Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyakit kelainan darah merupakan penyakit yang relatif sulit untuk

dihindari. Salah satu penyakit kelainan darah yang biasa ditemukan dimasyarakat

adalah thalassemia. Data World Health Organization (WHO) dalam (Safitri.,

Ernawaty., Karim., 2015) menyatakan bahwa persentase penduduk dunia dengan

gen tahalssemia mencapai 7% dengan 40% kasus terjadi di Asia. Tingkat insidensi

thalassemia di Indonesia sebesar 6-10%, artinya 6-10 dari 100 orang merupakan

pembawa sifat thalassemia (Alyumnah, Ghozali, & Dalimoenthe, 2016).

Guha dalam jurnalnya mengatakan thalassemia merupakan gangguan

biosintesis globin alfa atau beta yang diwariskan (Guha et al., 2013). Dalam

jurnalnya Caocci juga mengatakan bahwa thalassemia merupakan penyakit bawaan

resesif autosomal, kurangnya sintesis dalam rantai globin dapat memperparah

anemia hingga memerlukan transfusi darah, terapi khalesi besi, dan terapi suplemen

asam folat (Caocci et al., 2012). Jadi thalassemia merupakan penyakit keturunan

kelainan darah karena abnormalnya sintesis globin, akibatnya globin cepat hancur

dan tubuh akan kekurangan darah.

Pada tahun 2016 penderita thalassemia di Indonesia mengalami

peningkatan, Ruswadi selaku Ketua Yayasan Thalasemia Indonesia melaporkan

penderita talasemia mayor mencapai 7.238 penderita dengan kebutuhan transfusi

darah rutin. Tahun 2014 Yayasan Thalassemia Indonesia- Perhimpunan Orang Tua

Penderita Thalassemia (YTI-POPTI) melaporkan sebanyak 6.647 penduduk


Indonesia tercatat menderita thalassemia, 42,8 % diantaranya berasal dari Jawa

Barat. Kebanyakan kasus berada di daerah Ciamis dan Tasikmalaya namun tidak

menutup kemungkinan terjadi pada daerah lain, seperti Sumedang yang jika dilihat

dari budaya dan karekteristiknya memiliki kemiripan.

Menurut Bank Data Sub. Bag Program RSUD Sumedang penderita rawat

jalan thalassemia sejak 2013 hingga 2017 mengalami peningkatan setiap tahunnya,

terhitung sampai bulan November jumlah penderita mencapai 164. Dalam satu

tahun terakhir, kebanyakan pengunjung poli thalassemia RSUD Sumedang adalah

kanak-kanak usia 6-11 tahun. Rata-rata kunjungan poli thalasemia mencapai 14

pengunjung setiap harinya terhitung sejak bulan Oktober-November 2017. Selain

rawat jalan terdapat penderita thalassemia yang melakukan rawat inap di RSUD

Sumedang, meski dengan angka kejadian yang fluktuatif.

Hingga saat ini belum ada penanganan yang menyembuhkan thalassemia,

penanganan hanya sebatas mengupayakan keberlangsungan hidup penderita

(Caocci et al., 2012). Penanganan dapat berupa transfusi darah, terapi khalesi besi,

dan terapi suplemen asam folat (Caocci et al., 2012). Jenis dan lamanya penanganan

bergantung pada derajat keparahan thalassemia itu sendiri. Namun jika ditinjau dari

penanganan yang diberikan, terdapat kemungkinan dampak yang akan timbul

seperti anemia kronik, efek kelebihan besi di jaringan, efek samping agen khalesi,

infeksi akibat transfusi, serta munculnya masalah psikososial sebagai akibat dari

penyakit thalassemia maupun penanganannya (Saini et al., 2007).

Prosedur yang membutuhkan penanganan berulang memberi kesan

tersendiri bagi anak. Wong mengelompokan, anak yang berusia 6-12 tahun kedalam

anak usia sekolah (Wong, 2008). Terdapat karakteristik khas dari periode usia
sekolah, diantaranya pembentukan kelompok teman sebaya, perilaku berbohong,

perilaku curang, ketakutan, stress, pola koping, serta adanya aktivitas pengalih

(Potter & Perry, 2005; Wong, et.al., 2001/2002). Pada anak usai sekolah dengan

penyakit kronis seprti thalassemia, perilaku dapat menjadi suatu masalah.

Penelitian yang dilakukan Shaligram, et al (2007) memberi hasil bahwa

dapat terjadi masalah psikologis berupa kualitas hidup rendah, kecemasan terhadap

gejala penyakit, emosional yang mengarah hingga depresi, serta gangguan perilaku,

pada anak thalassemia. Hasil penelitian surilena didukung oleh penelitian Hongally,

et al 2012 yang menyatakan bahwa dengan menggunakan instrumen Child

Behaviour Checklist (CBCL), ditemukan hasil 32% anak thalassemia

mengindikasikan adanya gangguan perilaku. Dalam penelitiannya Hongally

membagi gangguan perilaku menjadi internal dan eksternal. Hasil penelitiannya

menunjukan 34% mengalami gangguan perilaku internal dan 30% gangguan

perilaku eksternal.

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007),

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar. American Psychiatric Association, 2013

mendefinisikan gangguan perilaku sebagai pola perilaku berulang yang melanggar

hak orang lain sesuai dengan aturan atau norma kemasyarakatan. Gangguan

perilaku yang umum terjadi pada anak usia sekolah adalah gangguan belajar,

gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, gangguan emosi, serta kenakalan

atau melanggar peraturan (Wicks-Nelson & Israel, 2006). Menurut teori yang

berkembang, bahwa gangguan perilaku dapat dikatakan sebagai respon berulang

terhadap stimulus yang tidak selaras dengan peraturan.


Gangguan perilaku termasuk bentuk respon yang dianggap sebagai

masalah, yang sering ditunjukan anak. Gangguan perilaku yang tidak tertangani

baik, akan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya (Gunarsa, 2006). Selain

itu pembentukan dasar selama masa kanak-kanak turut mempengaruhi anak dalam

menjalankan tugas-tugas perkembangan di masa mendatang. Winslow (2006)

mengemukakan bahwa gejala gangguan perilaku terbagi menjadi tiga yaitu

gangguan perilaku internal, eksternal, serta perhatian.

Gangguan perilaku internal merupakan gangguan perilaku yang ditunjukan

dari perasaan dalam diri. Gangguan ini terjadi pada anak thalassemia dengan

berbagai penanganan, sebagai dampaknya anak menunjukan gejala penarikan

sosial, keluhan somatik, kecemasan yang mengarah pada depresi (Hongally,

Benakappa, & Reena, 2012), perasaan bersalah, perasaan penolakan, serta sistem

diri yang rendah yang sering diabaikan. Anak menjadi merasa sedih putus asa,

terlihat kurang bahagia serta merasa khawatir.

Gangguan perilaku eksternal merupakan gangguan perilaku yang terlibat

saat anak melakukan interaksi dengan orang lain. Sikap agresif merupakan gejala

yang biasa ditunjukan. Hal yang terjadi dapat berupa berkelahi dengan orang lain,

mengambil barang yang bukan miliknya, dan tidak mau mendengarkan orang lain.

Gangguan perilaku perhatian dapat ditemukan saat anak sering terlihat sulit

untuk menerima nasehat, sulit konsentrasi, sering melamun, tidak bisa duduk diam,

perhatian yang mudah dialihkan, serta perilaku anak yang diluar kendali. Ketiga

gejala gangguan perilaku yang dikemukakan oleh Winslow diatas ternyata memiliki
kesesuaian dengan sub variabel pada instrument PSC 17 yaitu mencakup gangguan

perilaku internal, eksternal, serta perhatian.

Adanya gangguan-gangguan tersebut, orang tua, keluarga, serta sistem

rumah sakit harus turut serta menanggulangi. Dukungan psikososial termasuk

pemahaman penyakit penting bagi penderita thalassemia, mengingat biaya

perawatan yang tidak murah (Khurana, Katyal, & Marwaha, 2006). Peran aktif

orang tua terhadap perkembangan anak sangat dibutuhkan. Orang terdekat yang

berada dilingkungan anak, yang mampu memberi pengaruh, serta mengetahui

proses perkembangan fisik, psikologis, dan perilaku anak adalah keluarga terutama

orang tua.

Selain dukungan orang tua dan keluarga, dukungan sistem rumah sakit juga

dibutuhkan. Salah satu dukungan yang diberikan sistem rumah sakit dapat dilihat

melalui peran perawat. Pada penderita thalassemia, perawat melakukan

pengembangan pedoman merawat anak thalassemia dengan menggabungkan empat

strategi yang terdiri atas pemberian pendidikan, konseling, melakukan skrining, dan

diagnosis prenatal (Elsayed & El-gawad, 2015).

Penelitian (Behdani et al., 2015) menunjukan bahwa psikologis, emosional,

kualitas hidup, serta perilaku sosial anak thalassemia lebih buruk dibandingkan

anak yang sehat. Penanganan yang serius pada anak thalassemia sejak dini dari

berbagai pihak sangat dibutuhkan, mengingat penanganan yang diberikan berulang

dan dalam jangka panjang.

Studi pendahuluan yang


Berdasarkan pemaparan diatas, sebagai seorang perawat sudah saatnya

memberi perhatian kepada pasien tidak hanya terbatas pada adanya perubahan fisik,

namun harus secara holistic. Adanya perubahan psikologis berupa gangguan

perilaku yang terjadi pada anak tahalassemia, membuat penulis tertarik melakukan

penelitian untuk mengidentifikasi gambaran gangguan perilaku anak thalassemia

dengan informasi yang diperoleh dari orang tua anak thalassemia.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penyusunan latar belakang tersebut, penulis dapat

merumuskan masalah sebagai berikut “bagaimana gambaran gangguan perilaku

anak pra sekolah & usia sekolah penderita thalassemia menurut orang tua di RSUD

Sumedang?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini untuk mengidentifikasi gambaran gangguan

perilaku anak pra sekolah & usia sekolah penderita thalassemia menurut

orang tua di RSUD Sumedang

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui gambaran gangguan perilaku internal, eksternal, serta perhatian

pada anak pra sekolah & usia sekolah yang menderita thalassemia menurut

orang tua

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Praktis

1.4.1.1.Bagi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber ilmu

tambahan bagi perawat dalam melihat gambaran gangguan perilaku pada

anak thalassemia. Melalui gambaran awal, diharapkan bisa dilakukan

intervensi dalam menangani gnagguan perilaku pada anak thalassemia sejak

dini.

1.4.1.2.Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan mampu berkontribusi dalam meningkatkan

kualitas rumah sakit melalui pemberian motivasi anak maupun keluarga

sebagai orang yang mendukung perkembangan anak yang menderita

thalassemia dengan membentuk suatu kelompok yang diduga mengalami

gangguan perilaku untuk berbagi. Hal tersebut merupakan penanganan yang

membantu keluarga, agar anak mampu mancapai perkembangan yang

optimal.

1.4.2. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dapat dijadikan data awal untuk penelitian selajutnya

dalam mengidentifikasi gambaran gangguan perilaku anak thalassemia.

1.5. Kerangka Penelitian

Alyumnah, P., Ghozali, M., & Dalimoenthe, N. Z. (2016). Skrining Thalassemia

Beta Minor Pada Siswa Sma Di Jatinangor. Jurnal Sistem Kesehatan, vol 1,

No, 133–138. https://doi.org/https://doi.org/10.24198/jsk.v1i3.10358


Behdani, F., Badiee, Z., Hebrani, P., Moharreri, F., Badiee, A. H., Hajivosugh, N.,

… Akhavanrezayat, A. (2015). Psychological aspects in children and

adolescents with major thalassemia: A case-control study. Iranian Journal of

Pediatrics, 25(3), 0–7. https://doi.org/10.5812/ijp.25(3)2015.322

Caocci, G., Efficace, F., Ciotti, F., Roncarolo, M. G., Vacca, A., Piras, E., … La

Nasa, G. (2012). Health related quality of life in Middle Eastern children

with beta-thalassemia. BMC Blood Disorders, 12(1), 6.

https://doi.org/10.1186/1471-2326-12-6

Elsayed, L. A., & El-gawad, S. M. E. A. (2015). Nursing Guidelines for Children

Suffering from Beta Thalassemia, 5(4), 131–135.

https://doi.org/10.5923/j.nursing.20150504.02

Guha, P., Talukdar, A., De, A., Bhattacharya, R., Pal,S., Dasgupta, G., Ghosal, M.

(2012). Behavioral Profile and School Performance of Thalassemic Children

in Eastern India. Asian J Pharm Ciin Res, Vol 6, Issue 2, 2013, 49-52.

Hongally, C., Benakappa, Da., & Reena, S. (2012). Study of behavioral problems

in multi-transfused thalassemic children. Indian Journal of Psychiatry, 54(4),

333. https://doi.org/10.4103/0019-5545.104819

Khurana, A., Katyal, S., & Marwaha, R. K. (2006). Psychosocial burden in

thalassemia. Indian Journal of Pediatrics, 73(10), 877–80.

https://doi.org/10.1007/BF02859278
Anwar Sutoyo. 2009. Pemahaman Individu, Observasi, Checklist, Interviu,

Kuesioner dan Sosiometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

PT Rineka Cipta.

Anwar Sutoyo. 2009. Pemahaman Individu, Observasi, Checklist, Interviu,

Kuesioner dan Sosiometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

PT Rineka Cipta.

Alyumnah, P., Ghozali, M., & Dalimoenthe, N. Z. (2016). Skrining Thalassemia

Beta Minor Pada Siswa Sma Di Jatinangor. Jurnal Sistem Kesehatan, vol 1,

No, 133–138. https://doi.org/https://doi.org/10.24198/jsk.v1i3.10358

American Psychiatric Association, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5)

Aritonang, M. V. (2009). Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita

Penyakit Kronis Mika Vera Aritonang Skripsi Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Behdani, F., Badiee, Z., Hebrani, P., Moharreri, F., Badiee, A. H., Hajivosugh, N.,

… Akhavanrezayat, A. (2015). Psychological aspects in children and

adolescents with major thalassemia: A case-control study. Iranian Journal of

Pediatrics, 25(3), 0–7. https://doi.org/10.5812/ijp.25(3)2015.322

Caocci, G., Efficace, F., Ciotti, F., Roncarolo, M. G., Vacca, A., Piras, E., … La
Nasa, G. (2012). Health related quality of life in Middle Eastern children

with beta-thalassemia. BMC Blood Disorders, 12(1), 6.

https://doi.org/10.1186/1471-2326-12-6

Elsayed, L. A., & El-gawad, S. M. E. A. (2015). Nursing Guidelines for Children

Suffering from Beta Thalassemia, 5(4), 131–135.

https://doi.org/10.5923/j.nursing.20150504.02

Guha, P., Talukdar, A., De, A., Bhattacharya, R., Pal,S., Dasgupta, G., Ghosal, M.

(2012). Behavioral Profile and School Performance of Thalassemic Children

in Eastern India. Asian J Pharm Ciin Res, Vol 6, Issue 2, 2013, 49-52.

Gunarsa, S.D., & Gunarsa, Y.S.D (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan

Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Hongally, C., Benakappa, Da., & Reena, S. (2012). Study of behavioral problems

in multi-transfused thalassemic children. Indian Journal of Psychiatry, 54(4),

333. https://doi.org/10.4103/0019-5545.104819

Khurana, A., Katyal, S., & Marwaha, R. K. (2006). Psychosocial burden in

thalassemia. Indian Journal of Pediatrics, 73(10), 877–80.

https://doi.org/10.1007/BF02859278

Notoatmodjo, S. 2007. Pendidikan dan Perilaku kesehatan.Cetakan 2 Jakarta:PT.

Rineka Cipta.

potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Fundamental nursing : Concept, proses, and

practice. Sixth
Rejeki, D., & Nurhayati, N. (2012). Studi Epidemiologi Deskriptif Talasemia.

Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(3), 139–144.

https://doi.org/10.21109/kesmas.v7i3.61

Safitri, R., Ernawaty, J., Karim, D. Hubungan Kepatuhan Tranfusi dan Konsumsi

Kelasi Besi Terhadap Pertumbuhan Anak dengan Thalassemia. JOM Vol 2

No 2, Oktober 2015

Saini A, Chandra J, Goswami U, Singh V, Dutta AK. Case Control Study of

Psychosocial Morbidity in β Thalassemia Major. J of Pediatrics. May

2007; 150(5):516-520

Shaligram, D., Girimaji, S. C., & Chaturvedi, S. K. (2007). Psychological

problems and quality of life in children with thalassemia. Indian Journal of

Pediatrics, 74(8), 727–730. https://doi.org/10.1007/s12098-007-0127-6

Surilena. (2014). Role of Family Relationships in Teenagers ’ Psychopathology of

Thalassemia. Damianus Journal of Medicine, 13(2), 137–147.

Tetap, D., & Muhammadiyah, U. (2010). Gangguan perilaku pada anak sd

ditinjau dari ekspresi emosi ibu, 6, 1–11.

Wicks-Nelson, R & Israel, A. C., 2006. Behaviour Disoreder of Childhood. New

Jersey: Pearson Education International.

Winslow. 2006. A Social Skill Approach for Children and Adolescent. USA:

Speechmark Publishing.

Wong D. L., Huckenberry M.J.(2008).Wong’s Nursing care of infants and

children. Mosby Company, St Louis Missouri


BAB I
PENDAHULUAN
1.6. Latar Belakang Masalah

Penyakit kelainan darah merupakan penyakit yang relatif sulit untuk

dihindari. Salah satu penyakit kelainan darah yang biasa ditemukan dimasyarakat

adalah thalassemia. Data World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa

persentase penduduk dunia dengan gen tahalssemia mencapai 7% dengan 40%

kasus terjadi di Asia. Tingkat insidensi thalassemia di Indonesia sebesar 6-10%,

artinya 6-10 dari 100 orang merupakan pembawa sifat thalassemia (Alyumnah,

Ghozali, & Dalimoenthe, 2016).

Thalassemia merupakan penyakit keturunan kelainan darah yang

menyebabkan sel darah (hemoglobin) merah cepat hancur sehingga sel-sel darah

memiliki usia lebih singkat dari normal (120 hari) dan tubuh akan kekurangan

darah. Thalassemia terdiri atas thalassemia alfa, beta, minor serta mayor (Rejeki &

Nurhayati, 2012). Penyebab utama thalassemia adalah kurangnya salah satu zat

pembentuk hemoglobin sehingga produksi hemoglobin tidak dapat memenuhi

kebutuhan tubuh.

Thalassemia mempengaruhi 4.4 dari setiap 10.000 kelahiran hidup

diseluruh dunia. Pada tahun 2016 jumlah penderita thalassemia di Indonesia

mengalami peningkatan, Ruswadi selaku Ketua Yayasan Thalasemia Indonesia

melaporkan penderita talasemia mayor mencapai 7.238 penderita dengan

kebutuhan transfusi darah rutin. Tahun 2014 Yayasan Thalassemia Indonesia-

Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia (YTI-POPTI) melaporkan

sebanyak 6.647 penduduk Indonesia tercatat menderita thalassemia, 42,8 %


diantaranya berasal dari Jawa Barat. Kebanyakan kasus berada di daerah Ciamis

dan Tasikmalaya namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada daerah lain,

seperti Sumedang yang jika dilihat dari budaya dan karekteristiknya memiliki

kemiripan. Rata-rata Kunjungan Ruang Instalasi Gawat Darurat Anak Rumah Sakit

Umum Sumedang setiap harinya mencapai 6,66%-7,61% untuk mendapat terapi

transfusi (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang

dalam Wartini 2013).

Hingga saat ini belum ada penanganan yang menyembuhkan thalassemia,

penanganan hanya sebatas mengupayakan keberlangsungan hidup penderita.

Penanganan dapat berupa transfusi darah, terapi khalesi besi, dan terapi suplemen

asam folat. Jenis dan lamanya penanganan bergantung pada derajat keparahan

thalassemia itu sendiri. Namun jika ditinjau dari penanganan yang diberikan,

terdapat kemungkinan dampak yang akan timbul seperti anemia kronik, efek

kelebihan besi di jaringan, efek samping agen khalesi, infeksi akibat transfusi, serta

munculnya masalah psikososial sebagai akibat dari penyakit thalassemia maupun

penanganannya (Saini et al., 2007).

Prosedur yang membutuhkan penanganan berulang memberi kesan

tersendiri bagi anak. Masa kanak-kanak terbagi menjadi tiga periode yaitu masa

kanak-kanak awal atau usia pra sekolah (1-6 tahun), pertengahan atau usia sekolah

(6-12 tahun), dan akhir (12-21 tahun) (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein,

& Schwartz 2002). Dari ketiga periode tersebut, penderita tahalassemia di RSUD

Sumedang banyak terdapat pada periode pra sekolah dan usia sekolah yaitu

sebanyak 87 penderita dari total 105 penderita (Sistem Informasi Manajemen

Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang dalam Wartini 2013).


Periode anak dengan usia pra sekolah diketahui bahwa anak sangat terikat

dengan lingkungan dan keluarganya, banyak meniru, serta banyak berkhayal.

Periode pertengahan atau sering dikatakan sebagai periode usia sekolah, terdapat

karateristik khas yang ditemukan diantaranya pembentukan kelompok teman

sebaya, perilaku berbohong, perilaku curang, ketakutan, stress, pola koping, serta

adanya aktivitas pengalih (Potter & Perry, 2005; Wong, et.al., 2001/2002).

Perilaku tersebut merupakan gambaran perilaku yang dapat ditemukan pada

periode usia pra sekolah dan sekolah. Pada anak usia pra sekolah dan sekolah

dengan penyakit kronik seperti thalassemia, perilaku dapat menjadi suatu masalah.

Ketidaknyamanan, tingkat keparahan, serta efek samping terapi penyakit turut

berkontribusi terjadinya masalah (Shaligram, Girimaji, & Chaturvedi, 2007).

Penelitian yang dilakukan Shaligram, et al (2007) memberi hasil bahwa anak

dengan thalassemia dapat terjadi masalah psikologis berupa kualitas hidup rendah,

kecemasan terhadap gejala penyakit, emosional yang mengarah hingga depresi,

serta gangguan perilaku.

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007),

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar. American Psychiatric Association, 2013

mendefinisikan gangguan perilaku sebagai pola perilaku berulang yang melanggar

hak orang lain sesuai dengan aturan atau norma kemasyarakatan. Gangguan

perilaku termasuk permasalahan yang sering ditunjukan oleh anak gangguan

perilaku.
Penelitian yang dilakukan Hongally, et al 2012 dengan menggunakan

instrumen Child Behaviour Checklist (CBCL), ditemukan hasil 32% anak

thalassemia mengindikasikan adanya gangguan perilaku. Dalam penelitiannya

Hongally membagi gangguan perilaku menjadi internal dan eksternal. Hasil

penelitiannya menunjukan 34% mengalami gangguan perilaku internal dan 30%

gangguan perilaku eksternal.

Gangguan perilaku harus ditangani, apabila tidak maka akan berdampak

serius pada tahap perkembangan selanjutnya. Karena masa kanak-kanak dianggap

sebagai periode laten, dimana apa yang terjadi dan diperoleh anak saat ini akan

berlanjut hingga tahap perkembangan selanjutnya (Atmowirdjo dalam Gunarsa &

Gunarsa 2006). Selain itu pembentukan dasar selama masa kanak-kanak turut

mempengaruhi anak menjalankan tugas-tugas perkembangan di masa mendatang.

Winslow (2006) mengemukakan bahwa gejala gangguan perilaku terbagi menjadi

tiga yaitu gangguan perilaku internal, eksternal, serta perhatian.

Gangguan perilaku internal merupakan gangguan perilaku yang ditunjukan

dari perasaan dalam diri. Gangguan ini terjadi pada anak thalassemia dengan

berbagai penanganan, sebagai dampaknya anak menunjukan gejala penarikan

sosial, keluhan somatik, kecemasan yang mengarah pada depresi (Hongally,

Benakappa, & Reena, 2012), perasaan bersalah, perasaan penolakan, serta sistem

diri yang rendah yang sering diabaikan. Anak menjadi merasa sedih putus asa,

terlihat kurang bahagia serta merasa khawatir.

Gangguan perilaku eksternal merupakan gangguan perilaku yang terlibat

saat anak melakukan interaksi dengan orang lain. Sikap agresif merupakan gejala
yang biasa ditunjukan. Hal yang terjadi dapat berupa berkelahi dengan orang lain,

mengambil barang yang bukan miliknya, dan tidak mau mendengarkan orang lain.

Gangguan perilaku perhatian dapat ditemukan saat anak sering terlihat sulit

untuk menerima nasehat, sulit konsentrasi, sering melamun, tidak bisa duduk diam,

perhatian yang mudah dialihkan, serta perilaku anak yang diluar kendali. Ketiga

gejala gangguan perilaku yang dikemukakan oleh Winslow diatas ternyata sesuai

dengan sub variabel pada instrument PSC 17 yang mencakup gangguan perilaku

internal, eksternal, serta perhatian.

Adanya gangguan-gangguan tersebut penderita thalassemia tidak mampu

mengatasi stressor sendirian, orang tua, keluarga serta sistem rumah sakit harus

turut serta dalam mananggulangi. Dukungan psikososial termasuk pemahaman

penyakit penting diberikan bagi penderita thalassemia, terlebih pada negara

berkembang mengingat biaya perawatan yang tidak murah (Khurana, Katyal, &

Marwaha, 2006). Peran aktif orang tua terhadap perkembangan anak sangat

dibutuhkan karena anak masih bergantung pada lingkungannya. Orang terdekat

yang berada dilingkungan anak, yang mampu memberi pengaruh, serta mengetahui

proses perkembangan fisik, psikologis, dan perilaku anak adalah keluarga terutama

orang tua.

Selain dukungan orang tua dan keluarga, dukungan sistem rumah sakit juga

dibutuhkan. Salah satu dukungan yang diberikan sistem rumah sakit dapat dilihat

melalui peran perawat. Pada penderita thalassemia, perawat melakukan

pengembangan pedoman merawat anak thalassemia dengan menggabungkan empat


strategi yang terdiri atas pemberian pendidikan, konseling, melakukan skrining, dan

diagnosis prenatal (Elsayed & El-gawad, 2015).

Menurut penelitian (Behdani et al., 2015) menunjukan bahwa psikologis,

emosional, kualitas hidup, serta perilaku sosial yang terjadi pada anak thalassemia

lebih buruk dibandingkan anak yang sehat. Penanganan yang serius pada anak

thalassemia sejak dini dari berbagai pihak sangat dibutuhkan, mengingat

penanganan yang diberikan berulang dan dalam jangka panjang.

Berdasarkan pemaparan diatas, sebagai seorang perawat sudah saatnya

memberi perhatian kepada pasien tidak hanya terbatas pada adanya perubahan fisik,

namun harus secara holistic. Adanya perubahan psikologis berupa gangguan

perilaku yang terjadi pada anak tahalassemia, membuat penulis tertarik melakukan

penelitian untuk mengidentifikasi gambaran gangguan perilaku anak thalassemia

dengan informasi yang diperoleh dari orang tua anak thalassemia.


Penyakit kelainan darah merupakan penyakit yang relatif sulit untuk

dihindari. Salah satu penyakit kelainan darah yang biasa ditemukan dimasyarakat

adalah thalassemia. Data World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa

persentase penduduk dunia dengan gen tahalssemia mencapai 7% dengan 40%

kasus terjadi di Asia. Tingkat insidensi thalassemia di Indonesia sebesar 6-10%,

artinya 6-10 dari 100 orang merupakan pembawa sifat thalassemia (Alyumnah,

Ghozali, & Dalimoenthe, 2016).

Thalassemia merupakan penyakit keturunan kelainan darah yang

menyebabkan sel darah (hemoglobin) merah cepat hancur sehingga sel-sel darah

memiliki usia lebih singkat dari normal (120 hari) dan tubuh akan kekurangan

darah. Thalassemia terdiri atas thalassemia alfa, beta, minor serta mayor (Rejeki &

Nurhayati, 2012). Penyebab utama thalassemia adalah kurangnya salah satu zat

pembentuk hemoglobin sehingga produksi hemoglobin tidak dapat memenuhi

kebutuhan tubuh.

Thalassemia mempengaruhi 4.4 dari setiap 10.000 kelahiran hidup

diseluruh dunia. Pada tahun 2016 jumlah penderita thalassemia di Indonesia

mengalami peningkatan, Ruswadi selaku Ketua Yayasan Thalasemia Indonesia

melaporkan penderita talasemia mayor mencapai 7.238 penderita dengan

kebutuhan transfusi darah rutin. Tahun 2014 Yayasan Thalassemia Indonesia-

Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassemia (YTI-POPTI) melaporkan

sebanyak 6.647 penduduk Indonesia tercatat menderita thalassemia, 42,8 %

diantaranya berasal dari Jawa Barat. Kebanyakan kasus berada di daerah Ciamis

dan Tasikmalaya namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada daerah lain,
seperti Sumedang yang jika dilihat dari budaya dan karekteristiknya memiliki

kemiripan. Rata-rata Kunjungan Ruang Instalasi Gawat Darurat Anak Rumah Sakit

Umum Sumedang setiap harinya mencapai 6,66%-7,61% untuk mendapat terapi

transfusi (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang

dalam Wartini 2013).

Hingga saat ini belum ada penanganan yang menyembuhkan thalassemia,

penanganan hanya sebatas mengupayakan keberlangsungan hidup penderita.

Penanganan dapat berupa transfusi darah, terapi khalesi besi, dan terapi suplemen

asam folat. Jenis dan lamanya penanganan bergantung pada derajat keparahan

thalassemia itu sendiri. Namun jika ditinjau dari penanganan yang diberikan,

terdapat kemungkinan dampak yang akan timbul seperti anemia kronik, efek

kelebihan besi di jaringan, efek samping agen khalesi, infeksi akibat transfusi, serta

munculnya masalah psikososial sebagai akibat dari penyakit thalassemia maupun

penanganannya (Saini et al., 2007).

Prosedur yang membutuhkan penanganan berulang memberi kesan

tersendiri bagi anak. Masa kanak-kanak terbagi menjadi tiga periode yaitu masa

kanak-kanak awal atau usia pra sekolah (1-6 tahun), pertengahan atau usia sekolah

(6-12 tahun), dan akhir (12-21 tahun) (Wong, Hockenberry, Wilson, Winkelstein,

& Schwartz 2002). Dari ketiga periode tersebut, penderita tahalassemia di RSUD

Sumedang banyak terdapat pada periode pra sekolah dan usia sekolah yaitu

sebanyak 87 penderita dari total 105 penderita (Sistem Informasi Manajemen

Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang dalam Wartini 2013).

Periode anak dengan usia pra sekolah diketahui bahwa anak sangat terikat

dengan lingkungan dan keluarganya, banyak meniru, serta banyak berkhayal.


Periode pertengahan atau sering dikatakan sebagai periode usia sekolah, terdapat

karateristik khas yang ditemukan diantaranya pembentukan kelompok teman

sebaya, perilaku berbohong, perilaku curang, ketakutan, stress, pola koping, serta

adanya aktivitas pengalih (Potter & Perry, 2005; Wong, et.al., 2001/2002).

Perilaku tersebut merupakan gambaran perilaku yang dapat ditemukan pada

periode usia pra sekolah dan sekolah. Pada anak usia pra sekolah dan sekolah

dengan penyakit kronik seperti thalassemia, perilaku dapat menjadi suatu masalah.

Ketidaknyamanan, tingkat keparahan, serta efek samping terapi penyakit turut

berkontribusi terjadinya masalah (Shaligram, Girimaji, & Chaturvedi, 2007).

Penelitian yang dilakukan Shaligram, et al (2007) memberi hasil bahwa anak

dengan thalassemia dapat terjadi masalah psikologis berupa kualitas hidup rendah,

kecemasan terhadap gejala penyakit, emosional yang mengarah hingga depresi,

serta gangguan perilaku.

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007),

merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar. American Psychiatric Association, 2013

mendefinisikan gangguan perilaku sebagai pola perilaku berulang yang melanggar

hak orang lain sesuai dengan aturan atau norma kemasyarakatan. Gangguan

perilaku termasuk permasalahan yang sering ditunjukan oleh anak gangguan

perilaku.

Penelitian yang dilakukan Hongally, et al 2012 dengan menggunakan

instrumen Child Behaviour Checklist (CBCL), ditemukan hasil 32% anak

thalassemia mengindikasikan adanya gangguan perilaku. Dalam penelitiannya


Hongally membagi gangguan perilaku menjadi internal dan eksternal. Hasil

penelitiannya menunjukan 34% mengalami gangguan perilaku internal dan 30%

gangguan perilaku eksternal.

Gangguan perilaku harus ditangani, apabila tidak maka akan berdampak

serius pada tahap perkembangan selanjutnya. Karena masa kanak-kanak dianggap

sebagai periode laten, dimana apa yang terjadi dan diperoleh anak saat ini akan

berlanjut hingga tahap perkembangan selanjutnya (Atmowirdjo dalam Gunarsa &

Gunarsa 2006). Selain itu pembentukan dasar selama masa kanak-kanak turut

mempengaruhi anak menjalankan tugas-tugas perkembangan di masa mendatang.

Winslow (2006) mengemukakan bahwa gejala gangguan perilaku terbagi menjadi

tiga yaitu gangguan perilaku internal, eksternal, serta perhatian.

Gangguan perilaku internal merupakan gangguan perilaku yang ditunjukan

dari perasaan dalam diri. Gangguan ini terjadi pada anak thalassemia dengan

berbagai penanganan, sebagai dampaknya anak menunjukan gejala penarikan

sosial, keluhan somatik, kecemasan yang mengarah pada depresi (Hongally,

Benakappa, & Reena, 2012), perasaan bersalah, perasaan penolakan, serta sistem

diri yang rendah yang sering diabaikan. Anak menjadi merasa sedih putus asa,

terlihat kurang bahagia serta merasa khawatir.

Gangguan perilaku eksternal merupakan gangguan perilaku yang terlibat

saat anak melakukan interaksi dengan orang lain. Sikap agresif merupakan gejala

yang biasa ditunjukan. Hal yang terjadi dapat berupa berkelahi dengan orang lain,

mengambil barang yang bukan miliknya, dan tidak mau mendengarkan orang lain.
Gangguan perilaku perhatian dapat ditemukan saat anak sering terlihat sulit

untuk menerima nasehat, sulit konsentrasi, sering melamun, tidak bisa duduk diam,

perhatian yang mudah dialihkan, serta perilaku anak yang diluar kendali. Ketiga

gejala gangguan perilaku yang dikemukakan oleh Winslow diatas ternyata sesuai

dengan sub variabel pada instrument PSC 17 yang mencakup gangguan perilaku

internal, eksternal, serta perhatian.

Adanya gangguan-gangguan tersebut penderita thalassemia tidak mampu

mengatasi stressor sendirian, orang tua, keluarga serta sistem rumah sakit harus

turut serta dalam mananggulangi. Dukungan psikososial termasuk pemahaman

penyakit penting diberikan bagi penderita thalassemia, terlebih pada negara

berkembang mengingat biaya perawatan yang tidak murah (Khurana, Katyal, &

Marwaha, 2006). Peran aktif orang tua terhadap perkembangan anak sangat

dibutuhkan karena anak masih bergantung pada lingkungannya. Orang terdekat

yang berada dilingkungan anak, yang mampu memberi pengaruh, serta mengetahui

proses perkembangan fisik, psikologis, dan perilaku anak adalah keluarga terutama

orang tua.

Selain dukungan orang tua dan keluarga, dukungan sistem rumah sakit juga

dibutuhkan. Salah satu dukungan yang diberikan sistem rumah sakit dapat dilihat

melalui peran perawat. Pada penderita thalassemia, perawat melakukan

pengembangan pedoman merawat anak thalassemia dengan menggabungkan empat

strategi yang terdiri atas pemberian pendidikan, konseling, melakukan skrining, dan

diagnosis prenatal (Elsayed & El-gawad, 2015).


Menurut penelitian (Behdani et al., 2015) menunjukan bahwa psikologis,

emosional, kualitas hidup, serta perilaku sosial yang terjadi pada anak thalassemia

lebih buruk dibandingkan anak yang sehat. Penanganan yang serius pada anak

thalassemia sejak dini dari berbagai pihak sangat dibutuhkan, mengingat

penanganan yang diberikan berulang dan dalam jangka panjang.

Berdasarkan pemaparan diatas, sebagai seorang perawat sudah saatnya

memberi perhatian kepada pasien tidak hanya terbatas pada adanya perubahan fisik,

namun harus secara holistic. Adanya perubahan psikologis berupa gangguan

perilaku yang terjadi pada anak tahalassemia, membuat penulis tertarik melakukan

penelitian untuk mengidentifikasi gambaran gangguan perilaku anak thalassemia

dengan informasi yang diperoleh dari orang tua anak thalassemia.

Anda mungkin juga menyukai