Anda di halaman 1dari 23

A.

Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 46 Tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis terhadap pasien dan alloanamnesis terhadap istri
pasien, pada:
Hari / Tanggal : Senin, 28 Maret 2016
Pukul : 12.00

Keluhan Utama :
Nyeri pada benjolan di kantung kemaluan kiri yang tidak bisa masuk lagi sejak 4 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan nyeri pada benjolan di kantung kemaluan kiri yang tidak bisa masuk
lagi 4 hari SMRS. Benjolan berukuran kira-kira 10 x 8 x 10 cm. Nyeri terus menerus.
Sebelumnya, pasien memiliki riwayat benjolan setelah mengangkat beban berat sejak 1 bulan
lalu. Selama 1 bulan benjolan masih bisa keluar masuk, keluar saat berdiri dan masuk saat
berbaring, tidak nyeri. Selama 4 hari terakhir pasien tidak bisa BAB maupun buang angin.
BAK pasien normal. Pasien tidak demam, mual, muntah, atau penurunan berat badan. Pasien
tidak memiliki riwayat tekanan darah tinggi maupun penyakit gula.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien juga tidak memiliki
riwayat tekanan darah tinggi maupun penyakit gula.

Riwayat Operasi :
Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Di keluarga pasien, tidak ada yang pernah mengalami keluhan serupa. Pasien tidak
mengetahui apakah di keluarga terdapat riwayat tekanan darah tinggi maupun penyakit gula.
Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi pada makanan maupun obat-obatan tertentu.

Riwayat Sosial :
Pasien merokok sebanyak 1 bungkus rokok (12 batang) per harinya. Pasien tidak
mengonsumsi alkohol maupun mengonsumsi obat-obatan tertentu secara rutin.

C. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4 M6 V5

Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Laju Napas : 24 x/menit
Nadi : 89 x/menit
Suhu : 37.5 oC
Nyeri : 7/10
SpO2 : 97 %
Head to toe

Kepala : Normosefali
Mata : Konjungtiva anemis - / - ; sklera ikterik - / -
THT : Daun telinga normal, rongga hidung normal, faring tidak hiperemis, T1/T1
Leher : Tidak terlihat massa maupun nodul, tidak ada pembesaran KGB atau tiroid.

Thorax
Dada :
I - Dalam batas normal
Paru :
I - Pernafasan simetris saat statis & dinamis,
P - Pengembangan paru & tactile vocal fremitus simetris kiri & kanan,
A - Bunyi paru vesikuler +/+, rhonchi -/-, wheezing -/-
Jantung :
I - Batas jantung normal,
A - Bunyi jantung S1/S2 regular, gallop - / -, murmur - / -

Abdomen
Inspeksi : Datar (+), bekas luka (-), massa (-), bekas operasi (-)

Punggung
Dalam batas normal

Anus – genitalia
Terdapat benjolan pada kantung kemaluan kiri.

Ekstremitas
Pada tungkai atas maupun bawah, luka (-), edema (-), deformitas (-), akral hangat, dan CRT <
2 detik.

Kulit
Dalam batas normal.
Status Lokalis

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar (+), bekas luka (-), massa (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : Bunyi timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : NT (-)

Pemeriksaan Inguinal
Inspeksi : Massa skrotal kiri (+) uk 10 x 10 x 10 cm, Hiperemis (+)
Auskultasi : BU (-)
Palpasi : NT (+), Batas atas tidak tegas

Pemeriksaan Rectal Touche


TSA kuat
Ampulla recti tidak kolaps
Nyeri (-), Massa (-)
Prostat : dalam batas normal

D. Resume
Pasien laki-laki, 46 tahun, dengan massa di skrotal kiri irreponible (+) 4 hari SMRS. Massa
berukuran sekitar 10 x 10 x 10 cm. Nyeri konstan (+). Riwayat massa reponible (+) 1 bulan
SMRS, setelah mengangkat beban berat, nyeri (-). 4 hari SMRS defekasi (-) dan flatus (-).
BAK normal. Demam (-), mual (-), muntah (-), penurunan berat badan (-). Pada pemeriksaan
fisik, pemeriksaan abdomen normal, pemeriksaan inguinal massa di skrotal kiri (+), batas atas
tidak tegas, NT (+), hiperemis (+), BU (-).

E. Diagnosis Pre Operasi


Hernia Inguinalis Lateralis Strangulata Sinistra
F. Pemeriksaan Penunjang

1. Full Blood Count (26 Maret 2016)


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 11.30 g/dL (L) 13.20 – 17.30

Hematokrit 35.50 % (L) 40.00 – 52.00

Eritrosit (RBC) 5.84 x 106 / μL 4.40 – 5.90

Leukosit (WBC) 14.27 x 103 / μL (H) 3.80 – 10.60

Differential Count

Basofil 0% 0-1

Eosinofil 1% 1-3

Neutrofil Batang 2% 2-6

Neutrofil Segmen 75 % 50-70

Limfosit 10 % 25-40

Monosit 8% 2-8

Platelet 304 x 103 / μL 150.00 – 440.00

ESR 23 mm/jam (H) 0-15

MCV 60.80 fL (L) 80.00 – 100.00

MCH 19.30 pg (L) 26.00 – 34.00

MCHC 31.80 g/dL (L) 32.00 – 36.00

Prothrombin Time

Control 11.00 seconds 8.9-12.1

Patient 11.40 seconds (H) 9.4-11.3

INR 1.10

APTT

Control 32.30 seconds 28.0-37.8

Patient 31.00 seconds 31.00-47.00


Biochemistry

SGOT (AST) 18 U/L 5-34

SGPT (ALT) 13 U/L 0-55

Fungsi Ginjal

Ureum 26.0 mg/dL <50.00

Kreatinine 0.75 mg/dL 0.5 – 1.3

eGFR 119.2 ml/menit/1.73 m2 >= 60

Gula Darah Sewaktu 122.0 mg/dL < 200.0

Serum Elektrolit

Sodium (Na) 136 mmol/L 137 - 145

Potasium (K) 4.0 mmol/L 3.6 – 5.0

Klorida (Cl) 100 mmol/L 98 - 107

2. Elektrokardiografi (26 Maret 2016)

Kesan : Normal
3. X-ray Thorax

Sinus costophrenicus kiri tumpul


Cor : CTR < 50 %
Aorta : Baik
Pulmo : Baik
Tulang-tulang dada baik

Kesan : * Efusi pleura kiri


* Cor dalam batas normal
G. Terapi
Non-medikamentosa
- Puasa
- NGT
- IV Ringer Lactate 0.9 % / 8 jam
- Kateter urin

Medikamentosa
- Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
- Metronidazole 3 x 500 mg IV
- Ketorolac 3 x 30 mg IV
- Omeprazole 3x 20 mg IV
- Ondansentron 3 x 4 mg IV
- Tramadol 50 mg IV PRN
- Ranitidine 1 x 50 mg IV

Tindakan :
Herniotomy + Mesh

Laporan Operasi :
1. Pasien tidur terlentang, dengan General Anesthesia.
2. Septik dan antiseptik.
3. Insisi diatas benjolan
4. Buka kantong, isi usus halus, loop – viable.
5. Usus dikembalikan ke rongga peritoneum.
6. Herniotomy, pasang Mesh.
7. Kontrol pendarahan.
8. Jahit lapis demi lapis.
9. Operasi selesai.

H. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
I. Tinjauan Pustaka

Definisi 1

Hernia inguinalis merupakan protursi dari konten abdomen ke kanalis inguinalis melalui
dinding abdomen yang defek.

Anatomi 2

Kanalis inguinalis merupakan regio dengan panjang sekitar 4-6 cm, dan terletak pada sisi
anterior dari pelvis. Kanal dimulai dari dinding abdomen posterior, dimana korda spermatikus
melewati cincin inguinal internal, yang merupakan hiatus pada fascia transversalis. Kanal
kemudian berlanjut ke medial pada cincin inguinal eksternal, di titik dimana korda
spermatikus menyilang pada defek aponeurosis oblikus eksternal. Kanalis inguinalis dibatasi
oleh aponeurosis oblikus eksternal pada sisi anterior, otot oblikus internal pada sisi lateral,
fascia transversalis dan otot transversus abdominis pada sisi posterior, otot oblikus internal
pada sisi superior, dan dan ligamen inguinal (Poupart’s) pada sisi inferior.
Epidemiologi 3

Sekitar 75 % dari hernia terjadi di abdomen. Risiko terjadinya hernia semasa hidup adalah 27
% pada pria dan 3 % pada wanita. Intervensi perbaikan yang dilakukan pada hernia, 90 %
dilakukan pada pria dan 10 % pada wanita. Insidensi terjadinya hernia inguinal pada laki-laki
memiliki distribusi bimodal, dimana tinggi pada kelompok usia dibawah satu tahun, dan
kelompok usia diatas 40 tahun. Pada populasi dengan kelompok umur 25 hingga 34 ttahun
memiliki prevalensi sebesar 15 %, dimana pada populasi diatas umur 75 tahun keatas
memiliki prevalensi rata-rata 47 %. Hernia pada inguinal merupakan hernia yang paling
sering terjadi, dan subtipe yang paling sering baik pada pria dan wanita adalah hernia
inguinalis indirek atau lateralis.

Klasifikasi 2

Hernia inguinalis secara umum diklasifikasikan menjadi indirek, direk, dan femoral
berdasarkan pada lokasi hernia terkait dengan struktur yang terlibat. Hernia indirek protursi ke
arah lateral dari arteri epigastrik inferior, melalui cincin inguinal internal. Hernia direk
protursi ke arah medial dari arteri epigastrik inferior, di dalam segitiga Hesselbach’s. Batasan
dari segitiga Hesselbach’s adalah ligamen inguinal di inferior, sisi lateral fascia rectus di
medial, dan arteri epigastrik inferior di superolateral. Hernia femoral protursi melalui cincin
femoral, dengan batasan traktus iliopubis dan ligamen inguinalis di anterior, ligamen
Cooper’s di posterior, ligamen lacunar di medial, dan vena femoralis di lateral. Klasifikasi
Nyhus mengkategorikan defek hernia berdasarkan lokasi, ukuran, dan tipe.
Patogenesis 2

Hernia inguinalis dapat terjadi karena kongenital atau didapat (acquired). Sebagian besar
hernia inguinal pada orang dewasa seringkali terdapat defek yang didapat pada dinding
abdomen. Beberapa studi yang berusaha untuk menjelaskan penyebab pasti dari terjadinya
hernia inguinal; namun risiko yang paling baik untuk menjelaskan hal ini adalah faktor
kelemahan pada otot di dinding abdomen.

Hernia kongenital, yang merupakan hernia paling sering pada anak, dapat dianggap sebagai
suatu defek dalam perkembangan. Saat fase normal dari perkembangan, testis turun dari
rongga intra-abdomen ke skrotum saat trimester ketiga. Turunnya testis didahului dengan
gubernaculum dan diverticulum dari peritoneum, dimana protursi melalui kanalis inguinalis
dan menjadi processus vaginalis.

Diantara umur gestasi 36 dan 40 minggu, prosesus vaginalis menutup dan menutup
pembukaan peritoneal pada cincin inguinal internal. Kegagalan dari peritoneum untuk
menutup menyebabkan prosesus vaginalis paten (PPV), sehingga insidensi hernia inguinal
indirek tinggi ditemukan pada bayi prematur. Anak dengan hernia inguinal indirek kongenital
biasanya akan datang dengan PPV, namun, prosesus paten tidak selalu mengindikasikan
hernia inguinal. Pada studi dengan 600 dewasa yang dilakukan laparoskopi, inspeksi bilateral
menunjukkan 12 % pasien memiliki PPV.

PPV merupakan faktor predisposisi terjadinya hernia inguinalis. Selain itu juga dipengaruhi
oleh adanya faktor risiko lain seperti kelemahan jaringan permanen, riwayat keluarga, dan
aktivitas berat. 4,5

Suatu studi case-control dengan lebih dari 1400 laki-laki dengan hernia inguinal menunjukkan
riwayat penyakit serupa pada keluarga diasosiasikan terhadap peningkatan sebanyak 8 kali
insidensi hernia inguinal semasa hidup. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK/COPD) juga
meningkatkan secara signifikan risiko hernia inguinal direk, dimana seringkali diasosiasikan
dengan episode berulang dalam peningkatan tekanan intra-abdomen.6 Beberapa studi
menunjukkan efek protektif pada obesitas. Pada studi populasi studi prospektif pada individu
amerika (First National Health and Nutrition Examination Survey), risiko terjadinya hernia
inguinal pada laki-laki obesitas hanya 50 % dibandingkan laki-laki dengan berat badan
normal, dimana risiko pada laki-laki yang overweight 80 % dari laki-laki yang non obesitas.
Eksplanasi yang memungkinan adalah meningkatnya kesulitan dalam mendeteksi hernia
inguinal pada individu obesitas. 7
Studi epidemiologi juga mengidentifikasi faktor risiko yang juga predisposisi terhadap
terjadinya hernia. Pemeriksaan mikroskopis pada kulit pasien dengan hernia inguinalis
menunjukkan penurunan signifikan pada rasio kolagen tipe I terhadap tipe III. Kolagen tipe
III tidak berkontribusi banyak terhadap kekuatan dibandingkan dengan kolagen tipe I.
Abnormalitas pada kolagen seperti Ehlers-Danlos syndrome juga diasosiasikan dengan
peningkatan insidensi terjadinya hernia. Eviden saat ini menunjukkan perjalanan penyakit
hernia memiliki etiologi multifaktorial baik dari pengaruh luar dan herediter.

Diagnosis 2

Anamnesis

Pasien dengan hernia inguinalis datang dengan keluhan dari penemuan benjolan secara tidak
disengaja hingga emergensi seperti inkarserata dan strangulata pada konten hernia. Pasien
yang datang dengan hernia yang simtomatik seringkali merasakan nyeri. Gejala ekstrainguinal
seperti perubahan pada pola buang air besar atau gejala buang air kecil jarang ditemukan.
Hernia inguinalis dapat menekan jaringan saraf di sekitar, menyebabkan penekanan, nyeri
tajam lokal, dan nyeri menyebar. Tekanan atau perasaan berat pada inguinal sering dirasakan,
terutama saat malam hari atau setelah beraktivitas panjang. Nyeri tajam menunjukkan adanya
penekanan pada saraf dan mungkin tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang dilakukan
pasien. Nyeri neurogenik dapat menyebar ke kantung kemaluan, testis, atau paha medial.
Pertanyaan lebih lanjut harus ditanyakan untuk mencari gejala ekstrainguinal; perubahan pada
pola BAB atau BAK mengindikasikan konten hernia meliputi usus atau keterlibatan dari
kandung kemih, di dalam kantung hernia.

Pertimbangan yang penting dalam anamnesis pasien meliputi durasi dan onset dari gejala.
Hernia seringkali semakin besar dalam ukuran dan isi jika dibiarkan. Lebih jarang, pasien
datang dengan keluhan herniasi inguinal akut saat setelah aktivitas yang berat. Lebih sering
pasien dengan hernia inguinalis asimtomatik yang kemudian menjadi nyeri akut. Pertanyaan
selanjutnya harus ditanyakan apakah hernia masih dapat kembali ke dalam perut. Pasien
seringkali mencoba memasukkan kembali hernia kembali ke dalam perut, dan membaik untuk
sementara. Seiring ukuran defek semakin besar, dan semakin banyak konten intra-abdomen
yang mengisi kantung hernia, akan menyebabkan hernia semakin sulit untuk dimasukkan
kembali.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik merupakan komponen penting untuk mendiagnosis hernia inguinal. Hernia
asimtomatik seringkali didiagnosis secara tidak sengaja pada pemeriksaan fisik atau pasien
datang dengan benjolan abdormal. Secara ideal, pasien harus diperiksa dalam keadaan berdiri
untuk meningkatkan tekanan intra-abdomen, dengan lipat paha dan kantung kemaluan
terlihat. Inspeksi dilakukan terlebih dahulu, dengan tujuan untuk mengidentifikasi benjolan
abnormal seiring dengan lipat paha atau di dalam kantung kemaluan. Jika benjolan tidak
terdeteksi dengan jelas, palpasi dilakukan untuk mengkonfirmasi hernia.

Palpasi dilakukan dengan jari telunjuk menulusuri dari kantung kemaluan ke cincin inguinal
eksternal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengeksplorasi kanalis inguinalis. Pasien
kemudian disuruh untuk melakukan manufer Valsalva’s untuk memprotursi konten dari
hernia. Manufer ini akan menunjukkan benjolan abnormal dan akan menentukan hernia bisa
masuk kembali atau tidak (reducible or not). Pemeriksaan sisi kontralateral membantu untuk
membandingkan sisi hernia dengan sisi yang normal, dan menunjukkan seberapa besar hernia.

Beberapa teknik klasik dalam pemeriksaan fisik digunakan untuk mendiferensiasi antara
hernia direk atau indirek. Tes oklusi inguinal dilakukan dengan memblok cincin inguinali
internal dengan jari, kemudian pasien diinstruksikan untuk batuk. Impuls yang terkontrol
menunjukkan hernia indirek, dimana hernia persisten menunjukkan hernia direk. Transmisi
impuls batuk ke ujung jari menunjukkan hernia indirek, dimana impuls yang teraba di sisi
dorsum menunjukkan hernia direk. Saat hasil dari pemeriksaan fisik dibandingkan dengan
temuan hasil operasi, kemungkinan kebenaran dalam diagnosis tipe hernia lebih dari 50%.
Tes ini lebih disarankan untuk mengidentifikasi hernia dibandingkan untuk membedakan tipe
hernia.
Pencitraan / Imaging

Pada kasus dengan diagnosis yang belum pasti, investigasi radiologis dapat digunakan sebagai
penunjang anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pencitraan pada kasus yang sudah jelas tidak
perlu dilakukan. Modalitas radiologi yang paling sering digunakan adalah ultrasonography
(USG), computed tomography (CT), dan magnetic resonance imaging (MRI). Tiap teknik
memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan hanya pemeriksaan fisik; namun, setiap
modalitas juga memiliki limitasi.

USG merupakan teknik yang tidak invasif dan tidak memberikan radiasi terhadap pasien.
Struktur anatomis lipat paha dapat diidentifikasi dengan menentukan letak pembuluh darah
epigastrik inferior. Tekanan intra-abdominal positif digunakan untuk mengeluarkan konten
pada hernia. Pergerakan dari konten menuju kanal penting sebagai komponen diagnosis
dengan USG, dan tanpa gerakan dapat menunjukkan hasil yang negatif palsu (false-negative).
Suatu meta-analisis mendemonstrasikan bahwa deteksi hernia inguinalis dengan USG
memiliki sensitivitas 86 % dan spesifisitas 77 %. 8

CT dan MRI memberikan gambaran statik yang menunjukkan anatomi lipat paha (groin)
dengan baik, untuk mendeteksi hernia, dan untuk mengeksklusi kemungkinan diagnosis lain.
Meta-analisis juga menunjukkan CT standar mendeteksi hernia inguinal dengan sesitivitas 80
% dan spesifisitas 65 %. Meskipun herniografi direk memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi dibandingkan CT, namun tes ini invasif dan memiliki ketersediaan terbatas
sehingga tidak digunakan rutin.

Saat digunakan untuk mendiagnosis hernia inguinal, MRI seringkali menjadi pemeriksaan
penunjang yang dicadangkan dimana pada pemeriksaan fisik terdeteksi benjolan pada lipat
paha, namun pada USG inkonklusif. MRI merupakan diagnostik tes yang efektif dengan nilai
sensitivitas 95 % dan spesifisitas 96 %. Namun MRI masih mahal dan masih terbatas
aksesnya, sehingga masih belum digunakan secara rutin.
Tatalaksana

Konservatif
Manajemen konservatif bukan merupakan tindakan definitif sehingga hernia memiliki
kemungkinan untuk kambuh kembali. Manajemen konservatif yang dapat dilakukan antara
lain :

1. Reposisi
Suatu tindakan untuk memasukkan kembali atau mengembalikan isi hernia ke dalam
rongga peritoneum atau abdomen dengan tekanan manual. Reposisi ini dilakukan pada
hernia inguinalis yang reponibel dengan cara memakai kedua tangan. Tangan yang satu
memegang sesuai dengan tempat keluarnya hernia, kemudian dilebarkan, sedangkan
tangan yang lainnya memasukkan isi hernia. Reposisi ini kadang dilakukan pada hernia
inguinalis irreponibel pada pasien yang menolak dioperasi. Caranya, bagian hernia
dikompres dingin, kemudian pasien diberi valium 10 ml, posisi tidur trendelenberg. Hal
ini memudahkan untuk memasukkan isi hernia. Jika tidak berhasil, tidak boleh
dipaksakan, disarankan untuk dilakukan operasi.

2. Injeksi
Dilakukan setelah reposisi berhasil. Cairan sklerotik berupa alkohol atau kinin diinjeksi
di daerah sekitar hernia, rnenyebabkan pintu hernia mengalami sklerosis atau
penyempitan, sehingga isi hernia tidak akan keluar lagi dari rongga peritoneum.

3. Sabuk hernia
Sabuk ini diberikan pada pasien dengan pintu hernia yang rnasih kecil dan menolak
dilakukan operasi. Pemakaian bantalan penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang
telah di reposisi dan tidak pernah menyembuhkan sehingga harus dipakai seumur hidup.
Operatif
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang rasional.
Indikasi operasi perlu dinilai saat diagnosis ditegakkan.

Inkarserata terjadi ketika konten dari hernia gagal untuk masuk kembali ke rongga abdomen.
Namun, dengan gejala simtomatik minimal, hernia dengan inkarserata kronik dapat
ditatalaksana secara non-operatif. Taxis harus dilakukan untuk hernia yang mengalami
inkarserata tanpa sequelae dari strangulasi, dan pilihan untuk memperbaiki hernia secara
operatif harus didiskusikan sebelum dilakukan manufer. Untuk melakukan taxis, diberikan
analgesik dan sedatif ringan, kemudian pasien diposisikan dalam posisi Trendelenburg.
Kantong hernia dipanjangkan dengan kedua tangan, kemudian konten hernia dikompresi
dengan gerakan seperti memerah untuk reduksi isi hernia kembali ke dalam rongga abdomen.

Indikasi dilakukannya repair pada hernia inguinal adalah hampir terjadi gangguan pada
konten usus. Seperti strangulasi pada konten hernia yang merupakan emergensi bedah. Tanda
klinis yang menunjukkan terjadinya strangulasi antara lain: demam, leukositosis, dan
ketidakstabilan hemodinamik. Benjolan hernia biasanya hangat dan nyeri apabila ditekan, dan
pada kulit terlihat eritema atau pucat. Gejala dari obstruksi usus pada pasien dengan hernia
inguinal inkarserata dapat juga menunjukkan strangulasi. Taxis tidak boleh dilakukan saat
kondisi suspek terjadinya strangulasi, dimana reduksi memiliki kemungkinan untuk
menyebarkan jaringan gangrene ke dalam abdomen. Pada fase preoperatif, pasien harus diberi
resusitasi cairan, dekompresi dengan nasogastric tube, dan antibiotik IV profilaksis.

Operasi hernia ada 3 tahap :


1. Herniotomy yaitu membuka dan memotong kantong hernia serta mengembalikan isi ke
rongga abdomen.
2. Herniorrhapy yaitu mulai dari mengikat leher hernia dan menggantungkannya pada
conjoint tendon.
3. Hernioplasty yaitu memberi kekuatan pada dinding perut dan menghilangkan locus
minnoris resistentiae.
Operasi pada hernia inguinalis lateralis

Insisi kulit pada hernia inguinalis ini disebut inguinal incision, dua jari cranial dan sejajar
ligamentum inguinale mulai dari mid line, sesuai dengan anulus inguinalis internus. Panjang
insisi tergantung dari besarnya hernia, biasanya 5-8 cm. Pada anastesi lokal dilakukan
infiltrasi procain kurang lebih tidak melebihi 20 cc. Setelah kulit dibuka, subkutis dan
jaringan lemak diinsisi sampai tampak aponeurosis muskulus obliqus eksternus yang
merupakan dinding depan kanalis inguinalis. Kira-kira 2 cm cranial ligamentun inguinale.
Insisi ke medial sampai membuka anulus inguinalis eksternus.

Di dalam kanalis inguinalis terdapat funikulus spermaticus dibungkus muskulus cremaster.


Otot ini diinsisi sampai funikulus spermaticus terlihat. Kantong peritoneum akan terlihat di
sebelah caudomedial funikulus spermaticus. Kantong ini dijepit dengan dua buah pinset
sirurgik dan diangkat, kemudian dibuka dengan memperhatikan agar isi hernia (usus) tidak
terpotong. Kantong yang terbuka lalu dijepit dengan klem Mickuliks sehingga usus tampak
jelas. Kemudian usus dikembalikan ke cavum abdominalis dengan rnelebarkan irisan pada
kantong ke proksimal sampai leher hernia. Sisa kantong sebelah distal dibiarkan dalam
skrotum pada hernia yang besar (karena bisa menimbulkan banyak pendarahan), sedang
hernia yang kecil sisa kantong tersebut dibuang. Kemudian leher dijahit ikat. Ujung hernia
kemudian dijahit di bawah conjoint tendon. Selanjutnya karena locus minoris resistantiae
masih ada, perlu dilakukan hernioplasty.

Tipe Hernioplasty :

1. Ferguson

Funikulus spermatikus diletakkan di sebelah dorsal dari musculus obliqus externus,


internus abdominis, muskulus obliqus internus, dan transversus dijahit pada ligamentum
inguinale, kemudian aponeurosis muskulus obliqus externus dijahit kembali sehingga
tidak ada lagi kanalis inguinalis.
2. Bassini

Muskulus obliqus internus dan muskulus transversus abdominis dijahit pada ligamentum
inguinale. Funikulus spermaticus diletakkan ventral dari muskulus tetapi dorsal dari
aponeurosis muskulus obliqus eksternus sehingga kanalis inguinalis kedua muskuli tadi
memperkuat dinding belakang dari kanalis inguinalis, sehingga locus minoris resistantiae
hilang.

3. Halstedt

Di lakukan untuk memperkuat, atau menghilangkan locus minonis resistentiae. Ketiga


muskulus, muskulus obliqus eksternus abdominis, muskulus obliqus internus abdominis,
muskulus obliqus transversus abdominis, funikulus spermatikus diletakkan di sub kutis.

4. Shouldice

Membuka lantai inguinalis dan mengimbrikasi fascia transversalis dengan teknik jahitan
kontinyu.

Operasi pada hernia inguinalis medialis

Herniotomy pada hernia inguinalis medialis sama dengan teknik operasi hernia inguinalis
lateralis. Hernioplasty di sini memperkuat daerah medial dan anulus inguinalis eksternus.
Hernioplasty dikerjakan dengan cara Mc.Vay, yaitu menarik muskulus obliqus abdominis
internus dan muskulus transversus abdominis, serta conjoint tendon lalu dijahit pada
ligamentum cowper atau pectineum, melalui sebelah dorsal dari ligamentum inguinale.
Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi

Komplikasi hernia tergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Isi hernia dapat
tertahan dalam kantong hernia pada hernia irreponible, yang dapat terjadi saat isi hernia terlalu
besar atau terdiri dari omenturn, organ ekstra peritoneal. Dapat pula terjadi isi hernia terjepit
(inkarserata atau strangulata) oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia strangulata yang
menimbulkan gejala obstruksi usus.

Obstruksi juga dapat terjadi baik total atau parsial. Jepitan cincin hernia akan menyebabkan
gangguan perfusi jaringan isi hernia. Pada pemulaan, terjadi bendungan vena sehingga terjadi
edema organ atau struktur didalam hernia dan transudasi kedalam kantong hernia. Timbulnya
edema menyebabkan jepitan pada cincin hernia makin bertambah sehingga akhirnya peredaran
darah jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan berisi transudat
berupa serosanguinus. Kalau isi hernis terdiri dari usus, dapat terjadi perforasi yang dapat
menimbulkan abses lokal, fistula atau peritonitis jika terjadi hubungan dengan rongga perut.

Pada pasien dewasa, tingkat komplikasi dari herniorafi inguinal yang terbuka antara 1% sampai
26% dengan banyak laporan yang terdiri dari 7% sampai 12%. Kira-kira 700 ribu herniorafi
inguinal yang terjadi setiap tahunnya, komplikasi yang muncul kira-kira 10% dari orang-orang
ini memiliki sebuah masalah yang cukup besar.

Infeksi luka merupakan masalah yang sering dihadapi. Sebuah infeksi yang lebih dalam dapat
berdampak dalarn muncul kembali hernia. Kandung kemih dapat luka saat dasar saluran inguinal
dibentuk kembali, saat dilakukan untuk hernia pangkal paha. Jika mungkin melukai testis, vas
deferens, pembuluh darah atau saraf illiohypogastrik, illioinguinal.

Komplikasi intra-operatif meliputi luka atau pembedahan struktur sperma, luka vaskular
mengakibatkan pendarahan, sakit yang semakin hebat atau pengharnbatan saraf-saraf, luka
visceral (biasanya perut atau kandung kemih). Komplikasi sistemik setelah operasi berhubungan
dengan suatu prosedur khusus dalam kemunculannya.
Prognosis

Tergantung dari umur penderita, ukuran hernia serta kondisi dari isi kantong hernia. Prognosis
baik jika infeksi luka, obstruksi usus segera ditangani. Penyulit pasca bedah seperti nyeri paska
herniorafi, atrofi testis, dan rekurensi hernia yang pada umumnya dapat diatasi.

Pembahasan Kasus

Diagnosis dari kasus ini adalah Hernia Inguinalis Lateralis Strangulata Sinistra karena; dari
anamnesis didapatkan benjolan pada skrotum kiri sejak 4 hari SMRS irreponible dengan ukuran
10 x 10 x 10 cm. Terdapat nyeri konstan dan gangguan BAB, yang merupakan tanda penjepitan
usus. Sebelumnya benjolan muncul 1 bulan SMRS namun reponible dan tidak nyeri. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tanda-tanda vital (tensi, laju napas, dan subfebris),
lalu pada pemeriksaan inguinal ditemukan massa pada skrotum kiri hiperemis dan nyeri tekan.
Hal ini menunjukkan sudah terdapat tanda-tanda toksik dan obstruksi vaskularisasi yang
disebabkan oleh penjepitan. Kemudian dari pemeriksaan tambahan RT tidak ditemukan nyeri
yang menunjukkan belum ada peritonitis akibat perforasi. Dari pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan leukositosis (14.270/μL), peningkatan segmen neutrofil (75%), dan laju
endap darah (23 mm/jam). Pada kasus ini, tidak direkomendasi dilakukan pemeriksaan imaging
lanjutan pada hernia karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan klinis yang jelas,
sesuai dengan diagnosis Hernia. Kemudian dilakukan operasi, ditemukan kantong hernia dengan
isi usus halus yang masih vital, kemudian dikembalikan ke dalam rongga abdomen.
Daftar Pustaka

1. Treadwell J, Tipton K, Oyesanmi O, Sun F, Schoelles K. Surgical Options for Inguinal


Hernia: Comparative Effectiveness Review. AHRQ Comparative Effectiveness Reviews.
Rockville (MD). 2012.
2. Schwartz Shires G. Principles of surgery. 10 ed. New York: McGraw-Hill, Health
ProfessionsDivision; 2010.
3. Abramson JH, Gofin J, Hopp C, et al. The epidemiology of inguinal hernia. A survey in
western Jerusalem. J Epidemiol Community Health. 1978;32:59.
4. Carbonell JF, Sanchez JL, Peris RT, et al. Risk factors associ- ated with inguinal hernias:
a case control study. Eur J Surg. 1993;159:481.
5. Flich J, Alfonso JL, Delgado F, et al. Inguinal hernia and cer- tain risk factors. Eur J
Epidemiol. 1992;8:277.
6. Lau H, Fang C, Yuen WK, et al. Risk factors for inguinal hernia in adult males: a case-
control study. Surgery. 2007; 141:262.
7. Ruhl CE, Everhart JE. Risk factors for inguinal hernia among adults in the US population.
Am J Epidemiol. 2007;165:1154.
8. Robinson A, Light D, Kasim A, et al. A systematic review and meta-analysis of the role of
radiology in the diagnosis of occult hernia. Surg Endosc. 2013;27:11-18.

Anda mungkin juga menyukai