah disepakati
sebagai "puisi", dan hal-hal baru yang seharusnya dibangun dan ditawarkan sebagai poetika
Pada posisi inilah, "puisi" bagi saya adalah untuk menemukan wajah khas puisi
Bagi saya, puisi dan persajakan itu haruslah wajah yang berbeda dengan siapapun yang
pernah menuliskannya, sekalipun konvensi atau tradisi itu tetaplah menjadi pola yang harus
Pada sudut pandang inilah, "persajakan" itu bisa muncul dari "keindahan batin"
bahasa, bergantung kepada cara pandang yang melatarinya, kepada cara-cara mengucapnya,
seumpama kata "matamu", antara diucapkan dengan nada marah dan nada sopan, tentu
mengandung efek kepada orang yang diajak berkomunikasi menjadi berbeda penerimaannya.
Keindahan batin dalam sudut pandang seperti itu di dunia "Timur, karenanya memiliki
2
Hal itu, secara umum menjadi berbeda pula ketika memandang panorama yang sama,
tetapi cara mengungkapkannya, dan cara berpandangan hidup terhadap panorama yang sama
Memang, persajakan dan sajak adalah dua hal yang berbeda. Persajakan lebih
dimaksudkan sebagai irama bunyi, yang bisa saja muncul bukan di dalam sajak, melainkan
irama bunyi dari ungkapan-ungkapan puitis. Ungkapan puitis, tentu saja, bukanlah puisi,
karena puisi dan puitis adalah dua hal yang berbeda. Puitis hanyalah ungkapan-ungkapan
yang indah dikarenakan adanya rima atau persajakan, sebagaimana ada di dalam lirik lagu
pop. Ungkapan-ungkapan verbal, terlebih lagi berbeda dengan ungkapan puitis yang masih
ada keindahan persamaan bunyi. Akan tetapi, puisi itu tidak selalu harus menghindari "kata-
kata verbal", dan puisi juga tidak harus menghindari "kata-kata busuk" (meminjam istilah
Sapardi Djoko Damono, untuk memberi sebutan terhadap "ungkapan-ungkapan yang sudah
usang"). Sebagaimana halnya pada "pamplet puisi" yang oleh Rendra sendiri dikatakannya
sebagai "Potret Pembangunan dalam Puisi". Rendra tidak menghindari kata-kata verbal dan
kata-kata busuk, dan saya merasakannya bahwa yang ditulis oleh Rendra itu sebagai puisi
yang mendayagunakan persajakan. Sebagaimana ungkapan verbal Jalaluddin Rumi ini: "Aku
di sebuah taman/ Orang lalulalang/ Mereka mendekatiku/ Dan memintaku untuk berdoa/
Sampai-sampai seluruh diriku menjadi doa itu sendiri". Ungkapan Rumi bisa saja dianggap
sebagai sebuah ungkapan yang bersifat metaforik, tetapi jika kita mempunyai rujukan atas
realitas pengalaman spiritual di dalam kehidupan seorang yang selalu dekat dan mendekatkan
diri kepada Allah, maka ungkapan Rumi itu "hanyalah" ungkapan yang seada-adanya dan
bukan metafora, jadi itu adalah ungkapan denotatif, untuk tidak mengatakan sebagai
ungkapan verbal. Akan tetapi, mengapa ungkapan Rumi itu oleh pembaca tasawuf
dikatakannya sebagai "puisi"? Hal itu karena, setiap pengalaman yang "benar" itu
3
mengandung "keindahan", dan pengalaman "keindahan" itu mengandung "kebenaran"
1997
Sebetulnya yang mendasari hal itu semua adalah? Saya hanya ingin mengatakan
bahwa puisi itu "merupa" keindahan bahasa dan keindahan batin dari "isi" puisi itu sendiri.
Dan, "keindahan" bisa saja dipancarkan dari kesederhanaan ungkapan, bahkan verbalitas
ungkapan. Namun demikian, puisi tetaplah "puisi" yang memiliki keunikan-keunikan, baik
dari segi bahasa sebagai badannya, maupun dari segi "isi"-nya sebagai jiwanya, dan kedua hal
sudut-pandang berbudaya dan beruhani seseorang. Inilah pasalnya, yang disebut sebagai
"cantik" di Jawa sangat dipengaruhi oleh kosmologi Jawa: alise nanggal sepisan, pipine
tawon, dst, dst, dst. Apakah hal yang sama juga bisa disebut "cantik" oleh Saudara kita di
Papua, misalnya? Dalam penelitian Dian Sastrowardoyo "ada pergeseseran nilai kecantikan",
ungkapnya. Demikian pula di dalam menyikapi mana yang verbal dan tidak verbal, mana
yang kata-kata busuk dan mana yang tidak kata-kata busuk. Mana yang denotatif dan mana
yang konotatif. Mana yang puisi dan mana yang tidak puisi. Semuanya "Bagai embun di daun
4
talas" (dulu ungkapan ini pun konotatif, namun ketika hal itu digunakan menjadi rutinitas,
maka bergeser menjadi metafora usang yang sudah bukan konotatif lagi).
Ketika Gus Mus (K.H. A. Mustofa Bisri) memberi "Kata Pengantar" kepada buku
sajak saya yang pertama, Rumah Cahaya (1995), beliau menulis bahwa sajak yang rumit
itulah yang bagus, dan sajak-sajak Abdul Wachid B.S. itu rumit, dan karenanya bagus, penuh
lambang-lambang... dan seterusnya.
Tetapi, saya menerima "Kata Pengantar" itu sebagai tarbiyah untuk saya (pribadi),
dengan sebaliknya, bahwa sajak yang bagus itu sesungguhnya yang sederhana, yang tidak
rumit dan memusingkan kepala pembaca. Untuk apa menulis sajak (karya sastra) jika cuma
membuat pening kepala pembaca?
Pada hakikatnya menulis karya tulis, apapun, adalah upaya untuk berkomunikasi
dengan pembaca, dengan cara indah dan bermakna sehingga makna itu tersampaikan kepada
pembaca. Sementara itu, keindahan itu ada yang wujud, dan ada yang di sebalik wujud.
Wujud komunikasi, tentu, melalui ungkapan bahasa sebab medium komunikasi pada
umumnya ialah melalui bahasa. Oleh sebab itu, dalam hal ini, wujud keindahan komunikasi
dapat dilihat dari keindahan bahasanya, keunikan bahasanya, tidak meniru-niru dari ungkapan
bahasa yang sudah lazim digunakan oleh orang lain atau oleh penyair lain jika hal itu terjadi
di dalam puisi.
Memang, ada juga keindahan itu "yang rumit", tidak terkecuali ketika disampaikan
melalui bahasa. Namun demikian, serumit apapapun keindahan itu disampaikan melalui
bahasa, tetap saja bahwa si penulis masih ingin berkomunikasi kepada pembacanya. Di
khazanah sastra Indonesia, ada sajak-sajak yang indah namun rumit itu, yaitu perpuisian
Afrizal Malna (dalam buku puisi Abad Yang Berlari, 1984), sebagaimana contoh ungkapan
ini.
DADA
sehari, waktu sama sekali tak ada, dada. bumi terbaring dalam tangan yang tidur,
dada. sehari. ingin jadi manusia terbakar dalam mimpi, dada. semua terbaring dalam
waktu tak ada dada. membaca, dada. membaca. orang-orang yang terbaring dalam
tubuhnya sendiri, dada. tak ada yang berjalan. anjing terbaring dalam lolongannya
sendiri. kota juga terbaring dalam dinding dinding beton yang dingin, dada.
keinginan jadi manusia terkubur dalam daging sendiri. mengaji, dada. mengaji.
keganasan yang aku tanam di ujung-ujung jemariku sendiri, begitu inginkan manusia.
5
Tetapi, keindahan yang wujud melalui bahasa itu bisa dimunculkan tidak harus dari
kerumitan-kerumitan ungkapan yang penuh lambang, yang terjalin menjadi metafora abstrak,
sebagaimana sajak di atas. Ibarat memandang seorang gadis sajalah. Sajak karya Afrizal
Malna itu bagaikan gadis metropolis yang penuh make-up: cantik, memang. Ada lelaki yang
suka dengan gadis yang penuh make-up seperti itu.
Tetapi, ada keindahan gadis dusun, yang kita memandangnya dia sedang berjalan
menuju mushala, akan shalat ashar lalu mengaji kepada kiainya. Wajah gadis dusun itu tanpa
polesan make-up. Tetapi, dari dirinya terpancar keindahan, dari kepribadiannya, dari tutur-
katanya yang penuh makna. Di kemudian hari kita mengenal nama gadis dusun itu sebagai
"Hanien" (Sajak K.H. A. Mustofa Bisri, dalam buku puisi Gandrung, 2000).
HANIEN
Rembang, 1999
6
Anda pilih yang mana? Keduanya bernama keindahan. Keduanya adalah "gadis" yang
indah, keduanya adalah "puisi yang indah".