Anda di halaman 1dari 37

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Rinitis Kronis dd Rinitis Alergi”.
Laporan kasus ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas dalam proses
mengikuti kepaniteraan klinik di SMF THT-KL Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram. Ucapan terima kasih
kepada dr. Gusti Ayu Trisna Aryani, Sp.THT-KL yang telah bersedia meluangkan
waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran. Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk laporan
kasus ini.

Mataram, 20 Agustus 2018

1
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi pada hidung dapat mengenai hidung luar yaitu bagian kulit hidung,
dan rongga dalam hidung, yaitu bagian mukosanya. Rinitis adalah terjadinya proses
inflamasi mukosa hidung yang dapat disebabkan oleh infeksi, alergi atau iritasi.
Rinitis merupakan penyakit yang umum terjadi pada primary care dan berhubungan
dengan morbiditas yang cukup besar. Penyakit ini mempengaruhi kualitas hidup,
kinerja dan kehadiran di sekolah dan tempat kerja, dan memiliki dampak yang
signifikan terhadap biaya perawatan kesehatan. Meskipun sebagian besar kasus rinitis
bersifat jinak, tahan lama, dan sembuh sendiri, ada sejumlah besar orang yang lebih
sering mengalami gejala signifikan selama periode yang berkepanjangan. 1,3
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, infeksi dapat berlangsung akut maupun
kronis, dengan batasan waktu kurang atau lebih dari 12 minggu. Macam-macam
penyakit yang digolongkan rinitis akut adalah rinitis simpleks, rinitis bakterial, dan
rinitis iritan. Sedangkan yang tergolongkan sebagai rinitis kronis adalah rinitis
hipertrofi, rinitis atrofi, rinitis difteri, rinitis TB, rinitis sifilis, rinitis alergi, rinitis
vasomotor, dan rinitis medikamentosa.1,2
Rinitis alergi adalah tipe yang paling umum dari rinitis kronis, tetapi 30%
hingga 50% pasien mempunyai rinitis yang pemicunya nonalergik. Data awal
menunjukkan bahwa 44% hingga 87% pasien dengan rinitis mungkin memiliki rinitis
campuran, kombinasi dari rhinitis alergi dan nonalergi. Di seluruh dunia, prevalensi
rinitis alergi terus meningkat. Studi menunjukkan bahwa rhinitis alergi musiman (hay
fever) ditemukan pada sekitar 10% hingga 20% dari populasi umum, dengan
prevalensi yang lebih besar pada anak-anak. Secara keseluruhan, rinitis alergi
mempengaruhi 30 hingga 60 juta subjek di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada
laporan kasus ini akan dibahas mengenai rinitis alergi.4
Gejala rinitis alergi berupa bersin (5-10 kali berturut-turut), rasa gatal (pada
mata, telinga, hidung, tenggorok, dan palatum), hidung berair, mata berair, hidung
tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus, dan rasa lelah.2

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI HIDUNG
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung
dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung1. Hidung luar
berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah:
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior).

Gambar: Bagian luar hidung


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis),
prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka

3
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, beberapa
pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.1

Gambar: Kerangka tulang hidung anterolateral dan inferior

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.1
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista

4
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.1
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.1

Gambar: Dinding Lateral Hidung


Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis.

5
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Batas Rongga Hidung
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Di
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.
Kompleks Osteometal
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit
fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang
letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang
signifikan pada sinus-sinus yang terkait.1

Gambar: Kompleks Osteomeatal

6
Vaskularisasi Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.Etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.Oftalmika, sedangkan a.Oftalmika berasal
dari a.Karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari
cabang a.Maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.Palatina mayor dan
a.Sfenopalatina yang keluar dari foramen Sfenopalatina bersama n.Sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.Fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang a.Sfenopalatina, a.Etmoid
anterior, a.Labialis superior dan a.Palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.1

Gambar: Suplai darah pada hidung


Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.1
Inervasi Hidung

7
Gambar: Inervasi pada Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.Etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.Nasosiliaris, yang berasal dari
n.Oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.Maksila melalui ganglion Sfenopalatinum.
Ganglion Sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.Maksila, serabut parasimpatis dari
n.Petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.Petrosus profundus.
Ganglion Sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.1
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernapasan terdapat

8
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silis ( ciliated peudostratified collumner epithelium )
dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertia berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified
collumner non ciliated epithelium) epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel,
penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih
tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menadi sel epitel skuamosa. 1
Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu
basah karena diliputi oleh palut lender (mucous blanket) pada permukaannya. Di
bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 1
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel
dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahab pada anyaman kapiler
perglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke
rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan
otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid mempunyai sfingter oto. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke
venaula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa
yang erektil, yang mudah mengmbangkan dan mengerut. Vasodilatasi dan
vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1
Sistem transpor mukosilier
Sistem transport mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama
udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut
lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada epitel dan kelenjar
seromusinosa subnukosa. Bagian bawah dari palut lender terdiri dari cairan serosa
sedangkan bagian permukaan banyak mengandung protein plasma seperti albumin,

9
IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin,
lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA).1
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal
yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisma dari
jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG
beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan
antigen banteri. Pada sinus maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret
sepanjang dinding anterior, medial, posterior dan lateral serta atap rongga sinus
membentuk gambaran serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau
bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium secret akan lebih kental
tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan berkembangnya
infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau mengubah
transport, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut. Tetapi jika sekret
lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek .1
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan
spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal.
Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada
sinus etmoid terjadi gerakan rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau
gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah dindingnya.1
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transprort mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Secret ini
biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalalan menuju tepi
bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju
nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba eustachius. Transpor aktif
berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya
jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan.1
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sphenoid
yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju naso faring pada bagian
posterosuperior orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior

10
dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba
eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertical kea rah bawah terlebih dahulu
kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius.1

RINITIS ALERGI
Definisi
Rinitis alergi ialah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya telah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE. 1

Etiologi
Rinitis alergi dapat disebabkan oleh:3
Penyebab umum
 Tungau debu rumah
 Serbuk sari (misalnya pohon, rumput); penyebab utama rinitis musiman
 Hewan (misalnya kucing, anjing, kuda, hewan pengerat)
Kurang umum
 Jamur (misalnya Alternaria cladosporium, aspergillus); bisa musiman atau
tahunan
 Pekerjaan (misalnya tepung, hewan laboratorium, serbuk kayu, enzim);
penyebab penting karena berpotensi reversibel jika tertangkap awal setelah
paparan awal - tetapi menjadi kronis dengan paparan yang lama
Rinitis infektif
 Virus (rhinovirus, coranovirus, RSV dll). Common cold dan banyak virus lain
dapat menyebabkan rinitis. Harus diingat bahwa setelah episode rinitis infektif

11
terdapat perubahan pada sinus yang dapat dilihat pada CT Scan dalam waktu
6 minggu
 Infeksi bakteri (dengan Streptococcus, Haemophilus, Moraxella) kurang
umum tetapi dapat berkembang menjadi rinosinusitis biasanya dengan
sumbatan hidung, nyeri wajah, pengerasan kulit dan kotoran mukopurulen.
Faktor risiko terjadinya rinitis alergi meliputi 2
(1) riwayat atopi keluarga;
(2) IgE serum lebih tinggi daripada 100 IU/mL pada anak di bawah usia 6 tahun;
(3) Keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi;
(4) paparan terhadap alergen rumah tangga seperti hewan dan tungau debu rumah
tangga;
(5) uji kulit tusuk positif.
(6) Pemaparan dengan virus-virus tertentu. Pemaparan alergen virus jangka lama
dapat menyebabkan eksem, dermatitis atopi, hay fever dan asma. Hal ini dapat
muncul bersamaan atau salah satu muncul lebih dulu.
Epidemiologi
Rinitis alergi adalah tipe yang paling umum dari rinitis kronis, tetapi 30%
hingga 50% pasien mempunyai rinitis yang pemicunya nonalergik. Data awal
menunjukkan bahwa 44% hingga 87% pasien dengan rinitis mungkin memiliki rinitis
campuran, kombinasi dari rhinitis alergi dan nonalergi. Di seluruh dunia, prevalensi
rinitis alergi terus meningkat. Studi menunjukkan bahwa rhinitis alergi musiman (hay
fever) ditemukan pada sekitar 10% hingga 20% dari populasi umum, dengan
prevalensi yang lebih besar pada anak-anak. Secara keseluruhan, rinitis alergi
mempengaruhi 30 hingga 60 juta subjek di Amerika Serikat setiap tahunnya.4
Dari seluruh pasien yang berobat selama 1997-2005 (1792 pasien) di rumah
sakit Dr. Cipto Mangunkusumo sebanyak 50 pasien menderita rinitis alergi. Rinitis
alergi ditemukan pada pasien berusia 5 bulan sampai 13 tahun 8 bulan. Rinitis alergi
sering terjadi pada masa anak-anak, remaja, dan dewasa muda, dengan puncaknya
pada usia 8-11 tahun, tetapi rinitis alergi bisa menyerang semua umur. Sebanyak 80%
kasus terjadi pada usia sebelum 20 tahun. Pada anak, rinitis alergi lebih banyak

12
dijumpai pada laki-laki dibanding perempuan, tetapi pada orang dewasa prevalensi
laki-laki dan perempuan hampir sama. Hasil penelitian pada pasien anak
menunjukkan dari 50 pasien rinitis alergi, proporsi laki-laki (62%) lebih banyak
dibandingkan perempuan (38%).2
Terdapat bukti epidemiologis adanya hubungan antara rinitis dan asma adalah
1) prevalensi asma meningkat pada rinitis alergi dan non alergi; 2) rinitis hampir
selalu dijumpai pada asma; 3) rinitis merupakan faktor resiko terjadinya asma; dan, 4)
pada persisten rinitis terjadi peningkatan hipereaktivitas bronkus non spesifik.
Penelitian epidemiologi menunjukkan prevalensi rinitis alergi dan asma meningkat di
seluruh dunia termasuk di AS (4). Sekitar 56 juta orang atau 20% penduduk AS
menderita rinitis alergi dan 5% menderita asma (5). Berbagai penelitian menunjukkan
78-94% penderita asma pada remaja dan dewasa juga menderita rinitis alergi, dan
38% penderita rinitis alergi juga menderita asma.2
Patofisiologi
Rinitis merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktif) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan
Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.1

13
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig E).
Ig E disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukosit
D4 (LT D4). Leukotrien C4 (LT C4), bradikin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor), dll, yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat.1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan terus
berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5
dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1
pada hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derivided Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP), dan Eosinophilic Perixidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

14
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi. 1
Hubungan rinitis alergi dengan konjungtivitis alergi. Rinitis alergi sering
disertai dengan konjungtivitis alergi (kompleks kadang-kadang disebut sebagai
rhinokonjungtivitis alergik) yang menghasilkan injeksi konjungtiva dan chemosis dan
gejala mata gatal dan robek. Prevalensi dan keparahan gejala konjungtiva yang terkait
dengan rinitis alergi bervariasi dengan beberapa faktor, tetapi satu studi menemukan
gejala konjungtivitis alergi pada lebih dari 75% pasien dengan rinitis alergi musiman.
Sensitivitas terhadap serbuk sari lebih sering dikaitkan dengan gejala okular daripada
sensitivitas terhadap tungau debu rumah. Gatal telinga dan tenggorokan juga bisa
dikaitkan dengan rinitis alergi.4
Hubungan rinitis alergi dengan asma. Asma alergi dan rinitis adalah
kondisi komorbid yang berhubungan secara patofisiologis dan epidemiologis.
Keduanya adalah penyakit saluran udara di mana sensitisasi antibodi IgE terhadap
aeroalergen adalah cirikhas yang menonjol. Ada beberapa bukti bahwa lalu lintas
sistematik sel-sel inflamasi dari peradangan lokal di satu bagian dari saluran
pernapasan dapat menginduksi perubahan inflamasi pada yang lain.
Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibagi menjadi 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya:1
 Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak
dikenal rinitis alergi musiman, rinitis ini hanya ada di Negara 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk dan spora jamur
 Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermitten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling umum adalah allergen jenis inhalan,
terutama pada orang dewasa dan alergan ingestan (sering pada anak-anak).
Alergen inhalan utama adalah allergen dalam rumah seperti tungau dan
allergen di luar rumah.

15
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :1
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi 1:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
Gejala Klinis
Rinitis alergika secara khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan
gejala-gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair, dan gatal, dan
postnasal drip. Bersin terutama merupakan gejala RAFC dn kadang-kadang pada
RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine Keluhan yang lazim menyertai polip
hidung adalah hidung tersumbat dan rinore. Gejala dan tanda terjadinya sinusitis
tergantung pada sinus yang terlibat. Secara khas dapat berupa nyeri kepala, nyeri
tekan atau nyeri pada daerah sinus yang terkena, sumbatan hidung, secret hidung, dan
sakit tenggorokan.4,5
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Anamnesis
dimulai dengan menanyakan riwayat atopi pada keluarga. Pasien juga perlu ditanya
mengenai gangguan alergi yang menyerang hidung, seperti asma, ekzema, urtikaria,
atau sensitivitas obat.1
Serbuk sari umumnya terkait dengan rinitis alergi musiman. Di sebagian
besar wilayah Amerika Serikat, pohon menyerbuki di musim semi, rumput di akhir
musim semi dan awal musim panas, dan gulma di akhir musim panas dan musim
gugur. Namun, di beberapa daerah (misalnya, bagian dari California) serbuk sari

16
dapat menyebabkan gejala tahunan. Alergen tahunan, seperti tungau debu rumah,
kecoak, dan hewan, menyebabkan gejala yang sedikit berbeda antar musim, sehingga
sulit untuk membedakan antara rinitis alergi dan non alergi secara akurat hanya
berdasarkan riwayat saja.3
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umumya menggunakan otoskop genggam atau
headlamp dengan spekulum nasal memungkinkan untuk melihat anterior sepertiga
dari nasal airway, termasuk ujung anterior dari turbinat inferior (dan kadang-kadang
ujung anterior dari turbinat tengah) dan bagian dari nasal. Pada rinoskopi anterior
tampak mukosa edema, basah, livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila
gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat dilakukan bila peralatan tersedia. Bila ada polip hidung, sering terlihat di
bagian atas dinding hidung lateral, mengelilingi konka media. Polip hidung alergik
khas adalah licin, lunak, mengkilap dan berwarna kebiruan.1,4,5
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah
bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala
ini disebut allergic shiner. Selain itu sering juga tampak anak menggosok-gosok
hidung, karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic
salute. Keadaan menggosok-gosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
adanya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic
crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding
lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
Polip dapat timbul pada antrum maksilaris dan region etmoidalis, kemudian meluas
ke dalam meatus superior dan media. Selain itu dapat terjadi perubahan degeneratif
polipoid pada seluruh mukosa hidung, atau menutup dinding hidung lateral, namun
tampilan klasik mukosa hidung ini tidak selalu ditemukan.1
Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro

17
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
juga pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna ialah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST
(Radio Immunosorbent Test) yang menggunakan allergen tak larut dalam di atas
suatu cakram kertas selulosa (alergosorben) yang mengikat IgE spesifik (dan klas
antibody lainnya) dari serum selama masa inkubasi pertama atau ELISA (Enzym
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (>5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1,5
IgE dapat juga diukur dengan system peneraan berdasarkan pelepasan zat
perantara. Yang paling umum adalah penraan pelepasan histamine. Metode ini
melibatkan penggunaan leukosit perifer yang mengandung basofil yang dianggap
mempunyai IgE yang melekat padanya. Allergen yang diuji kemudian ditambalkan
pada sel secara bertingkat, dan histamine yang dilepaskan diukur menggunakan
sistem biologis, fluorometrik, atau peneraan system imun. Jumlah histamine yang
dilepaskan dinyatakan sebagai penerapan histamine total dalm sel. Metode ini mahal
dan menmbutuhkan waktu lama.5
Indikasi pelaksanaan RAST dan peneraan pelepasan histamine adalah:5
 Tidak dapat dilakukan uji kulit seperti adanya dermografisme,
mendapat medikasi yang mengganggu uji kulit, usia yang sangat muda
atau usia di mana uji kulit sukar dilakukan atau diinterpretasikan, serta
riwayat kepekaan yang sangat terhadap allergen pengujian
 Memastikan bermaknanya suatu uji kulit yang positif
 Riwayat yang tegas adanya kepekaan terhadap allergen namun uji
kulit negatif

18
2. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukil kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET),
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Keuntungan SET selain allergen penyebab, juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit yang
akhir-akhir ini banyak digunakan ialah Intracutaneus Provocative Dilutional Food
Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). 1
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dalam tubuh dalam waktu 2 minggu.
Selanjutnya diamati reaksinya., makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, lalu amati reaksinya.1
Saat ini uji kulit merupakan metode awal yang digunakan untuk memastikan
adanya suatu mekanisme IgE yang melibatkan allergen tersangka. Hal ini
dikarenakan biayanya yang lebih murah dan kepekaan yang lebih besar pada metode
ini.5
Bila dilakukan pemeriksaan mikroskopis, tampak adanya dilatasi pembuluh
(vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat
juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.1
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal.1
Tatalaksana
1. Eliminasi alergen
Terapi yang paling ideal adalah menghindari kontak dengan alergen penyebabnya,
seperti alergen (tungau debu rumah, jamur, hewan peliharaan, serbuk sari, dan
kecoa), iritasi, dan obat-obatan dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dari allergen,

19
menempatkan suatu sawar antara pasien dengan allergen, atau menjauhkan allergen
dari pasien.1,4,5
2. Medikamentosa
Pemilihan obat harus individual berdasarkan berbagai pertimbangan, termasuk
preferensi pasien (misalnya intranasal vs oral), respon individu (yang dapat berbeda
dari respon rata-rata dalam populasi umum), dan biaya. Obat-obatan juga berbeda
dalam onset aksi, dengan obat-obat yang mampu meredakan gejala yang lebih cepat
lebih cocok untuk mengobati rhinitis episodik. 4
Antihistamin
Antihistamin yang dipakai ialah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagia lini pertama pengobatan rinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral.1
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu generasi 1 dan generasi 2.
Antihistamin generasi 1 (klasik) bersifat lipofilik sehingga daapt menembus sawar
darah otak dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Contoh obat ini adalah
difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, dan azelastin (topical). Efek
samping obat antihistamin adalah rasa mengantuk (tipe klasik), kehilangan nafsu
makan, konstipasi, dan efek antikolinergik seperti kekeringan membrane mukosa, dan
sulit berkemih. Antihistamin generasi ke-2 (non sedatif) bersifat lipofobik sehingga
sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan
tidak mempunyai efek antikolinergik, dan antiadrenergik. Contoh obat ini adalah
loratadin, cetirizin, fexofenadin, desloratadin, dan levocetirisin. 1,5
Dekongestan
Preparat simpatomimetik golongan agonis α-adrenergik dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topical. Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena
efeknya pada reseptor-reseptor α-adrenergik. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10
menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam. Pemakaian topikal sangat efektif

20
menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore.
Pemakaiannya terbatas selama 10 hari untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Efek samping meliputi insomnia, iritabilitas, palpitasi, dan
hipertensi.1,4,6
Kortikosteroid
Kemanjuran klinis glukokortikoid mungkin sebagian bergantung pada
kemampuan obat untuk mengurangi infiltrasi eosinofil saluran napas dengan
mencegah viabilitas dan aktivasi yang meningkat. Glukokortikoid topikal dan
sistemik dapat mempengaruhi fungsi eosinofil baik secara langsung mengurangi
viabilitas eosinofil dan aktivasi atau secara tidak langsung mengurangi sekresi sitokin
kemotaktik oleh mukosa hidung dan sel epitel polip.7
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala utama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang penting dipakai ialah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason
furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah
sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Efek
sampingnya adalah epistaksis, hidung kering, hidung terbakar dan iritasi hidung1,5,7
Antikolinergik
Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi
kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik
sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi. Preparat
antikolinergik topikal ialah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.1,6
Natrium Kromolin
Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja belum
diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat penglepasan mediator dari
sel mastosit, atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion kalsium dan klorida.
Obat ini diberikan secara intranasal. Efek sampingya minimal, terutama berupa iritasi
local. 5,6

21
3. Operasi
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty, perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.1
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi ialah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sublingual. Sekitar 80% pasien akan mengalami perbaikan gejala
setelah 1 hingga 2 tahun imunoterapi subkutan, dan pedoman merekomendasikan
bahwa perawatan dilanjutkan selama total 4 hingga 5 tahun. Pada banyak pasien efek
yang menguntungkan bertahan selama bertahun-tahun setelah suntikan dihentikan.
Imunoterapi alergen untuk rinitis alergi dapat mengurangi perkembangan asma pada
anak-anak dan mungkin pada orang dewasa.1,4

22
Gambar: Algoritma Penatalaksaan Rinitis Alergi berdasarkan WHO Initiative ARIA
2001
Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering terjadi adalah:1
 Polip hidung
 Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak
 Rinosinusitis

23
Prognosis
Prognosis dari rinitis alergi belum dapat dipastikan. Meskipun laporan-
laporan awal menyatakan insidens asma bronchial penyerta yang tinggi, hal ini
belumlah yang jelas. Ada kesan klinis bahwa gejala-gejala rinitis alergika berkurang
dengan bertambahnya usia.5

24
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : SA
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pancor, Lombok Timur
Pekerjaan : Wiraswasta
RM : 014599
Tanggal pemeriksaan : 15 Agustus 2018

3.2. Subyektif
 Keluhan Utama :

Hidung pilek

 Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poli THT RSUD NTB dengan keluhan hidung pilek.
Keluhan ini dirasakan sejak 6 tahun yang lalu, hilang timbul dan yang terbaru
muncul dalam 1 minggu terakhir. Keluhan pasien dirasakan memberat bila
pasien terpapar debu, angin dan cuaca malam. Pasien mengaku bahwa
gejalanya biasanya berlangsung selama 6-7 hari. Pasien sering mengorek-
ngorek hidungnya karena terasa gatal. Pasien juga mengalami demam, tidak
batuk tapi terasa ada dahak di tenggorokannya. Pasien juga merasakan sakit
kepala di semua bagian kepala. Telinga tidak keluar cairan dan tidak ada
gangguan pendengaran. Tidak ada nyeri menelan. Pasien menganggap
keluhannya tidak menganggu aktivitasnya sehari-hari.

 Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mempunyai riwayat hidung mimisan pada hidung sebelah

25
kananya sehari sebelum ke poli. Pasien memiliki riwayat gigi geraham
terkikis di sebelah kanan tapi tidak sakit 10 tahun yang lalu. Pasien juga
memiliki riwayat Asma. Riwayat Hipertensi, riwayat Diabetes Mellitus,
penyakit jantung dan ginjal disangkal.

 Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien memiliki sepupu yang juga asma. Riwayat batuk lama, hipertensi,
diabetes melitus, penyakit jantung dan ginjal disangkal.

 Riwayat Alergi :
Pasien mengaku sering gatal bila makan-makanan berprotein tinggi seperti
telur, dan tempe

 Riwayat Pengobatan :
Pasien mengaku mengonsumi obat sakit kepala.
3.3. Obyektif
 Status Generalis :
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
TD : 105/80 mmHg
Nadi : 116 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37,2oC (aksila)

 Status Lokalis :

Pemeriksaan Telinga

No. Pemeriksaan Telinga Auricula Dextra Auricula Sinistra

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga : Bentuk dan ukuran telinga Bentuk dan ukuran telinga

26
aurikula, preaurikuer, dalam batas normal, lesi pada dalam batas normal, lesi pada
retroaurikuler. kulit (-), hematoma (-), massa kulit (-), hematoma (-), massa
(-), fistula (-), nyeri tarik (-), fistula (-), nyeri tarik
aurikula (-). aurikula (-).

3. Liang telinga (MAE) Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (+) kering,
edema (-), furunkel (-), otorhea hiperemis (-), edema (-),
(-). furunkel (-), otorhea (-).

4. Membran timpani Intak, retraksi (-), hiperemi (-), Intak, retraksi (-), hiperemi
bulging (-), edema (-), (+), bulging (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (+). perforasi (-), cone of light (+).

Pemeriksaan Hidung

Inspeksi Nasal Dextra Nasal Sinistra

Hidung luar Bentuk normal, inflamasi (-), Bentuk normal, inflamasi (-),
deformitas (-), massa (-), nyeri deformitas (+), massa (-), nyeri
tekan (-). tekan (-).

Rinoskopi Anterior :

Vestibulum nasi Hiperemi (-), ulkus (-) Hiperemi (-), ulkus (-)

Cavum nasi Bentuk normal, mukosa Bentuk normal, mukosa

27
hiperemi (-), sekret (+) hiperemi (-), sekret (+)
mukoid, massa (-) mukoid, massa (-)

Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-), ulkus (-). perdarahan (-), ulkus (-).
Meatus nasi media Mukosa pucat (+), sekret Mukosa pucat (+), sekret
mukopurulen (+), mengkilat (- mukopurulen (+), mengkilat (-
). ).

Konka media dan Hipertrofi (+), hiperemi (-), Hipertrofi (+), hiperemi (-),
konka inferior kongesti (-). kongesti (-).

Gambar :

Konka media dan inferior


hipertrofi, mukosa pucat

Pemeriksaan Tenggorokan

No. Pemeriksaan Keterangan

1. Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda

2. Mulut Mulut dapat menutup sempurna, mukosa mulut


basah, berwarna merah muda.

3. Bucal Warna merah muda, hiperemi (-)

4. Gigi Terdapat caries pada molar 2 sebelah kanan


bawah

28
5. Lidah Ulkus (-), pseudomembran (-), parese saat diam
ataupun saat dijulurkan (-)

6. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-),


pseudomembran (-), parese (-).

7. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-), arkus palatum normal

8. Faring Mukosa hiperemi (-), edema (-), ulkus (-),


granul (-), sekret (-), refleks muntah (+).

9. Tonsil Palatina Hiperemia (-)/(-), detritus (-)/(-), kripte melebar


(-)/(-), ukuran T2/T2.

Gambar
T2 T2

Pemeriksaan Transluminasi
Pemeriksaan Transluminasi Dextra Sinistra
Sinus Frontalis Terang Terang
Sinus maxillaris Terang Terang

3.4 Assessment
Rinitis Kronis dd Rinitis Alergi

29
3.5 Planning
 Planning Diagnosis :
Pemeriksaan kadar Eosinofil.
Skin prick test
 Planning Terapi :
- Dilakukan cuci hidung menggunakan air antiseptic, bila hidung
mengalami iritasi diberi air NaCl
- Mukolitik untuk mengencerkan dahak yang menghalangi saluran
pernafasan.
Diberikan: Ambroksol 3 x 30 mg
- Antihistamin diberikan untuk menghalangi kerja histamine sehingga
mengurangi gejala alergi seperti hidung gatal, berair, bersin-bersin, dan
mata berair.
Diberikan: Cetirizin 1 x 10 mg selama 2 minggu
- Nasal Dekongestan di berikan dengan tujuan untuk menghilangkan
pembengkakan dan membuka sumbatan ostium sinus.
Diberikan: Pseudoefedrin 2 x 60 mg selama 5 hari
- Paracetamol diberikan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri kepala
(sebagai analgesik).
Diberikan: Paracetamol 3 x 500 mg diminum bila gejala muncul
3.6 KIE Pasien
 Pasien disarankan menghindari paparan terhadap debu dan udara yang
terlalu dingin
 Pasien disarankan menjaga higienitas dan ketahanan tubuh serta istirahat
cukup agar proses penyembuhan penyakit dapat cepat berjalan dengan baik
 Menjaga ventilasi dan kebersihan rumah
 Kontrol rutin ke Poli THT selama 2 minggu agar dapat diperiksa secara
rutin, karena pengobatan pasien direncanakan selama 2 bulan
3.7 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam

30
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

31
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan hidung pilek. Keluhan ini dirasakan sejak 6
tahun yang lalu, hilang timbul dan yang terbaru muncul dalam 1 minggu terakhir.
Pasien sering bersin, terutama bila pasien terpapar debu, angin dan cuaca malam.
Pasien sering mengorek-ngorek hidungnya karena terasa gatal. Pasien juga
mengalami demam, tidak batuk tapi terasa ada dahak di tenggorokannya. Pasien juga
merasakan sakit kepala di semua bagian kepala. Pasien mempunyai riwayat hidung
berdarah 1 hari sebelum ke poli, selain itu pasien mempunyai riwayat asma. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya hipertrofi pada konka media dan inferior dekstra
dan sinisitra serta mukosa pucat, serta karies gigi molar 2 bagian bawah sebelah
dekstra.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dialami pasien maka
diagnosis pasien adalah rinitis kronis, karena pasien mempunyai keluhan hidung
pilek, bersin dan keluhan sering dipicu oleh debu, angin dan cuaca malam selama 6
tahun, melewati batas waktu 12 minggu sehingga dapat disimpulkan pasien
mengalami penyakit yang kronis.1
Pasien didiagnosis banding dengan rinitis alergi karena dilihat dari gejala
klinis pasien yaitu pilek, bersin, keluhan hidung gatal, dan mempunyai riwayat asma.
Tapi pasien tidak punya tanda yang biasanya terdapat pada pasien rinitis alergi seperti
allergic shiner, allergic salute, dan allergic crease. Untuk menegakkan diagnosis rinitis
alergi pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan penunjang berupa uji tusuk kulit atau
skin prick test dan juga pemeriksaan IgE spesifik. Pada penelitian didapatkan 48% pasien
rinitis alergi mempunyai riwayat atopi. Riwayat atopi keluarga ditemukan pada ibu
(42%); ayah (40%), dan pada saudara kandung (24%). Atopi merupakan predisposisi
genetik untuk membentuk antibodi alergi (IgE) dalam memberikan respons terhadap
alergen spesifik. Atopi merupakan faktor risiko terjadinya asma dan rinitis alergi.
Periode kritis sensitisasi alergen terjadi sampai usia dua atau tiga tahun (8). Apabila
didapatkan riwayat atopi pada kedua orang tuanya, kemungkinan risiko rinitis alergi

32
lebih besar dibandingkan apabila salah satu dari orang tuanya yang atopi, namun
perlu diketahui bahwa rinitis alergi disebabkan multifaktorial. Seseorang tanpa
riwayat keluarga atopi dapat menderita rinitis alergi. Individu atopi mewariskan
kecenderungan terjadinya respons imun limfosit Th2 dengan pembentukan IgE-sel
mast.2

Paparan terhadap alergen tungau debu rumah, angin malam, kecoa, kucing,
anjing dan hewan piaraan lain, serbuk sari atau alergen lain untuk jangka lama
dengan konsentrasi rendah menyebabkan presentasi alergen oleh antigen presenting
cell (APC) terhadap CD41 limfosit, yang akan melepaskan IL3, IL4, IL5, GM-CSF
dan sitokin lainnya. Hal ini meningkatkan produksi IgE terhadap alergen tersebut
oleh sel plasma, proliferasi sel mast dan infiltrasi mukosa saluran napas, dan
eosinofilia.2
Pasien mempunyai riwayat hidung berdarah yang menetes ke depan, maka
kemungkinan epistaksis yang diderita pasien adalah epistaksis anterior. Hal ini
kemungkinan karena adanya iritasi hidung yang disebabkan oleh secret pada hidung
pasien, kebiasaan bersin pasien, atau pasien yang sering mengorek-ngorek hidungnya
karena gatal. Perdarahan spontan hampir selalu berasal dari venosa daerah Little’s, di
depan sekat rongga hidung dimana terdapat anyaman pembuluh darah( Kiesselbach’s
Plexus) yang terletak di bawah mukosa yang tipis. 8
Rinitis alergi dan asma bronkial, keduanya merupakan manifestasi dari
adanya proses inflamasi di sistem saluran nafas yang berkelanjutan (Continous
Airway System). Reaksi inflamasi pada hidung dapat memperberat asma melalui
mekanisme yang belum begitu jelas diketahui. Perubahan yang terjadi pada hidung
akibat alergen menyebabkan respon non spesifik terhadap otot-otot bronkus. Berbagai
teori telah diajukan untuk menerangkan hubungan rinitis dan asma ini, antara lain:6
1. Neural (nasal-bronchial) reflex. Setiap inflamasi pada hidung, ada efek yang
terjadi bersamaan pada daerah bronkus. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Fontanari dkk, yang memberikan stimulus pada hidung dengan air sangat dingin (es).

33
Didapatkan meningkatnya tahanan dari racheobronchial tree dan paru, sehingga tidak
respon terhadap anestesi topikal dan bronkodilator inhalasi.
2. Drainase post-nasal bahan-bahan inflamasi atau mediator dari hidung ke saluran
nafas bawah. Huxley dkk melakukan percobaan dengan memberikan marker atau
label pada sekret hidung penderita rinitis alergi, didapatkan peningkatan jumlah
bahan-bahan inflamasi hidung tersebut di organ paru (terjadi aspirasi paru).
3. Absorpsi sel-sel inflamasi atau mediator-mediator dari hidung ke sirkulasi sistemik
dan akhirnya ke bronkus dan paru.
4. Efek tidak langsung dari pernafasan melalui mulut akibat obstruksi hidung
menurunkan fungsi penyaringan, pelembaban dan penghangatan udara di hidung.
Udara yang kering dan banyak mengandung alergen langsung masuk melalui mulut
dan menempel di saluran nafas bawah (bronkus dan paru).
Pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan penunjang berupa skin prick
test karena merupakan metode awal yang digunakan untuk memastikan adanya suatu
mekanisme IgE yang melibatkan allergen tersangka. Hal ini dikarenakan biayanya
yang lebih murah dan kepekaan yang lebih besar pada metode ini. Diagnosis alergi
spesifik dapat dipastikan bila uji kulit dilaksanakan dengan tepat. Karena hasil dan
interpretasinya cukup rumit maka dianjurkan uji kulit ini dilakukan oleh tenaga medis
yang profesional. Uji kulit dilakukan untuk memastikan adanya sensitisasi terhadap
suatu alergen tetapi tidak menunjukkan bahwa seseorang sedang terpapar alergen.
Eosinofil merupakan sel yang sering dijumpai pada penderita rinitis, sinusitis, dan
asma bronkiale. Peningkatan jumlah eosinofil darah menunjang diagnosis rinitis
alergi namun harus dikombinasikan dengan pemeriksaan lainnya untuk penegakan
diagnosis.2
Pengobatan yang diberikan pada pasien berupa antihistamin oral (cetirizin)
untuk mengobati gejala alerginya dan dekongestan oral (pseudoefedrin) untuk
mengobati keluhan hidung tersumbat. Pasien juga diberi obat parasetamol serta
ambroksol untuk mengurangi keluhan sakit kepalanya serta mengencerkan dahak
sehingga mudah dikeluarkan.

34
Selain terapi medikamentosa dan operatif, KIE merupakan salah satu
tatalaksana yang penting yang harus diberikan kepada pasien. Pasien disarankan agar
rutin follow up ke layanan kesehatan terdekat selama 2 minggu karena pengobatan
akan diberi selama 2 bulan. Pasien juga disarankan agar istirahat yang cukup, jaga
kebersihan dan ketahanan tubuh, menjaga kebersihan lingkungan terutama rumah,
serta sebisa mungkin menghindari paparan terhadap debu dan udara yang terlalu
dingin.

35
BAB V
KESIMPULAN
Rinitis alergi ialah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya telah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Rinitis alergi tergolongkan sebagai rinitis kronis karena keluhannya
yang biasanya sudah berlangsung lebih dari 12 minggu. Rinitis alergi adalah tipe
yang paling umum dari rinitis kronis. Di seluruh dunia, prevalensi rinitis alergi terus
meningkat. Studi menunjukkan bahwa rhinitis alergi musiman (hay fever) ditemukan
pada sekitar 10% hingga 20% dari populasi umum, dengan prevalensi yang lebih
besar pada anak-anak. Untuk membantu dalam tatalaksana ARIA mengklasifikasikan
rinitis alergi berdasarkan ringan-beratnya gejala dan frekuensi gejala.

36
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2007.
2. Harsono G, Munasir Z, Siregar SP, et al. Faktor yang Diduga Menjadi
Resiko pada Anak dengan Rinitis Alergi di RSU Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2007;23(3): 116-120
3. Angier Z, Wellington J, Scadding G. Management of allergic and non-
allergic rhinitis: a primary care summary of the BSACI guideline. Primary
Care Respiratory Journal. 2010; 19(3): 217-222
4. Dykewicz MS, Hamilos DL. Rhinitis and sinusitis. Journal of Allergy and
Clinical Immunology. 2010;125(2):103-115
5. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of
Otalaryngology. 6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta:EGC, 1997
6. Hafiz A, Huriyati E. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.2009: 1-14
7. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, et al. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 2012
8. Marbun EM. Etiologi, Gejala dan Penatalaksanaan Epistaksis. Jurnal
Kedokteran Meditek. 2017;23(62):71-76

37

Anda mungkin juga menyukai