Anda di halaman 1dari 3

Patofisiologi Terkini Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung yang disebabkan proses
inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat paparan alergen pada mukosa
hidung. Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang, cairan hidung yang jernih dan
hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversibel, secara spontan atau dengan
pengobatan. Rhinitis alergi melibatkan radang selaput lendir hidung, mata, tabung eustachius,
telinga tengah, sinus, dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain yang terpengaruh
pada individu tertentu. Radang selaput lendir ditandai dengan interaksi yang kompleks dari
mediator inflamasi tapi akhirnya dipicu oleh imunoglobulin E (IgE) respon -dimediasi ke protein
ekstrinsik.
Kecenderungan untuk menjadi alergi, atau IgE-mediated, reaksi terhadap alergen ekstrinsik
(protein mampu menyebabkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu yang
rentan, paparan protein asing tertentu menyebabkan sensitisasi alergi, yang dicirikan oleh
produksi IgE spesifik ditujukan terhadap protein tertentu. Ini khusus mantel IgE permukaan sel
mast, yang hadir dalam mukosa hidung. Ketika protein tertentu (misalnya, serbuk sari biji-bijian
tertentu) yang dihirup ke dalam hidung, dapat mengikat IgE pada sel mast, menyebabkan
pembebasan segera dan tertunda dari sejumlah mediator.
Mediator yang dikeluarkan segera termasuk histamin, tryptase, chymase, kinins, dan
heparin. Sel-sel mast cepat mensintesis mediator lainnya, termasuk leukotrien dan
prostaglandin D2. Mediator ini melalui berbagai interaksi akhirnya mengarah pada gejala
rhinorrhea (yaitu, hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal, kemerahan, merobek, bengkak,
tekanan telinga, postnasal drip). Kelenjar mukosa distimulasi, menyebabkan peningkatan sekresi.
Permeabilitas pembuluh darah meningkat, menyebabkan eksudasi plasma. Vasodilatasi terjadi,
yang menyebabkan kebuntuan hidung dan tekanan. saraf sensorik dirangsang, menyebabkan
bersin dan gatal-gatal. Semua peristiwa ini dapat terjadi pada menit; maka, reaksi ini disebut
awal, atau langsung, fase reaksi.
Selama 4-8 jam, mediator ini, melalui interaksi yang rumit dari peristiwa, mengarah pada
perekrutan sel inflamasi lain untuk mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit, dan
makrofag. Hal ini menyebabkan peradangan lanjutan, disebut tanggapan akhir-fase. Gejala-
gejala respon akhir-fase yang mirip dengan tahap awal, tetapi kurang bersin dan gatal-gatal dan
lebih kemacetan dan lendir produksi cenderung terjadi. Tahap akhir dapat bertahan selama
berjam-jam atau hari. Efek sistemik, termasuk kelelahan, mengantuk, dan malaise, dapat terjadi
dari respon inflamasi. Gejala ini sering menyebabkan gangguan kualitas hidup.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergiterdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fasecepat (RAFC) yang berlangsung secara kontak
dengan alergen sampai 1 jamsetelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi tipe lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.Pada kontak pertama dengan
alergen atau tahap sensitisasi, makrofag ataumonosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell /APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah di proses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
denganmolekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan
melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) angakan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2.Th2 akan menghasilkan akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3,IL
4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sellimfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksiimunoglobulin E. IgE di sirkulasi diikat oleh
reseptor IgE dipermukaan selmastoid atau basofil (sel mediiator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Prosesini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi
terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergenspesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofildengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin
juga dikeluarkan newly formedmediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LT
D4), leukotrien C4 (LT C4), bradykinin, Pletelet Activating Factor (PAF), dan berbagaisitokin (IL 3,
IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulosyte Macrophage Colony).
Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh Ishizaka (Amerika) dan
Johansson & Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung timbulnya penyakit alergi, telah
membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan diagnostik. Selanjutnya pemeriksaan invivo dan
invitro ditujukan untuk membuktikan adanya IgE yang bebas atau terikat pada sel atau
mendeteksi mediator yang dilepaskan. Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase
cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). RAFC berlangsung sampai satu jam setelah
kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen,
sedangkan RAFL berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4-8 jam pertama.
Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup bersama inhalasi
udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai
fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell atau APC) diproses menjadi peptida
pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan molekul HLA (Human
Leucocyte Antigen) kelas II membentuk kompleks MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas
II yang kemudian dipresentasikan pada sel Th0 (T helper 0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1
dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediator)
terutama histamin. Selain histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat.
Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersinbersin. Selain itu histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet akan mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain seperti hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini akan berlanjut,
dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta
peningkatan berbagai sitokin pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Pada fase ini,
selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.5,6,9,11
Paparan alergen dosis rendah yang terus menerus pada seseorang penderita yang mempunyai
bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada sel B disertai adanya pengaruh
sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah
jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan
dengan reseptornya dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. Sel mastosit
kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam
jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung.

Anda mungkin juga menyukai