Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH ETIKA PROFESI DAN HUKUM KESEHATAN

“MALPRAKTIK MEDIS”

Disusun Oleh :
Febiola Claudini Della P. (1A /P1337430117003)

Dosen Mata Kuliah :


Luthfi Rusyadi, SKM., MH.Kes., M.Sc.

PROGRAM STUDI DIPLOMA III


TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2017/2018

1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................1
C. TUJUAN.............................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................2
2.1 PENGERTIAN MALPRAKTEK........................................................................2
2.1.1 MALPRAKTEK DI BIDANG HUKUM.........................................................3
2.1.2 LANDASAN HUKUM WEWENANG BIDAN..............................................4

BAB III...........................................................................................................................5

PEMBAHASAN MASALAH........................................................................................5

3.1 KAJIAN KASUS.................................................................................................5

3.1.1 PEMBAHASAN KASUS.................................................................................6

BAB IV............................................................................................................................7

PENUTUP........................................................................................................................8

A. KESIMPULAN......................................................................................................................9
B. SARAN..................................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................11

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bimbingan bapak Luthfi Rusyadi, SKM., MH.Kes., M.Sc. yang telah
membimbing saya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

2
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman teori. Saya yakin masih


banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Semarang, 28 Mei 2018

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus
malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan
diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan
terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum
(perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah
sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan

3
malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatar belakangi
munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian
psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada
kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat
bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.

Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa.
Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada
kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah
diambil. Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik
tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa,
pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita
terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan
hukum.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan malpraktik medis?


2. Apa yang dimaksud malpraktik di bidang hukum?
3. Apa yang dimaksud landasan hukum wewenang bidan?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan malpraktik medis.


2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan malpraktik di bidang hukum.
3. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan landasan hukum wewenang bidan.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN MALPRAKTEK

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek”
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan
atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah
tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian
dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat dan bidan) untuk mempergunakan
tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama”.

5
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan. Di dalam setiap
profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu
apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnya diukur atau dilihat dari
sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical
malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu
difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum,
sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi,
otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya
ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas
tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk
yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice.

B. MALPRAKTEK DI BIDANG HUKUM

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai
bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala


perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni perbuatan tersebut (positive act
maupun negative act) merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang
salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau
kealpaan (negligence).

a. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):

1) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang
berbunyi:

6
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan
pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.

Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut ata pengaduan orang itu.

2) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346
KUHP Mengatakan:

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

3) Pasal 348 KUHP menyatakan:

Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan

Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.

II. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan


tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.

1. Pasal 347 KUHP menyatakan:

Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang
wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara
paling lama lima belas tahun.

1. Pasal 349 KUHP menyatakan:

7
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan di¬lakukan.

III. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
melakukan proses kelahiran.

1) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan
mati atau luka-luka berat.

Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :


Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.

2) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:


Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-
luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lamasatu tahun.

Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka


sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

2. Civil malpractice

Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar
janji).

Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

8
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.

3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.

4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.


Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat
pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

5. Administrative malpractice

Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut


telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,
Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut
dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.

C. LANDASAN HUKUM WEWENANG BIDAN

Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di
dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta
ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau
Keputusan Menteri Kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut.
Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh


karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara
mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.

9
Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya

Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek
bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:

 Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk memberikan


pelayanan yang meliputi :

a. Pelayanan kebidanan

b. Pelayanan keluarga berencana

c. Pelayanan kesehatan masyarakat

 Pasal 15 :

a. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan


kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak

b. Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa
bersalin , masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval)

c. Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa
anak balita dan masa pra sekolah.

BAB III

Pembahasan Masalah

A. KAJIAN KASUS

Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh bidan
di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong persalinan
sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk menangani kasus
tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :

10
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis. Diduga karena
kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses
melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi
meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini
memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga
melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih
tertinggal di rahim!

Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk.
Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak
ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah
tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik
Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.

Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan
untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani),
kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,”
kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).

Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi,
persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya
selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya
susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang
bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib.
Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin,
bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik
sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya
kepada Wiji.

Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak
mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji
langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi
memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah
kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas

11
menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri
Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.

Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari
rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak
menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik
kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap
rokoknya dalam-dalam.

Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak
bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada
gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil
dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya
kepada Bu Han.”

Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan
berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik.
Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah
tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri
saya,” ujar Wiji.

Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan
ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil
dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,”
urainya.

Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa
istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up
yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung
melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah
itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.

Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu
Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap
memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.

12
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa
langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini
polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun
Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya
sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup
menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.

Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan
mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan
kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja
Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan
oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.

Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah
ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani
ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah.
Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum,
mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.

Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia
sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi
kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat
menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu
perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.

B. Pembahasan Kasus

Malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran /
ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu
malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang
melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan
tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan

13
medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang
merupakan kewajiban baginya.

Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa
kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan
prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap
sepele. Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed
consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini sangat
perlu tidak hanya untuk melindungi pasien dari kesewenangan tenaga kesehatan seperti
dokter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari
kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan
malpraktek.

Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal
yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada
dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,
harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya,
yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan
apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien
meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun
kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan
dua cara yakni :

1. Cara langsung

Kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan

14
1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan


pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab
(causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan.

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa
loquitur).

Doktrin res ipsa loquitur (doktrin pembuktian dalam hukum perdata yang membantu pihak
korban (penggugat) untuk membuktikan kasusnya) dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.

15
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa
kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama
sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau
merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila
kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada
beberapa macam tanggung gugat, antara lain:

1) Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah
daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan
maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
standar profesi/standar pelayanan.

2) Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan
yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate),
misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan
kelalaian bidan sebagai karyawannya.

3) Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban
hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang
berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

Menurut penulis, Bidan Tutik Handayani telah melakukan Malpraktek dengan bentuk
kelalaian malfeansance, dengan alasan Bidan Tutik Handayani telah melakukan tindakan
medis yang tidak tepat dan ada upaya untuk mengaburkan kesalahan medis yang dia lakukan
dengan mengalihkan kesalahannya kepada Bapak Wiji. Misalnya saja pada saat bidan
kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan Tutik Handayani berusaha memanggil Wiji dan
memintanya untuk menarik.

16
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu
kesimpulan sehubungan dengan masalah malapraktek bidan, adalah sebagai berikut:

1. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak


diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan

17
adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam
dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.

2. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh
masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi
kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin
banyaknya kasus malapraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya
berita-berita tentang malapraktek bidan di mass media karena kegagalannya dalam
berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan
bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara
kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.

B. Saran

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya


malpraktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati,
yakni:

 Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena


perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).

 Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

 Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.

 Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala


kebutuhannya.

 Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat


sekitarnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.


Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.

http://khanzima.wordpress.com/2010/01/13/makalah-etika-profesi-dan-hukum-kesehatan/

http://purwanto78.wordpress.com/2008/09/14/malpraktik-dalam-bidang-medis/

19

Anda mungkin juga menyukai