Anda di halaman 1dari 6

Upaya Mitigasi Dengan Cara Mengurangi Emisi Guna Menekan Kenaikan

Suhu Bumi di Bawah 2 Derajat Celcius


Oleh: Sarlita Hidayati

Salah satu upaya untuk dapat mengurangi emisi guna menekan kenaikan
suhu bumi agar dapat mencapai target yaitu di bawah 2 derajat celcius ialah
dengan menggalakkan program rumah hijau. Dilansir dari penelitian yang pernah
dilakukan oleh Aidya Firdauzha Maerast (2016), penulis sepakat terhadap apa
yang diusulkan. Namun sebelumnya, penulis akan memaparkan terlebih dahulu
mengenai mengapa keputusan COP21 ini begitu optimis dalam menekan kenaikan
suhu, apalagi sampai di bawah 2 derajat celcius yang dimana kita semua tahu
bahwa hal tersebut ialah bukan hal yang mudah.
Ialah pendapat dari Dr. Agus Supangat (2016), Mantan Koordinator Divisi
Peningkatan Kapasitas, Penelitian dan Pengembangan Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI), mengatakan tanpa upaya serius mengurangi emisi gas
rumah kaca, suhu global akan cenderung meningkat lebih dari 2 derajat celcius
pada abad berikutnya, bahkan bisa meningkat sampai 5 derajat celcius. Resiko
terjadinya beberapa kejadian ekstrem, terutama gelombang panas dan hujan deras,
diperkirakan akan meningkat lebih lanjut dalam beberapa dekade mendatang.
Tinggi permukaan laut global diperkirakan akan meningkat hingga 0,26 – 0,81
meter pada akhir abad ini dan akan terus meningkat pada abad-abad mendatang.
Menahan kenaikan suhu di bawah batas 2 derajat celcius adalah mungkin tapi sulit
dilakukan dan perlu berbagai perubahan, termasuk perubahan penggunaan
teknologi, institusi dan perilaku.
Upaya mengurangi emisi perlu dilakukan di semua sektor (misalnya
energi, transportasi, pertanian, hutan) dan seluruh wilayah. Pengurangan
penggunaan energi bisa dilakukan melalui beberapa cara, seperti efisiensi energi
yang memainkan peran besar terhadap penurunan emisi. Banyak negara telah
memiliki kebijakan mengurangi emisi, tapi jauh lebih perlu untuk menerapkan
kebijakan tersebut. Investasi dalam teknologi bersih perlu skala kebijakan besar-
besaran dan mitigasi perlu diintegrasikan ke dalam pertimbangan politik yang
lebih luas, seperti pembangunan, lapangan kerja dan lingkungan. Menangani
perubahan iklim membutuhkan tindakan internasional, ini adalah masalah ‘besar’
dan membutuhkan kerjasama internasional untuk mengatasinya.
Sangat menjadi sesuatu yang menakutkan bagi kita setelah mengetahui itu
semua, langkah awal yang sederhana yang selalu ‘dikoar-koarkan’ kepada kita
sebagai masyarakat awam tampaknya tak bisa hanya dijadikan ‘koaran’ yang
tanpa dilaksanakan. Hal-hal mudah yang dapat kita lakukan antara lain: perbaikan
sektor kehutanan; dengan reboisasi, menghindari penebangan hutan secara liar.
Dalam sektor pemanfaatan bahan bakar fosil; kita harus mampu menghemat
bahan bakar, menghemat penggunaan lampu, mengganti lampu dengan lampu
hemat energi, atau bahkan mengupayakan pengadaan dan pengembangan energi
alternatif yang ramah lingkungan. Bahkan hal kecil lainnya adalah, perlakuan kita
terhadap sampah. Bagaimanapun, mendaur ulang sampah akan lebih baik
daripada membakarnya. Membakar sampah sama artinya dengan memindahkan
sampah tersebut ke udara. Sampah Plastik merupakan bahan yang sulit untuk
diuraikan, dan kalau dibakar, plastik akan menjadi zat beracun atau polusi. Maka
sebagai solusi sederhana, kurangi pemakaian kantong plastik. Saat belanja, bisa
dicoba dengan menggunakan tas karton atau tas kanvas. Setidaknya langkah
tersebut bisa sedikit banyak membantu tantangan dunia yang besar itu.
Selanjutnya penulis akan memaparkan mengenai langkah yang cukup
besar selanjutnya, ialah dengan mengusung ‘Rumah Hijau’. Industri konstruksi di
Indonesia memiliki berbagai dampak positif terhadap kemajuan Bangsa ini. Badan
Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang
tahun 2014 kemarin tercatat sebesar 5,02 persen. Sektor konstruksi merupakan
salah satu penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi tersebut, dengan
presentase 9,88 persen. Pembangunan rumah, hotel, jembatan, jalan dan
pelabuhan menjadi alasan pertumbuhan di sektor konstruksi ini. (liputan 6, 2015).
Sektor konstruksi tidak bisa dipungkiri memiliki peran strategis pada
pembangunan. Peran strategis tersebut antara lain pada penyerapan tenaga kerja,
jangkauan rantai pasok yang luas, pendorong sektor-sektor pendukungnya, bahkan
mobilisator pertumbuhan produk nasional baik barang maupun jasa. (BPS, 2015).
Namun dampak negatif yang dihasilkan oleh sektor ini tidaklah sedikit. Salah
satunya adalah dampak terhadap pemanasan global.
Tidak hanya pada proses produksi dan pemakaian material konstruksi
yang menyumbangkan emisi karbon dioksida, namun penggunaan fasilitas
infrastruktur dan bangunan khususnya hunian dan bangunan komersial bisa
menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang besar. Misalnya saja dalam
penggunaan listrik untuk menghangatkan dan mendinginkan ruangan,
pencahayaan, penggunaan alat-alat rumah tangga, maka sumbangan sektor hunian
dan bangunan bisa mencapai 30 persen. Belum lagi limbah konstruksi yang
dihasilkan dari proses konstruksi dan proses pembongkaran bangunan seperti
tulangan, batu bata, kayu perancah, dll. Limbah yang disebutkan diatas tentunya
berpengaruh secara signifikan terhadap lingkungan, menurut Hendrickson dan
Horvath pada tahun 2000.
Selama ini dalam perancangan rumah , kita masih mengedepankan
pendekatan konvensional seperti aspek ekonomi dan aspek teknis. Sementara itu
isu lingkungan yang seharusnya juga dipertimbangkan sebagai fenomena global
belum disentuh. Dengan jumlah rumah di Indonesia yang mencapai 45 juta unit
menurut data Real Estate Indonesia (REI), maka emisi yang dihasilkan dari
perumahan sangatlah besar. Konsep bangunan ramah lingkungan dapat menjadi
salah satu solusi dalam penyumbangan emisi CO2 dari sektor ini . Bangunan
ramah lingkungan berarti “Bangunan yang menggunakan energi, air, dan sumber
daya lain secara efisien; melindungi kesehatan penghuni dan meningkatkan
produktivitas karyawan; serta mengurangi limbah, polusi, dan degradasi
lingkungan.” (GBCI)
Tentu kita harus mengetahui berapa jumlah sumbangan emisi yang di
berikan bangunan, berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh United Nations
Environment Programme diperkirakan bahwa saat ini, bangunan berkontribusi
sebanyak sepertiga dari total emisi gas rumah kaca global, terutama melalui
penggunaan bahan bakar fosil selama fase operasional mereka. Sektor bangunan
memberikan kontribusi hingga 30 persen dari emisi gas rumah kaca global
tahunan dan mengkonsumsi hingga 40 persen dari seluruh energi.
Jumlah diatas merupakan jumlah yang besar , dan jika terus dibiarkan
emisi yang dihasilkan bangunan dari sektor konstruksi akan terus bertambah,
mengingat sedang dilaksanakan pembangunan infrastruktur di Indonesia secara
besar-besaran. Maka dari itu bangunan hijau atau bangunan ramah lingkungan
dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari
sektor konstruksi.
Kata-kata Bangunan hijau menjadi sesuatu yang cukup popular saat ini ,
menurut Green Building Council Indonesia bangunan Hijau adalah: “Bangunan
yang menggunakan energi, air, dan sumber daya lain secara efisien; melindungi
kesehatan penghuni dan meningkatkan produktivitas karyawan; serta mengurangi
limbah, polusi, dan degradasi lingkungan.”
Bangunan hijau benar-benar telah menjadi tren pasar internasional.
Kemenperin, terus mengembangkan industri hijau. Karena saat ini, permintaan
dari industri ramah lingkungan, menjadi faktor penting dalam rangka
meningkatkan daya saing bangsa. Manfaat menggunakan bangunan hijau dapat di
bagi menjadi tiga kategori yaitu: manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi.
Manfaat dari segi lingkungan yaitu meningkatkan dan melindungi
keanekaragaman hayati dan ekosistem, meningkatkan kualitas udara dan air,
mengurangi aliran limbah, melestarikan dan mengembalikan sumber daya alam.
Manfaat dari segi ekonomi yaitu mengurangi biaya operasi, memperluas dan
membentuk pasar untuk produk dan jasa hijau, meningkatkan produktivitas
penghuni, mengoptimalkan siklus hidup kinerja ekonomi.
Manfaat dari segi sosial yaitu meningkatkan kenyamanan penghuni dan
kesehatan, meningkatkan kualitas estetika, meminimalkan ketegangan pada
infrastruktur lokal, meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Penyelamatan di level global mungkin sulit diharapkan, demikian juga di
tingkat negara yang luas seperti Indonesia, maka kita harus bersiap terhadap
kenyataan bahwa satuan penyelamatannya harus diupayakan pada skala yang
lebih kecil.
Tujuan penyelamatan pada skala yang lebih kecil itu adalah untuk
memastikan bahwa kondisi lingkungan di suatu tempat mampu menopang
kehidupan manusia di atasnya (habitable), dengan memastikan daya tahan
(resilience) masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Ini menggeser
perhatian yang selama ini condong pada mitigasi kepada adaptasi. Hal ini
memang merupakan keniscayaan karena dampak perubahan iklim memang telah
hadir, dan mitigasi saja tak akan bisa membuat masyarakat tertolong.
Setiap daerah yang menginginkan dirinya dapat bertahan dari perubahan
iklim selama mungkin harus memulainya dengan melakukan analisis kerentanan
(vulnerability assessment) untuk mengetahui apa saja dampak perubahan iklim
yang menimpa daerahnya. Dari hasil analisis kerentanan itu pula akan diketahui
apa saja tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan yang
‘normal’ di wilayah itu.
Demikian juga, kebutuhan siapa melakukan apa dengan sumberdaya yang
diperlukan. Diharapkan, dengan relatif kecilnya skala kerja, maka kesepakatan di
antara pemangku kepentingan di situ bisa lebih mungkin dicapai, dan tindakan
konkret bisa dilaksanakan dalam kurun waktu yang sesuai dengan urgensi. Salah
satu aspek paling penting dari ketahanan terhadap perubahan iklim adalah
ketersediaan dan akses atas air untuk beragam keperluan hidup manusia dan
spesies lainnya. Setiap daerah perlu mengetahui trajektori kebutuhan airnya lalu
merancang dan mengeksekusi strategi memastikan ketersediaan dan akses atas air.
Pemenuhan kebutuhan akan air itu sangat tergantung dari jumlah penduduk dan
aktivitasnya. Suatu daerah yang basisnya pertanian (dalam pengertian luas) tentu
membutuhkan air yang banyak. Dan ini perlu dipenuhi dengan konservasi dan
rehabilitasi hutan di daerah tangkapan air, serta upaya-upaya lain seperti
penjagaan dan pembuatan embung, pembuatan biopori, dan sebagainya, yang
sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut.
Dengan pemahaman yang demikian, penanaman pohon tidak akan
dilakukan secara sembarangan seperti yang kebanyakan dilakukan hingga
sekarang. Jumlah dan jenis pohon yang harus ditanam akan disandarkan pada
perhitungan ilmiah. Demikian juga dengan penetapan lokasi dan luasan di setiap
lokasi. Yang tak bisa dilupakan: pemeliharaan. Karena hanya pohon dewasa saja
yang mampu mengikat air dalam jumlah yang besar. Kalau selama ini air larian
lebih banyak daripada air resapan, penanaman dan pemeliharaan pohon yang
ilmiah akan memastikan rasionya berbalik, sehingga akan semakin banyak air
tawar yang bisa disimpan dan digunakan di masa mendatang.
Salah satu hal penting dari gerakan penanaman pohon yang baik adalah
perhitungan hutang dari setiap pihak. Kita bisa berhitung dari rerata konsumsi per
orang lalu mengkonversinya jadi jumlah pohon yang harus ditanam per orang per
tahun. Namun yang lebih adil adalah dengan menghitung konsumsi sesungguhnya
dari orang maupun industri, lalu memastikan bahwa sejumlah itu pula yang
dibayar oleh orang dan industri. Ini juga memiliki nilai pendidikan serta tanggung
jawab atas lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai