Anda di halaman 1dari 19

BANTUAN HIDUP DASAR

( BHD )

dr. Purwoko, SpAn

SMF/Bagian Anestesiologi Dan Reanimasi

RSUD Dr. Moewardi Surakarta / FK UNS

A. INDIKASI

1. Henti napas
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari korban / pasien.

Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup
Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan :

 Tenggelam
 Stroke
 Obstruksi jalan napas
 Epiglotitis
 Overdosis obat-obatan
 Tersengat listrik
 Infark miokard
 Tersambar petir
 Koma akibat berbagai macam kasus

Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa
menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika
pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap
hidup dan mencegah henti jantung.
2. Henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya
henti jantung.

Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik
yang bertujuan :

a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.


b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :

 Survei Primer (Primary Surgery), yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
 Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis
dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer.

B. SURVEI PRIMER
Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta
defibrilasi. Untuk dapat mengingatkan dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan
dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu :

A airway (jalan napas)

B breathing (bantuan napas)

C circulation (bantuan sirkulasi)

D defibrilation (terapi listrik)


Sebelum melakukan tahapan A(airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur awal
pada korban / pasien, yaitu :

1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong.


2. Memastikan kesadaran dari korban / pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak, penolong harus melakukan
upaya agar dapat memastikan kesadaran korban / pasien, dapat dengan cara menyentuh
atau menggoyangkan bahu korban / pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah
pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! / Bu !!! / Mas !!! /
Mbak !!!

3. Meminta pertolongan
Jika ternyata korban / pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta
bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!” untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis
yang lebih lanjut.

4. Memperbaiki posisi korban / pasien


Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban / pasien harus dalam posisi terlentang
dan berada pada permukaan yang rata dan keras. Jika korban ditemukan dalam posisi miring
atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang. Ingat ! penolong harus
membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara
bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan pada posisi
horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.

5. Mengatur posisi penolong


Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan
sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakan lutut.
A (AIRWAY) Jalan Napas

Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukan


tindakan :

1. Pemeriksaan jalan napas


Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda
asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan
dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain,
sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk
yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari
diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.

2. Membuka jalan napas


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak
sadar tonus otot–otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink,
inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat
dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu (Head tilt – chin lift) dan Manuver
Pendorongan Mandibula. Teknik membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang
awam dan petugas kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu, namun demikian
petugas kesehatan harus dapat melakukan manuver lainnya.

B ( BREATHING ) Bantuan napas

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan korban / pasien tidak bernapas.


Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya
dada, mendengar bunyi napas dan merasakan
hembusan napas korban / pasien. Untuk itu penolong
harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung
korban / pasien, sambil tetap mempertahankan jalan
napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak
boleh melebihi 10 detik.

2. Memberikan bantuan napas.


Jika korban / pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut
ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan)
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang
dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang
dihembuskan adalah 400 -500 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban / pasien terlihat
mengembang.
Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar
tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16–
17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban / pasien setelah diberikan
bantuan napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :

 Mulut ke mulut

Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang


cepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru–paru korban / pasien.

Pada saat dilakukan hembusan napas dari


mulut ke mulut, penolong harus mengambil
napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong
harus dapat menutup seluruhnya mulut korban
dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat
menghembuskan napas dan juga

penolong harus menutup lubang hidung korban / pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang
diberikan pada kebanyakan orang dewasa adalah 400 - 500 ml (10 ml/kg).

Volume udara yang berlebihan dan laju inspirasi yang terlalu cepat dapat
menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

 Mulut ke hidung

Teknik ini direkomendasikan jika usaha


ventilasi dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus atau
dimana mulut korban mengalami luka yang
berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke
hidung, penolong harus menutup mulut
korban / pasien.
 Mulut ke Stoma

Pasien yang mengalami laringotomi


mempunyai lubang (stoma) yang
menghubungkan trakhea langsung ke kulit.
Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan
maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke
stoma.

C (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahapan :

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban / pasien.

Ada tidaknya denyut jantung korban / pasien dapat ditentukan dengan meraba
arteri karotis didaerah leher korban / pasien, dengan dua atau tifa jari tangan (jari telunjuk
dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea,
kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira–kira 1–2 cm, raba dengan
lembut selama 5–10 detik.

Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban
dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan
korban / pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas
pertahankan jalan napas.

2. Melakukan bantuan sirkulasi


Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan
sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik
sebagai berikut :
 Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri
sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
 Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas.
Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong dalam
memberikan bantuan sirkulasi.

 Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak
tangan diatas telapak tangan yang lainnya, hindari jari–jari tangan menyentuh
dinding dada korban / pasien, jari–jari tangan dapat diluruskan atau menyilang.
 Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban dengan
tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan kedalaman
penekanan berkisar antara 1,5–2 inci (3,8–5 cm).
 Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada.
Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama dengan
pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
 Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan
pada saat melepaskan kompresi.
 Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 dilakukan baik oleh 1
atau 2 penolong jika korban / pasien tidak terintubasi dan kecepatan kompresi
adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk kemudian dinilai
apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.
Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60–80
mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya
25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan
prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak
boleh melebihi 30 detik.

D (DEFRIBILATION)

Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia


diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah suatu
terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan
jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah
kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi
Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat untuk
defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang
awam yang disebut Automatic External Defibrilation,
dimana alat

tersebut dapat mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak,
jika perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk
melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi saja.

MELAKUKAN BHD 1 DAN 2 PENOLONG


Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD yang
dilakukan oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1 penolong pada orang awam
lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi yang adekuat, tetapi konsekuensinya akan
menyebabkan penolong cepat lelah.

BHD 1 penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut :

1. Penilaian korban.
Tentukan kesadaran korban / pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut dan
mantap), jika tidak sadar, maka

2. Minta pertolongan serta aktifkan sistem emergensi.


3. Jalan napas (AIRWAY)
 Posisikan korban / pasien
 Buka jalan napas dengan manuver tengadah kepala – topang dagu.
4. Pernapasan (BREATHING)
Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak pernapasan
korban / pasien.

 Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak adanya trauma
leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap (Recovery position),
dengan tetap menjaga jalan napas tetap terbuka.
 Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukan bantuan napas. Di
Amerika Serikat dan dinegara lainnya dilakukan bantuan napas awal sebanyak 2 kali,
sedangkan di Eropa, Australia, New Zealand diberikan 5 kali. Jika pemberian napas awal
terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala korban / pasien, atau
ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :
- Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 30 kali dan 2
kali ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan napas, sambil
mencari benda yang menyumbat di jalan napas, jika terlihat usahakan dikeluarkan.
- Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan napas
oleh benda asing.
- Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan pernapasan.
- Setelah memberikan napas 8-10 kali (1 menit), nilai kembali tanda – tanda adanya
sirkulasi dengan meraba arteri karotis, bila nadi ada cek napas, jika tidak bernapas
lanjutkan kembali bantuan napas.
5. Sirkulasi (CIRCULATION)

Periksa tanda–tanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan pernapasan dengan
cara melihat ada tidaknya pernapasan spontan, batuk atau pergerakan. Untuk petugas
kesehatan terlatih hendaknya memeriksa denyut nadi pada arteri Karotis.

 Jika ada tanda–tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi dada,
hanya menilai pernapasan korban / pasien (ada atau tidak ada pernapasan)

 Jika tidak ada tanda–tanda sirkulasi, denyut nadi tidak ada lakukan kompresi dada :

- Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar.

- Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali dengan kecepatan 100 kali per menit.

- Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan pernapasan.

- Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai kembali
kompresi 30 kali dengan kecepatan 100 kali per menit.

6. Penilaian Ulang

Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi (+2Menit) kemudian korban dievaluasi kembali,

 Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan rasion 30 : 2.

 Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap.

 Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 8-10 kali
permenit dan monitor nadi setiap saat.

 Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan
napas tetap terbuka kemudian korban / pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.
KONSEP INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
 DEFINISI ICU

ICU atau intensive care unit dimulai pertama kali pada tahun 1950-an. Kegawat daruratan
dalam keperawatan berkembang sejak tahun 1970-an. Sebagai contoh, kegawatan di unit
operasi kardiovaskuler, pediatric, dan unit neonates. Keperawatan gawat darurat secara khusus
berkonsentrasi pada respon manusia pada masalah yang mengancam hidup seperti trauma atau
operasi mayor. Pencegahan terhadap masalah kesehatan merupakan hal penting dalam praktik
keperawatan gawat darurat. (Hartshorn et all, 1997).

Unit perawatan kritis atau ICU adalah merupakan unit perawatan khusus yang membutuhkan
keahlian dalam penyatuan informasi, membuat keputusan dan dalam membuat prioritas, karena
saat penyakit menyerang sistem tubuh, sistem yang lain terlibat dalam upaya mengatasi adanya
ketidakseimbangan. Esensi asuhan keperawatan kritis tidak berdasarkan kepada lingkungan
yang khusus ataupun alat-alat, tetapi dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan
pada pemahaman yang sungguh-sungguh tentang fisiologik dan psikologik (Hudak & Gallo,
2012).

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang
khusus dan pelengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi
bagi yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa. ICU menyediakan sarana dan prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsi vital dengan menggunakan keterampilan staf dalam mengelola keadaan
tersebut. Saat ini di Indonesia, rumah sakit kelas C yang lebih tinggi sebagai penyedia
pelayanan kesehatan rujukan yang profesional dan berkualitas dengan mengedepankan
keselamatan pasien.

Adapun beberapa kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah:

1. Pasien berat, kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan
ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus menerus, contoh gagal
nafas berat, syok septik.
2. Pasien yang memerlukan pemantauan intensif invasive atau non invasivesehingga
komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi, contoh paska bedah besar dan luas,
pasien dengan penyakit jantung, paru, ginjal, atau lainnya.
3. Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi akut, sekalipun
manfaat ICU sedikit, contoh pasien dengan tumor ganas metastasis dengan komplikasi,
tamponade jantung, sumbangan jalan nafas.

Sedangkan pasien yang tidak perlu masuk ICU adalah:

1. Pasien mati batang otak (dipastikan secara klinis dan laboratorium).


2. Pasien yang menolak terapi bantuan hidup.
3. Pasien secara medis tidak ada harapan dapat disembuhkan lagi, contoh karsinoma
stadium akhir, kerusakan susunan saraf pusat dengan keadaan vegatatif.
 FUNGSI DAN TUJUAN ICU
 Fungsi ICU
Dari segi fungsinya, ICU dapat dibagi menjadi :

1. ICU Medik
2. ICU trauma/bedah
3. ICU umum
4. ICU pediatrik
5. ICU neonatus
6. ICU respiratorik

Semua jenis ICU tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengelola pasien yang sakit
kritis sampai yang terancam jiwanya. ICU di Indonesia umumnya berbentuk ICU umum,
dengan pemisahan untuk CCU (Jantung), Unit dialisis dan neonatal ICU. Alasan utama untuk
hal ini adalah segi ekonomis dan operasional dengan menghindari duplikasi peralatan dan
pelayanan dibandingkan pemisahan antara ICU Medik dan Bedah.

 Tujuan ICU
Berikut adalah tujuan ICU :

1. Menyelamatkan kehidupan
2. Mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan
monitaring evaluasi yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap data
yang didapat dan melakukan tindak lanjut.
3. Meningkatkan kualitas pasien dan mempertahankan kehidupan.
4. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien.
5. Mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses penyembuhan
pasien

JENIS-JENIS ICU
Pelayanan ICU dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu:

1. ICU Primer
Ruang Perawatan Intensif primer memberikan pelayanan pada pasien yang memerlukan
perawatan ketat (high care). Ruang perawatan intensif mampu melakukan resusitasi jantung
paru dan memberikan ventilasi bantu 24-48 jam. Kekhususan yang dimiliki ICU primer adalah:
1. Ruangan tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat, dan ruang rawat
pasien lain.
2. Memiliki kebijakan/kriteria pasien yang masuk dan yang keluar
3. Memiliki seorang anestesiologi sebagai kepala
4. Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan resusitasi jantung paru
5. Konsulen yang membantu harus siap dipanggil
6. Memiliki 25% jumlah perawat yang cukup telah mempunyai sertifikat pelatihan
perawatan intensif, minimal satu orang per shift
7. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, Rontgen untuk
kemudahan diagnostic selama 24 jam dan fisioterapi (Depkes RI, 2006).
8. ICU Sekunder
Pelayanan ICU sekunder adalah pelayanan yang khusus mampu memberikan ventilasi bantu
lebih lama, mampu melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks. Kekhususan
yang dimiliki ICU sekunder adalah:

1. Ruangan tersendiri, berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat dan ruang rawat
lain
2. Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan
3. Tersedia dokter spesialis sebagai konsultan yang dapat menanggulangi setiap saat bila
diperlukan
4. Memiliki seorang Kepala ICU yaitu seorang dokter konsultan intensif care atau bila
tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang bertanggung jawab secara
keseluruhan dan dokter jaga yang minimal mampu melakukan resusitasi jantung paru
(bantuan hidup dasara dan hidup lanjut)
5. Memiliki tenaga keperawatan lebih dari 50% bersertifikat ICU dan minimal
berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun
6. Kemampuan memberikan bantuan ventilasi mekanis beberapa lama dan dalam batas
tertentu, melakukan pemantauan invasif dan usaha-usaha penunjang hidup
7. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, Rontgen untuk
kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi
8. Memiliki ruang isolasi dan mampu melakukan prosedur isolasi (Depkes RI, 2006).
9. ICU Tersier
Ruang perawatan ini mampu melaksanakan semua aspek perawatan intensif, mampu
memberikan pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan atau bantuan hidup multi system
yang kompleks dalam jangka waktu yang tidak terbatas serta mampu melakukan bantuan renal
ekstrakorporal dan pemantauan kardiovaskuler invasif dalam jangka waktu yang terbatas.
Kekhususan yang dimiliki ICU tersier adalah:

1. Tempat khusus tersendiri di dalam rumah sakit


2. Memilik kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan
3. Memiliki dokter spesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap saat bila
diperlukan
4. Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensif care atau dokter ahli
konsultan intensif care yang lain, yang bertanggung jawab secara keseluruhan. Dan
dokter jaga yang minimal mampu resusitasi jantung paru (bantuan hidup dasar dan
bantuan hidup lanjut)
5. Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat ICU dan minimal berpengalaman kerja
di unit penyakit dalam dan bedah selama tiga tahun
6. Mampu melakukan semua bentuk pemantuan dan perawatan intensif baik invasive
maupun non-invasif
7. Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu, Rontgen untuk
kemudahan diagnostic selama 24 jam dan fisioterapi
8. Memiliki paling sedikit seorang yang mampu mendidik medic dan perawat agar dapat
memberikan pelayanan yang optimal pada pasien
9. Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga rekam medic,
tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian (Depkes RI, 2006).

 INDIKASI MASUK DAN KELUAR ICU


Apabila sarana dan prasarana ICU di suatu rumah sakit terbatas sedangkan kebutuhan
pelayanan ICU yang lebih tinggi banyak, maka diperlukan mekanisme untuk membuat
prioritas. Kepala ICU bertanggung jawab atas kesesuaian indikasi perawatan pasien di ICU.

 Kriteria Masuk
1. Golongan pasien prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan
tertitrasi seperti: dukungan ventilasi, alat penunjang fungsi organ, infus, obat
vasoaktif/inotropic, obat anti aritmia. Sebagai contoh pasien pasca bedah kardiotoraksis, sepsis
berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.

1. Golongan pasien prioritas 2


Golongan pasien memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ICU, sebab sangat beresiko
bila tidak mendapatkan terapi intensif segera, misalnya pemantauan intensif menggunakan
pulmonary arterial catheter. Sebagai contoh pasien yang mengalami penyakit dasar jantung-
paru, gagal ginjal akut dan berat atau pasien yang telah mengalami pembedahan mayor. Terapi
pada golongan pasien prioritas 2 tidak mempunyai batas karena kondisi mediknya senantiasa
berubah.

1. Golongan pasien priorotas 3


Pasien golongan ini adalah pasien kritis, yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya, yang
disebabkan penyakit yang mendasarinya atau penyakit akutnya, secara sendirian atau
kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada golongan ini sangat
kecil. Sebagai contoh ntara lain pasien dengan keganasan metastatic disertai penyulit infeksi,
pericardial tamponande, sumbatan jalan nafas, atau pesien penyakit jantung, penyakit paru
terminal disertai kmplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien golongan ini hanya
untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan
intubasi atau resusitasi jantung paru.

1. Pengecualian
Dengan pertimbangan luar biasa, dan atas persetujuan kepala ICU, indikasi masuk pada
beberapa golongan pasien bisa dikecualikan dengan catatan bahwa pasien golongan demikian
sewaktu-waktu harus bisa dikeluarkan dari ICU agar fasilitas terbatas dapat digunakan untuk
pasien prioritas 1,2,3. Sebagai contoh: pasien yang memebuhi kriteria masuk tetapi menolak
terapi tunjangan hidup yang agresif dan hanya demi perawataan yang aman saja, pasien dengan
perintah “Do Not Resuscitate”, pasien dalam keadaan vegetative permanen, pasien yang
ddipastikan mati batang otak namun hanya karena kepentingan donor organ, maka pasien dapat
dirawat di ICU demi menunjang fungsi organ sebelum dilakukan pengambilan orga untuk
donasi.

 Kriteria Keluar
1. Penyakit pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak memerluka terapi atau
pemantauan yang intensif lebih lanjut.
2. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak bermanfaat atau
tidak memberi hasil yang berarti bagi pasien. Apalagi pada waktu itu pasien tidak
menggunakan alat bantu mekanis khusus (Kemenkes RI, 2011).
 ALUR PELAYANAN ICU
Gambar 1: Alur pelayanan ICU di RS (Kemenkes RI, 2011, hal 17)

Pasien yang memerlukan pelayanan ICU berasal dari:

1. Pasien dari Instalasi Gawat Darurat (IGD)


2. Pasien dari High Care Unit (HCU)
3. Pasien dari kamar operasi atau kamar tindakan lain seperti kamar bersalin, ruang
endoskopi, ruang dialysis, dan sebagainya.
4. Pasien dari bangsal (Ruang Rawat Inap)
 KARAKTERISTIK PERAWAT ICU
Karakteristik Perawat yang bekerja di lingkungan keperawatan intensif meliputi:

1. Mengelola pasien mengacu pada standar keperawatan intensif dengan konsisten


2. Menghormati sesama sejawat dan tim lainnya
3. Mengintegrasikan kemampuan ilmiah dan ketrampilan khusus serta diikuti oleh nilai
etik dan legal dalam memberikan asuhan keperawatan
4. Berespon secara terus menerus dengan perubahan lingkungan
5. Menerapkan ketrampilan komunikasi secara efektif
6. Mendemonstrasikan kemampuan ketrampilan klinis yang tinggi
7. Menginterpretasiakan analisa situasi yang kompleks
8. Mengembangkan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga
9. Berpikir kritis
10. Mampu menghadapai tantangan
11. Mengembangkan pengetahuan dan penelitian
12. Berpikir ke depan
13. Inovatif
 PERAN PERAWAT KRITIS
Keperawatan kritis adalah suatu bidang yang memerlukan perawatan pasien yang berkualitas
tinggi dan komprehensif. Untuk pasien yang kritis, waktu adalah sesuatu hal yang vital. Proses
keperawatan memberikan suatu pendekatan yang sistematis, dimana perawat keperawatan
kritis dapat mengevaluasi masalah pasien dengan cepat (Talbot, 1997).

ICU atau intensive care unit dimulai pertama kali pada tahun 1950-an. Kegawat daruratan
dalam keperawatan berkembang sejak tahun 1970-an. Sebagai contoh, kegawatan di unit
operasi kardiovaskuler, pediatric, dan unit neonates. Keperawatan gawat darurat secara khusus
berkonsentrasi pada respon manusia pada masalah yang mengancam hidup seperti trauma atau
operasi mayor. Pencegahan terhadap masalah kesehatan merupakan hal penting dalam praktik
keperawatan gawat darurat. (Hartshorn et all, 1997).
Peran perawat kritis sebagai berikut:

1. Advokat
Perawat juga berperan sebagai advokat atau pelindung klien, yaitu membantu mempertahankan
lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan dan melindungi klien dari efek yang tidak diinginkan yang berasal dari pengobatan
atau tindakan diagnostik tertentu (Potter dan Perry, 2005).
1. Care giver
Perawat memberikan bantuan secara langsung pada klien dan keluarga yang mengalami
masalah kesehatan (Vicky, 2010).

1. Kolaborator
Peran ini dilakukan perawat karena perawat bekerja bersama tim kesehatan lainnya seperti
dokter, fisioterapis, ahli gizi, apoteker, dan lainnya dalam upaya memberikan pelayanan yang
baik (Vicky, 2010).

1. Peneliti
Peran sebagai pembaharu dan peneliti dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerjasama,
perubahan sistematis, dan terarah sesuai metode pemberian pelayanan (Vicky, 2010). Selain
itu juga meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan, baik dalam praktik
maupun dalam pendidikan keperawatan (Aryatmo, 1993).

1. Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan, dan mengorganisasi pelayanan
kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian layanan dapat terarah serta sesuai kebutuhan
(Vicky, 2010).

1. Konsultan
Perawat sebagai narasumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah keperawatan terutama
mengenai keamanan pasien dan keluarga (Vicky, 2010).

 KOLABORASI TIM KEPERAWATAN KRITIS


 Kolaborasi Tim dalam Keperawatan Kritis
Dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin dari beberapa disiplin ilmu
terkait yang dapat memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan
bekerjasama di dalam tim. Tim tersebut terdiri dari:

1. Spesialis anestesi
2. Dokter spesialis
3. Perawat ICU
4. Dokter ahli mikrobiologi klinik
5. Ahli farmasi klinik
6. Ahli nutrisi
7. Fisioterapis
8. Tenaga lain sesuai klasifikasi pelayanan ICU
Tim Multidisiplin mempunyai 5 (lima) karakteristik:

1. Staf medik dan keperawatan yang tanggung jawab


2. Staf medik, keperawatan, farmasi klinik, farmakologi klinik, gizi klinik dan
mikrobiologi klinik yang berkolaborasi pada pendekatan
3. Mempergunakan standar, protocol atau guideline untuk memastikan pelayanan yang
konsisten baik oleh dokter, perawat maupun staf yang lain.
4. Memiliki dedikasi untuk melakukan koordinasi dan komunikasi.
5. Menekankan pada pelayaanan yang sudah tersertifikasi, pendidikan, penelitian,
masalah etik dan pengutamaan pasien (Kemenkes, 2011)

 Peran koordinasi dan integrasi dalam kerjasama tim


Mengingat keadaan pasien yang sedang dalam kondisi kritis, maka sistem kerja tim
multidisiplin diatur sebagai berikut :

1. Dokter primer yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan
memberi pandangan atau usulan
2. Ketua tim melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi instruksi
terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan anggota tim
lainnya.
3. Ketua tim berkonsultasi pada konsultan lain dengan mempertimbangkan usulan-usulan
anggota tim dan memberikan perintah baik tertulis dalam status maupun lisan.
4. Untuk menghindari kesimpangsiuran/tumpang tindih pelaksanaan pengelolaan pasien,
maka perintah yang dijalankan oleh petugas hanya yang berasal dari ketua tim saja
(Kemenkes,2011).

 KONSEP HOLISM DALAM PERAWATAN KRITIS


Salah satu teori yang mendasari praktik keperawatan profesional adalah memandang manusia
secara holistik, yaitu meliputi dimensi fisiologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual sebagai
suatu kesatuan yang utuh. Apabila satu dimensi terganggu akan mempengaruhi dimensi
lainnya. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, konsep holistik ini merupakan salah satu konsep
keperawatan yang harus di pahami oleh perawat agar dapat memberikan asuhan keperawatan
yang berkualitas kepada klien.

Dengan menggunakan konsep holistik perawat dapat melihat apa saja dampak lingkungan
perawatan kritis yang mengganggu pasien. Sebagai contoh dalam lingkungan unit perawatan
intensif (intencive care unit, ICU) perawat dapat menggambarkan lingkungan ICU dalam hal
fisik dan emosional yang dapat mengganggu pasien. Sehingga perawat dapat mengendalikan
lingkungan untuk meningkatkan kesembuhan pasien serta dapat memberikan intervensi kritis
bagaimana cara mengatasinya (Hudak&Gallo, 2012).
 Gambaran Fisik ICU
Secara umum gambaran fisik lingkungan ICU terdapat monitor yang berkedip, ventilator,
pompa intravena (IV), kebisingan dari peralatan dan banyak orang yang berbicara disisi tempat
tidur, cahaya terang dan langkah yg tergesa-gesa di ruangan ramai. Oleh sebab itu, asuhan
keperawatan kritis dibentuk untuk mengatasi pasien sakit dan cidera sangat serius agar
mendapatkan asuhan keperawatan yang fokus untuk meningkatkan ketahanan hidup.

 Gambaran Emosional ICU


Gambaran emosional lingkungan ICU sama pentingnya dengan elemen fisik, dan bahkan lebih
penting untuk hasil pasien. Elemen ini mencakup gejala yang timbul pada pasien karena
dirawat di ICU demikian juga dengan pola komunikasi semua orang yang memberikan
perawatan di unit yang menimbulkan stres ini. Bahkan untuk pengunjung yang baru pertama
kali datang ke ICU, perasaan berlebihan tentang tempat tersebut dapat menimbulkan rasa takut.
Lingkungan ICU menciptakan rasa rapuh karena ketergantungan fisik dan emosional,
kurangnya informasi dan perawatan yang menyamakan semua pasien dapat menumbuhkan
ketakutan dan kecemasan.

Pengidentifikasian gambaran dan respons emosional di lingkungan ICU sangatlah penting


karena banyak yang dapat ditangani oleh intervensi keperawatan. Langkah pertamanya adlah
pengenalan dan pemahaman terhadap paradoks yang terjadi di lingkungan ICU. Lingkungan
yang tidak bersahabat tersebut harus menjadi tempat penyembuhan bagi pasien, keluarga dan
perawat. Perawat perlu mempunyai pemahaman yang baik mengenai lingkungan dan
kemungkinan bencana yang dapat ditimbulkan oleh lingkungan pada pasien yang keadaan
fisiologis dan emosionalnya telah terganggu. Mengubah lingkungan yang kemungkinan tidak
bersahabat menjadi lingkungan yang menyembuhkan adalah sebuah tantangan bagi semua
perawat perawatan kritis.

Selain itu, kualitas emosional di lingkungan ICU sering kali ditentukan oleh tingkat pembagian
tanggung jawab, kolaborasi dan caring yang diperlihatkan oleh seluruh tim perawatan
kesehatan. Hidup dan mati pasien secara harfiah bergantung pada tingkat komunikasi dokter
dan perawat tentang pasien tersebut. Perhatian terhadap struktur organisasi yang membantu
kolaborasi ini dan kemitraan yang sejajar antara dokter dan perawat sebagai coleader unit
adalah penting. Menciptakan budaya yang menerapkan komunikasi yang saling menghargai
antara semua anggota tim perawatan kesehatan adalah standar kesempurnaan yang merupakan
unsur penting untuksemua lingkungan penyembuhan. Perawat pemula perlu belajar dan
mempraktiakn ketrampilan advokasi pasien selama ronde klinis di samping tempat tidur di
ICU. Cara keluarga diperlakukan dan dihormati sebagai mitra penuh dalam perawatan adalah
ukuran penting dari kualitas emosional dan budaya positif di ICU.

Anda mungkin juga menyukai