Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI PADA SPONDILITIS TUBERKULOSIS

Pembimbing :

dr. Liana Sutantio, Sp. Rad


dr. Ratih Ismiranti Murni, Sp. Rad

Oleh :

Nadira Juanti Pratiwi

Ilham Ghifari

Tian Tiffani

Desti Oki Lestari

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM SEKARWANGI
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehinnga kami dapat merampungkan tugas dengan judul “Gambaran
Radiologi pada Spondilitis Tuberkulosis”.

Makalah ini membahas mengenai macam macam gambaran radiologi baik pada
rontgen, usg, ct scan maupun MRI pada spondylitis tuberculosis. Tujuan dibuatnya
makalah ini untuk memenuhi tugas kepaniteraan di Stase Radiologi.

Kami sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Terakhir kami ucapkan terima kasih kepada semua yang telah berperan dalam
penyusunan makalah ini. Semoga Tuhan membalas segala kebaikan kita dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis.
Aamin.

Sukabumi, November 2018

Penulis
Bab I
Pendahuluan

1. Latar Belakang
Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai spondilitis
tuberkulosis (TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk
defisit neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu
diagnosis dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan
sering disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya.
Diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi
deformitas tulang belakang yang berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti
paraplegia.

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 10,4 juta


kasus TB baru sepanjang tahun 2015. Enam puluh persen diantaranya tercatat
berasal dari enam negara dimana Indonesia tercatat sebagai negara kedua terbanyak
setelah India, diikuti oleh China, Nigeria, Pakistan dan Korea Selatan (WHO,
2016).

Setidaknya hingga 20 persen penderita TB paru akan mengalami penyebaran


TB ekstraparu. Tuberkulosis ekstraparu dapat berupa TB otak, gastrointestinal,
ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan endometrial. Sebelas persen
dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular dimana sebagian besar mengenai
tulang belakang (WHO, 2016).

Radiologi merupakan salah satu modalitas penunjang yang paling berperan


dalam membantu penegakan diagnosis Spondilitis TB. Klinisi dapat menemukan
penyempitan jarak antara diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan
vertebra, sekuentrasi serta massa para vertebra.
Bab II
Pembahasan

1. Anatomi Vertebra
Vertebra adalah tulang yang membentuk
punggung yang mudah digerakkan.
Terdapat 33 vertebra pada manusia, 7 ruas
vertebra cervicalis, 12 ruas vertebra
thoracalis, 5 ruas vertebra lumbalis, 5 ruas
vertebra sacralis yang membentuk os
sacrum, dan 4 ruas vertebra coccygealis
yang membentuk os coccygeus. Vertebra ini
tersusun sedemikian sehingga membentuk
sebuah kurvatura (lordosis cervicalis,
kifosis thoracalis, lordosis lumbalis, kifosis
sacralis). Kurvatura tersebut dapat dilihat
pada gambar 1.

Gambar 1. Gambaran Kurvatura vertebrae


Sebuah vertebra terdiri atas dua bagian yakni bagian
anterior yang terdiri dari corpus vertebrae, dan bagian
posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae
dibentuk oleh dua pediculus dan dua lamina, serta didukung
oleh procesus articularis, procesus transversus, dan procesus
spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut
foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen
ini akan membentuk saluran sebagai tempat medulla spinalis.
Di antara dua vertebra dapat ditemui celah yang disebut
foramen intervertebrale. Dan di antara satu corpus vertebra
dengan corpus vertebra lainnya terdapat discus
intervertebralis. Perbandingan anatomi vertebra cervical,
thorakal dan lumbal dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Gambaran vertebra

2. Spondilitis Tuberkulosis
a. Definisi
Spondilitis tuberkulosis atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama
Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu
penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan
oleh Percivall Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara
kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak
dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch
tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa terdapat 10,4 juta kasus TB
baru sepanjang tahun 2015. Enam puluh persen diantaranya tercatat berasal dari enam
negara dimana Indonesia tercatat sebagai negara kedua terbanyak setelah India, diikuti
oleh China, Nigeria, Pakistan dan Korea Selatan. Setidaknya hingga 20 persen penderita
TB paru akan mengalami penyebaran TB ekstraparu. Tuberkulosis ekstraparu dapat
berupa TB otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan
endometrial. Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular dimana
sebagian besar mengenai tulang belakang (WHO, 2016).

b. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia yang berkorelasi dengan
kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial
ekonomi negara tersebut. Sepuluh persen dari total kasus tuberkulosis akan berlanjut
menjadi spondilitis. Area thorako-lumbal terutama thorakal bagian bawah (40-50%)
dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area
ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, diikuti dengan
area servikal dan sacral.

Tidak terdapat perbedaan signifikan kejadian Pott Disease antara laki-laki dan
perempuan (1,5:2). Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi yang
buruk dan riwayat pajanan dengan infeksi tuberkulosis. Di Amerika dan dibeberapa
negara berkembang, penderita umumnya adalah dewasa. Penderita dengan usia anak-
anak dan remaja ditemukan di negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang tinggi.

c. Etiologi
Spondilitis tuberculosis disebabkan oleh bakteri berbentuk basil yang tersering
adalah Mycobacterium tuberculosis. Spesies Mycobacterium yang lain dapat juga
bertanggungjawab sebagai penyebab antara lain Mycobacterium africanum (penyebab
tuberculosis tersering di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, dan non-tuberculous
mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini
menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.

d. Patofisiologi
Spondilitis tuberkulosis merupakan kelainan sekunder yang dialami oleh penderita
tuberkulosis yang memiliki beberapa faktor predisposisi seperti faktor imunitas yang
buruk. Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan akan
menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru (Fokus Ghon). Bakteri kemudian menyebar
secara limfogen dan menyebabkan terjadinya limfangitis lokal dan limfadenitis
regional. Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional ini
disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita tidak cukup kompeten
infeksi dapat menyebar secara hematogen/ limfogen dan bersarang di seluruh tubuh
mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular,
hingga endometrial.
Spondilitis TB terjadi akibat penyebaran secara hematogen/ limfogen melalui nodus
limfatikus paraaorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang sebelumnya
sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di paru,
sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus venosus
paravertebral Batson.
Lesi tuberkulosis pada tulang
belakang dimulai dengan adanya
infeksi yang merangsang inflamasi
paradiskus, hiperemia, edema
sumsum tulang belakang. Hal ini
akan mengakibatkan penekanan
pada aliran darah ke tulang serta
menyebabkan nekrosis perkijuan Gambar 3. Ilustrasi deformitas kifotik
yang menghambatkan proses perbaikan jaringan Destruksi tulang terjadi akibat lisis
jaringan tulang karena proses inflamasi diperberat oleh adanya iskemik sekunder akibat
tromboemboli. Beban gravitasi vertebra torakal tertumpu pada setengah anterior dan
adanya tarikan dari otot torakolumbal pada sisi anteriornya sehingga akan menimbulkan
deformitas kifotik yang disebut dengan Gibbus. Gambar 3 menunjukan ilustrasi gibbus.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga
abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk
likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari
leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil. Abses di daerah lumbar akan
mencari daerah dengan tekanan terendah hingga kemudian membentuk traktus sinus/
fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal atau regio gluteal.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral;
2) subluksasio sendi faset patologis; 3) jaringan granulasi; 4) vaskulitis, trombosis
arteri/ vena spinalis; 5) kolaps vertebra; 6) abses epidural atau; 7) invasi duramater
secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural
melalui meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion.
Spondilitis TB dengan defisit neurologis lebih sering terjadi pada kasus yang
mengenai vertebra torakal dan sangat jarang ditemukan pada lesi di vertebra lumbal.
Ada dua hipotesis yang dapat menjelaskan hal ini yaitu :
 Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis
segmen torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri.
Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan
paraplegia.
 Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya.
Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10,
sedangkan foramen vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra
lumbalis, foramen vertebralenya lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila
ada kompresi dari bagian anterior
e. Penegakan Diagnosis
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik dan
membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien TB paru dengan
keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap spondilitis TB sebelum terbukti
sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru, atau
riwayat gejala-gejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama, penurunan
berat badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama merupakan
keluhan yang paling sering ditemukan namun cepat menghilang (satu hingga empat
hari) jika diobati secara adekuat. Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi
keluhan utama yang membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis
lainnya yang mungkin seperti rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.

Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru atau
di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi TB ekstraspinal. Pernapasan cepat dapat diakibatkan
oleh hambatan pengembangan volume paru oleh tulang belakang yang kifosis atau
infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan
terdengar sebagai suara amforik atau bronkial dengan predileksi di apeks paru.
Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus diperiksa secara seksama. Infeksi TB
spinal dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba, bahkan
terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus diperiksa
secara teliti untuk mencari muara sinus/ fistel hingga regio gluteal dan di bawah inguinal
atau trigonum femoral.

Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski


masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting untuk
menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan
gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan
upper motor neuron (UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis
flaksid, baru setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis yang positif.
Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika
radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Dapat ditemukan adanya atrofi otot bilateral
pada kasus kelumpuhan lama. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk
protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk
proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat
rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom. Hal yang perlu digarisbawahi pada
spondilitis TB adalah nyeri punggung nonspesifik, deformitas kifotik, kompresi medula
spinalis yang sering menjadi alasan penderita untuk datang berobat.

Pemeriksaan penunjang meliputi studi hematologis, biopsi dan radiologi. Laju endap
darah (LED) biasanya meningkat, namun tidak spesifik menunjukkan proses infeksi
granulomatosa TB. Peningkatan kadar C-reactive protein (CRP) diasosiasikan kuat
dengan formasi abses. Uji Mantoux positif pada sebagian besar pasien (84–95%) namun
hanya memberi petunjuk tentang paparan bakteri TB sebelumnya atau saat ini.
Spesimen sputum memberikan hasil positif hanya jika proses infeksi paru sedang aktif.

Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi tulang belakang
atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukan secara perkutan dan dipandu dengan
Ct-scan atau fluoroskopi. Spesimen kemudian dikirim ke laboratorium untuk
pemeriksaan histologis, kultur dan pewarnaan basil tahan asam (BTA), gram, jamur dan
tumor. Kultur BTA positif pada 60–89 persen kasus.
Studi histologi jaringan penting untuk memastikan diagnosis jika kultur negatif,
pewarnaan BTA negatif, sekaligus menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Temuan
histologi pada infeksi TB jaringan adalah akumulasi sel epiteloid (granuloma epiteloid),
sel datia langhans dan nekrosis kaseosa. Sel epiteloid adalah sel mononuklear yang
memfagositosis basil tuberkulosis dengan sisa-sisa lemak kuman pada
sitoplasmanya.Granuloma epiteloid dapat ditemukan pada 89 persen spesimen yang
merupakan gambaran khas histologi infeksi TB.

f. Diagnosis Banding
Hal yang perlu digarisbawahi pada spondilitis TB adalah nyeri punggung nonspesifik,
deformitas kifotik, kompresi medula spinalis yang sering menjadi alasan penderita
untuk datang berobat. Sangat penting untuk membedakan spondilitis TB dari penyakit
lainnya, karena terapi dini yang tepat dan akurat dapat mengurangi angka disabilitas
dan morbiditas pasien.
 Spondilitis piogenik
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang
serupa dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa
pemeriksaan penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan
oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara
epidemiologi, spondilitis piogenik lebih sering menyerang usia produktif, sekitar
usia 30–50 tahun. Hingga saat ini, prevalensi spondilitis piogenik dilaporkan
meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasif
spinal, pembedahan spinal. Di lain pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB semakin
berkurang dengan penggunaan OAT. Spondilitis piogenik memiliki perjalanan
yang lebih akut dengan gejala yang hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra
servikal dan lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan dengan spondilitis TB yang
lebih sering menyerang vertebra torakolumbal lebih dari satu vertebra.
Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah leukosit, dan hitung
jenis dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik, peningkatan CRP lebih
bermakna dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada beberapa kasus dapat
normal. Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI.
Jung dkk menjabarkan beberapa perbedaan temuan MRI secara rinci yang
mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal berbatas tegas; 2)
dinding abses tipis dan halus; 3) adanya abses paraspinal dan intraoseus; 4)
penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra; 5) keterlibatan vertebra torakal; 6)
lesi multipel . Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan di atas, tampaknya
diagnosis infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada
dkk menambahkan bahwa adanya sinyal abnormal pada sendi faset merupakan
karakteristik infeksi piogenik. Kultur dan pewarnaan Gram spesimen tulang yang
diambil melalui biopsi perkutan/terbuka dapat memastikan diagnosis, namun
tindakan ini termasuk tindakan invasif.
 Tumor metastatik spinal, mencakup 85 % bagian dari semua tumor tulang belakang
yang mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor
metastasik spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat
yaitu torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan
bermetastasis ke medula spinalis meliputi tumor payudara, prostat, paru, limfoma,
sarkoma, dan mieloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna dan rongga
pelvis relatif melibatkan vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan
mamae lebih sering melibatkan vertebra torakal.
 Keganasan primer pada pasien anak-anak yang cukup sering menyebabkan
kompresi medula spinalis meliputi neuroblastoma, Sarkoma Ewing, dan
hemangioma. Formasi abses dan adanya fragmen tulang adalah temuan MRI yang
dapat membedakan spondilitis TB dari neoplasma. Keluhan yang sering berupa
nyeri punggung belakang yang kronis progresif yang tidak spesifik, hal inilah yang
menyebabkan neoplasma spinal sulit dibedakan dengan spondilitis TB. Adanya
riwayat keganasan di tempat lain dapat membantu penegakkan diagnosis. Defisit
neurologis terjadi tergantung tingkat lesi, muncul jika tumor sudah menekan
epidural dan medula spinalis. Kolaps vertebra dengan deformitas kifotik atau
skoliotik terjadi akibat destruksi badan vertebra/ fraktur oleh invasi tumor dengan
diskus yang bebas dari kerusakan. MRI belum dapat secara pasti menyingkirkan
atau memastikan diagnosis tumor spinal. Semua temuan-temuan MRI spondilitis
TB bisa ditemukan pada tumor spinal.
 Fraktur kompresi badan vertebra berpotensi menyebabkan deformitas kifotik
disertai gangguan neurologis dengan derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan
kekuatan yang besar untuk membuat badan vertebra yang bersangkutan retak,
kecuali jika didapatkan osteoporosis, usia tua atau penggunaan steroid jangka
panjang. Contoh klasik trauma yang menyebabkan fraktur kompresi seperti jatuh
dari ketinggian dengan bokong terlebih dahulu. Kecelakaan mobil juga dapat
menyebabkan dampak serupa. Mekanisme fleksi-kompresi biasanya menyebabkan
fraktur kompresi dengan bagian anterior mengecil (wedge-shaped) dengan derajat
kerusakan bagian tengah dan posterior yang bervariasi. Medula spinalis segmen
torakal lebih sering mengalami cedera karena merupakan segmen yang paling
panjang dibandingkan segmen lainnya dan juga karena kanalis spinalisnya yang
lebih sempit dengan vaskularisasi yang tentatif. Diagnosis ditegakkan dengan
temuan klinis dan adanya riwayat trauma yang bermakna dikombinasikan dengan
ada/ tidaknya faktor risiko seperti osteoporosis atau usia.
 Spondilitis bruselosis merupakan diagnosis diferensial yang utama. Demam,
keringat dingin dan nyeri sendi adalah gejala yang lebih sering ditemukan pada
spondilitis bruselosis, sementara gangguan neurologis dan deformitas lebih banyak
ditemukan pada spondilitis TB. Sakroiliitis dan diskitis lebih sering didapatkan
pada pasien spondilitis bruselosis. Diagnosis diferensial lainnya yang perlu
dipertimbangkan antara lain: spondilitis jamur yang dapat ditemukan pada pasien-
pasien dengan inkompetensi imun, mielitis transversa, sarkoidosis, dan reumatoid
artritis.
 Scheuermann’s disease, mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena
tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan
inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
Tabel 1 Diagnosis Banding Spondilitis ()

g. Terapi
Prinsip terapi pada kasus spondilitis tuberkulosis adalah mengeradikasi infeksi
tuberkulosis dan mencegah serta mengkoreksi deformitas vertebra atau paraplegia.
 Terapi Konservatif
Pemberian antituberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh kasus
termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat
secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. The Medical Research
Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa spinal di
negara yang sedang berkembang adalah dengan regimen isoniazid dan rifamipicin
selama 6-9 bulan. Pemberian antituberkulosis dilakukan pada penyakit yang
sifatnya dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat
diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi
tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah masalah
kepatuhan pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan
hal yang kontroversial. Terapi yang lama 12-18 bulan, dapat menimbulkan
ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan
menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami
resistensi OAT. Obat antituberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),
rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol
(EMB). Pada pasien-pasien yang diberikan OAT harus selalu dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.

Tabel 1. Rekomendasi Dosis OAT Anak dan Dewasa

 Terapi Pembedahan
Sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami
perbaikan dengan pemberian OAT saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat
untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan
timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya
beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan
bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi OAT dan tirah baring dilakukan tetapi
tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi
dengan operasi secara langsung dan untuk mengevakuasi pus tuberkulosa,
mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan
segmen tulang belakang yang terlibat.
h. Prognosis
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan
kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi
yang diberikan.
 Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini
dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
 Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan
regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
 Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetik
secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis
atau kegagalan pernapasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.
 Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara
spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik
dengan dilakukannya operasi dini.
3. Gambaran Radiologi Spondilitis Tuberkulosis
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik pada tulang
belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan seperti sinar-X,
Computed Tomography Scan (CT scan), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pada
infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak antar diskus intervertebralis,
erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi, serta massa paravertebra. Pada
keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke arah anterior sehingga menyerupai akordion
(concertina), sehingga disebut juga concertina collapse.

Gambaran radiologi Thorax pada Spondilitis TB


a. Radiologi Konvensional
Radiologi konvensional menggunakan sinar X merupakan pemeriksaan radiologis
awal yang paling sering dilakukan dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang
diambil sebaiknya dua jenis, proyeksi AP dan lateral. Pada fase awal, akan tampak lesi
osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan
ruang diskus intervertebralis menandakan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan
jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat,
yang merupakan cold abscess.
Kelainan pada vertebra ini beronset lambat dan progresif dengan beberapa
karakteristik perubahan antara lain:
 Destruksi litik bagian anterior korpus vertebra dan dapat menyebabkan korpus
kolaps
 Peningkatan anterior wedging
 Sclerosis reaktif pada proses litik progresif
 Pembesaran bayangan psoas dengan atau tanpa kalsifikasi
 Osteoporosis pada end-plates vertebra
 Diskus intervertebralis menipis hingga hancur
 Bayangan vertebra fusiform yang mengarah pada pembentukan abses

A Pencitraan Sinar X oblik dan B CT Scan terlihat lesi litik pada anterolateral korpus vertebra
yang menunjukan tanda awal kerusakan karena Spondylitis TB (panah putih)
Pencitraan radiografi anteroposterior (A) dan lateral (B) menunjukkan adanya destruksi corpus
vertebra lumbal I dan II dengan hilangnya discus intervertebralis. Destruksi corpus vertebra
terletak pada bagian anterior corpus, yang menyebabkan deformitas khas berupa gibbus.
Terdapat sklerosis reaktif yang merupakan ciri khas dari infeksi tuberkulosa

Gibbus pada regio torakolumbar


pasien dengan Spondilitis TB(kiri).
MRI menunjukkan spondilitis TB
pada T10-T12. Spondilitis TB
menyebabkan kerusakan dan
angulasi kolumna vertebra
Pencitraan Sinar X proyeksi lateral
menunjukan Gambaran Vertebra
plana/ Pancake Vertebra, tampak
kompresi komplit korpus vertebra
pada vertebra thorakalis (panah
putih)

b. CT Scan
CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan mendeteksi lesi
lebih dini dibandingkan foto polos. Pada suatu penelitian, didapatkan 25% penderita
memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan dan MRI. CT scan secara efektif
dapat melihat kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT scan dapat digunakan
untuk memandu prosedur biopsy. Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus
dan kemudian menyebar sehingga vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam
vertebra yang hancur. CT scan dapat menggambarkan keterlibatan elemen posterior
bilateral akan berakibat instabilitas tulang belakang sehingga tindakan operatif
merupakan indikasi dan prosedur anterior strut grafting mungkin tidak adekuat sehingga
dibutuhkan instrumentasi posterior.
CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler,
skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. Mendeteksi lebih awal
serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak.
Terlihat destruksi litik pada vertebra dengan abses soft-tissue
Infeksi tuberkulosa pada sacrum. Unenhanced
CT scan dari pelvis menunjukkan destruksi dari
bagian anterior sacrum dan abses tuberkulosa
luas pada presacral (tanda panah putih). Terdapat
pula sequestrum (tanda panah hitam)

(Poin 6) CT-scan abdomen dengan kontras menunjukkan destruksi litik dari bagian anterior
corpus vertebrae lumbal I (panah hitam) dan pembentukan abses di psoas kanan dan
paraspinal. (Poin 7) CT-scan spinal tanpa kontras menunjukkan destruksi dan fragmentasi
dari corpus vertebrae lumbal I. Terdapat perluasan posterior dari abses intraosseus (panah)
yang menghasilkan gangguan ringan pada saccus thecal
Pada CT scan dengan kontras abdomen menunjukan destruksi litik pada bagian anterior dari
corpus vertebra lumbal I (tanda panah hitam) dan pembentukan abses pada paraspinal
terdekat dan psoas kanan (tanda panah putih).

c. MRI
Kelebihan MRI adalah kemampuannya dalam proyeksi multiplanar dan dalam
spesifitas terutama jaringan lunak yang dapat ditampilkan lebih baik sehingga dapat
mendeteksi lesi lebih awal dan lebih menyeluruh. Pada MRI akan ditemukan penurunan
intensitas sinyal fokus infeksi pada gambaran T1-weighted dan peningkatan sinyal yang
heterogen pada gambaran T2-weighted. Pada pemberian kontras infeksi tuberkulosis
memperlihatkan penyangatan inhomogen pada infiltrasi sumsum tulang dengan tepi lesi
menyangat. Abses tuberkulosis pada pemberian kontras akan memperlihatkan
penyangatan perifer dengan nekrosis sentral. Keterlibatan diskus invertebralis sebagian
besar akan menampilkan gambran klasik diskitis berupa peningkatan singal pada
gambaran T2-weighted, penurunan sinyal pada gambaran T1-weighted dan menyangat
setelah pemberian kontras

MRI menggambarkan perluasan infeksi paling baik dan dapat memperlihatkan


penyebaran granuloma tuberkulosis di bawah ligamentum longitudinal anterior dan
posterior. MRI dapat membedakan jaringan patologis yang mengakibatkan penekanan
pada struktur neurologis. Hal ini penting karena intervensi bedah dibutuhkan pada
defisit neurologis yang disebabkan penekanan oleh deformitas tulang berupa kifosis
atau oleh konstriksi akibat fibrosis di sekeliling kanalis neuralis.

Gambar A, MRI potongan sagital T1-weighted enhanced menunjukkan peningkatan secara


luas dalam corpus vertebrae thorax VIII yang disebabkan infeksi tuberkulosa. Abses
intraosseus dalam corpus vertebrae thorax IX menunjukkan penebalan lingkar dari
penyangatan. Terdapat penyangatan dari abses epidural dan perluasan bagian cephalic dan
caudal secara jelas tergambar dengan penggunaan kontras. Gambar B, MRI potongan
coronal T1 weighted enhanced dari spina thorak menunjukkan ketebalan lingkar dari
penyangatan disekitar abses intraosseous. Abses paraspinal kecil terlihat secara bilateral
(panah)
Bab III
Kesimpulan

Spondilitis Tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah di dunia terutama bagi
negara-negara berkembang. Spondilitis tuberkulosis hampir sebagian besar merupakan
penyakit sekunder dari lesi primer tuberkulosis paru. Penegakan diagnosis tuberkulosis di
tempat lain sangat menunjang dalam mengarahkan diagnosis pada kasus ini.
Modalitas radiografi konvensional yang saat ini sudah dimiliki oleh fasilitas
kesehatan di Indonesia merupakan penunjang yang dapat membantu mengarahkan diagnosis
tentu dengan dasar kecurigaan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Gambaran radiologi
yang hampir sama dengan beberapa penyakit lain dan onset munculnya kelainan poto polos
yang relatif lebih lama mengakibatkan keterlambatan diagnosis.
Modalitas CT Scan dan MRI dapat mendeteksi kelaianan yang mengarah pada
spondilitis tuberkulosis lebih cepat dibanding poto polos namun ketersediaan sarana ini
masih sangat terbatas. Kerjasama yang baik antara dokter penanggungjawab pasien dan
dokter radiografi akan sangat membantu dalam proses interpretasi sehingga radiologi
mampu menunjang penegakan diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, 2016. Global Tuberculosis Report. WHO/HTM/TB/2016.13


2. Teo, EL., Peh, WC. 2004. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J Vol
45(9). p 439.
3. Hidalgo, JA. 2016. Pott Disease: Background, Patophysiology, Epidemiology.
Medscape. (http://emedicine.medscape.com/article/226141-overview)
4. Rasad, S., Ekayuda, I,, dkk. 2009. Radiologi Diagnostik. Edisi II. Jakarta: FKUI
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Grafika. p. 5
6. Agrawal, V,. Patgaonkar, P.R., Nagariya, S.P. 2010. Tuberculosis of Spine. Journal of
Craniovertebral Junction and Spine. 1(10). p 14
7. Jain, A.K., Dhammi, I.K., Jain, S., Mishra, P. 2010. Kyphosis in spinal tuberculosis-
Prevention and correction. Indian J Orthop. 44(2). pp 127–136
8. Ahn, J.S., Lee, J.K. 2007. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and
Pyogenic Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal. 1(2). pp 75-79
9. https://radiopaedia.org/articles/tuberculous-spondylitis-2

Anda mungkin juga menyukai

  • Demi Cinta
    Demi Cinta
    Dokumen1 halaman
    Demi Cinta
    Desti Oki Lestari
    Belum ada peringkat
  • Jumantik Cilik
    Jumantik Cilik
    Dokumen27 halaman
    Jumantik Cilik
    Desti Oki Lestari
    Belum ada peringkat
  • Rela
    Rela
    Dokumen1 halaman
    Rela
    Desti Oki Lestari
    Belum ada peringkat
  • Case Desti
    Case Desti
    Dokumen28 halaman
    Case Desti
    Desti Oki Lestari
    Belum ada peringkat
  • Jumantik Cilik
    Jumantik Cilik
    Dokumen30 halaman
    Jumantik Cilik
    Desti Oki Lestari
    Belum ada peringkat
  • CVR RFT
    CVR RFT
    Dokumen2 halaman
    CVR RFT
    Desti Oki Lestari
    Belum ada peringkat
  • PR 1
    PR 1
    Dokumen3 halaman
    PR 1
    Desti Oki Lestari
    Belum ada peringkat
  • Tutorial SYOK
    Tutorial SYOK
    Dokumen25 halaman
    Tutorial SYOK
    Desti Oki Lestari
    Belum ada peringkat