Anda di halaman 1dari 20

Dasar Teori

Absorpsi didefinisikan sebagai masuknya obat dari tempat pemberiannya ke dalam plasma. Kecuali
pemberian I.V. dan inhalasi, hampir semua obat harus masuk ke dalam plasma sebelum mencapai
tempat kerjanya dan oleh karena itu obat harus mengalami absorpsi lebih dahulu. Terdapat
beberapa cara pemberian obat yaitu : 1. Sublingual, 2. Per oral, 3. Per rectal, 4. Pemakaian pada
permukaan epitel ( kulit, kornea, vagina, mukosa hidung ), 5. Inhalasi, 6. Suntikan ( subkutan,
intramuskuler, dan intratekal ).

Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier absorbsi adalah membran
epitel saluran cerna yang seperti halnya semua membran sel epitel saluran cerna , yang seperti
halnya semua membran sel ditubuh kita, merupakan lipid bilayer.Dengan demikian , agar dapat
melintasi membran sel tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah terlebih dulu
larut dalam air).

(Farmakologi dan Terapi edisi 5, 2007)

Absorpsi obat melalui saluran cerna :

Sublingual. Absorpsi obat langsung melalui rongga mulut kadang-kadang diperlukan bilamana
respons yang cepat sangat diperlukan, terutama bila obat tersebut tidak stabil pada keadaan Ph
lambung atau dimetabolisme oleh hepar dengan cepat.

Per oral. Sebagian besar obat diberikan melalui mulut dan ditelan. Beberapa obat

( misalnya: alcohol dan aspirin ) dapat diserap dengan cepat dari lambung, tetapi kebanyakan obat
diabsorpsi sebagian besar melalui usus halus. Absorpsi obat melalui usus halus, pengukuran yang
dilakukan terhadap absorpsi obat baik secara in vivo maupun secara in vitro, menunjukan bahwa
mekanisme dasar absorpsi obat melalui usus halus ini adalah secara transfer pasif. Di mana
kecepatan obat ditentukan oleh derajat ionisasi obat dan lipid solubilitas dari molekul obat tersebut.

Pemberian obat secara rectal dapat dipakai baik untuk mendapatkan efek local maupun untuk
efek sistemik. Obat –obat yang diabsorpsi melalui rectum masuk ke sirkulasi sistemik tanpa melalui
hepar. Hal ini dapat mengguntungkan bagi obat-obat yang dengan cepat menjadi inaktif bila
melewati hepar (missal : progesterone, tetosteron . alas an lain memberikan obat secara rectal
adalah untuk menghindari efek iritasi obat pada lambung ( misalnya : obat antiradang ). Cara ini
dapat juga digunakan untuk pasien yang muntah-muntah atau pasien yang tidak bias menelan pil
atau tablet. Absorpsi obat melalui rectum ini sering bersifat irregular dan tidak sempurna, serta
banyak juga obat yang mengiritasi mukosa rectum.

Pemberian obat perkutan. Kebanyakan obat sangat sedikit yang dapat diabsorpsi melalui kulit
yang utuh, karena kelarutan dalam lemak obat-obat tersebut terlalu rendah. Dalam praktek klinik
pemberian obat pada kulit dilakukan terutama bila diperlukan efek local pada kulit. Namun absorpsi
yang cukup bias juga terjadi dan menyebabkan efek sistemik.

Pemberian obat secara suntikan intravena. Pemberian obat secara intravena adalah cara yang
paling cepat dan paling pasti. Suatu suntikan tunggal intravena akan memberikan kadar obat yang
sangat tinggi yang pertama-tama akan mencapai paru-paru dan kemudian ke sirkulasi sistemik.
Kadar puncak yang mencapai jaringan tergantung pada kecepatan suntikan yang harus diberikan
secara perlahan-lahan sekali. Obat-obat yang berupa larutan dalam minyak dapat menggumpalkan
darah atau dapat menyebabkan hemolisa darah, karena itu tidak boleh diberikan secara intravena.
Pemberian obat suntikan subkutan. Suntikan subkutan hanya bias dilakukan untuk obat-obat
yang tidak menyebabkan iritasi terhadap jaringan karena akan menyebabkan rasa sakit hebat,
bnekrosis dan pengelupasan kulit. Absorpsi melalui subkutan ini dapat pula bervariasi sesuai dengan
yang diinginkan.

Pemberian suntikan intramuskuler ( IM ). Obat- obat yang larut dalam air akan diabsorbsi
dengan cepat setelah penyuntikan IM. Umumnya kecepatan absorpsi setelah penyuntikan pada
muskulus deloid atau vastus lateralis adalah lebih cepat dari pada bila disuntikkan pada gluteus
maximus. Pemberian suntikan intra-anterial. Kadang-kadang obat disuntikan ke dalam sebuah arteri
untuk mendapatkan efek yang terlokalisir pada jaringan atau alat tubuh tertentu. Tetapi nilai terapi
cara ini masih belum pasti. Kadang-kadang obat tertentu jug a disuntikan intraarteri untuk keperluan
diagnosis. Sutikan intraarteri harus dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli. Pemberian suntikan
intratekal. Dengan cara ini oabt langsung disuntikkan ke dalam ruang subaraknoid spinal. Suntikan
intratekal dilakukan karena banyak obat yang tidak dapat mencapi otak, karena adanya sawar darah
otak.

( dr.sjamsuir munaf,1994 )

Pemberian suntikan intra-peritonial. Rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi yang


sangat luas sehingga obat dapat masuk ke sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak digunakan
di laboratorium tetapi jarang digunakan di klinik karena adanya bahaya infeksi dan perlengketan
peritoneu.

( dr.sjamsuir munaf,1994 )

Pembahasan

Absorbsi merupakan pengambilan obat dari permukaan tubuh atau dari tempat-tempat tertentu
pada organ ke dalam aliran darah. Dimana dipengaruhi beberapa factor yakni cara pemberian obat
dan bentuk sediaan. Pada percobaan kali ini dilakukan empat cara yaitu peroral, subkutan,
intraperitonial, intramuscular. Kecepatan absorbsinyapun berbeda pada masing-masing cara
pemberian yang dapat menunjukan keefektifan obat tersebut.

Pada percobaan ini digunakan mencit sebagai hewan uji karena disamping harganya yang ekonomis,
dapat dilihat pula dari keekonomisan jumlah luminal yang diberikan pada volume pemberiaanya.
Sebelumnya mencit harus mengalami praperlakuan yakni dipuasakan yang bertujuan agar setiap
mencit memiliki aktivitas enzim yang sama selain itu agar tidak menghalangi bahan obat diserap
dalam tubuh.

Pada percobaan ini menggunakan luminal atau Phenobarbital yang sifatnya larut dalam lemak.
Dalam peraktek kali ini menggunakan dosis 80 mg. obat ini akan mencapai MEC (Minimal Effective
Consentration) tertinggi sehingga mencit akan tertidur dan akan bangun lagi karena secara
farmakokinetik golongan obat barbiturate yaitu fenobarbital itu larut dalam lemak, saat keadaan
plasma meningkat obat di lepaskan jadi mencitnya tidur, tetapi saat keadaan plasma menurun, obat
tetap tertimbun dalam lemak jadi mencit bangun begitu seterusnya. Fenobarbital memiliki sifat
redistribusi yaitu efek kalau pada mencit, setelah efek anestesi hilang, obat akan di keluarkan dari
depot lemak secara perlahan, itu yang membuat mencit bangun tidur kembali.
Cara pemberian dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang berpengaruh juga terhadap
onset dan durasi. Pada literature dijelaskan bahwa onset paling cepat adalah intraperitonial,
intramuscular, subkutan, peroral. Hal ini terjadi karena :

· Intraperitonial mengandung banyak pembuluh darah sehingga obat langsung masuk ke dalam
pembuluh darah.

· Intramuscular mengandung lapisan lemak yang cukup kecil sehingga obat akan terhalang oleh
lemak sebelum terabasorbsi.

· Subkutan mengandung lemak yang cukup banyak.

· Peroral disini obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor karena melalui
saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat seperti protein plasma.

Dan durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial, intramuscular, subkutan. Hal ini terjadi
karena :

· Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang dan banyak factor
penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan efek obat lebih cepat.

· Intraperitonial, disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan
lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak
sehingga durasinya agak cepat.

· Intramuscular, terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat akan konstan dan
lebih tahan lama.

· Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama disbanding
intramuscular.

Di lihat dari rata-rata waktu onset dan durasi, sangat terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan pada
masing-masing cara pemberian. maka memastikannya dilakukan dengan uji stastistik analisa varian
satu jalan karena di sini hanya terdapat satu variable yakni cara pemberian. melalui uji anava
didapatkan ada perbedaan onset antar kelompok pada pengaruh cara pemberian obat terhadap
absorbs sehingga dilakukan uji anava. Maka Pada onset di dapatkan hasil rata-rata untuk
intraperitonial 19,8 , intramuscular 26, subkutan 96,6 , dan untuk peroral 337,2( urutan sesuai
dengan teoritis yang ada). Sedangkan pada durasi didapatkan hasil untuk peroral 70,6 ,
intraperitonial 205,8 ,intramuscular 224, subkutan 609,6. (urutan sesuai dengan teoritis yang ada).

Dan dari uji pasca anava tersebut didapatkan hasil bahwa: Pemberian peroral dengan intraperitonial,
dan pemberian peroral dengan intramuscular memiliki perbedaan yang signifikan karena peroral
akan melalui saluran cerna yang memiliki rute panjang dan banyak factor penghambat sedangkan
intraperitonial langsung masuk dalam pembuluh darah dan intramuscular mengandung cukup lemak
untuk mengabsorbsi obat.

Dengan adanya variasi onset dan durasi dari tiap-tiap cara pemberian dapat disebabkan oleh
beberapa hal, meliputi:

· Kondisi hewan uji dimana masing-masing hewan uji sangat bervariasi yang meliputi produksi
enzim, berat badan dan luas dinding usus, serta proses absorbsi pada saluran cerna.

· Factor teknis yang meliputi ketetapan pada tempat penyuntikan dan banyaknya volume
pemberian luminal pada hewan uji.
Cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi dimana hubungannya dengan
kecepatan dan kelengkapan absorbsi obat. Kecepatan absorbs obat di sini berpengaruh terhadap
onsetnya sedangkan kelengkapan absorbs obat berpengaruh terhadap durasinya misalnya lengkap
atau tidaknya obat yang berikatan dengan reseptor dan apakah ada factor penghambatnya.

Dari percobaan yang telah diamati, masing-masing cara pemberian memiliki keuntungan dan
kerugian. Pada peroral keuntungannya mudah pemberiannya dan lebih aman, kerugiannya adalah
efeknya lama karena melalui saluran cerna dan bias terjadi inaktivasi obat dihati. Pada
intraperitonial keuntungannya efek yang dihasilkan sangat cepat, kerugiannya memiliki resiko yang
sangat besar karena obat tidak dapat dikeluarkan bila terjadi kesalahan. Pada intramuscular dan
subkutan keuntungannya absorbsi yang terjadi relative cepat, sedangkan kerugian pada subkutan
adalah hanya digunakkan untuk obat yang tidak mengiritasi jaringan.

Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

· Cara pemberian obat yang berbeda-beda dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat sehingga
berpengaruh pada onset dan durasi.

· Onset paling cepat adalah intraperitonial,intramuscular,subcutan, peroral.

· Durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial, intramuscular, subcutan.

· Obat ideal adalah obat dengan onset cepat dan durasi panjang.

· Cara pemberianyang memberikan onset dan durasi yang paling baik adalah intraperitonial

Daftar pustaka

Tim departemen Farmakologi FKUI.2007. Farmakologi dan Terapi. FKUI:Jakarta.

Katzung, Bertram g. 1986. Farmakologi dasar dan klinik. Salemba Medika:Jakarta.

Anonim.1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Depkes RI:Jakarta.

Ansel,Howard C.1986. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI press:Jakarta.

Janoes z.n.2002. Arsprescribendi jilid 3. Airlangga Ubniversity Press: Surabaya.

Siswandono dan Bambang Soekardjo.2000. Kimia Medicinal. Airlangga University Press:Surabaya


Firman S P
Sisa tugas yang ngga tau mau diapain lagi. semoga bermanfaat, dan mohon maaf
masih banyak kesalahan.

laporan PENGARUH CARA


PEMBERIAN OBAT TERHADAP
ABSORBSI OBAT
Oktober 18, 2015
Brebes, Jawa Tengah

PRAKTIKUM I
PENGARUH CARA PEMBERIAN OBAT
TERHADAP ABSORBSI OBAT

A. Tujuan Paraktikum
Mahasiswa dapat mengenal, mempraktikan dan membandingkan cara -cara pemberian
obat terhadap kecepatan absorbsinya menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukurnya.

B. Dasar Teori
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Absorbsi sebagian besar obat secara
difusi pasif, maka sebagai barier absorbsi adalah membran epitel saluran cerna yang seperti
halnya semua membran sel epitel saluran cerna , yang seperti halnya semua membran sel
ditubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian , agar dapat melintasi membran sel
tersebut, molekul obat harus memiliki kelarutan lemak (setelah terlebih dulu larut dalam air).
Selain pemberian topikal untuk mendapatkan efek lokal pada kulit atau membran
mukosa, penggunaan suatu obat hampir selalu melibatkan transfer obat ke dalam aliran darah.
Tetapi, meskipun tempat kerja obat tersebut berbeda-beda, namun bisa saja terjadi absorpsi ke
dalam aliran darah dan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Absorpsi ke dalam
darah dipengaruhi secara bermakna oleh cara pemberian.
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang sesuai adalah
sebagai berikut:
Cara/bentuk sediaan parenteral
1. Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of action”
cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau
diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya
(t1/2) pendek).
2. Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air yang lebih cepat
diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi,
kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya
partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi).
3. Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari
kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan
konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat
dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari
matriks jaringan).
4. Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat pada selaput otak atau
sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi SSP yang akut) (Anonim, 1995).
5. Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya (Anonim, 1995).
Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia
yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai
darah yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan
tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi
kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute pemberian.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi
pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
1. Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik.
2. Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama.
3. Stabilitas obat di dalam lambung atau usus.
4. Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute.
5. Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.
6. Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui bermacam-macam rute.
7. Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.
Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan besarnya obat yang
diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk
sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika
obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal adalah efek obat yang
bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial, intramuscular, subkutan. Hal ini
terjadi karena :
1. Peroral, karena melalui saluran cerna yang memiliki rute cukup panjang dan banyak factor
penghambat maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan efek obat lebih cepat.
2. Intraperitonial, disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan
lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak
sehingga durasinya agak cepat.
3. Intramuscular, terdapat lapisan lemak yang cukup banyak sehingga obat akan konstan dan
lebih tahan lama.
4. Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama disbanding
intramuscular.
Peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan
dibarengi dengan peningkatan kebutuhan akan hewan uji terutama mencit. Penggunaan mencit
ini dikarenakan relatif mudah dalam penggunaanya, ukurannya yang relatif kecil, harganya
relatif murah, jumlahnya peranakannya banyak yaitu sekali melahirkan bisa mencapai 16-18
ekor, hewan itu memiliki sistem sirkulasi darah yang hampir sama dengan manusia serta tidak
memiliki kemampuan untuk muntah karena memiliki katup dilambung. Sehingga banyak
digunakan untuk penelitian obat.
Perbedaan antara mencit dan manusia cukup besar. Memang suatu percobaan
farmakologi maupun toksikologi hanya dapat berarti bila dilakukan pada manusia sendiri.
Tetapi pengalaman telah membuktikan bahwa hasil percobaan farmakologi pada hewan coba
dapat diekstrapolasikan pada manusia bila beberapa spesies hewan pengujian menunjukkan
efek farmakologi yang sama.
Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin sempuran pula hasil percobaan yang
dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan dengan hewan percobaan
yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiah
maupun hewan yang bebas kuman.
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui.
Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan
oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya
akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan
menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi
orang yang memegangnya. Berikut adalah cara pemberian sediaan uji/pemejaan pada hewan
uji:
1. Pemberian oral
Masukan jarum suntik tumpul berisi larutan suspensi/emulsi senyawa uji yang sesuai
dengan ukuran hewan melalui mulut dengan cara menelusurkan searah tepi langit-langit ke
arah belakang sampai esophagus, kemudian semprotkan senyawa uji pelan-pelan.
2. Pemberian intravena
Dilakukan dengan cara memasukan hewan uji ke dalam holden/sangkar. Selanjutnya
celupkan ekornya ke dalam air hangat (dilatasi vena lateralis). Setelah vena mengalami dilatasi,
pegang ekor dengan kuat pada posisi vena berada di permukaan sebelah atas, selanjutnya
tusukan jarum dengan ukuran yang sesuai ke dalam vena sejajar dengan vena.
3. Pemberian intraperitoneal
Dilakukan dengan cara memegang hewan uji dengan kulit punggung dijepit sehingga
daerah perut terasa tegang. Basahi daerah perut dengan kapas beralkohol kemudian tusukan
jarum suntik sejajar dengan salah satu kaki hewan pada daerah perut, lebih kurang 1 cm di atas
kelamin. Semprotkan senyawa uji. Setelah selesai pemberian, tarik pelan-pelan jarum suntik,
tekan tempat suntikan dengan kapas beralkohol, hati-hati jangan sampai terkena hati, kandung
kencing dan usus.
4. Pemberian intramuscular
Dilakukan dengan memegang hewan uji dengan kulit punggung dijepit sehingga daerah
perut terasa tegang. Usapkan daerah otot paha posterior dengan kapas beralkohol. Suntikan
larutan senyawa uji pada daerah otot tersebut. Setelah selesai cabut pelan-pelan jarum suntik
dan tekan daerah suntikan.
Pethidine merupakan obat jenis analgetik opioid. Opioid adalah semua zat baik sintetik
atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai
anlgetika narkotikayang sering dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan
dan nyeri pasca pembedahan. Pethidine (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang
formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Bentuk sediaan injeksi ampul 50 mg/ml.
Meperidin (pethidine) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu).
Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia,
depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih
rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan
klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan
asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi
dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin
bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia.
4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
5. Pethidine cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

C. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a) Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml)
b) Jarum berujung tumpul (jarum per oral)
c) Sarung tangan
d) Stop watch
e) Timbangan listrik
f) Kranjang
g) Lap/serbet
2. Bahan
a) Pethidine 50 mg/mL

D. CARA KERJA

Pemberian obat Pada mencit

- Dibagi tiap kelompok 4 mencit.


- Siapkan spuit dan pethidin injeksi
-

Hasil

Dihitung onset dan


durasi efek,
bandingkan hasilnya.

Dihitung onset dan


durasi efek,
bandingkan hasilnya.
Dihitung onset dan
durasi efek,
bandingkan hasilnya
menggunakan uji
statistic analisa varian
pola searah.

Dihitung onset dan


durasi efek,
bandingkan hasilnya
menggunakan uji
statistic analisa varian
pola searah.
Injeksikan dengan
Pethidin pada bagian
kulit
punggung mencit
tersebut. Amati.

Injeksikan dengan
Pethidin pada bagian
perut diatas kmaluan 1
cmmencit tersebut

Injeksikan dengan
Pethidin pada bagian
otot pahamencit
tersebut

Injeksikan dengan
Pethidin pada bagian
ekor mencit tersebut.
Amati.

Usap bagian
pahadengan alkohol

Usap bagian
Perutdengan alkohol
Usap bagian ekor
dengan alkohol

Usap bagian
punggungdengan alk
ohol

Intra peritorial

Intravena

Subkutan

Intra muscular

Dilakukan injeksi pethidine pada mencit dengan cara pemberian sesuai dengan
masing
E. HASIL PRAKTIKUM
Tabel. Hasil perhitungan onset dan durasi

Onset Durasi
Mencit
IV IM IP SC IV IM IP SC
1 3:00 3:00 3:00 2:00 4:00 6:00 10:00 8:00
2 4:00 2:00 2:00 1:00 7:00 5:00 9:00 8:00
3 2:00 3:00 2:00 1:00 8:00 4:00 9:00 8:00
4 1:00 3:00 2:00 1:00 5:00 5:40 10:00 5:00

Perhitungan ANOVA
a) Onset

Pengaamatan X1 X2 X3 X4 X12 X22 X32 X42


IV 3 4 2 1 9 16 4 1
IM 3 2 3 3 9 4 9 9
IP 3 2 2 2 9 4 4 4
SC 2 1 1 1 4 1 1 1
Tc 11 9 8 7 (∑X)2 35
4 4 4 4 N 16
Jumlah 31 25 18 15 ∑(X)2 89
Kuadrat
 Jumlah kuadrat perlakuan (SST)

SST =  –

= –
= – 76,56
= 78,75 – 76,56
= 2,19
 Jumlah kuadrat kesalahan

SSE =
= 89 – 78,75
= 10,25
Keseragaman total (SS TOTAL)
SS Total = SST + SSE
= 2,19 + 10,25
= 12,44
 Masukan kedalam table ANOVA
Sumber Derajat Kuadrat tengah
Jumlah kuadrat
keragaman bebas (1)/(2)
Antar perlakuan SST= 2,19 Dk1= K-1 MSTR = SST/dk 1
= 4-1
=3 =
= 0,75
Kesalahan SSE= 10,25 Dk2= N-K MSE = SSE/dk2
(dalam = 16-4
perlakuan) = 12 =
= 0,85
SS TOTAL 12,44

 F hitung = = = 0,88
 F Tabel 3,49
 F tabel pada α = 0,05 dk 1 = 3dan dk 2 = 12 adalah 3,49
 F hitung (0,88) < F Tabel (3,49)
Kesimpulan : Ho diterima, tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata hitung dari berbagai
cara pemberian obat.
b) Durasi

Pengaamatan X1 X2 X3 X4 X12 X22 X32 X42


IV 4 7 8 5 16 49 64 25
IM 6 5 4 5 36 25 16 25
IP 10 9 9 10 100 81 81 100
SC 8 8 8 5 64 64 64 25
Tc 28 29 29 25 (∑X)2 111
4 4 4 4 N 16
Jumlah 216 219 225 175 ∑(X)2 835
Kuadrat

 Jumlah kuadrat perlakuan (SST)

SST =  –

= –
= – 770,06
= 772,75– 770,06
= 2,69
 Jumlah kuadrat kesalahan (SSE)

SSE =
= 835- 772,75
= 62,25
 Keseragaman total (SS total)
SS total = SST +SSE
= 2.69 + 62,25
= 64,94

 Masukan ke dalam tabel ANOVA

Sumber Jumlah Kuadrat tengah


Derajat bebas
keragaman derajat (1)/(2)
Antar SST= 2,69 Dk1= K-1 MSTR = SST/dk 1
perlakuan = 4-1
=
=3
= 0,89

Kesalahan SSE= 62,25 Dk2= N-K MSE = SSE/dk2


(dalam = 16- 4
=
perlakuan) = 12
= 5,187
SS TOTAL 64,94

 F hitung = = = 0,17
 Ftabel Pada a = 0,05 dk1=3 dk2=12 adalah 3,49
 F hitung 0,17 < Fatbel 3,49
 Kesimpulan : Ho diterima, Tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata hitung dari
berbagai cata pemberian obat.

F. PEMBAHASAN
Absorbsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain.
Pada praktikum kali ini mempalajari tentang pengaruh cara pemberian obat terhadap
absorpsi obat dalam tubuh (dalam hal ini pada tubuh hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan
uji karena proses metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga sangat cocok untuk
dijadikan sebagai objek pengamatan. Sekedar informasi, selanjutnya mencit hanya disebut
sebagai hewan uji.
Pemberian obat pada hewan uji yaitu
pertama melalui intravena, intramuscular, subkutan, dan intraperitoneal.Pemberian
obat secara intravena dilakukan dengan cara intravena yaitu dengan menyuntikkan obat pada
daerah ekor (terdapat vena lateralis yang mudah dilihat dan dapat membuat obat langsung
masuk kepembuluh darah). Kedua adalah dengan cara intramuscular yaitu dengan
menyuntikkan obat pada daerah yang berotot seperti paha atau lengan atas,Ketiga dengan cara
intraperitoneal (injeksi yang dilakukan pada rongga perut. (Cara ini jarang digunakan karena
rentan menyebabkan infeksi). Yang keempat atau yang terkhir yaitu dengan cara subkutan
(cara injeksi obat melalui tengkuk hewan uji tepatnya injeksi dilakukan dibawah kulit).
Obat yang digunakan untuk percobaan kali ini yaitu pethidine, Pethidine merupakan
obat jenis analgetik opioid. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat
berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai anlgetika narkotikayang sering
dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
Pethidine (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan
morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Efek samping
meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut
kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan
sedasi. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat. Bentuk sediaan
injeksi ampul 50 mg/ml.
Metode tersebut diberikan pada 2 mecit dan dihitung berapa lama alokasi waktu mecit
mengalami masa tenang, tidur dan bangun kembali dengan stopwatch. Sebelum mencit
diberikan perlakuan usap bagian mencit yang akan diinjeksikan dengan kapas beralkohol.
Dosis pethidine yang akan diberikan terhadap mencit adalah 1 mg/ml. Selanjutnya lakukan
penginjeksian terhadap mencit sesuai perlakuan, baik intra vena, intra muscular, inra
peritoneal, dan subcutan. Sehingga dapat diperoleh hasil onset dan durasi dari tiap-tiap mencit.
Dari hasil pengamatan kelompok-kelompok, diperoleh onset dan durasi yang berbeda.
Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Durasi adalah waktu
lamanya efek sampai efek obat tersebut hilang. Dariliteratur berdasarkan onsetnya, injeksi
dengan cara intravena memiliki waktu yang tercepat dan yang paling lambat adalah injeksi
dengan pemberian subcutan. Dari data-data pengamatan dapat kita ketahui bahwa
cara subcutan merupakan cara pemberian obat yang reaksinya paling cepat dan yang paling
lambat adalah cara intra muscular. Ini tentunya berbeda dengan literatur atau bertolak belakang
seharusnya intravena lah yang merupakan cara pemberian obat yang paling cepat di absorbsi,
karna cara intravena yaitu cara pemberian obat langsung masuk kepembuluh darah, sehingga
cara ini tentu saja lebih cepat memberikan efek karena tidak melalui proses absorbsi dulu untuk
masuk kesistem sistemik dari pada cara-cara injeksi yang lain. Sedangkan
cara subcutan merupakan cara pemberian obat yang melalui bawah kulit dan terdapat banyak
lapisan kulit sehingga untuk menghasilkan efek atau dapat terabsorbsi lama. Kesalahan ini
terjadi oleh beberapa pengaruh atau aspek misalnya berat badan yang tidak ditimbang dan
pemberiaan obat rata menggunakan dosis yang sama, begitu juga hasil durasi yang tidak
sesuai. Untuk durasinya, hasil pengamatan efek obat yang paling cepat hilang yaitu cara
intramuscular dan yang efeknya lama yaitu cara intraparitorial.
Secara deskriptif perbandingan data kelas yang menggunakan H0 = semua cara
pemberian memberikan efek sama. Jika sig > 0,05 maka H0 diterima, dan jika sig < 0,05 kama
H0 ditolak.
Perbandingan data kelas didapatkan F hitung 0,88 pada onset, dan 0,17 pada durasi.
Keduanya lebih dari 3,49 sehingga H0 diterima yaitu semua cara pemberian memberikan efek
yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum berbagai cara pemberian (s.c, i.m,
i.v, i.p) pada hasil percobaan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada taraf nyata
95% (p < 0,05).

G. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut
:
1. Secara garis besar yaitu menunjukkan pemberian obat dengan cara intravena lebih
cepat daripada cara-cara lainnya dalam hal menimbulkan efek.
2. Percobaan ini membuktikan pemberian dengan cara intraperitorial memiliki durasi
yang paling lama.
3. Peningkatan dosis dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan dari pada dosis awal
yang diberikan.
4. Berat badan dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan.
5. Secara umum berbagai cara pemberian (p.o, i.m, i.v, i.p) pada hasil percobaan tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna pada taraf nyata 95% (p < 0,05).

H. DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, hal.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.
Ansel, Howard.C., 1989 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Universitas Indonesia Press,
Jakarta,hal.
Olson, James, 2000, Belajar Mudah Farmakologi, Jakarta : ECG
https://ninonk93.wordpress.com/2013/10/22/pemberian-obat-pada-binatang-percobaan-
dan-pengaruh-cara-pemberian-terhadap-absorpsi-obat/ (Diakses pada 25 september 2015.
13:22)

Anda mungkin juga menyukai