Anda di halaman 1dari 9

LANDASAN BERFIKIR

Dosen Pengampu : A.M Ismatullah STh.I Ms.I

MAKALAH

Disusun oleh :
1. Azizah Ummu Fadillah
2. Khaerul Anwar
3. Okti Nur Hidayah (1817302077)
4. Zulfa Aurellia Damayanti

1
PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
PURWOKERTO
2018

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kata logika atau logis sangat akrab dengan kita. Kita sering berbicara
tentang prosedur yang logis sebagai lawan dari prosedur yang tidak logis,
penjelasan yang logis sebagai lawan dari penjelasan yang tidak logis, pikiran
yang logis sebagai lawan dari pikiran yang tidak logis, tindakan yang logis
sebagai lawan dari tindakan yang tidak logis. Dalam contoh-contoh tersebut
kata logis dipakai dalam arti yang sama dengan masuk akal, dapat dimengerti.

Untuk mengerti apa sesungguhnya logika, kita harus mempelajarinya


secara teratur dan sistematis. Mempelajari logika berarti mempelajari
metode-metode dan prinsip-prinsip yang dipakai untuk membedakan
penalaran yang tepat (valid) dari penalaran yang tidak tepat (valid). Itu tidak
berarti bahwa mempelajari logika merupakan satu-satunya cara yang
membuat orang bernalar secara tepat. Akan tetapi orang yang telah
mempelajari logika lebih mungkin bernalar secara tepat daripada kalau tidak
mempelajari logika.

Logika tidak memberikan jaminan bahwa kita akan selalu sampai


pada kebenaran karena kepercayaan-kepercayaan yang menjadi titik tolak kita
kadang-kadang salah. Namun dengan mengikuti prinsip-prinsip yang tepat,
kita perlu mengulang kesalahan-kesalahan ang pernah kita lakukan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. LANDASAN BERFIKIR

Hal yang mendorong manusia untuk berlogika adalah 1) Keheranan;


2) Kesangsian; 3) Kesadaran akan keterbatasan karena merasa dirinya sangat
kecil, sering menderita, dan sering mengalami kegagalan. Hal ini mendorong
pemikiran bahwa di luar manusia yang terbatas, pasti ada sesuatu yang tidak
terbatas.

Dalam kehidupan, adakalanya kita dapat menggolongkan manusia


kedalam beberapa jenis berdasarkan pengetahuannya, yaitu:

 Orang yang mengetahui tentang apa yang diketahuinya;


 Orang yang mengetahui tentang apa yang tidak diketahuinya;
 Orang yang tidak mengetahui tentang apa yang diketahuinya;
 Orang yang tidak mengetahui tentang apa yang tidak diketahuinya.
Orang dapat memperoleh pengetahuan yang benar apabila orang
tersebut termasuk golongan 1) dan sekaligus 2) yaitu Orang yang mengetahui
tentang apa yang diketahuinya sekaligus. Orang yang mengetahui apa yang
tidak diketahuinya. Dengan demikian maka logika didorong untuk
mengetahui apa yang telah kita ketahui dan apa yang belum kita ketahui.
Pengetahuan diperoleh dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa
ragu-ragu dan logika dimulai dari kedua-duanya.
Tidak semua orang mampu berlogika, orang yang akan mampu
berfilsafat apabila memiliki sifat rendah hati, karena memahami bahwa tidak
semuanya akan dapat diketahui dan merasa dirinya kecil dibandingkan
dengan kebesaran alam semesta. Filsuf Faust mengatakan : ”Nah disinilah
aku, si bodoh yang malang, tak lebih pandai dari sebelumnya”. Socrates
menyadari kebodohannya dan berkata “yang saya ketahui adalah bahwa saya
tak tahu apa-apa”. Sifat selanjutnya adalah bersedia untuk mengoreksi diri
dan berani berterus terang terhadap seberapa jauh kebenaran yang sudah

4
dijangkaunya. Ilmu merupakan pengetahuan yang kita alami sejak bangku
sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat
tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri sendiri mengenai:
1. Apakah yang sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu?;
2. Apakah ciri-ciri yang hakiki tentang ilmu dibanding dengan yang bukan
ilmu?;
3. Bagaimanakah saya tahu bahwa ilmu yang saya ketahui memang benar?;
4. Kriteria apa untuk menentukan kebenaran?;
5. Mengapa kita harus mempelajari ilmu?;
6. Apakah kegunaan ilmu itu?.
Befilsafat adalah merenung, orang berfilsafat diibaratkan seperti
seseorang di malam hari yang cerah memandang ke langit melihat
bintang-bintang yang bertaburan dan merenungkan hakekat dirinya dalam
lingkungan alam semesta. Hamlet berkata “Ah Horaito, masih banyak lagi di
langit dan di bumi, selain yang terjaring dalam filsafatmu”. Inilah
karakteristik berpikir filsafat yang pertama yaitu “menyeluruh”.
Seorang yang picik akan merasa sudah memiliki ilmu yang sangat
tinggi dan memandang oang lain lebih rendah, atau meremehkan pengetahuan
orang lain, bahkan meremehkan moral, agama, dan estetika. Orang yang
berfilsafat seolah-olah memandang langit sembari merenungkan bahwa
betapa kecil dirinya dibandingkan seisi alam semesta, bahwa betapa diatas
langit masih ada langit, dan akhirnya dia menyadari kekerdilan dan
kebodohannya. Seperti Socrates yang berkata ”Ternyata saya tak tahu
apa-apa”. Selanjutnya Socrates berpikir filsafati yakni dia tidak percaya
bahwa ilmu yang sudah dimilikinya itu benar dan bertanya-tanya mengenai
apakah kriteria untuk menyatakan kebenaran?, apakah kriteria yang
digunakan tersebut sudah benar?, dan apakah hakekat kebenaran itu sendiri?.
Socrates berpikir tentang ilmu secara mendalam dan ini merupakan
karakteristik berpikir filsafat yang kedua yaitu “mendasar”.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar-putar dan melingkar yang
seharusnya mempunyai titik awal dan titik akhir. Namun bagaimana

5
menentukan titik awal?. Akhirnya untuk menentukan titik awal, kita hanya
bisa berspekulasi. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang ketiga yaitu
“spekulatif”.
Akhirnya kita menyadari bahwa semua pengetahuan yang sekarang
ada dimulai dari spekulasi. Dari serangkaian spekulasi kita dapat memilih
buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari
penjelajahan pengetahuan. Dengan demikian lengkaplah 3 karakter berpikir
filsafat yaitu meneyeluruh, mendasar dan spekulatif.
B. LANDASAN FILSAFAT ILMU: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN
AKSIOLOGI

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat


pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan
ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri
tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara
ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena
permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini
sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial.
Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari
pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan
yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya
mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.

Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin


menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa
yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita

6
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral atau profesional?.
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang
pertama adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah
ontologis. Kedua, masuk dalam wilayah kajian epistemologis. Sedangkan
yang ketiga adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti mempunyai
tiga landasan ini.
1. Pengertian Ontologi
Menurut bahasa ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu :
on/ontos = ada, dan logos= ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang
ada. Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas
tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang baik
yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstak. Membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu.
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang
filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini
menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup
cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi
sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara
eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah
knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur
hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat
digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base.

7
Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna
dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut
yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada
tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu ang ada.
2. Pengertian Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang
berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi
menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas
masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International
Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut :epistemologi
adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas
pengetahuan dan validalitas atau sah berlakunya pengetahuan itu.
3. Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang
mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi
adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu: axios yang berarti
sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi
dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suarisumantri mengartikan
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian
filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
sosial dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang
berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Jadi aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari
hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya
ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang

8
mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang
tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu.
Ilmu tidak bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu
harus desesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat,
sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat
dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya
malahan menimbulkan bencana.

Anda mungkin juga menyukai