OLEH
Dimas Adi Soewignyo
H1A 013 019
PENGUJI
dr. Dian Widiastuti Vietara, Sp.KJ(K)
I. IDENTITAS PASIEN
Keterangan:
= Laki – Laki =Anggota keluarga laki-
laki yang meninggal
= Perempuan
= Anggota keluarga
perempuan yang
meninggal
= Pasien
Pemeriksaan status mental dilakukan pada tanggal 19 Juni 2018, di bangsal Melati
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Pasien laki-laki, tampak sesuai usia, penampilan cukup rapi, perawatan diri
cukup.
2. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif
3. Aktifitas psikomotor
Normoaktif
4. Pembicaraan
Bicara spontan, volume suara kesan normal, artikulasi kurang jelas
5. Suasana perasaan dan emosi
- Mood : Eutimia
- Afek : Luas
6. Pikiran
- Bentuk pikir : non realistik
- Arus pikir : sirkumstansial
- Isi pikir : Waham bizarre (+), waham curiga (+)
7. Persepsi
Halusinasi auditorik (+)
Halusinasi visual (-)
8. Kognisi
b. Orientasi :
Waktu kesan baik. Pasien mengetahui waktu saat dilakukan wawancara
adalah siang hari
Tempat kesan baik. Pasien mengetahui bahwa saat ini dirinya berada di
RSJ Mutiara Sukma di ruang Mawar.
Orang kesan baik. Pasien mengenali keluarga yang mengantarnya ke
RSJ
c. Daya Ingat :
Jangka panjang kurang baik.
Jangka sedang Kurang Baik. Pasien kurang mampu mengingat terakhir
kali dirawat di RSJ.
Jangka pendek Baik. Pasien mampu mengingat sarapan yang
dikonsumsi.
Jangka segera Baik. Pasien mampu mengulang urutan nomer yang
disebutkan oleh pemeriksa.
e. Kemampuan Berhitung
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 Juni 2018 di ruang Bangsal
melati.
Status Internus
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran/GCS :E4V5M6
Tanda vital
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi radialis : 88x/mnt
Pernapasan : 20 x/mnt
Suhu axila : 36,5˚C (suhu aksila)
V. FORMULASI DIAGNOSTIK
Gangguan jiwa merupakan suatu sindrom, atau pola perilaku, atau psikologik
seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan
dengan suatu gejala penderitaan atau hendaya di dalam satu atau lebih fungsi yang
penting dari manusia. Disfungsi yang terjadi merupakan disfungsi dari segi perilaku,
psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam
hubungan antara orang itu dengan masyarakat. Pada pasien telah ditemukan adanya
hendaya yang menimbulkan penderitaan, baik dari segi perilaku dan psikologik,
hendaya tersebut bahkan sampai membuat pasien tidak mampu menjalankan
pekerjaannya lagi, oleh sebab itu, pasien didiagnosis menderita gangguan jiwa.1,2
Terdapat berbagai macam bentuk gangguan jiwa, dan dapat disebabkan oleh
kelainan organik maupun non organik. Kelainan organik adalah adanya kelainan fisik
yang berpengaruh terhadap gangguan kejiwaan pasien. Gangguan mental organik
didefiniskan sebagai gangguan yang memiliki kondisi patologi yang dapat
diidentifikasi, seperti tumor otak, penyakit serebrovaskular, atau intoksikasi obat. 2
Pada pasien, kemungkinan tidak ada gangguan organik karena dalam pemeriksaan
fisik dan anamnesis masih dalam batas normal dan tidak didapatkan kelainan. Pasien
juga mengatakan tidak pernah mengkonsumsi alkohol ataupun NAPZA. Dengan
demikian, gangguan mental organik (F00-F09) dan gangguan mental dan perilaku
karena zat psikoaktif (F10-F19) dapat disingkirkan.1
Dari hasil aloanamnesis dan autoanamnesis, didapatkan data bahwa pada
pasien ditemukan adanya halusinasi auditorik, waham bizzare, dan waham curiga.
Gejala-gejala tersebut berlangsung selama lebih dari 1 bulan dan memenuhi 2 gejala
mayor berupa “thought withdrawal” dan “delusion of control”. Oleh karena itu,
pasien didiagnosis menderita skizofrenia. Pada pasien didapatkan predominan waham
bizarre, waham curiga, dan halusinasi auditorik, sehingga diduga pasien menderita
skizofrenia paranoid.1
Untuk aksis II, belum ditemukan adanya gangguan kepribadian pada pasien
karena tidak memenuhi kriteria gangguan kepribadian pada pasien. Pada aksis III
tidak terdapat diagnosis. Aksis IV pasien ditemukan terkait dengan masalah keluarga,
karena pasien tinggal sendiri dalam rumahnya. Pasien juga memiliki masalah
ekonomi karena pasien sering minta uang ke saudara-saudaranya. Untuk aksis V,
ditemukan GAF scale 1 tahun terakhir adalah 70-61, yaitu beberapa gejala ringan dan
menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik. GAF saat ini
adalah 31-40, yaitu gejala berat, disabilitas berat.1,3
Ketidakseimbangan neurotransmiter
B. Psikologi :
Halusinasi audiotorik
Mengamuk
waham bizzare
Waham curiga
Tilikan derajat 3
A. Psikofarmaka :
□ Risperidone tab 2 x 3 mg
IX. PROGNOSIS
Pada pasien ditemukan gejala psikotik yang muncul adalah gejala positif
seperti waham dan halusinasi. Obat antipsikotik memiliki 2 golongan yaitu golongan
tipikal dan atipikal. Golongan tipikal disebut juga sebagai Dopamin Antagonis (DA)
karena hanya memblok reseptor dopamin, sedangkan golongan atipikal disebut juga
sebagai Dopamin Serotonin Antagonis karena memblok reseptor dopamin dan
serotonin.5
Obat antipsikotik tipe II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam
mengendalikan agitasi pada fase akut skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas dan
keamanannya lebih baik bila dibandingkan dengan antipsikotik tipe I. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa obat injeksi jangka pendek antipsikotik tipe II, misalnya
olanzapin, aripiprazol, dan ziprasidon efektif mengontrol agitasi pada fase akut
skizofrenia. Pada fase manintenance, bila pasien sudah stabil dapat dilanjutkan obat
yang diberi pada fase akut.5
Risperidon adalah obat dari anti psikotik tipe II yang paling sering dipakai.
Risperidon bekerja meningkatkan reseptor dopamin pada jalur mesokortikal dan
memblok reseptor dopamin pada jalur mesolimbik serta memblok jalur serotonin juga
sehingga gejala yang dialami pasien dapat berkurang. Risperidon berperan sebagai
antagonis poten pada serotonin (terutama 5-HT2A) dan dopamine D2. Afinitasnya
terhadap reseptor α1 dan α 2 juga tinggi tetapi terhadap α -adrenergik atau muskarinik
afinitasnya lebih rendah. Afinitas risperidon terhadap 5-HT2A adalah 10-20 kali lebih
kuat bila dibandingkan dengan terhadap reseptor D2.5 Pada pasien diberikan dosis 2
x 3 mg dan dievaluasi selama kurang lebih tiap 14 hari hingga memasuki tahap
stabilisasi, kemudian dapat di tappering off hingga mencapai dosis maintenance.
Terapi lain yang dapat diberikan pada pasien selain terapi farmakologi adalah
terapi non farmakologi yaitu psikoterapi suportif dan psikoedukasi. Psikoterapi
suportif bertujuan agar pasien merasa aman, diterima dan dilindungi. Tidak ada satu
pengobatan dapat memperbaiki gejala dan kelainan yang terkait dengan skizofrenia
menggunakan satu terapi saja. Seperti yang dituliskan dalam American Psychiatric
Association's Practice Guidelines for the Treatment of Patients with Schizophrenia,
terapi yang diberikan harus komprehensif, multimodal, dan dapat diterapkan secara
empiris terhadap pasien. Sementara, pada saat ini ada obat untuk skizofrenia yaitu
penanganan farmakologis, psikoterapi, rehabilitasi, dan dukungan masyarakat
sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit, meningkatkan
kondisi pasien, dan meningkatkan kualitas hidup Psikoedukasi terutama pada
keluarga penting dilakukan agar keluarga mengetahui tentang penyebab, gejala,
pentingnya pengobatan, dan pentingnya dukungan keluarga bagi pasien.2
DAFTAR PUSTAKA