Anda di halaman 1dari 11

Ngeri, Kenaikan Harga Rumah Lebih Tinggi

dari Inflasi
Fadhly F Rachman - detikFinance

Share 0 Tweet 0 Share 0 5 komentar

Foto: Ari Saputra

FOKUS BERITAGenerasi Milenial Terancam Jadi Gelandangan

Jakarta - Tingginya harga properti saat ini membuat kaum milenial sulit memiliki
rumah. Bahkan dari hasil survey yang dilakukan Rumah123 akhir tahun 2016 lalu,
diperkirakan hanya 5% dari generasi milenial yang bisa memiliki rumah di Jakarta
pada beberapa sisanya entah tinggal di mana.

CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, mengatakan bahwa harga properti
terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Adapun rata-peningkatan harga
properti sebesar 8% setiap tahunnya.

"Kalau harga properti itu relatif di atas inflasi. Jadi kalau inflasinya sekarang rendah
3% sih, jadi kalau rata-rata peningkatan properti, kalau sedang normal di atas 8% -
10% setiap tahun," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Selasa (28/11/2017).
Ali mengatakan pada dua tahun belakangan ini harga properti mengalami
perlambatan. Oleh sebab itu dalam dua tahun belakangan itu harga properti hanya
mengalami peningkatan sekitar 6% setiap tahunnya.

Namun, bila sedang tinggi, peningkatan harga properti bisa mencapai 20%
pertahunnya. Hal itu sempat terjadi pada tahun 2009 hingga 2012 lalu di mana
sektor properti sedang dalam kondisi yang berkembang.

"Dua tahun belakangan ini relatif di kisaran 6%-an karena ada perlambatan properti.
Tapi kalau kita lihat pada 2009-2011-2012 bisa 20% kenaikannya pertahun. Itu
memang makin lama makin tidak terjangkau," katanya.

Bila terus mengalami perkembangan seperti itu, bukan tidak mungkin tingginya
harga properti benar-benar tak bisa dijangkau oleh kaum milenial. Hunian sewa akan
menjadi satu-satunya pilihan bagi kaum milenial.

"Sampai pada waktunya mungkin daya beli enggak akan mengejar harga properti.
Dan pada saat itu kemungkinannya kaum-kaum milenial akan menyewa. Mindsetnya
bakal berpikir yang penting mereka ada hunian, enggak masalah sewa juga,"
katanya. (dna/dna)
https://finance.detik.com/properti/d-3746672/ngeri-kenaikan-harga-rumah-lebih-tinggi-dari-inflasi

Sektor Properti Makin Terpuruk HILDA B ALEXANDER Kompas.com - 12/06/2015, 08:32 WIB
Ilustrasi.(www.shutterstock.com) JAKARTA, KOMPAS.com - Bukan tanpa alasan, beberapa
pengamat dan pengembang berani mengatakan nasib sektor properti tahun ini bakal lebih buruk
ketimbang tahun 2013 dan 2014. Basis penilaian mereka adalah anjloknya transaksi penjualan
yang dipicu turunnya permintaan akibat daya beli yang tergerus. Perlambatan ekonomi yang
hanya berkisar 4-4,5 persen, depresiasi Rupiah terhadap dollar AS yang sempat menyentuh
level Rp 13.400, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak jelas serta aturan perpajakan yang
membebani, dituding sebagai penyebab pasar properti semakin lesu. Begawan properti
Indonesia sekaligus pendiri imperium Ciputra Group, Ciputra mengatakan, meski tak seburuk
kondisi tahun 1998, namun situasi sekarang harus disikapi dengan hati-hati. "Properti sudah
terkoreksi, perkantoran kelebihan pasokan (over supply). Kita harus berani melakukan inovasi-
inovasi baru dan bila perlu lakukan efisiensi," tutur Ciputra kepada Kompas.com, usai acara
CNBC Managing Asia, di Hotel Kempinski, Kamis (11/6/2015). Menurut Ciputra, dengan
melakukan inovasi dan terobosan baru, diharapkan rasionalisasi karyawan atau pun
pemangkasan ongkos produksi (cutting cost) tidak terjadi. Oleh karena itu, para pengembang
harus jeli sekaligus mau kerja keras agar sektor ini tetap berjalan. Pasalnya, "Koreksi akan
terjadi hingga akhir tahun ini," tandas Ciputra. Hal senada dikemukakan Country Head Knight
Frank Indonesia, Wilson Kalip. Menurutnya, sektor properti bakal anjlok hingga 40 persen
sampai Desember 2015. Sinyalemen ini sejatinya sudah terjadi sejak kuartal pertama 2015.
"Saat itu penurunan penjualan sudah terjadi sekitar 15 persen. Kita bisa lihat, kalau sektor
otomotif saja merosot 20 persen, properti akan jatuh lebih dalam lagi. Saya perkirakan sekitar 40
persen," ujar Wilson. Jika hal ini terus berlanjut tanpa ada langkah terobosan dari Pemerintahan
Joko Widodo (Jokowi), potensi lebih buruk lagi akan terjadi. Wilson kemudian mengungkapkan,
turunnya penjualan ini akan berdampak pada 130 industri terkait seperti semen, keramik, baja,
besi, cat, saniter, jasa broker, jasa konsultan, dan lain-lain. "Kalau penjualan turun, pendapatan
perusahaan pun turun. Lantas siapa yang mau membayar kontraktor dan pemasok material
bangunan? Ini sangat tergantung pada Pak Presiden Jokowi. Properti sekarang sudah lampu
kuning," cetus Wilson. Stop produksi Salah satu pengembang raksasa yang mencatat
penurunan adalah PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN). Raja apartemen dengan 50 portofolio
properti, ini tak mampu menorehkan kinerja secemerlang tahun lalu. Properti imperium bisnis
yang dinakhodai Ariesman Widjaja ini tersebar di Jakarta, Bandung, Bali, Balikpapan, Batam,
Makassar, dan Medan. Dalam pengumuman hasil keuangan yang tidak diaudit untuk periode
yang berakhir pada 31 Maret 2015, APLN hanya mampu membukukan penjualan dan
pendapatan usaha sebesar Rp 995,2 miliar. Pencapaian ini 14,6 persen lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan tahun 2014 lalu. Saat itu, APLN yang punya 36 anak usaha, 10
entitas dengan kepemilikan tidak langsung melalui anak usaha, dan dua entitas asosiasi,
mencatat pendapatan senilai Rp 1,165 triliun. Akibatnya, laba kotor turun menjadi Rp 539,3
miliar, turun 14,1 persen dari Rp 627,8 miliar. Demikian halnya dengan laba komprehensif yang
jeblok 46,1 persen dari Rp 280,8 miliar menjadi Rp 151,3 miliar. Begitupula dengan laba yang
dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk, merosot 65,5 persen dari Rp 295,1 miliar
menjadi Rp 101,8 miliar dengan marjin 10,2 persen. Nasib lebih buruk dialami pengembang-
pengembang gurem dan menengah di Batam. Ketua DPD REI Batam Djaja Roeslim
mengungkapkan, sudah ada dua pengembang yang menghentikan operasinya alias stop
berproduksi. Penjualan mereka melorot drastis sekitar 30 persen akibat rumah-rumah yang
masih dalam masa pemasaran, atau yang sudah kadung dibangun, tak terserap pasar. "Kondisi
ekonomi aktual dan terpuruknya Rupiah sangat memukul bisnis, dan industri properti di Batam.
Sudah dua perusahaan pengembang yang memilih stop membangun karena anjloknya
penjualan," tutur Djaja tanpa bersedia menyebut nama kedua perusahaan tersebut. Djaja
menambahkan, akibat penjualan rumah-rumah tak laku, banyak pengembang yang kemudian
tak sanggup membayar kontraktor dan pemasok material bangunan. Sebagian lainnya memilih
opsi menunda pembayaran. Banyaknya pengembang yang tidak sanggup membayar kontraktor
dan pemasok, menurut Djaja, karena seluruh komponen material utama macam readymix, besi,
penutup atap, baja, kabel, dan aluminium itu dibeli dengan mata uang dollar
Singapura. Bagaimana dengan pengembang yang berbasis di Jadebotabek? Bagi mereka,
terutama pengembang papan bawah dan menengah, menjaga arus kas (cashflow) agar tetap
mengalir saja sudah baik. Bakan, CEO Relife Property Group, Ghofar Rozaq Nadzila
mengatakan kondisi tahun ini lebih buruk ketimbang 2008. Pihaknya kemudian memutuskan
untuk menjaga keamanan arus kas. "Penjualan menurun. Kami hanya bisa membuka satu
sampai dua klaster pada kuartal pertama tahun ini. Kebijakan pemerintah tidak jelas. Itu yang
membuat kami menahan ekspansi," kata Ghofar. Investor dan calon pembeli, lanjut Ghofar,
banyak yang menunda pembelian. Padahal mereka sudah mengerahkan segala taktik, mulai dari
pemangkasan harga, hingga marketing gimmick. "Banyak rekan sesama pengembang kecil
dan menengah menderita sekarang," sebut Ghofar. Konservatif Kendati sektor properti tengah
gonjang ganjing, para pengembang tetap menyimpan optimisme. Kemerosotan atau koreksi,
kata Ciputra, tidak akan berlangsung selamanya. Ini hanya siklus, tahun depan diharapkan
sudah akan kembali pulih. "Saya rasa tahun depan akan membaik. Karena koreksi tahun ini
tidak separah krisis tahun 1998," kata Ciputra. Demikian halnya dengan Direktur Utama PT
Summarecon Agung Tbk, Adrianto Pitoyo Adhi. Pihaknya tetap optimistis, karena poperti
merupakan bisnis yang tetap harus the show must go on. Dia mengakui, tantangannya memang
berat teerutama tiga hal utama yakni kondisi makro ekonomi , gejolak nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS dan tingkat inflasi yang cenderung tinggi serta peraturan Bank Indonesia tentang kredit
pemilikan properti (KPP) yang dirilis pada 30 September 2013. "KPP diperketat ini menahan laju
penjualan properti. Selain itu, pembayaran dana KPP ke pengembang dibuat bertahap. Ini yang
membuat kita harus inovatif mengatasinya dengan peningkatan kualitas produk dan membuat
gerakan produk bagus tapi harga kompetitif (affordable)," papar Adrianto. Summarecon, menurut
Direktur Keuangan dan Sekretaris Perusahaan PT Summarecon Agung Tbk Michael Yong King
Ching, akan tetap konservatif dan hati-hati dalam melakukan ekspansi bisnis. Untuk itu, pihaknya
hanya akan fokus pada pengembangan Summarecon Bandung. "Sementara Summarecon
Bogor, dan Summarecon Samarinda masih dalam tahap perencanaan dan belum segera dirilis.
Namun, satu yang pasti, proyek di Bali akan beroperasi pada kuartal kedua 2016 yakni Hotel
Movenpick. Karena yang ini sudah running," beber Michael.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sektor Properti Makin
Terpuruk", https://properti.kompas.com/read/2015/06/12/083219221/Sektor.Properti.Makin.Terpu
ruk.
Penulis : Hilda B Alexander

https://properti.kompas.com/read/2015/06/12/083219221/Sektor.Properti.Makin.Terpuruk

Maaf, Sektor Properti Belum Bangkit Lagi hingga Akhir 2019 HILDA B ALEXANDER
Kompas.com - 27/07/2017, 18:43 WIB Jakarta Skyline.(worldpropertychannel.com) JAKARTA,
KompasProperti - Upaya pemerintah untuk mendorong sektor properti bangkit dari keterpurukan,
belum menampakkan hasil. Padahal, secara teori, upaya-upaya tersebut mestinya bisa
membangkitkan gairah membangun bagi pengembang, dan membeli bagi konsumen. Sebut saja
deregulasi berupa Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XI mengneai penurunan tarif Pajak
Penghasilan (PPh) final menjadi 0,5 persen dan tarif Bea Perolehan atas Hak Tanah dan
Bangunan (BPHTB) menjadi maksimal 1 persen. Berikutnya PKE XIII tentang Perumahan untuk
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Belum lagi nilai tukar Rupiah yang terus
menunjukkan stabilitas berada pada kisaran Rp 13.300, dan suku bunga acuan Bank Indonesia
juga rendah, 4,75 persen, serta tingkat inflasi 4,37 persen. Namun, apa daya, semua faktor dan
kondisi tersebut belum mampu mendongkrak sektor properti kembali kepada khittah-nya sebagai
lokomotif ekonomi Nasional. Disebut sebagai lokomotif karena dapat mengerakkan sekitar 177
industri lainnya. Demikian halnya dengan pengampunan pajak alias tax amnesty yang
digembar-gemborkan bisa mengalir deras ke sektor properti, ternyata minim, untuk tidak
dikatakan nihil. Apa yang salah dari semua ini? Managing Director Savills Indonesia Craig
Williams secara khusus berbincang dengan KompasProperti, Rabu (26/7/2017). Dia
mengatakan, sektor properti Indonesia belum akan bangkit dalam waktu dekat. Kondisi area
proyek pembangunan MRT di depan Ratu Plaza, Kamis (18/5/2017).(Ridwan Aji
Pitoko/KOMPAS.com) Bahkan, dia berani memprediksi, sinyalemen kebangkitan itu belum
muncul hingga akhir 2019. "Setelah itu, setelah semua rampung, seperti pembangunan
infrastruktur, macam mass rapid transit (MRT), light rail transit (LRT), dan jalan tol, tanda-tanda
kebangkitan mulai terlihat," kata Craig. Namun, hal itu juga tidak cukup signifikan. Pasalnya,
pembangunan infrastruktur hanya bersifat "setengah-setengah". MRT Jakarta saja, hanya
dibangun satu jalur dari Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia. "Bagaimana dengan jalur
lainnya? Kapan jalur transportasi di Jakarta terintegrasi dan konektivitas terwujud di seluruh
wilayah? Sangat tidak efektif. Itu tidak akan cukup menjadi booster sektor properti," tambah
Craig. Begitu juga dengan beberapa inisiatif dan insentif seperti disebutkan di atas, belum bisa
membawa sektor properti Indonesia ke masa-masa bulan madu tahun 2012-2013. Khusus
tentang tax amnesty yang dimulai pada 1 Juli 2016 dan berakhir pada 31 Maret 2017, Craig
tidak melihat ada pengaruhnya. Ini karena dana yang masuk sektor properti tidak sebanyak yang
diharapkan. Selama 9 bulan pelaksanaan tax amnesty, sejumlah pencapaian memang cukup
mencengangkan. Berdasarkan data Ditjen Pajak, total harta yang dilaporkan mencapai Rp
4.865,77 triliun. Angka tersebut berada di atas target yang dicanangkan yakni Rp 4.000 triliun.
Sejumlah warga mengikuti program Tax Amnesty di Kantor Pajak Kota Tangerang, Jumat
(30/9/2016).(KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI) Dari total harta yang dilaporkan,
yang paling fenomenal adalah deklarasi harta dalam negeri yang mencapai Rp 3.687
triliun. Para pelaku bisnis sektor properti sangat "kegeeran" karena berharap terlalu tinggi
terhadap amnesti pajak. Untuk membangkitkan kembali gairah sektor ini, lanjut Craig,
pemerintah harus memulihkan daya beli masyarakat. "Goverment spending harus digenjot.
Tidak hanya di sektor jangka panjang macam infrastruktur, melainkan juga daya beli masyarakat.
Bagaimana cara meningkatkan daya beli? Ciptakan iklim ekonomi dan bisnis yang kondusif,"
tutur Craig. Dia kemudian menyebut kebijakan fiskal yang setengah hati dan tidak terlalu menarik
masyarakat, terutama kelas menengah ke atas untuk membeli properti. Jika mereka membeli
apartemen seharga Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar, pajak yang dibebankan luar biasa tinggi.
"Pajaknya demikian tinggi, hampir Rp 500 juta. Siapa yang mau bayar pajak segede itu?," timpal
Head of Research Savills Indonesia, Anton Sitorus. Penuturan Craig dan Anton bukan isapan
jempol belaka, atau hanya sentimen negatif sesaat. Suara realistis juga datang dari
pengembang. Perumahan Herlin Perkasa Sei Andai, Kota Banjarmasin, Kalimantan
Selatan.(Dokumentasi Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR) Ketua Dewan Pembina DPP
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo
mengungkapkan, hingga saat ini pengembang kesulitan membangun rumah, terutama untuk
MBR. "Deregulasi yang diinisiasi pusat, terutama PKE XIII, hanya dianggap angin lalu oleh
pemerintah daerah (pemda). Banyak pengembang mengeluh karena masih banyak Pemda yang
tidak menjalankannya di tataran praksis," beber Eddy. Tak cuma itu, pungutan liar di beberapa
daerah tertentu, kata Eddy, masih terus terjadi dan melembaga hingga level kelurahan.
"Bagaimana mau mencapai target Sejuta Rumah, dan properti bangkit jika PKE XIII tidak jalan di
lapangan," keluh Eddy. Padahal kebutuhan hunian masih sangat tinggi, sekitar 11,5 juta unit.
Dari total jumlah itu, yang bisa dipenuhi pengembang, maksimal hanya 200.000 unit per
tahun. Jika PKE XIII tidak kunjung jalan, maka akses untuk mereduksi backlog hunian tidak
akan mulus. Selain itu. tambah Eddy, rendahnya kemampuan dan daya beli konsumen juga
menjadi catatan tersendiri, mengapa kemudian tawaran-tawaran rumah baru dari para
pengembang hanya menjadi "onggokan" di sudut-sudut kota. Hal serupa berlaku juga untuk
apartemen alias hunian vertikal. Data Colliers International Indonesia menyebutkan, tingkat
serapan apartemen eksisting di Jakarta pada Semester I-2017 stagnan, cenderung turun 0,1
persen lebih rendah dari total 179.380 unit dibanding periode yang sama tahun 2016. Ilustrasi
apartemen(thinkstock) Sementara tingkat serapan apartemen dalam konstruksi tercatat melorot
3,5 persen dari total 21.167 unit dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi lebih parah
terjadi pada bisnis perkantoran. Riset Savills Indonesia menunjukkan, hingga Juni 2017, tingkat
kekosongan gedung-gedung perkantoran mencapai 18,4 persen dari total luas 5,7 juta meter
persegi. "Padahal tingkat kekosongan sebelumnya 15,7 persen," kata Anton. Ini artinya terdapat
894.000 meter persegi ruang kantor kosong di Jakarta atau lebih dari 90 kali luas lapangan
sepakbola standar internasional. Ada harapan Kendati rapor merah terjadi di hampir semua sub-
sektor properti, namun Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia Ferry
salanto melihat masih da harapan pada masa yang akan datang. "Setidaknya, fundamental
ekonomi Nasional masih positif. Perbaikan untuk memulihkan ekonomi membawa sentimen
positif. Langkah-langkah aktif pemerintah memulihkan ekonomi bisa mengembalikan
kepercayaan pasar," kata Ferry. Saat ini, tambah dia, sebetulnya momentum yang tepat bagi
para konsumen rasional untuk membeli properti di tengah kondisi stagnasi harga.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Maaf, Sektor Properti Belum Bangkit Lagi
hingga Akhir 2019", https://properti.kompas.com/read/2017/07/27/184315321/maaf-sektor-
properti-belum-bangkit-lagi-hingga-akhir-2019.
Penulis : Hilda B Alexander
Investasi Properti Lebih Aman dari Dampak Inflasi
Jumat, 5 Januari 2018 | 14:55

Meikarta. Foto: Investor Daily/IST

Berita Terkait
 Miliki Hunian Eksklusif di Depan Central Park Meikarta
 Tokoh Kartun Nono Panda yang Lucu Dipamerkan di Central Park Meikarta
 178 Ribu Orang Rayakan Natal dan Tahun Baru di Meikarta
 Meikarta Central Park Jadi Tujuan Wisata Baru
 Pacu Pembangunan, Meikarta Apresiasi Pekerja Wanita
CIKARANG – Di tengah perekonomian Indonesia yang cenderung melambat dalam beberapa tahun
terakhir ini, namun masyarakat tetap optimis dengan kondisi perekonomian yang akan membaik pada
2018. Semangat baru itu tercermin dengan banyak rampungnya proyek infrastruktur yang dibangun
pemerintah.
Seperti yang dilansir BeritaSatu.com, Pemerintah telah menyelesaikan 26 proyek strategis nasional
(PSN) hingga akhir 2017. Proyek yang telah rampung diantaranya jalan akses Tanjung Priok, jalan tol
Soreang-Pasirkoja, jalan tol Surabaya-Mojokerto.

Pemerintah menyusun PSN ini adalah bagian dari peran strategis untuk menumbuhkan
perekonomian, kesejahteraan sosial, pertahanan, dan kedaulatan nasional. Saat ini, masyarakat
melihat dampak infrastruktur yang telah rampung mampu menggerakan ekonomi bangsa. Meski
kondisi ini masih belum optimal dirasakan masyarakat.

Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), seperti dilansir BPS..go.id, menunjukan pada
Desember 2017 terjadi inflasi sebesar 0,71 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar
131,28. Sementara inflasi tahun 2017 dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Desember 2017 terhadap
Desember 2016) masing-masing sebesar 3,61 persen. Angka ini naik dibandingkan tingkat inflasi
untuk tahun 2016 (Januari-Desember) mencapai 3,02 persen.

Meski inflasi cenderung naik, namun tahun 2018 ini memberikan sentimen positif pada masyarakat
dari kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah. Kondisi ekonomi diperkirakan akan stabil
selama 2018.

Sebab, Pemerintah tetap menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai faktor fundamental untuk
mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Namun, bagi Anda yang
mengkhawatirkan inflasi akan berdampak bagi kondisi keuangan, maka sebaiknya investasi
diarahkan pada sektor riil, seperti properti.

Aset riil tersebut akan melindungi keuangan Anda terhadap inflasi. Perencana Keuangan Safir
Senduk mengatakan, faktor resiko yang paling minim dari dampak inflasi adalah investasi properti.
Keuntungan dapat diperoleh dengan baik pada saat inflasi adalah dengan berhati-hati memilih
investasi. Anda harus membeli aset properti yang terbaik, yang memiliki perencanaan yang matang
dengan fasilitas lengkap.
Meikarta yang dikembangkan Lippo Group merupakan proyek terbesar yang pernah dikerjakan
selama 67 tahun sejarah berdirinya kelompok ini. Kota baru Meikarta ini akan menyediakan 250 ribu
hunian dengan dilengkapi fasilitas pendidikan, bisnis dan pusat perbelanjaan terlengkap. Bukti proyek
ini terbaik sebagai asset riil karena Meikarta juga telah menghadirkan area Central Park lahan
terbuka hijau seluas 100 hektar, dengan dilengkapi danau seluas 25 hektar.

Guna memberikan kemudahan dalam investasi properti ini, unit apartemen di Meikarta dipasarkan
sangat terjangkau mulai harga Rp 128 jutaan, dengan uang muka yang ringan dan cicilan hanya Rp 1
jutaan per bulan. Meikarta bisa menjadi solusi investasi Anda di masa depan karena kota baru ini
akan menjadi memberikan kualitas kehidupan dan pekerjaan yang lebih baik. (*)
http://id.beritasatu.com/home/investasi-properti-lebih-aman-dari-dampak-inflasi/170268

Inflasi rendah, simak nasib sektor


konsumsi, properti, dan otomotif
Selasa, 05 Juni 2018 / 21:59 WIB

0
SHARED

INDEKS BERITA
ILUSTRASI. Belanja ritel di gerai MPPA

BERITA TERKAIT

 Inflasi DKI Jakarta Mei 2018 relatif lebih


tinggi inflasi nasional
 Menko Darmin sebut inflasi Mei 2018 masih
sejalan dengan target
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inflasi Mei yang tercatat lebih rendah tahun ini,
tidak menjadi penghalang bagi pertumbuhan kinerja sektor barang konsumsi,
properti dan otomotif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Mei
tercatat 0,21% month on month (mom). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan
inflasi Mei 2017 yang mencapai 0,39%.

Umumnya, inflasi sepanjang Ramadan tumbuh tinggi di kisaran 0,5%. Mengingat,


Ramadan selalu menjadi ajang atau momentum puncak daya beli masyarakat.
Namun, untuk tahun ini inflasi Ramadan justru jadi inflasi terendah.
BACA JUGA

Lemahnya daya beli belum tercermin dari
inflasi Ramadan tahun ini

Inflasi inti Ramadan 2018 terendah, BI dan
pemerintah tepis daya beli melemah

Inflasi Mei rendah, tapi tujuh daerah perlu
diwaspadai

Mei 2018, inflasi terendah bulan Ramadan
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menilai, kinerja tiga sektor
tersebut bergantung pada beberapa hal lain di luar sentimen daya beli. "Saya lihat
bukan pada kondisi daya beli saja, tapi juga confidence. Jadi enggak cukup hanya
memompa demand dan suku bunga saja, tapi confidence juga perlu dijaga," kata
Alfred kepada Kontan.co.id, Selasa (5/6).

Meskipun tak terpengaruh inflasi Ramadan yang rendah, kinerja sektor properti
dan barang konsumsi tahun ini masih berat. Alasannya, volatilitas pertumbuhan
masih terjadi dan membuat orang masih berat untuk berinvestasi di sektor properti.

"Tapi, kalau pertumbuhan ekonomi bisa naik cepat, diyakini pasar


akan confidence. Jadi realisasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
dibutuhkan," ujarnya.

Sedangkan untuk barang konsumsi, prospeknya dinilai Alfred cukup unik lantaran
ruang pertumbuhannya mulai menyempit. Sektor barang konsumsi saat ini lebih
banyak berharap pada diversifikasi yang dilakukan emiten, karena ekspansinya
tidak cukup signifikan.

Sementara itu, meskipun prospek sektor otomotif tahun ini belum signifikan,
Alfred optimistis prospeknya akan jauh lebih baik. "Apalagi bisnis-bisnis seperti
seperti alat berat, ditambah kondisi keuangan emiten yang sudah mulai membaik,
sehingga mendorong valuasi yang lebih murah," jelasnya.
Adapun saham-saham yang menarik untuk dilirik dari ketiga sektor tersebut
adalah INDF, BSDE, dan ASII. Meskipun begitu, Alfred belum
merekonomendasikan investor masuk ke sektor-sektor tersebut saat ini.

"Properti dan consumer goods, masih berat pertumbuhan kinerjanya, jadi harga
sahamnya pun tak menunjukkan katalis positif. Kalau rekomendasi kami pilih ASII
dan sektor lain di konstruksi," imbuh Alfred.

https://investasi.kontan.co.id/news/inflasi-rendah-simak-nasib-sektor-konsumsi-properti-dan-
otomotif

Anda mungkin juga menyukai