Anda di halaman 1dari 9

Ridski Dewangga Miru

1781101004

BPJS DAN DOKTER SPESIALIS

BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) merupakan Badan


Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan memiliki tugas untuk
menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk
Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan
beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.

BPJS Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek) merupakan


program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada
tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014,
sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2014.

BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes (Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT
Askes Indonesia (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes
Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014.

Jaminan pemeliharaan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda. Dan setelah kemerdekaan, pada tahun 1949, setelah pengakuan kedaulatan oleh
Pemerintah Belanda, upaya untuk menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat,
khususnya pegawai negeri sipil beserta keluarga, tetap dilanjutkan. Prof. G.A. Siwabessy, selaku
Menteri Kesehatan yang menjabat pada saat itu, mengajukan sebuah gagasan untuk perlu segera
menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta (universal health insurance) yang saat itu
mulai diterapkan di banyak negara maju dan tengah berkembang pesat.

Pada saat itu kepesertaannya baru mencakup pegawai negeri sipil beserta anggota
keluarganya saja. Namun Siwabessy yakin suatu hari nanti, klimaks dari pembangunan derajat
kesehatan masyarakat Indonesia akan tercapai melalui suatu sistem yang dapat menjamin
kesehatan seluruh warga bangsa ini.
Pada 1968, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 1968
dengan membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang
mengatur pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negara dan penerima pensiun beserta keluarganya.

Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor


22 dan 23 Tahun 1984. BPDPK pun berubah status dari sebuah badan di lingkungan Departemen
Kesehatan menjadi BUMN, yaitu PERUM HUSADA BHAKTI (PHB), yang melayani jaminan
kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya.

Pada tahun 1992, PHB berubah status menjadi PT Askes (Persero) melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero) mulai menjangkau karyawan BUMN
melalui program Askes Komersial.

Pada Januari 2005, PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk melaksanakan program
jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang selanjutnya dikenal menjadi program
Askeskin dengan sasaran peserta masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang
iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.

PT Askes (Persero) juga menciptakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum


(PJKMU), yang ditujukan bagi masyarakat yang belum tercover oleh Jamkesmas, Askes Sosial,
maupun asuransi swasta. Hingga saat itu, ada lebih dari 200 kabupaten/kota atau 6,4 juta jiwa yang
telah menjadi peserta PJKMU. PJKMU adalah Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang
pengelolaannya diserahkan kepada PT Askes (Persero).

Langkah menuju cakupan kesehatan semesta pun semakin nyata dengan resmi
beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014, sebagai transformasi dari PT Askes (Persero).
Hal ini berawal pada tahun 2004 saat pemerintah mengeluarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan kemudian pada tahun 2011 pemerintah menetapkan
UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta menunjuk
PT Askes (Persero) sebagai penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan, sehingga
PT Askes (Persero) pun berubah menjadi BPJS Kesehatan.

Melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang


diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, negara hadir di tengah kita untuk memastikan seluruh
penduduk Indonesia terlindungi oleh jaminan kesehatan yang komprehensif, adil, dan merata.
Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah bekerja di Indonesia selama
minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS. Setiap perusahaan
wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak
bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap
peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Sedangkan bagi warga
miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan Iuran.

Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga pekerja
informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja wajib
mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang diinginkan.

Citra yang buruk tersebut membuat target dari Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu
Indonesia Sehat (JKN-KIS) agar seluruh penduduk Indonesia dapat terlindungi jaminan kesehatan
atau Universal Health Coverage (UHC) masih jauh panggang dari api.

Per 31 Desember 2017, jumlah kepesertaan JKN-KIS baru mencapai 187,98 juta orang,
atau 73 persen dari target 2019 sebanyak 257,5 juta orang. Dengan demikian, masih ada 69,52 juta
orang yang harus masuk hingga 2019.

Bagaimana strategi BPJS Kesehatan pada 2018 di tengah persoalan defisit anggaran? Bila
mengacu dari paparan direksi BPJS Kesehatan di awal 2018, upaya yang akan dilakukan BPJS
Kesehatan tidak banyak berubah seperti tahun-tahun sebelumnya. BPJS Kesehatan masih fokus
memberikan sosialisasi kepada warga, dan mendorong para stakeholder untuk aktif dalam
mengoptimalkan pelaksanaan program JKN-KIS.

Dalam kepesertaan JKN-KIS, sedikitnya ada 10 kelompok yang terdaftar di BPJS


Kesehatan, seperti penerima bantuan iuran (PBI) yang menjadi tanggung jawab APBN dan APBD.
Lalu, Pekerja Penerima Upah (PPU) PNS, Polri, BUMN, BUMD, dan TNI.

Kemudian ada lagi PPU Swasta, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pekerja Mandiri
dan Bukan Pekerja. Namun dari 10 kelompok itu, BPJS Kesehatan lebih fokus menambah PPU
Swasta dan PBPU.
Hal ini dikarenakan, data kelompok selain PPU Swasta dan PBPU sudah teridentifikasi
oleh kementerian dan lembaga (KL) yang bersangkutan. Dengan kata lain, BPJS Kesehatan hanya
tinggal menunggu atau menerima data saja.

Dalam mendorong kepesertaan PPU Swasta dan PBPU tersebut, BPJS Kesehatan
melakukan pendekatan atau cara yang berbeda. Untuk PPU Swasta, BPJS Kesehatan akan
mendorong kegiatan canvassing kepada badan usaha.

Kegiatan dari canvassing antara lain menyisir lokasi usaha secara terencana,
menginformasikan hak dan kewajiban badan usaha, mendata tenaga kerja, serta meminta
komitmen pelaksanaan kewajiban pendaftaran atau pelaporan data secara lengkap dan benar.

Apabila kewajiban itu tidak dijalankan badan usaha dalam batas waktu yang telah
ditentukan, maka BPJS Kesehatan akan memproses badan usaha bersangkutan itu ke dalam
pengawasan dan pemeriksaan kepatuhan.

“Ini penting dilakukan [canvassing]. Saat ini baru 201.000 perusahaan yang terdaftar.
Masih banyak yang belum, padahal targetnya itu selesai tahun lalu,” kata Andayani Budi Lestari,
Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan kepada Tirto.

Selain canvassing, BPJS juga menggandeng pemerintah daerah dan BPJS Ketenagakerjaan
guna mensinkronkan data badan usaha yang ada. Tentunya ini tidak gampang, dan memakan waktu
yang cukup lama.

Khusus untuk PBPU atau Pekerja Mandiri, BPJS akan fokus dalam mempermudah cara
pendaftaran dan pembayaran, misalnya, dengan membuat aplikasi mobile JKN, membuka call
center, termasuk membuka layanan JKN di pusat perbelanjaan.

Selain itu, BPJS Kesehatan juga menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi guna
mewajibkan para mahasiswanya untuk terdaftar dalam program JKN-KIS. Tentunya, apabila
mahasiswa terdaftar, maka keluarganya pun otomatis juga bisa ikut terdaftar.

BPJS Kesehatan juga mengingatkan agar pemda dan kementerian/lembaga yang terkait
juga aktif dalam mendukung pelaksanaan program JKN-KIS. Apalagi, instruksi itu sudah tertuang
dalam Inpres No. 8/2017 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN.
Apakah strategi BPJS itu mampu mengejar target kepesertaan 257 juta orang di 2019? Bila
melihat kinerja BPJS Kesehatan selama ini, agaknya sulit untuk mengejar target UHC pada 2019.
Apalagi, strategi atau inovasi dari BPJS Kesehatan pada 2018, bisa dibilang tidak ada yang baru.

Dalam empat tahun terakhir, BPJS Kesehatan hanya mampu menambah jumlah
kepesertaan JKN-KIS total sebanyak 66,38 juta orang. Jika dirata-rata, maka jumlah peserta yang
berhasil didaftarkan BPJS Kesehatan mencapai 1,38 juta orang per bulan.

Secara hitungan sederhana, capaian kinerja BPJS Kesehatan itu tidak cukup untuk
mengejar sisanya. Pasalnya, dengan waktu 2 tahun yang tersisa, rata-rata jumlah kepesertaan
sedikitnya harus bertambah 2,89 juta orang per bulan.

Target jumlah kepesertaan JKN-KIS sebanyak 257,5 juta sebenarnya bukan tidak mungkin
tercapai tepat waktu, apabila dikerjakan serius dan dapat dukungan banyak pihak. Tugas mengejar
target kepesertaan JKN bukan tanggung jawab BPJS Kesehatan saja, tetapi juga menjadi tanggung
jawab pemda, kementerian/lembaga, pelaku usaha swasta dan lainnya.

Namun, perlu diingat persoalan lain yang juga tak kalah pentingnya adalah soal defisit
anggaran program ini yang menahun. Bila tak ada terobosan baru, penambahan jumlah kepesertaan
program ini hanya akan menambah daftar masalah yang belum terselesaikan.

Sejumlah persoalan masih dihadapi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)


Kesehatan. Beberapa persoalan yang akan penulis sampaikan pada kesempatan ini yaitu persoalan
yang berkaitan dengan kepesertaan, biaya operasional, dan pelayanan.

Pertama, dalam hal kepesertaan, penulis menemukan setidaknya sampai saat ini terdapat
dua wujud fisik kartu yang berbeda, yakni kartu yang didominasi logo dan tulisan BPJS Kesehatan
serta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan kartu yang didominasi tulisan Kartu Indonesia Sehat,
disertai logo dan tulisan BPJS Kesehatan dengan ukuran yang lebih kecil. "Dualisme" kartu
kepesertaan BPJS Kesehatan bisa memunculkan diskriminasi pelayanan. Pemegang Kartu
Indonesia Sehat (KIS) pasti adalah warga miskin yang iuran kepesertaannya dibayar oleh
pemerintah (penerima bantuan iuran/PBI) yang dialokasikan dalam APBN.

Seperti diketahui KIS, merupakan salah satu dari tiga "kartu sakti" yang dijanjikan Joko
Widodo (Jokowi) diberikan kepada rakyat miskin saat kampanye Pilpres 2014. KIS diluncurkan
saat program pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin dengan nama Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
diintegrasikan ke BPJS Kesehatan dan diberi nama baru sebagai Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) masih berlaku. Tak heran bila saat ini masih dijumpai warga miskin yang berobat
menggunakan KIS, kartu BPJS Kesehatan, bahkan mungkin kartu Jamkesmas.

Kalau selama ini kita masih menjumpai perlakuan diskriminatif terhadap peserta BPJS
Kesehatan dengan pasien asuransi swasta, apalagi pasien yang membayar tunai, belakangan ini
muncul juga diskriminasi terhadap peserta BPJS Kesehatan yang membayar iuran secara mandiri
dan PBI. Oleh karena itu, kita mengusulkan agar BPJS Kesehatan hanya menerbitkan satu jenis
kartu untuk pesertanya, baik yang mandiri maupun PBI.

Kedua, masalah biaya operasional. Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari media
onine, bahwa pada tahun 2014, biaya operasional, terutama klaim dari ribuan fasilitas pelayanan
kesehatan mencapai Rp 42,65 triliun, sedangkan premi yang diterima hanya Rp 40 triliun atau
terjadi defisit sekitar Rp 2,6 triliun. Tahun ini diperkirakan BPJS mengalami defisit lebih besar
lagi, yakni Rp 6 triliun. Salah satu penyebab defisit adalah perilaku curang dari sebagian peserta.
Mereka buru-buru menjadi peserta dan membayar iuran saat sedang sakit dan langsung mendapat
pelayanan. Tak tanggung-tanggung, penyakit yang diderita tergolong berat, sehingga biaya
perawatan dan pengobatannya mencapai belasan juta hingga puluhan juta rupiah, sementara iuran
yang dibayar hanya puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah.

Ketiga, masalah pelayanan. Berdasarkan data yang sering penulis temui di tempat penyedia
jasa pelayanan kesehatan, masalah pelayanan adalah masalah yang paling banyak dikeluhkan
peserta maupun penyedia jasa pelayanan kesehatan. Dari sisi pasien, sering kali terdengar keluhan
bahwa mereka mendapat pelayanan yang kurang menyenangkan, bila dibanding sesama pasien
yang membayar tunai atau menjadi peserta asuransi swasta. Pemeriksaan dilakukan terburu-buru
dan diobati seadanya. Tak jarang, pasien masih harus mengeluarkan sejumlah uang karena obat
tertentu tidak di-cover oleh BPJS Kesehatan.

Dari sisi pelayan kesehatan, khususnya dokter, terdengar keluhan imbal jasa yang sangat
minim, tak sebanding dengan tenaga dan keahlian mereka. Sedangkan dari penyedia fasiltas
kesehatan, khususnya rumah sakit, hingga kini masih saja ada laporan tentang pembayaran klaim
yang tak tepat waktu.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, penulis menyarankan kepada BPJS Kesehatan untuk
melakukan perbaikan sejumlah peraturan, memperbaiki pelayanan kepada pasien dan lebih
menghargai dokter. Bahkan, kalau memang besaran iuran yang berlaku saat ini dinilai kurang
memadai dan harus ditingkatkan, hendaknya disampaikan kepada pemerintah dan DPR. Bila
kenaikan iuran dianggap tindakan tidak populer, pemerintah bisa mengalokasikan lebih banyak
dana ke BPJS Kesehatan, termasuk menambah jumlah PBI, sejalan dengan peningkatan signifikan
anggaran kesehatan pada belanja APBN

Rasanya, tidak ada lagi yang pro dengan aturan baru BPJS Kesehatan. Sebelumnya,
menteri kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI),
hingga Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik (Perdosri) sudah
menolak peraturan direktur jaminan pelayanan BPJS Kesehatan. Kini giliran Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) dan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) yang menolak aturan
tersebut.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kemarin juga menegaskan lagi sikap penolakan terhaap
aturan yang berimbas pengurangan pelayanan kepada masyarakat itu. Peraturan tersebut
membatasi jaminan pelayanan terhadap katarak, rehabilitasi medik, dan bayi baru lahir sehat.
"Kondisi defisit pembiayaan JKN (jaminan kesehatan nasional, Red) tidak boleh jadi alasan
menurunkan mutu pelayanan," ujar Ketua Umum Pengurus Besar IDI Ilham Oetama Marsis
kemarin.

Tiga aturan baru BPJS Kesehatan itu diluncurkan 21 Juli lalu. Aturan tersebut terkait
dengan pelayanan katarak, persalinan ibu dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik. Untuk
katarak, BPJS Kesehatan hanya mau membiayai pasien dengan gangguan penglihatan yang masuk
kategori sedang. Bila gangguan penglihatan masih ringan, operasi katarak tidak di-cover BPJS
Kesehatan.

Kemudian, untuk persalinan ibu dengan bayi lahir sehat, hanya biaya kesehatan ibu yang
dijamin. Untuk anak, tidak ada jaminan pelayanan. Termasuk, BPJS Kesehatan tidak meng-cover
biaya dokter anak. Kemudian, untuk layanan rehabilitasi medik, fisioterapi dibatasi dua kali
seminggu. Juga, rumah sakit yang tidak memiliki spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi
(SpKFR) tidak bisa mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan.
Aturan itu diberlakukan demi efisiensi keuangan BPJS Kesehatan. Pengurangan pelayanan
kepada pasien tersebut dipilih untuk menghemat Rp 360 miliar setahun. Akibat aturan itu, banyak
rumah sakit yang menghentikan layanan fisioterapi kepada pasien BPJS Kesehatan.

IDI meminta BPJS Kesehatan segera membatalkan tiga aturan itu dan menyesuaikan semua
aturan dengan kewenangannya. "BPJS seharusnya hanya membahas teknis pembayaran, tidak
memasuki ranah medis."

Menurut Ilham, selain merugikan masyarakat luas, aturan itu bertentangan dengan
beberapa regulasi. Di antaranya, pasal 22 dan 25 Perpres Nomor 12 Tahun 2013 yang menyebut
semua jenis penyakit dijamin BPJS Kesehatan. Peraturan direktur itu juga berpotensi melanggar
pasal 24 ayat 3 UU 40/2004 yang menyebutkan bahwa dalam upaya efisiensi, BPJS Kesehatan
seharusnya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien. "Tapi,
BPJS tetap dapat membuat aturan tentang iuran atau urun biaya," papar dia.

Ilham menambahkan, banyak mudarat ketika peraturan tersebut tetap diberlakukan. Akan
sering timbul konflik antara dokter, pasien, dan fasilitas kesehatan (faskes). "Para dokter akan
rawan melanggar sumpah kode etik kedokteran. Kewenangannya untuk mengobati diintervensi
dan direduksi aturan itu," jelasnya.

Saat ini Indonesia berada pada tren 22 hingga 23 kematian per 1.000 kelahiran. Angka itu
tertinggi di ASEAN. "Dengan aturan itu, semakin sulit menurunkan angka kematian anak," papar
dia.

Aman mengungkapkan, setiap bayi yang lahir sangat rentan terhadap risiko kecacatan,
bahkan kematian. Karena itu, pelayanan terhadap bayi baru lahir harus optimal. Selain itu, negara
seharusnya menjamin hak hidup setiap warga negara sesuai dengan amanat UUD 1945. "Nah, ini
baru lahir sudah nggak dikasih hak hidup," ujarnya.

Kecaman juga datang dari Perdami. Ketua III Perdami Johan Hutauruk mengatakan bahwa
aturan itu pun akan menghambat upaya menurunkan angka kebutaan di Indonesia. Selama ini,
menurut Johan, rata-rata pasien katarak adalah masyarakat kelas bawah. Juga, semua
menggunakan skema BPJS Kesehatan. "Ini kalau dihemat justru akan terjadi kerugian besar,"
katanya.
Menurut badan kesehatan dunia WHO, angka kebutaan di Indonesia baru turun jika negeri
ini mampu melakukan operasi katarak terhadap 3.500 orang per 1 juta penduduk. Sementara itu,
tahun lalu baru bisa dilakukan operasi katarak terhadap 325 ribu orang. "Dengan aturan itu, angka
kebutaan bukan tambah turun," papar Johan.

BPJS Kesehatan bergeming. Deputi Direksi Bidang Regulasi dan Hubungan Antarlembaga
BPJS Kesehatan Jenny Wihartini memastikan bahwa lembaganya tetap terus menjalankan tiga
aturan tersebut. Dia mengatakan menyimpan seluruh hasil rapat bersama organisasi profesi soal
pelayanan mata, persalinan, dan rehabilitasi medik.

Dia menyatakan sudah berkonsultasi dengan ahli hukum. "Bahwa berita acara (rapat, Red)
tidak bisa dibatalkan sepihak," katanya. Komentar tersebut dia sampaikan terkait dengan
pencabutan berita acara oleh IDAI, Perdosri, dan Perdami. "(Sebaiknya, Red) yang ingin mencabut
bertemu kembali. Bukan (pencabutan, Red) sepihak," jelasnya. Menurut Jenny, pencabutan
sepihak itu menunjukkan adanya wanprestasi dari yang melakukan pencabutan.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi
Mohamad Arief membantah anggapan bahwa keluarnya tiga aturan itu menurunkan mutu
pelayanan kesehatan. Dia mengatakan, selama ini belum ada ketetapan mutu layanan terkait
dengan tiga layanan tersebut.

Budi juga membantah anggapan bahwa regulasi tentang operasi katarak tidak sejalan
dengan program menekan angka kebutaan. "Kami justru memprioritaskan orang yang menuju
kebutaan," katanya. Penderita katarak yang belum parah memang tidak menjadi prioritas.

Budi juga menampik anggapan bahwa BPJS Kesehatan tidak mendukung upaya
menyelamatkan ibu melahirkan dan bayi. Dia menjelaskan, bayi yang lahir sehat, BPJS Kesehatan
hanya membayar biaya persalinan ibunya. Tetapi, bagi bayi yang lahir dengan kondisi khusus,
klaim terpisah dari ibunya.

Anda mungkin juga menyukai