Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi Kebaikan, Kebajikan dan Kebahagiaan

.
Sesuatu yang dapat dikatakan baik apabilania memberikan kesenangan,
kepuasan, kenikmatan, sesuai dengan yang diharapakan, dapat di nilai positif oleh orang yang
menginginkannya. Baik di sebut juga mustahab, yaitu amal atau perbuatan yang di senangi. Al-
Ghazali menyebutkan, perbuatan dapat dikatakan baik karena adanya pertimbangan akal yang
mengambil keputusan secara mendesak, seperti menyelamatkan orang-orang yang menderita
kecelakaan.
Baik berarti sesuatu yang pantas dikerjakan dan diusahakan atau dikehendaki.
Sesuatu yang baik adalah yang memenuhi hasrat dasar manusia. Bila diterapkan bagi kehendak
manusia merupakan predikat yang positif. Dalam filsafat dikatakan bahwa kebaikan
melandaskan diri pada kebaikan dan setiap kenyataan yang ada berkecenderungan
mempertahankan diri. Mengejar kesempurnaan dirinya tetap berada, sehingga pada hakikatnya
dapat bersifat dan berbuat baik. Baik dikatakan baik, apabila sesuai dilakukan berdasarkan fitrah
manusia sesuai dengan hakikatnya.

Al-Ghazali menerangkan adanya empat pokok keutamaan etika baik, yaitu


sebagai berikut :
 Mencari Hikmah. Hikmah adalah keutamaan yang lebih baik. Ia memandang bentuk hikmah yang
harus dimiliki seseorang yaitu jika berusaha untuk mencapai kebenaran dan ingin terlepas dari
semua kesalahan dari semua hal.
 Bersikap berani. Berani berarti sikap yang dapat mengendalika kekuatan amarahnya dengan akal
untuk maju. Orang yang memiliki etika baik biasanya pemberani, dapat menimbulkan sifat-sifat
yang mulia suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan jiwanya, suka menrima saran dan kritik
orang lain, penyantun, memiliki perasaan kasih dan cinta.
 Bersuci Diri. Suci berarti mencapai fitrah, yaitu sifat yang dapat mengendalikan syahwatnya
dengan akal dan agama. Orang yang memiliki sifat fitrah dapat menimbulkan sifat-sifat pemurah,
pemalu, sabar, toleransi, sederhana, suka menolong, cerdik, dan tidak rakus. Fitrah merupakan
suatu potensi yang diberikan Allah, di bawa oleh manusia sejak lahir yang menurut tabi’atnya
cenderung kepada kebaikan, dan mendorong manusia untuk berbuat baik.
 Berlaku Adil. Adil yaitu seseorang yang dapat membagi dan memberi haknya sesuai dengan
fitrahnya, atau seseorang mampu menahan kemarahannya dan nafsu syahwatnya untuk
mendapatkan hikmah di balik peristiwa yang terjadi. Adil juga berarti tindakan keputusan yang
dilakukan dengan cara tidak berat sebelah atau merugikan satu pihak, tetapi saling
menguntungkan. Pepatah mengatakan bahwa langit dan bumi ditegakkan dengan keadilan.
Orang yang mempunyai etika baik dapat bergaul dengan masyarakat secara luwes, karena dapat
melahirkan sifat saling cinta mencintai dan saling tolong menolong. Etika baik, bukanlah semata-
mata teori yang muluk-muluk, melainkan etika baik sebagai tindak-tanduk manusia yang keluar
dari hati. Etika baik merupakan sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya. Suatu perbuatan
yang dilihat merupakan gambaran dari sifat-sifatnya tertanam dalam jiwa baik.[1]

3. Kebahagian
Dalam pengertian biasa, bahagia itu disamakan artinya dengan kesenangan. Kesengan
yang dimaksud adalah menurut ukuran pisik, harta, atau apa saja yang tampak, yang dapat di
nilai dengan uang. Jadi orang yang sudah senang karena harta bendanaya yang banyak, sudah
sama artinya dengan orang yang berbahagia. Bahagia = Kesenangan.
Yang mengherankan adalah orang yang sudah menganggap diri sudah bahagia tidak tahu
memberikan penjelasan, apakah sebenarnya bahagia yang telah diperoleh itu.
Para ahli Filosof berpendapat tentang bahagia sebagai berikut :
 Celakalah orang yang berakal karena kemajuan akalnya, dan bahgialah orang yang bodoh karena
kebebalannya. Ini kata Muntanabbi, filosof mistik Arab yang terkenal itu. Apa benar demikian?
Tertas rasa hati berat menerimannya.
 Bertambah luas akal, bertambah luasnya hidup, bertambahlah bahagia bagi diri. Bertambah
sempit akal, bertambah sempit pulalah kehidupan, bertambah datanglah celaka bagi diri. Ini kata
Hamka, filosof Indonesia yang termasyhur itu. Jelas merupakan sanggahan atas pendapat
Mutanabbi yang mengecilkan peranan dan arti akal bagi manusia.
 Kenapa manusia begitu gila memburu bahagia? Ketahuilah bahwa bahagia di dunia ini tidak ada,
umur saja yang habis untuk menjawabnya! Ini ucapan Thomas Hardy, (1840-1928) salah seorang
pujangga Inggris kenamaan. Bila anda setuju pendapat ini, tidur sajalah di rumah, nanti bahagia
itu yang datang mencari anda.
 Sesungguhnya kebahagian itu di dapatdi dalam perjuangan yang terus menerus. Bahagia yang
paling besar adalah pada kesenagan yang silih berganti. Kesenangan itu sebenarnya tidak ada,
kalau tidak ada perjuangan. Ini pendapat Amin Raihany, pejuang Arab Kristen (ketika Mesir
masih dalam jajahan Inggris).
 Bahagia atau Kesenangan adalah tujuan hidup manusia. Kesentosaan hidup tersimpan dalam
bahagia, dan kesengsaraan hidup adalah dalam penderitaan. Pandangan budi tertuju kepada
perbuatan yang mendatangkan bahagia. Sifat-sifat keutamaan tiadalh mempunyai harga sendiri,
tetapi harganya adalah terletak pada ukuran kesenangan yang mengiringinya sebagai
akibatnya.nDemikian pendapat Epicurus (342-270 SM), salah seorang dari filosof Yunani yang
terkenal dengan filsafat kesnangan.
 Bahagia itu terbagi dua. Yang pertama tempat timbulnya adalah pada perasaan, dan yang kedua
sumbernya adalah pada pikiran. Kedua jenis bahagia itu sama derajatnya, tetapi yang kedua ini
hanya dapat dinikmati oleh ahli-ahli pikir. Ini pendapat Bertrand Russell (1872-1970), filosof
Inggris yang kenamaan itu.[4]
Menurut Aristoteles, Kebahagiaan dalam bahasa Yunani adalah Eudaimonia. Oleh karena
itu etika Aristoteles dinamakan eudemonisme. Sedangkan kebahagiaan menurutnya akan
semakin dinikmati apabila kita merealisasikan potensi-potensi kita sebagai manusia. Etika
menawarkan kita kepada petunjuk untuk hidup bahagia.
Selain itu, kebahagiaan mesti terletak dalam kegiatan yang khas bagi manusia dan itulah
kegiatan bagian jiwa yang berakal tinggi. Maka nilai tertinggi, kebahagiaan, tercapai apabila
manusia mau menggiatkan akal budi, baik secara murni dalam kontemplasi filosofi, maupun
dengan secara aktif melibatkan diri dalam kehidupan komunitas.[5]
Sedangkan menurut Achmad Charris Zubair dalam bukunya yang berjudul
kuliah etika, Kebahagiaan terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Kebahagian Subjektif
Kebiasaan subjektif ini meliputi :
 Manusia merasa kosong, tak puas, gelisah, selama keinginannya tak terpenuhi. Kepuasan yang
sadar, yang dirasakan seseorang karena keinginannya memiliki kebaikan sudah terlaksana, di
sebut kebaikan.
 Seluruh manusia mencari kebahagiaan, karena setiap orang berusaha memenuhi keinginannya.
Kebahagiaan merupakan dasar alasan, seluruh perbuatan manusia. Tetapi terdapat perbedaan
tentang apa yang akan menjadi hal yang memberikan kebahagiaan.
 Kebahagiaan sempurna dapa tercapai.
Beberapa hal yang menjadikan landasan bahwa kebahagiaan dapat tercapai adalah sebagai
berikut :
o Manusia mempunyai keinginan akan bahagia sempurna.
o Keinginan tersebut merupakan bawaan kodrat manusia, yang merupakan dorongan pada alam
rohaniah yang bukan sekedar efek samping.
o Keinginan tersebut berasal dari sesuatu yang transenden.
o Sifat bawaan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kesempurnaan yang sesuai dengan harkat
manusia.
 Pada manusia terdapat pula keinginan yang berasal dari nafsu-serakahnya. Sehingga seringkali
menutup keinginan yang berasal dari sanubarinya.
2. Kebahagiaan Objektif
 Manusia berusaha melaksanakan dalam dirinya suasana kebahagiaan (sempurna) yang tetap. Ini
tujuan subjektif manusia.
 Pandangan Tentang Objek Kehidupan
Pandangan tentang Objek kehidupan tidak akan lepas dari beberapa hal, antara lain :
Kekayaan, kekuasaan, bukan merupakan tujuan akhir manusia untuk mendapatkan kepuasan dan
kebahagiaan, melainkan hanya sebagai alat saja.
Kebutuhan hidup jasmani, sebagai kesehatan, kekuatan, keindahan, tergolong
ketidaksempurnaan.
Kebutuhan jiwa adalah pengetahuan untuk kebajikan. Dimana kebutuhan mulia itu sangat
diharuskan untuk kebahagiaan.
Kebahagiaan sempurna terletak pada kepuasan seluruh orang, jasmani dan rohani. Sedangkan
kesukaan adalah gejala yang mengiringi perbuatan dan lebih merupakan daya tarik untuk
menggerakkan ke arah tujuan.
Pelaksanaan diri tidak pula membawa kebahagiaan sempurna, karena manusia yang berkembang
selengkapnya tak juga seluruhnya merasa puas pada dirinya sendiri.
Kebahagiaan sempurna harus dicari pada sesuatu yang ada di luar manusia.
 Hanya Tuhan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dan memberi kebahagiaan kepada manusia.
 Secara keseluruhan, Kebahagian sempurna tidak berarti kebahagiaan yang tidak terbatas, objek
tak terhingga tidak dimiliki dengan cara tidak terhingga. Mengingat akal manusia terbatas,
kekuatannya setiap saat juga terbatas. Sedangkan objek kebahagiaan yang tarafnya rendah turut
serta mengalami kebahagiaan dari yang bertaraf lebih tinggi. Intisari kebahagiaan terdiri dari
kepuasan akal dan kepuasan kehendak karena memiliki Tuhan. Kepuasan lainnya hanya
merupakan cabang kebahagiaan yang menambah kebahagiaan pokok[6].

BAB III
PENUTUP

III. 1 Simpulan
Secara kodratnya manusia selalu ingin melakukan kebaikan dan kebajikan. Dimana
dengan dua hal itu, manusia mengharapakan sebuah kebahagiaan. Baik kebahagiaan yang
sempurna maupun kebahagiaan yang tidak sempurna.
Akan tetapi dalam realita yang ada, setiap kebaikan tidak selalu beriringan dengan
kebajikan. Karena kebajikan sendiri juga merupakan pribadi yang sudah menjadi kebiasaan.
Sedangkan kebaikan harus terus menerus di biasakan dan dijaga.
Oleh karena itu, kebaikan dan kebajikan yang awalnya mengantarkan manusia untuk
mendapatkan kebahagiaan, harus melalui tahapan-tahapan. Selain itu, kebaikan, kebajikan dan
kebahagiaan semuanya tergantung dengan apa yang akan di berikan oleh Tuhan kepada manusia
itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai