Anda di halaman 1dari 10

2.

Penulis melakukan perbandingan pembagian hak waris menurut sistem

Suku Serawai dengan sistem Hukum Islam di Kota Bengkulu, sedangkan

peneliti sebelumnya membandingkan Hukum Islam dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tentang warisan Janda.

3. Penulis menjadikan “masyarakat Adat Suku Serawai di Kota Bengkulu”

sebagai objekna, sedangkan peneliti sebelumnya menjadikan

“Masyarakat Adat Suku Malind di Kabupaten Marauke Papua” sebagai

objeknya.

Berdasarkan pada juduls, pamasalahan dan lokasi penelitian di atas

terdapat perbedaan dalam hal pembahasan yang akan dilakukan, sehingga

penelitian ini bukan merupakan plagiat dan tidak memenuhi unsur-unsur

kebaruan., oleh karena itu, penelitian ini dapat dilakukan karena masih bersifat

orosinal/asli dan untuk dijadikan sebagai objek penulis dalam bentuk tesis.

E. Kerangka Pemikiran

1. Filsafat Hukum

Setiap bidang ilmu mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia.

Manfaat filsafat hukum yaitu dapat menjelaskan secara praktis peran

hukum dalam pembangunan yang berfokus pada ajaran sociological

jurisprudence, inti dari mazhab ini menganggap bahwa hukum yang baik

adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat

dan legal realisme.


Selain itu, filsafat hukum dapat bermanfaat untuk pengembangan

wawasan pengetahuan dan pemahaman hukum, baik dalam bentuk

pendekatan yuridis normatif maupun pendekatan yuridis empiris.

a. Aliran positivisme

Aliran positivism mengidentifikasikan hukum dengan undang-

undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Salah

seseorang tokoh terkemuka dari lairan positivism, yaitu L.A. Hart.

Hart mengajukan 5 (lima) pengertian dari hukum positif, yaitu sebagai

berikut :

1) That laws are commands of human beings (hukum hanyalah


perintah pengasa)
2) That there is no necessary connection between law and
morals or law it is and law as it ought to be (tidak ada
hubungan mutlak antara hukum dan moral dan etika, hukum
sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum harus
senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya
diciptakan, yang diinginkan)
3) That the analysis of meaning legal concepts is an important
study to be distinguished from (though is on way hostile to)
historical inquires, sociological inquires and the critical
appraisal of law in terms of morals, social aims, function
(analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum
adalah suatu studi yang penting, analisis atau studi itu harus
dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian
kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial dan fungsi-
fungsi sosial). Jadi, analisis tentang konsepsi-konsepsi
hukum dibedakan dar penyelidikan sejarah dan sosiologi.
4) That a legal system is a closed logical system in which
correct decisions can be dediced from predetermined legal
rules by logical means alone. (sistem hukum adalah sistem
tertutup yang logis, yang merupakan putusan-putusan yang
tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan
yang sudah ada sebelumnya). Jadi, sistem hukum haruslah
sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh
atas dasar logika, tanpa mempertimbangkan aspek sosial,
politik, moral maupun etika.
5) That moral judgements cannot be established as statemants
of fact can, by rational argument, evidence or proof (non
cognitivism in ethics) (penghukuman secara moral tidak lagi
dapat ditegakkan, melainkan harus dengan jalan argument
yang rasional ataupun pembuktian dengan alat bukti).

Sedangkan ajaran Jhon Austin yang menganut aliran hukum

positif analitis (Analytical Jurisprudence) tentang hukum yaitu

“hukum adalah perintah pihak yang berdaulat, atau dalam bahasa

aslinya : Law… was the command of sovereign. Bagi Austin : No.Law,

no sovereign; and no sovereign, no law”.

Hakikat hukum sendiri manurut Austin terletak pada unsur

“perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap,

logis dan tertutup. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur

yaitu : perintah (command), sanksi (sancion), kewajiban (duty), dan

kedaulatan (sovereignty).
b. Aliran Hukum Alam

Aliran Hukum Alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500

tahun yang lalu, dan muncul dalam berbagai bentuk pemikiran. Dilihat

dari sejarahnya, menurut Friedmann aliran hukum alam timbul akibat

kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang ansolut.

Aliran hukum alam atau yang biasa disebut mazhab hukum alam.

Aliran dimaksud, dikembangkan oleh beberapa pakar yang ada di

zaman Yunani dan Romawi.

Aliran hukum alam di zaman Yunani, yaitu

Orang Yunani pada mulanya (abad ke-5 sebelum Masehi) amsih


bersifat primitif, yaitu hukum dipandang sebagai suatu keharusan
alamiah (nomos); baik semesta alam maupun hidup manusia.
Sebagai contoh lelaki berkuasa dan memiliki kemampuan
politik; budak harus tetap menjadi budak, sebab begitulah aturan
yang berlaku secara alamiah dan sebagainya. Namun, pada abad
ke-4 SM para filsuf muali insaf tentang peran manusia dalam
membentuk hukum, misalnya Socrates. Socrates menuntut
supaya para penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai
niali yang melebihi manusia. Demikian juga pendapat Plato
(427-374 SM) dan Aristoteles (3448-322 SM) yang mulai
mempertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih adil yang
harus mejadi alat untuk mencapai tujuan hukum, walaupun
mereka juga tetap mau taat pada tuntutan-tuntutan alam sehingga
zaman ini dikenal sebagai zaman dan/atau aliran hukum alam.
Pendapat dari tokoh terkemuka di zaman ini, seperti Aristoteles.

Aristoteles menurut Friedman, bahwa ia menyumbangkan

pemikiran yang paling penting terhadap teori hukum, yaitu :

1) Formulasinya tentang problem esensial dari keadilan;

2) Formulasinya tentang perbedaan antara keadilan yang abstrak

dengan equity;
3) Uraiannya tentang perbedaan keadilan hukum dan keadilan

alamiah (seperti “hukum positif” dan “hukum alam”).

Aristoteles sebagai seorang tokoh besar di zamannya, seringkali


memunculkan pemikiran-pemikiran yang brilian, diantaranya
manyangkut problem esensial keadilan. Aristoteles membuat
perbedaan antara keadilan distributif, komulatif dan keadilan
remedial. Hal itu akan diuraikan sebagai berikut.
Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada
setiap orang berdasarkan profesinya atau jasanya. Pembagian
barang-barang dan kehormatan pada masing-masing oaring
sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini
menghendaki agar orang-oarang yang mempunyai kedudukan
yang sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan
hukum.
Keadilan komulatif, yaitu keadilan yang memberikan hak kepada
seseorang berdasarkan statusnya statusnya sebagai manusia.
Keadilan remedial, yaitu menetapkan kriteria dalam
melaksanakan hukum sehari-hari, yaitu kita harus mempunyai
standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang
dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Sanksi
pidana yang dijatuhkan, memulihkan yang telah dilakukan oleh
pembuat kejahatan dang anti rugi telah memulihkan kesalahan
perdata standar tersebut diterapkan tanpa mebeda-bedakan orang.

Aliran hukum alam di zaman Romawi, yaitu :

Pada permulaan abad ke-8 sebelum masehi, peraturan-peraturan


Romawi hanya berlaku di Kota Roma. Namun, berangsur-angsur
peraturan negara itu menjadi universal keberlakuannya. Sebab,
seluruh peraturan yang berlaku di Kota Roma harus sesuai pada
semua wilayah kekuasaan Romawi. Peraturan-peraturan yang
berlaku secara universal disebut ius gentum, yaitu hukum yang
diterima oleh semua bangsa sebagai dasar suatu kehidupan
bersama yang beradab. Namun demikian, dapat dipastikan
bahwa hukum Romawi dalam abad-abad sebelum masehi lebih
bersifat kasuistik. Artinya peraturan yang berlaku tidak
diterapkan secara otomatis kepada semua perkara, tetapi lebih
berfungsi sebgaai pedoman atau contoh bagi para hakim.
c. Aliran Sosiological Jurisprudence

Aliran Sosiological Jurisprudence dipelopori oleh Roscoe Pound

Eugert Ehrich, Benjamin Cahrizo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-

lain. Aliran ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak

mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata “sesuai” diartikan

sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam

masyarakat.

Aliran Sosiological Jurisprudence sebagai salah satu aliran

pemikiran filsafat hukum menitik beratkan hukum dalam kaitannya

dengan masyarakat. Menurut aliran ini : “Hukum yang baik haruslah

hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat”.

Inti dari ajaran ini adalah hukum yang dibuat agar memperhatikan

hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis

maupun tidak tertulis. Hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum

kebiasaan dan hukum adat. Hukum kebiasaan itu adalah kebiasaan

yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait. Sedangkan

hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan

dari penguasa adat.

Mazhab atau aliran sosiologisme hukum mengalami

perkembangan sehingga muncul aliran yang kalau boleh dikatakan

cabang dari sosiologisme hukum adalah Sosiological Jurisprudence.


Aliran sosiologisme hukum ini dikembangkan oleh tokoh-tokohnya

seperti, Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, dan lain-lain.

Menurut Roscoe Pound, bahwa :


Hukum harus dipandang sebagai suatu lembagakemasyarakatan
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial,
dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu
kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat
terpenuhi secara maksimal. Found juga menganjurkan untuk
mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang
dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books).
Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum,
baik hukum substantive, maupun hukum ajektif. Ajaran tersebut
menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai
dengan pola-pola perikelakuan.

Sedangkan menurut Eugen Ehrilch, bahwa :


Pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada
perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam
masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedahan antara
hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kaidah-
kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila
selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Aliran Sosiological Jurisprudence berbeda dengan sosiologi

hukum. Berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup

di dalam masyarakat. Dijelaskan oleh Roscoe Pound dalam kata

pengantar pada buku Gurvitch yang berjudul sosiologi hukum

perbedaan diantara keduanya ialah :

Sosiological Jurisprudence itu merupakan suatu mazhab/aliran


dalam filsafat hukum yang mepelajari pengaruh timbal balik
antara hukum dan masyarakat, sedangkan Sosiologi Hukum
adalah cabang sosiologi mempelajari hukum sebagai gejala
sosial. Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi yang
mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh
mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat adap
mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh
sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat.

Dari dua hal tersebut (Sosiological Jurisprudence dan sosiologi

hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya. Sosiological

Jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada

masyarakat, sedangkan sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak

dari masyarakat kepada hukum.

Menurut Roscoe Pound yang menganggap bahwa hukum sebagai

alat rekayasa sosial, yaitu :

Law as a tool of social engineering and sosial controle, yang


bertujuan mencipatakan harmoni dan keserasian agar secara
optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia
dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian
yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan
kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk
kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang
dilakukan oleh penguasa negara. Aliran ini secara tegas
memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law)
dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari
proses dialetika antara (tesis) Positivisme Hukum (antitesis) dan
Mazhab Sejarah. Sebagaimana seketahui, Positivisme Hukum
memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan
penguasa (law is a command of law givers), sebaliknya Mazhab
Sejarah meyatakan hukum timbul dan berkembang bersama
dengan masyarakat.

Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua

lebih mementingkan pengalaman dan Sosiological Jurisprudence

menganggap keduanya sama pentingnya. Aliran Sosiological

Jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam

pembangunan ukum Indonesia. Singkatnya yaitu, aliran hukum yang


konsepnya bahwa hukum yang dibaut agar memperhatikan hukum

yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun

tidak tertulis. Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan

dalam undang-undang sebagai hukum tertulis, sedangkan yang

dimaksud hukum tidak tertulis disinia adalah hukum adat yang diaman

hukum ini adalah semualnya hanya sebagai kebiasaan yang lama

kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat tersebut

tanpa tertulis. Dalam msyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis

serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan

perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat. Untuk itu hakim harus terjun di tengah-tengah masyarakat

untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum

dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.

Menurut Ehrlich yang mengatakan bahwa pusat perkembangan

dar hukum bukanlah terletak pada bahan-bahan legislative, keputusan-

keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, akan tetapi justru terletak

dalam masyarakat itu sendiri, sebagaimana yang diungkapkannya :

Bahwa pusat perkembangan dari hukum terletak dalam


masyarakat itu sendiri, sebagaimana Tata tertib dalam
amsyarakat didasarkan pada peraturan-peraturan yang
dipaksakan oleh engara. Sementara itu Roscoe Pound
berpendapat bahawa hukum dilihat atau dipandang sebagai suatu
lembaga kemasyrakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial dan adalah tugas dari ilmu hukum
untuk mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-
kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.
Pound menganjurkan untuk memeplajari Ilmu Hukum sebagai
suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum
tertulis (law in books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada
seluruh bidang hukum, baik hukum substantive maupun hukum
ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum
yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikalakuan. Ajaran-
ajaran tersebut dapat diperluas lagi sehingga juga mencakup
masalah-masalah keputusan-keputusan pengadilan serta
pelaksanaannya dan juga antara isi suatu peraturan degan efek-
efeknya yang nyata.

Anda mungkin juga menyukai