Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Dibuat oleh:
Bagas Rahmanto M0217019
Dza’aini Ufida M0215022
Fahmi Alhafid M0215024
Khanza Fadhilah Almas M0216041
Milka Wayandari M0216054
Muhammad Hendra M0215037
Nanda Yudi Shofi Subekti M0217053
Singgih Styo Purnomo M0215057
Zulaldi Yahya Dewangga M0215066

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia,
hidayah dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Adapun maksud dan tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan
oleh dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Makalah ini ditulis dari hasil ungkapan pemikiran tim penyusun yang
bersumber dari internet dan buku sebagai referensi, tak lupa kami ucapkan terima
kasih kepada Dosen pengajar mata kuliah Pendidikan Pancasila atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa
yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Tim penyusun berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, semoga hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai
arti pentingnya Pancasila sebagai Sistem Filsafat dan semoga dapat di
implementasikan dalam kehidupan kita sehari hari. Sebagai calon pengganti
pemimpin bangsa di masa mendatang yang memahami makna serta kedudukan
dan peranan Pancasila, dan khususnya bagi tim penyusun. Memang makalah ini
masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Demikan makalah ini dapat kami buat, semoga dapat bermanfaat serta
dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi tim penyusun dan yang
membacanya.

Surakarta, 05 November 2018

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................ 1
BAB II. PEMBAHASAN ................................................................................ 2
A. Inti Filsafat ..................................................................................... 2
B. Pancasila Sebagai Dasar Filsafat Negara ....................................... 3
C. Sistem Filsafat Pancasila ............................................................... 4
D. Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara ...................................................................................... 6
BAB III. PENUTUP ........................................................................................ 8
A. Kesimpulan .................................................................................... 8
B. Saran .............................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 10
LAMPIRAN ..................................................................................................... 11
Lampiran 1. Soal dan Jawab ................................................................... 11

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbedaan Sistem Filsafat Pancasila dengan Sistem Filsafat


Lainnya ............................................................................................... 5

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila adalah dasar dari falsafah negara Indonesia sebagaimana yang
tertera dalam pembukaan UUD 1945. Pancasila sebagai sistem filsafat adalah
suatu kesatuan yang saling berhubungan untuk satu tujuan tertentu yang tidak
terpisahkan satu sama lain dan memiliki fungsi serta tugas masing-masing.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai pansacila adalah
sebagai falsafah hidup yang tumbuh berkembang dalam sosial-budaya rakyat
Indonesia.
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang saling berkaitan
atau saling bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan filsafat adalah pemikiran fundamental manusia untuk mencari
nilai kebenaran terbaik yang berkembang di dalam masyarakat sehingga
dijadikan sebuah pedoman atau pandangan hidup. Dalam hal ini, nilai-nilai
Pancasila diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, kita
perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila secara filsafat untuk mendapatkan makna
yang lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami merumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Sistem Filsafat?
2. Apakah yang dimaksud dengan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Negara?
3. Bagaimana mengimplementasikan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
4. Apakah perbedaan Sistem Filsafat Pancasila dengan Sistem Filsafat
lainnya?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini menjelaskan sesuai dengan rumusan masalah diatas,
yaitu:
1. Mengetahui definisi sistem filsafat.
2. Mengetahui pengertian Pancasila sebagai Sistem Filsafat Negara.
3. Mengetahui implementasi Sistem Filsafat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
4. Mengetahui perbedaan Sistem Filsafat Pancasila dengan Sistem Filsafat
yang lain.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Inti Filsafat
Filsafat berasal dari kata Yunani: philos (cinta) dan sophos (pengetahuan
atau kebijaksanaan). Filsafat merupakan sebuah usaha berpikir secara rasional
(bernalar), sistematik (runtut), radikal (mendalam), komprehensif (menyeluruh),
dan universal (objektif/ intersubjektif) tentang segala sesuatu. Filsafat bersifat
rasional, artinya didasarkan atas penalaran dan argumentasi yang bertumpu pada
akal sehat. Sistematik, artinya didasarkan atas keruntutan dalam satu alur pola
pikir tertentu yang di dalamnya dihindari adanya kontradiksi internal. Radikal
artinya berpikir sampai sedalam-dalamnya, sampai kepada akar-akarnya, sampai
pada penjelasan yang tidak memerlukan penjelasan lagi. Komprehensif artinya
meninjau secara menyeluruh dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai sisi.
Universal, artinya berlaku umum, terbebas dari ruang dan waktu.
Filsafat sebagai sistem berpikir yang tersendiri biasa disebut sebagai
“mother of science”, ibu dari segala ilmu. Perkembangan pengertian tentang
filsafat dapat dirunut dari penjelasan yang dikemukakan oleh beberapa filsuf atau
kelompok filsuf sebagai berikut (Lechte, 2001) :
1. Pythagoras (580-500 SM) : Sebagai orang yang memiliki kecerdasan
matematik luar biasa, Pythagoras hanya mengaku sebagai “pencinta
pengetahuan” (philos=cinta, shopia=pengetahuan). Sebagai seorang yang
dikenal cerdik pandai, Pythagoras tidak menyombongkan diri dengan
mengaku-ngaku telah memiliki pengetahuan meskipun sebenarnya
pengetahuan yang dimilikinya tidak diragukan lagi.
2. Socrates (468-399 SM) : Socrates memandang pengetahuan tidak semata-
mata bersifat subjektif dan relatif, melainkan sebetulnya ada pengetahuan
yang objektif dan tetap, bila kita dapat menemukannya. Filsafat membantu
manusia untuk menemukan pengetahuan yang objektif dan tetap.
3. Plato (427-347 SM) : Berfilsafat sama artinya dengan membuka kembali tabir
pengetahuan sejati, abadi dan tak berubah, yaitu pengetahuan yang berasal
dari “dunia ide”, yang telah tertutupi oleh “dunia maya” yang serba berubah
dan tidak abadi dalam alam ini.
4. Aristoteles (384-322 SM) : Berfilsafat menurutnya adalah menemukan
pengetahuan yang benar dengan berpijak pada pengamatan terhadap alam ini,
bukan berpijak pada ‘alam lain’. Dengan filsafat, seseorang dapat
membedakan pengetahuan yang mendasar (substansial, pokok) dengan yang
hanya berupa penampakan (aksidensial, hanya kebetulan).
5. Al Kindi (801-865) : Filsafat dipandang tidak bertentangan dengan Al
Qur’an, justru melengkapinya. Menurutnya terdapat dua jenis pengetahuan:
pengetahuan ilahiyah (sumbernya wahyu) dan pengetahuan insaniyah
(sumbernya akal pikiran).

2
6. Descartes (1596-1650) : Ahli geometri dan penemu diagram cartesius ini
dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Filsafat dimulai dengan meragukan
segala sesuatu sampai kemudian memperoleh pengetahuan yang kokoh, yang
tidak dapat diragukan lagi, bahkan sampai akhirnya berakhir pada pengakuan
tentang adanya Tuhan.
7. Immanuel Kant (1724-1804) : Pengetahuan kita tentang sesuatu dapat dibagi
menjadi dua hal, yaitu pengetahuan tentang noumena dan pengetahuan
tentang fenomena. Noumena adalah hal yang terus mendasar tentang sesuatu,
sedangkan fenomena adalah penampakan mula dari sesuatu. Berfilsafat
adalah menyingkap noumena. Meskipun kita tidak akan pernah sampai ke
dalam noumena yang paling purna, namun kita tidak boleh terjebak oleh
fenomena. Berfilsafat juga bagaimana menemukan pengetahuan yang
“sintetis a priori”, sebagai perpaduan antara pemikiran rasional (analitis a
priori) dengan empiris (sintetis a posteriori). Pengetahuan sintesis a priori
akan mengandung pengetahuan informasi baru yang memiliki tingkat
kebenaran universal.
8. Kelompok filsuf pragmatisme : Filsafat harus berpijak pada fakta dan
kegunaan real. Nilai benar pengetahuan ditentukan sejauh mana manfaatnya
bagi manusia. Tidak ada kebenaran umum, melainkan semua memiliki
potensi untuk benar meskipun berbeda-beda.
9. Kelompok filsuf postmodernisme : Postmodernisme mengakui pluralitas
sebagai realitas. Banyaknya penjelasan (bukan hanya tunggal) yang mungkin
berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain, dapat diterima sebagai
penjelasan yang benar atau kemungkinan benar.

B. Pancasila Sebagai Dasar Filsafat Negara


Secara yuridis Pancasila sebagai dasar filsafat negara tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi: “…maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Melihat dari rumusan tersebut yang dimaksud …dengan berdasarkan kepada…
adalah dalam pengertian sebagai dasar filsafat negara Indonesia. Setiap sila (dasar
atau azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain
sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-
sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan
Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar falsafah Negara.
Pancasila dikenal sebagai filosofi Indonesia, kenyataannya definisi dalam
filsafat Pancasila telah diubah dan diinterpretasikan berbeda oleh beberapa filsuf

3
Indonesia. Pancasila sendiri terinspirasi oleh konsep humanisme, rasionalisme,
universalisme, sosio-demokrasi, sosialisme, demokrasi parlementer, dan
nasionalisme. Menurut Soekarno sendiri Pancasila merupakan filsafat asli
Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya
India (hindu), Barat (kristen), dan Arab (Islam). Filsafat Pancasila secara umum
adalah hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang
dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu kenyataan dan nilai-nilai yang
paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi
bangsa Indonesia.
Tentang fungsi filsafat pancasila bagi kita adalah Pancasila merupakan
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak
yang sudah berurat berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia lahir sesudah melampaui perjuangan yang sangat panjang, dengan
memberikan segala pengorbanan dan menahan segala macam penderitaan, sebab
itu bangsa Indonesia lahir dengan kepribadiannya sendiri yang bersamaan
lahirnya bangsa dan negara itu sendiri. Pancasila sendiri selalu menjadi pegangan
bersama saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa
Indonesia, merupakan bukti sejarah sebagai dasar kerohanian negara, dikehendaki
oleh bangsa Indonesia karena sebenarnya ia telah tertanam di kalbunya rakyat.
Oleh karena itu Pancasila merupakan dasar yang mampu mempersatukan seluruh
rakyat Indonesia.

C. Sistem Filsafat Pancasila


1. Unsur identitas dan modernitas bangsa
Secara Etimologis, istilah Pancasila menurut Muhammad Yamin berasal
dari bahasa Sansekerta “panca” yang berarti lima, dan “sila” yang dapat memiliki
dua arti: “syiila” yang berarti aturan tingkah laku yang dipandang baik atau
normal atau penting; atau “syila” yang berarti asas, dasar, atau sendi (Suhadi,
1986). Dengan demikian, Pancasila secara etimologis dapat berarti “lima dasar”
atau “lima aturan tingkah laku yang penting”. Arti kedua (syila) lebih bersifat luas
dibanding arti pertama (syiila) yang berkonotasi moral praktis dan terbatas pada
masalah tingkah laku.
Munculnya Pancasila sebagai Dasar Negara bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah melalui tahap pengusulan oleh BPUPKI, tahap perumusan juga
oleh BPUPKI, dan tahap penetapan/pengesahan oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945 di Jakarta. Pancasila memiliki beberapa makna antara lain:
a. Asas dan Dasar Negara Kebangsaan RI (Muh. Yamin, BPUPKI, 29 Mei
1945).
b. Dasar Indonesia Merdeka (Ir. Sukarno, BPUPKI, 1 Juni 1945).
c. Dasar Negara RI yang berkedaulatan rakyat (Panitia 9, BPUPKI, 22 Juni
1945).

4
d. Dasar Filsafat Negara RI yang berkedaulatan rakyat (PPKI, 18 Agustus
1945).
e. Dasar Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (RIS dan UUDS, 1950–1959).
f. Dasar Filsafat Negara RI (Dekrit Presiden RI, 5 Juli 1959).
Penerapan Teori Kausal Aristoteles (Notonagoro dalam Suhadi, 1986) untuk
menjabarkan bahan, proses, dan hasil Pancasila adalah sebagai berikut :
a. Kausa Materialis artinya faktor bahan, Pancasila digali dari nilai budaya
bangsa yang telah berusia ribuan tahun oleh para pendiri negara Indonesia
seperti: Ir.Sukarno, Muh.Yamin, dan sebagainya melalui pembahasan
bersama.
b. Kausa Formalis artinya faktor bentuk, Pancasila yang terdiri atas lima nilai
dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945.
c. Kausa Efisien artinya faktor proses, Pancasila digali dan dibahas secara
bersama oleh BPUPKI untuk kemudian disahkan perumusannya oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945.
d. Kausa Finalis artinya faktor tujuan, Pancasila bertujuan untuk dijadikan
sebagai dasar negara Indonesia.
Pandangan dari Drijarkoro (1957), Muh. Yamin (1962), Roeslan
Abdoelgani (1962), Soediman Kartohadiprodjo (1969), dan Notonagoro (1976),
menyatakan bahwa Pancasila memenuhi syarat dikatakan sebagai sebuah Filsafat,
tepatnya Filsafat Negara, karena Pancasila merupakan hasil sebuah pemikiran
secara mendalam, sistematis dan komprehensif tentang dasar kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Sunoto, 1985).

2. Satu kesatuan sila-sila Pancasila


Pendekatan ontologis akan memperjelas pengertian Pancasila secara:
Esensial, Substansial, maupun Real (Sunoto, 1985). Esensi Pancasila adalah
intisari isi dari masing-masing sila dan akan diperoleh bahwa intisari dari isi
masing-masing sila Pancasila adalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan
(Indonesia), Kerakyatan, dan Keadilan. Demikian halnya dengan esensi sila
Pancasila, antara sila kesatu sampai kelima memiliki isi pengertian yang semakin
banyak namun dengan luas pengertian yang menyempit, yakni hanya untuk
bangsa dan negara Indonesia. Secara substansial: Pancasila berasal dari dirinya
sendiri (bangsa Indonesia), bukan dari unsur yang lainnya meskipun mungkin
terdapat kemiripan. Pancasila adalah real, artinya merupakan kenyataan hidup
bangsa Indonesia, bukan sesuatu yang mengada-ada. Bukti ke-real-an Pancasila
akan dengan mudah didapatkan dalam kehidupan bangsa Indonesia pada
umumnya.
Pendekatan kosmologis terhadap pengertian Pancasila adalah bagaimana
makna pengertian Pancasila yang terbebas dari makna yang insidental: ruang,
waktu dan tempat guna menemukan maknanya yang universal (Sunoto, 1985).

5
Pancasila belum pernah dilahirkan, maksudnya bahwa Pancasila belum terwujud
secara utuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sesuai makna
filosofis yang dikandungnya.
Pendekatan Logis untuk memahami Pancasila akan menemukan kaitan yang
abstrak dan sistematis dari pola pemikiran yang ada dalam sila Pancasila. Sebagai
contoh sila Pancasila adalah satu-kesatuan yang bulat. Hal ini merupakan
keharusan logis yang terkandung dalam pengertian Pancasila, meskipun
sebenarnya bisa saja dipahami bahwa sila dalam Pancasila dapat berdiri sendiri-
sendiri. Namun karena pada dasarnya kelima unsur sila tersebut merupakan
cerminan budaya, sebagai satu kesatuan relasi antar komponen yang terdapat di
dalamnya, demikian halnya dengan Pancasila merupakan satu-kesatuan antar
komponen yang terdapat di dalamnya.

D. Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


Sistem filsafat Pancasila berbeda dengan sistem filsafat yang lain (liberal
maupun komunis). Beberapa pokok persoalan dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1. Perbedaan Sistem Filsafat Pancasila dengan Sistem Filsafat Lainnya


Liberal Komunis Pancasila
Sistem Kapitalisme: Sosialisme: Pancasilaisme:
Ekonomi - Kecilnya peran - Kecilnya peran Keseimbangan peran
pemerintah swasta pemerintah dan
- Dominannya - Dominannya swasta
swasta peran pemerintah
Sistem Politik Demokrasi Demokrasi Demokrasi
Liberal: Komunis: Pancasila:
Jaminan Ekspresi rakyat Pengaturan
kebebasan rakyat yang terkontrol kebebasan dan
untuk berekspresi kontrol
Sistem - Kebebasan - Dominasi - Keselarasan
Budaya individu kelompok Individu dalam
- Pengakuan - Pengakuan Hak kelompok
HAM Dasar - HAM yang
terkontrol

Pancasila sudah seharusnya tidak dimaknai sekedar sebagai “The Five


Principles of Ethic”, tetapi sebenarnya merupakan “The Five Principles of
Indonesian Nationality”. Yang perlu terus dipertahankan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara ini adalah bagaimana kekondusifan jati diri Pancasila ini
dapat terus dibina, ditumbuhkan dan dikembangkan, menuju Indonesia yang
berdiri sejajar dengan bangsa lain dalam suasana yang adil dan sejahtera. Itulah
pekerjaan rumah bagi setiap generasi.

6
Adapun pengimplementasian Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dapat dirinci dalam berbagai bidang sebagai berikut:
1. Implementasi Pancasila dalam bidang Politik
Kehidupan politik harus benar-benar merealisasikan tujuan demi harkat dan
martabat manusia. Pengembangan politik Negara terutama dalam proses
reformasi dewasa ini mencerminkan kepada moralitas sebagaimana tertuang
dalam sila-sila Pancasila dan esensinya, sehingga praktek-praktek politik
yang menghalalkan segala cara harus segera diakhiri.

2. Implementasi Pancasila dalam bidang Ekonomi


Di dalam dunia ilmu ekonomi terdapat istilah yang kuatlah yang menang,
sehingga lazimnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas
dan jarang mementingkan moralitas kemanusiaan. Hal ini tidak sesuai dengan
Pancasila yang lebih tertuju kepada ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang
humanistic yang berorientasi pada tujuan demi kesejahteraan rakyat secara
luas. Pengembangan ekonomi bukan hanya mengejar pertumbuhan saja
melainkan demi kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh masyarakat. Maka
sistem ekonomi Indonesia berdasarkan atas azas kekeluargaan seluruh
bangsa.

3. Implementasi Pancasila dalam bidang Sosial dan Budaya


Dalam pembangunan dan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya
disesuaikan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang
dimiliki oleh masyarakat. Dalam pengembangan nilai sosial budaya di era
reformasi dewasa ini semua pihak turut ambil bagian mengangkat kembali
nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sebagaimana nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila. Prinsip etika Pancasila pada hakikatnya
bersifat humanistik, artinya nilai-nilai pancasila berlandaskan pada nilai yang
bersumber pada harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
berbudaya.

4. Implementasi Pancasila dalam bidang Pertahanan dan Keamanan


Negara pada hakikatnya merupakan suatu masyarakat hukum. Demi tegaknya
hak-hak warga negara maka diperlukan peraturan perundang-undangan, baik
dalam rangka mengatur ketertiban warga negara maupun dalam rangka
melindungi hak-hak warga Negara. Dasar-dasar kemanusiaan yang beradab
merupakan basis moralitas pertahanan dan keamanan negara. Pertahanan dan
keamanan negara harus mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung
dalam sila-sila pancasila. Sehingga ungkapan yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah Negara berdasar atas hukum, bukan berdasar atas kekuasaan
belaka dapat terwujud adanya.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sistem filsafat adalah suatu kesatuan yang saling berkaitan yang
didasarkan pada pemikiran fundamental manusia dan dijadikan
pandangan hidup.
2. Pancasila Sebagai Filsafat adalah suatu kesatuan yang saling
berhubungan dengan satu tujuan tertentu, dan saling berkualifikasi yang
terpisahkan satu dengan yang lainnya. Jadi, pada hakikatnya pancasila
merupakan satu bagian yang saling berhubungan satu dengan yang
lainnya, dan fungsi serta tugas masing-masing.
3. Dengan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maka pancasila merupakan sebuah kompromi dan
konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia. Pancasila harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap
sila dalam Pancasila tidak dapat di-antitesis-kan satu sama lain. Selain
itu, Pancasila merupakan intelligent choire karena mengatasi keaneka-
ragaman masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya
perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara tidak
hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum
semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan
dalam seloka “Bhineka Tunggal Ika.”
4. Perbedaan pancasila sebagain sistem filsafat dengan sistem filsafat
lainnya :
a. Komunisme: Komunisme menitik beratkan pada hak negara atau hak
bersama, dengan kata lain bahwa hak individu dihilangkan
sebagaimana yang di jelaskan pada filsafat Pancasila, bahwa hak
asasi manusia dimiliki sejak lahir dan mutlak, “manusia atau setiap
individu berhak memiliki kebebasan dalam mengejar kepuasan
lahiriah dan batiniah”.
b. Liberalisme: Meskipun sama seperti di Indonesia yang
mementingkan persatuan, namun liberalisme tidak mendasarkan
pada persatuan yang ada pada negara mereka yang ada pada
Pancasila yang menyatukan antar suku, budaya, agama dan negara,
tetapi didominasi persatuan negara mereka dengan negara lain.
c. Materialisme: materialisme tidak mengakui entitas-entitas
nonmaterial seperti roh, hantu, setandan malaikat. Realitas satu-
satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari
aktivitas materi. Sangat jelas berbeda dengan filsafat Pancasila yang
mengakui adanya Tuhan, roh, hantu dan sebagainya.

8
d. Kapitalisme: kapitalisme menekankan pada persaingan antar
individu dengan menghalalkan segala cara (kecuali melanggar
peraturan negara) agar dapat memperkaya diri masing-masing tanpa
memikirkan individu yang lain. Berbeda dengan filsafat Pancasila
yang mengutamakan kebersamaan agar di peroleh kesamarataan
dalam berbagai aspek kehidupan.
e. Idealisme: Bisa disimpulkan bahwa idealisme menekankan pada
kenyataan yang kita dapatkan dari alat indra kita dan masuk di akal
pikiran manusia. Ini berarti sama saja tidak menganggap adanya
sang pencipta/ Tuhan dan berarti bertentangan dan berbeda dengan
filsafat yang ada di Indonesia, yaitu Filsafat Pancasila.

B. Saran
1. Bahwa ketika Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat
Negara, sesungguhnya nilai-nilainya telah ada dan melekat dalam diri
seluruh rakyat Bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup yaitu
berupa nilai-nilai adat-istiadat dan kebudayaan serta sebagai kausa
materialis Pancasila. Dalam pengertian inilah tentu kita harus memahami
dan mengakui bahwa antara pancasila dengan bangsa Indonesia tidak
dapat dipisahkan sebab Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia.
2. Bahwa setiap anak-anak bangsa dituntut untuk mengamalkan dan
menghayati serta melaksanakan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila, sehingga kita tidak mudah terpeleset dari perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama dan norma
kesusilaan.
3. Didalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya
kita menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita sangat
membutuhkan Pancasila sebagai pedoman, acuan dan pegangan di segala
aktivitas kita, terutama dalam menghadapi persoalanpersoalan bangsa
yang cukup pelik serta multidimensi di berbagai sendi kehidupan.
Sehingga atas semua permasalahan yang dihadapi, kita dapat
menyelesaikan dan mengatasinya secara lebih dewasa, arif dan bijaksana
demi untuk kesejahteraan dan kebahagiaan anak-anak bangsa Indonesia.

9
DAFTAR PUSTAKA

Darmaputera, Eka, Ph.D. 1997. Pancasila: Identitas Dan Modernitas; Tinjauan


Etis dan Budaya. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia.
Djamal D. 1986. Pokok-Pokok Bahasan Pancasila. Bandung: Remadja Karya.
Hasan, I. 2002. Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Lechte, J. 2001. 50 Filsuf Kontemporer, alih bahasa: A Gunawan Admiranto.
Yogyakarta: Kanisius.
Mahfud, M.D. 2012. Makna dan Implikasi Pancasila sebagai Cita Hukum Dalam
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: Institut Leimena &
Center for Indonesian Constitutional Jurisprudence & Hanns Seidel
Foundation.
Notonegoro dan Suhadi. 1986. Intisari Pancasila Yuridis Kenegaraan.
Yogyakarta: Fak. Filsafat UGM.
Pelly, U., Prof. Dr., dan A. Menanti, Dra., MS. 1994. Teori-teori Sosial Budaya,
Dirjen Dikti Depdikbud. Jakarta: Tim Penulis Jurusan PMPKN.
Santoso, L., H. Santoso, Soedarso. 2003. (de) Konstruksi Ideologi Negara.
Yogyakarta: Ningrat.
Sunoto, S.H. 1985. Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan Melalui Metafisika
Logika Etika. Yogyakarta: PT Hanindita.
Syam, M. N., Dr. 1999. Pancasila Dasar Negara Indonesia: Wawasan
Sosiokultural Filosofis dan Konstitusional. Malang: Laboratorium Pancasila
IKIP Malang.
Tobing, J. 2012. Memperkokoh Sistem Hukum Nasional Melalui Perubahan UURI
No. 10 Tahun 2004. Jakarta: Institut Leimena & Center for Indonesian
Constitutional Jurisprudence & Hanns Seidel Foundation.

10
LAMPIRAN

Lampiran 1. Soal dan Jawab

11

Anda mungkin juga menyukai