Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DENGAN HUKUM NASIONAL

a. Perbedaan antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional


1. Perbedaan Sumber Hukum
Hukum nasional bersumberkan pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu Negara
sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang
dilahirkan atas kehendak bersama Negara-negara dalam masyarakat internasional.
2. Perbedaan Subjek Hukum
Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu Negara.
Sedangkan subjek hukum internasional adalah Negara-negara anggota masyarakat
internasional.
3. Perbedaan Kekuatan Hukum
Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna kalau
dibandingkan dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan
Negara-negara secara horizontal.

b. Perbedaan Teori-teori Hubungan Hukum Internasional


Dua teori utama yang dikenal adalah monisme dan dualisme, menurut teori monisme,
hukum internasional dan hukum nasional merupakan aspek yang sama dari satu sistem hukum
umumnya; menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
sistem hukum yang sama sekali berbeda secara intrinsic (intrinsically) dari hukum nasional.
Karena melibatkan sejumlah besar sistem hukum domestik, teori dualisme, kadang-kadang
dinamakan teori pluralistik, tetapi sesungguhnya istilah “dualisme” lebih tepat dan tidak
membingungkan.
1. Dualisme
Barangkali tepat mengatakan bahwa para penulis hukum internasional (misalnya Suarez)
tidak akan pernah meragukan bahwa suatu konstruksi monistis dari dua sistem hukum
merupakan satu-satunya pendapat yang benar, dengan keyakinan bahwa hukum alam
menentukan hukum bangsa-bangsa dan keberadaan negara-negara. Akan tetapi pada abad
kesembilan belas dan kedua puluh berkembang tendensi kuat kearah pandangan dualis, hal
ini sebagian merupakan akibat doktrin-doktrin filsafat (misalnnya dari Hegel) yang
menekankan kedaulatan dari kehendak negara dan sebagian lagi merupakan akibat
munculnya pembuat Undang-Undang di negara-negara modern dengan kedaulatan hukum
intern yang lengkap.

Jadi Teori ini menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing-
masing merupakan dua system yang berbeda satu sama lain. Lahirnya pandangan dualisme
ini karena dua factor penyebab, yaitu karena doktrin-doktrin filosofis yang menandaskan
kedaulatan kehendak negara dan tumbuhnya kedaulatan hukum intern yang sempurna.
Pandangan dualisme tersebut mempunyai sejumlah akibat yang penting, yaitu:

o Kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau
berdasarkan pada perangkat hukum yang lain.
o Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang ada
hanya penunjukkan saja.
o Ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.
Dengan kata lain hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan
menjadi hukum.

Keberatan terbesar terhadap teori dualisme adalah pemisahan mutlak antara hukum
nasional dengan hukum internasional tidak dapat menerangkan secra memuaskan
kenyataan bahwa dalam praktik sering hukum nasional itu tunduk atai sesuai dengan
hukum internasional.

2. Monisme
Penulis-penulis modern yang mendukung konstruksi monistik sebagian besar
berusaha menemukan dasar pandangannya pada analisis yang benar-benar ilmiah
mengenai struktur intern dari sistem-sistem hukum tersebut. Berbeda dengan para penulis
yang menganut teori dualisme, pengikut –pengikut teori monisme menganggap semua
hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang
mengikat baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara, individu-individu, atau
kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan
hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan, dan point yang menentukan karenanya
adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya apa bukan. Jika
secara hipotesis diakui hukum internasional merupakan suatu kaidah yang benar-benar
berkarakter hukum, maka menurut Kelsen (1881-1973) dan penulis monitis lainnya, tidak
mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut merupakan bagian dari
kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian suatu
konstruksi selain monisme, khususnya dualisme, bermuara pada suatu penyangkalan
karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulis-penulis monitis tidak
akan berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua sistem tersebut, karena keduanya
merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan
di dalam suatu struktur hukum.
Menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu
sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum
nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional
kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional
tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional
3. Teori Koordinasi
Hukum Internasional dan Hukum Nasional memiliki lapangan berbeda, sehingga memiliki
keutamaan dilapangan masing-masing.
4. Teori Transformasi
Menurut teori transformasi, hukum internasional tidak akan pernah berlaku sebelum
konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip atau
kaedah-kaedah hukum nasional. Agar dapat berlaku, maka prinsi-prinsip hukum
internasional harus terlebih dahulu menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum nasional.
Misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup
sebagai hasil transformasi dari hukum Lingkungan Internasional, yaitu Deklarasi
Stockholm 1972. Demikian pula dengan Undang-Undang pembaharuannya, yaitu Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi
Deklarasi Rio 1992.
5. Teori Adopsi
Teori adopsi, cara berfikirnya sangat sederhana. Hal ini sangat tergantung dari kemauan
hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip Hukum Internasional dalam menyelesaikan
kasus-kasus nasional.
“a judge is entitle to resort to a rule of international law without requiring that it be
consciously promulgate by the sovereign as one municipal law”
(Hakim berhak menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional tanpa terlebih
dahulu diumumkan oleh Negara atau pengadilan dari suatu Negara).
6. Teori Delegasi
Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah didelegasikan ke hukum
nasional yang dapat dilegalkan dengan pencantuman kaedah-kaedah hukum internasional
kedalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional atau dengan menerapkan
kaedah-kaedahnya dalam memutus atau menyelesaikan sengketa nasional.
7. Teori Harmonisasi
D.P.O. Connell menggambarkan teori ini melalui suatu pernyataan yang berbunyi:
“the theory of harmonization assumes that international law, as a rule of human behavior, form
part of municipal law and hence is available to a municipal judge; but in the rare instance
conflict between the two system theory acknowledges that he is obligade by his jurisdictional
rules”
(teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional sebagai hukum yang mengatur
tingkah laku bagian hukum internasional dan diatur oleh hukum nasional, tetapi teori ini juga
mengakui adanya konflik antar kedua hukum tersebut).

c. Praktek Negara-negara
1. Praktek di Negara Inggris.
Inggris merupakan negara yang mendasarkan aturan hukumnya pada hukum kebiasaan
atau common law. Atau disebut juga sebagai customary law. Sedangkan sistem hukum
yang dianutnya adalah sistem Eropa Kontinental. Dalam kaitannya dengan hukum
internasional, di Inggris didasarkan pada berlakunya doktrin atau ajaran yang dikenal
sebagai doktrin inkorporasi. Jadi hukum internasional secara otomatis berlaku sebagai
hukum negara. Dalam perkembangan berlakunya doktrin inkorporasi ini mengalami
perkembangan. Khususnya terhadap berlakunya hukum kebiasaan internasional yang dapat
berlaku otomatis di Inggris, apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. ketentuan hukum kebiasaan internasional tersebut tidak bertentangan dengan
perundang-undangan Inggris, sebelum kaidah hukum internasional tesebut berlaku atau
setelah adaya kaidah hukum internasional berlaku.
2. sekali kaidah hukum internasional ditetapkan oleh pengadilan tinggi di Inggris, maka
pengadilan lain terikat oleh keputusan pegadilan tersebut, meskipun kemudian hari ada
kemungkinan munculnya kaidah kebiasaan internasional yang berbeda.
Dalam praktek di Negara Inggris, perjanjin internasional yang memerlukan persetujuan
parlemen adalah sebagai berikut:
1. perjanjian tersebut menimbulkan akibat perubahan dalam undang-undang nasional
2. perjanjian internasional mengakibatkan perubahan daam status atau garis batas wilayah
negara.
3. perjanjian internaisonal tersebut memengaruhi hak-hak sipil kaula negara Inggris atau
memerlukan penambahan wewenang pada raja
4. perjanjian internasional tersebut menambah beban keuangan secara langsung atau tidak
langsung pada pemerintah Inggris.
5. Perjanjian internasional lainnya yang tidak bersifat penting dan tidak mengakibatkan
perubahan undangundang pelaksanaan, dapat berlangsung setelah pendandatanganan.
2. Praktek di Negara Amerika Serikat
Amerika serikat merupakan suatu negara yang menganut sistem hukum anglo
saxon, dan mendasarkan berlakunya hukum internasional sama dengan Inggris yaitu
menganut doktrin inkorporasi. Namun, dalam praktek, Amerika Serikat mempunyai
perbedaan dengan praktek di Inggris. Praktek di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
semua traktat yang dibuat atau akan dibuat berdasarkan otoritas Amerika Serikat,
merupakan hukum negara tertinggi. Lebih lanjut dalam menentukan pembedaan apakah
suatu perjanjian akan berlaku dengan sendirinya, dalam arti ketentuan hukum internasional
berlaku dalam hukum nasional, tanpa adanya perundang-undangan terlebih dahulu (self
executing), dan perjanjian internasional yang berlakunya harus melalui perundang-
undangan pelaksanaan (non self executing) diserahkan sepenuhnya pada kewenangan
pengadilan.
Menurut praktek Amerika Serikat apabila suatu perjanjian internasional itu tidak
bertentangan dengan konstitusi dan tidak termasuk dalam golongan perjanjian self
executing, maka ketentuan dalam perjanjian internasional menjadi bagian dari hukum
Amerika Serikat, dan berlaku tanpa memerlukan undang-undang pelaksanaannya.
Perjanjian yang termasuk self executing ini akan tetap mengikat pengadilan
meskipun bertentangan dengan undang-undang nasional Amerika Serikat. Sebaliknya,
perjanjian internasional yang tidak termasuk self executing (non self executing), akan
mengikat pengadilan di Amerika Serikat setelah adanya perundang-undangan nasional
lebih dahulu.[8]

3. Praktek di Negara Indonesia.


Di era globalisasi seperti saat ini eksistensi hukum internasional tidak dapat
terbantahkan kembali keberadaannya, bahkan hukum internasional bukan hanya mengatur
tentang hubungan antarbangsa, saat ini hukum internasional telah berkembang pesat
sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah terbatas pada negara-negara saja
sebagaimana diawal perkembangan hukum internasional. Berbagai organisasi
internasional, individu, perusahaan, vatican, billigerency sekarang telah diakui sebagai
bagian dari subjek hukum internasional. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Mochtar
Kusumaatmadja yang menyatakan:
“hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan
internasional) yang bukan bersifat perdata.”[9]
Dalam wilayah hukum Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 tidak mengatur
secara tegas pemberlakuan kaedah hukum internasional di wilayah nasional. Pasal yang
menyangkut tentang hukum internasional hanyalah pasal 11 dan 13, dan kedua pasal
tersebut sangat ringkas. Kemudian sebagai penjabaran dari UUD 1945 dikeluarkan Surat
Presiden Republik Indonesia (SPRI) No.2826/HK/1960 pada tanggal 22 Agustus 1960
yang mengatur tentang “Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain”. Tetapi
dalam tatanan prakteknya Surat Presiden tersebut hanya mengatur prosedur mengadakan
perjanjian internasional dan belum sampai pada prosedur pemberlakuan kaedah hukum
internasional yang dibuat ke dalam wilayah hukum Indonesia.
Hingga saat ini Indonesia belum pernah secara tegas menyatakan aliran mana yang
digunakan, hanya saja apabila menelaah apa yang telah diamanahkan oleh konstitusi
Indonesia mengatur suatu kaidah hukum internasional dalam undang-undang nomor 24
Tahun 2000 mengenai perjanjian internasional yang mewajibkan suatu kaidah hukum
internasional apabila ingin menjadi suatu kaidah hukum nasional maka harus melalui tahap
ratifikasi.
Ratifikasi pada hakikatnya merupakan salah satu cara pengesahan sebuah
perjanjian internasional untuk dapat dijadikan salah satu produk hukum di negara-negara
peserta perjanjian tersebut. Istilah pengesahan yang dipergunakan dalam praktik hukum
perjanjian internasional di Indonesia khususnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional[10] diambil dan diterjemahkan dari istilah ratifikasi itu
sendiri.[11]
Ratifikasi hanya dapat dilakukan apabila suatu negara akan mengesahkan suatu
perjanjian internasional yang nantinya akan dijadikan sebagai suatu norma hukum seperti
apa yang diatur dalam konstitusi dengan memperhatikan kedaulatan konstitusi tersebut.
Jika harus memilih, sebaiknya Indonesia menganut teori dualisme saja, sebab
dalam teori tersebut hukum nasional dan hukum internasional terpisah karena perbedaan
yang mendasar pada: sumber hukum, subjek hukum, struktur hukum, dan juga ruang
lingkup pelaksanaannya, sehingga tidak akan ada pertentangan kaedah tetapi yang ada
adalah penyelarasan kaedah melalui inkorporasi atau transformasi. Setelah adanya
penyelarasan, kaedah internasional tersebut dapat diberlakukan dalam wilayah nasional
baik secara langsung (self executing) maupun dengan aturan terpisah (non-self executing),
jika ada kaedah interrnasional yang tidak sesuai dengan kaedah nasional merupakan
otoritas legislatif untuk mengesampingkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Pathiana,I wayan. Hukum Internasional. Bandung : CV Mandar maju, 2003

David Ruzie, op.cit, p. 10

Agoes, Etty R. dan Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Pengantar Hukum Internasional, Alumni:
Bandung

Anda mungkin juga menyukai