Anda di halaman 1dari 5

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor, dengan
melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan
bagian organ abdomen yang mengalami masalah (perdarahan, perforasi, kanker,
dan obstruksi). Tindakan laparatomi dapat dilakukan dengan beberapa arah
sayatan: (1) median untuk operasi perut luas, (2) paramedian (kanan) umpamanya
untuk massa appendiks, (3) pararektal, (4) McBurney untuk appendektomi, (5)
Pfannenstiel untuk operasi kandung kemih atau uterus, (6) transversal, (7)
subkostal kanan umpamanya untuk kolesistektomi.
Data World Health Organization (WHO) 2013, menunjukkan bahwa selama
lebih dari satu abad, perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari
perawatan kesehatan di seluruh dunia. Pada tahun 2011 jumlah pasien dengan
tindakan operasi mencapai 140 juta jiwa di seluruh dunia, dan pada tahun 2012
diperkirakan meningkat menjadi 148 juta jiwa. Di Amerika Serikat, lebih dari
250.000 operasi laparatomi dikerjakan tiap tahunnya.
Sedangkan menurut Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan Republik
Indonesia tahun 2010, tindakan bedah laparatomi mencapai 32% dengan
menempati urutan ke 11 dari 50 pertama pola penyakit di rumah sakit se
Indonesia. Berdasrkan data statitiska di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta
terdapat pasien yang dilakukan pembedahan laparatomi sebanyak 230 (60%)
kasus pada tahun 2012.
Indikasi Laparatomi : (1). Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / rupture
hepar, (2). Peritonitis, (3). Perdarahan saluran pencernaan, (4). Sumbatan pada
usus halus dan usus besar, (5). Masa pada abdomen. Komplikasi post operasi
Laparatomi : (1). Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis,
(2). Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi, (3). Buruknya
integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi (Fitria & Riska,
2014)
Beberapa masalah yang sering muncul pada post operasi abdomen diantaranya
adalah : manipulasi organ abdomen selama prosedur bedah dapat menyebabkan

1
2

kehilangan peristaltik normal selama 24 sampai 48 jam, tergantung pada jenis dan
lamanya pembedahan (Smeltzer, et al, 2010). Menurut Nugroho (2010), pasien
post operasi abdomen sering mengalami nyeri akibat diskontinuitas jaringan (luka
operasi) akibat insisi pembedahan. Nyeri yang hebat merupakan gejala sisa yang
diakibatkan oleh operasi pada regio intra abdomen. Sekitar 60% pasien menderita
nyeri hebat, 25% nyeri sedang dan 15% nyeri ringan.
Selain itu komplikasi luka bedah dapat terjadi seperti: 1) seroma dimana terjadi
pengumpulan lemak, serum, dan cairan limfatik yang mencair, sehingga terjadi
pembengkakan atau jaringan disekitar atau dibawah insisi, 2) hematoma
merupakan kumpulan dari darah dapat menyebabkan infeksi dan menimbulkan
nyeri serta hasil kosmetik penyembuhan luka yang buruk, 3) infeksi pada luka
muncul 3-4 hari setelah operasi, berupa kemerahan sepajang garis insisi, edema
yang menetap, peningkatan nyeri, dan meningkatnya drainase, drainase menjadi
purulen dan berbau busuk (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010; Black &
Hawk, 2014)
Tindakan pembedahan mengakibatkan timbulnya luka pada bagian tubuh
pasien sehingga menimbulkan rasa nyeri. Nyeri dapat memperpanjang masa
penyembuhan karena akan mengganggu kembalinya aktivitas pasien dan menjadi
salah satu alasan pasien untuk tidak ingin bergerak atau melakukan mobilisasi
dini sehingga pasien dengan post laparatomi lebih cenderung berbaring di tempat
tidur. Di samping itu, kurangnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai
mobilisasi dini juga menyebabkan pasien enggan untuk melakukan pergerakan
post operasi. Banyak masalah yang akan timbul jika pasien post operasi tidak
melakukan mobilisasi sesegera mungkin, seperti pasien tidak lekas flatus, tidak
dapat BAK (retensi urin), perut menjadi kaku (distended abdomen), terjadi
kekakuan otot dan sirkulasi darah tidak lancar (Smeltzer, 2010). Banyak pasien
yang tidak berani menggerakkan tubuh pasca operasi karena takut jahitan operasi
sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini jelas keliru
karena justru jika setelah operasi dan pasien segera bergerak maka akan lebih
cepat merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih cepat kentut
atau flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan penumpukan lendir pada
saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus.

2
3

Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan
menunjang fungsi pernafasan optimal.
Mobilisasi dini sangat penting sebagai tindakan pengembalian secara
berangsur-angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya. Dampak mobilisasi yang tidak
dilakukan bisa menyebabkan gangguan fungsi tubuh, aliran darah tersumbat dan
peningkatan intensitas nyeri. Mobilisasi dini mempunyai peranan penting dalam
mengurangi rasa nyeri dengan cara menghilangkan konsentrasi pasien pada lokasi
nyeri atau daerah operasi, mengurangi aktivasi mediator kimiawi pada proses
peradangan yang meningkatkan respon nyeri serta meminimalkan transmisi saraf
nyeri menuju saraf pusat. Melalui mekanisme tersebut, ambulasi dini efektif
dalam menurunkan intensitas nyeri pasca operasi (Nugroho, 2010)
Penelitian dilakukan oleh Kaur, Kaur dan Sikka (2015) yang meneliti tentang
pengaruh ambulasi dini pada pemulihan pasca operasi caesar diperoleh hasil
temuan penelitian ini bahwa ambulasi dini efektif dalam pemulihan pasca operasi
dan mencegah komplikasi post operasi, dimana latihan ambulasi dini dimulai 6
jam post operasi caesar pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol ambulasi
standar perawatan setelah 13-14 post operasi terdapat perbedaan yang signifikan
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol terhadap pemulihan dengan
menilai intensitas nyeri, penggunaan analgetik, asupan oral, awal platus, dan
mempengaruhi kemampuan dalam menyusui dan memegang bayi. Hal ini akan
dapat mempercepat pasien keluar dari rumah sakit dan lebih fokus kepada
perawatan bayinya.
Menurut Kasdu seperti yang dikutip oleh Rustianawati et al (2013), mobilisasi
dini pasca laparatomi dapat dilakukan secara bertahap setelah operasi. Pada 6 jam
pertama pasien harus tirah baring dahulu, namun pasien dapat melakukan
mobilisasi dini dengan menggerakkan lengan atau tangan, memutar pergelangan
kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis, serta menekuk dan menggeser
kaki. Setelah 6-10 jam, pasien diharuskan untuk dapat miring ke kiri dan ke kanan
untuk mencegah trombosis dan tromboemboli. Setelah 24 jam pasien dianjurkan
untuk dapat belajar duduk. Setelah pasien dapat duduk, dianjurkan untuk belajar
berjalan.

3
4

Demikian pula dengan pasien post operasi diharapkan dapat melakukan


mobilisasi sesegera mungkin, seperti melakukan gerakan kaki, bergeser di tempat
tidur, melakukan nafas dalam dan batuk efektif dengan membebat luka dengan
jalinan kedua tangan di atas luka operasi, dan teknik bangkit dari tempat tidur.
Dengan melakukan mobilisasi sesegera mungkin, hari perawatan pasien akan
lebih singkat dan komplikasi pasca operasi tidak terjadi. Akhirnya lama rawat di
rumah sakit akan memendek dan lebih murah, yang merupakan keuntungan bagi
rumah sakit dan pasien. Sehingga mobilisasi dini dimaksudkan sebagai upaya
untuk mempercepat penyembuhan dari suatu cedera atau penyakit tertentu yang
telah merubah cara hidup yang normal.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“asuhan keperawatan pada pasien post laparatomi dalam pemenuhan kebutuhan
aktivitas dan istirahat”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah maka penulis membuat
perumusan masalah sebagai berikut “bagaimana asuhan keperawatan pada pasien
post laparatomi dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat?”.
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan tindakan mobilisasi dini pada pasien post laparatomi
dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien post laparatomi dalam
pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat
2. Merumuskan diagnosis keperawatan pada pasien post laparatomi dalam
pemenuhan aktivitas dan istirahat
3. Menyusun intervensi pada pasien post laparatomi dalam pemenuhan
kebutuhan aktivitas dan istirahat
4. Melakukan implementasi pada pasien post laparatomi dalam
pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat
5. Melakukan evaluasi pada pasien post laparatomi dalam pemenuhan
kebutuhan aktifitas dan istirahat

4
5

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Teoritis
Sebagai evaluasi dalam upaya peningkatan mutu pelayanan pemberian
asuhan keperawatan secara komprehensif terutama pada post laparatomi dalam
pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Bagi Perawat
Sebagai landasan dan dasar perawat dalam menerapkan asuhan
keperawatan khusunya pada pasien post laparatomi
2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Hasil karya tulis ilmiah ini sebagai sumber informasi bagi institusi
dalam pendidikan khususnya para mahasiswa yang berkaitan dengan
asuhan keperawatan pada pasien post laparatomi.
3. Bagi Rumah Sakit
Hasil karya tulis ilmiah ini dapat digunakan untuk pedoman dalam
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif terutama pada
pasien post laparatomi.
4. Bagi pasien
Sebagai referensi bagi pasien dan keluarga mengenai gambaran
umum pada pasien post laparatomi serta perawatan yang benar bagi
pasien.

Anda mungkin juga menyukai