Dibuat oleh:
Bagas Rahmanto M0217019
Dza’aini Ufida M0215022
Fahmi Alhafid M0215024
Khanza Fadhilah Almas M0216041
Milka Wayandari M0216054
Muhammad Hendra M0215037
Nanda Yudi Shofi Subekti M0217053
Singgih Styo Purnomo M0215057
Zulaldi Yahya Dewangga M0215066
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia,
hidayah dan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat. Adapun maksud dan tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan
oleh dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Makalah ini ditulis dari hasil ungkapan pemikiran tim penyusun yang
bersumber dari internet dan buku sebagai referensi, tak lupa kami ucapkan terima
kasih kepada Dosen pengajar mata kuliah Pendidikan Pancasila atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa
yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Tim penyusun berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, semoga hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai
arti pentingnya Pancasila sebagai Sistem Filsafat dan semoga dapat di
implementasikan dalam kehidupan kita sehari hari. Sebagai calon pengganti
pemimpin bangsa di masa mendatang yang memahami makna serta kedudukan
dan peranan Pancasila, dan khususnya bagi tim penyusun. Memang makalah ini
masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Demikan makalah ini dapat kami buat, semoga dapat bermanfaat serta
dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi tim penyusun dan yang
membacanya.
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila adalah dasar dari falsafah negara Indonesia sebagaimana yang
tertera dalam pembukaan UUD 1945. Pancasila sebagai sistem filsafat adalah
suatu kesatuan yang saling berhubungan untuk satu tujuan tertentu yang tidak
terpisahkan satu sama lain dan memiliki fungsi serta tugas masing-masing.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia, diakui bahwa nilai-nilai pansacila adalah
sebagai falsafah hidup yang tumbuh berkembang dalam sosial-budaya rakyat
Indonesia.
Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang saling berkaitan
atau saling bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan filsafat adalah pemikiran fundamental manusia untuk mencari
nilai kebenaran terbaik yang berkembang di dalam masyarakat sehingga
dijadikan sebuah pedoman atau pandangan hidup. Dalam hal ini, nilai-nilai
Pancasila diyakini sebagai jiwa dan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, kita
perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila secara filsafat untuk mendapatkan makna
yang lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami merumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan Sistem Filsafat?
2. Apakah yang dimaksud dengan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Negara?
3. Bagaimana mengimplementasikan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
4. Apakah perbedaan Sistem Filsafat Pancasila dengan Sistem Filsafat
lainnya?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini menjelaskan sesuai dengan rumusan masalah diatas,
yaitu:
1. Mengetahui definisi sistem filsafat.
2. Mengetahui pengertian Pancasila sebagai Sistem Filsafat Negara.
3. Mengetahui implementasi Sistem Filsafat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
4. Mengetahui perbedaan Sistem Filsafat Pancasila dengan Sistem Filsafat
yang lain.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Inti Filsafat
Filsafat berasal dari kata Yunani: philos (cinta) dan sophos (pengetahuan
atau kebijaksanaan). Filsafat merupakan sebuah usaha berpikir secara rasional
(bernalar), sistematik (runtut), radikal (mendalam), komprehensif (menyeluruh),
dan universal (objektif/ intersubjektif) tentang segala sesuatu. Filsafat bersifat
rasional, artinya didasarkan atas penalaran dan argumentasi yang bertumpu pada
akal sehat. Sistematik, artinya didasarkan atas keruntutan dalam satu alur pola
pikir tertentu yang di dalamnya dihindari adanya kontradiksi internal. Radikal
artinya berpikir sampai sedalam-dalamnya, sampai kepada akar-akarnya, sampai
pada penjelasan yang tidak memerlukan penjelasan lagi. Komprehensif artinya
meninjau secara menyeluruh dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai sisi.
Universal, artinya berlaku umum, terbebas dari ruang dan waktu.
Filsafat sebagai sistem berpikir yang tersendiri biasa disebut sebagai
“mother of science”, ibu dari segala ilmu. Perkembangan pengertian tentang
filsafat dapat dirunut dari penjelasan yang dikemukakan oleh beberapa filsuf atau
kelompok filsuf sebagai berikut (Lechte, 2001) :
1. Pythagoras (580-500 SM) : Sebagai orang yang memiliki kecerdasan
matematik luar biasa, Pythagoras hanya mengaku sebagai “pencinta
pengetahuan” (philos=cinta, shopia=pengetahuan). Sebagai seorang yang
dikenal cerdik pandai, Pythagoras tidak menyombongkan diri dengan
mengaku-ngaku telah memiliki pengetahuan meskipun sebenarnya
pengetahuan yang dimilikinya tidak diragukan lagi.
2. Socrates (468-399 SM) : Socrates memandang pengetahuan tidak semata-
mata bersifat subjektif dan relatif, melainkan sebetulnya ada pengetahuan
yang objektif dan tetap, bila kita dapat menemukannya. Filsafat membantu
manusia untuk menemukan pengetahuan yang objektif dan tetap.
3. Plato (427-347 SM) : Berfilsafat sama artinya dengan membuka kembali tabir
pengetahuan sejati, abadi dan tak berubah, yaitu pengetahuan yang berasal
dari “dunia ide”, yang telah tertutupi oleh “dunia maya” yang serba berubah
dan tidak abadi dalam alam ini.
4. Aristoteles (384-322 SM) : Berfilsafat menurutnya adalah menemukan
pengetahuan yang benar dengan berpijak pada pengamatan terhadap alam ini,
bukan berpijak pada ‘alam lain’. Dengan filsafat, seseorang dapat
membedakan pengetahuan yang mendasar (substansial, pokok) dengan yang
hanya berupa penampakan (aksidensial, hanya kebetulan).
5. Al Kindi (801-865) : Filsafat dipandang tidak bertentangan dengan Al
Qur’an, justru melengkapinya. Menurutnya terdapat dua jenis pengetahuan:
pengetahuan ilahiyah (sumbernya wahyu) dan pengetahuan insaniyah
(sumbernya akal pikiran).
2
6. Descartes (1596-1650) : Ahli geometri dan penemu diagram cartesius ini
dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Filsafat dimulai dengan meragukan
segala sesuatu sampai kemudian memperoleh pengetahuan yang kokoh, yang
tidak dapat diragukan lagi, bahkan sampai akhirnya berakhir pada pengakuan
tentang adanya Tuhan.
7. Immanuel Kant (1724-1804) : Pengetahuan kita tentang sesuatu dapat dibagi
menjadi dua hal, yaitu pengetahuan tentang noumena dan pengetahuan
tentang fenomena. Noumena adalah hal yang terus mendasar tentang sesuatu,
sedangkan fenomena adalah penampakan mula dari sesuatu. Berfilsafat
adalah menyingkap noumena. Meskipun kita tidak akan pernah sampai ke
dalam noumena yang paling purna, namun kita tidak boleh terjebak oleh
fenomena. Berfilsafat juga bagaimana menemukan pengetahuan yang
“sintetis a priori”, sebagai perpaduan antara pemikiran rasional (analitis a
priori) dengan empiris (sintetis a posteriori). Pengetahuan sintesis a priori
akan mengandung pengetahuan informasi baru yang memiliki tingkat
kebenaran universal.
8. Kelompok filsuf pragmatisme : Filsafat harus berpijak pada fakta dan
kegunaan real. Nilai benar pengetahuan ditentukan sejauh mana manfaatnya
bagi manusia. Tidak ada kebenaran umum, melainkan semua memiliki
potensi untuk benar meskipun berbeda-beda.
9. Kelompok filsuf postmodernisme : Postmodernisme mengakui pluralitas
sebagai realitas. Banyaknya penjelasan (bukan hanya tunggal) yang mungkin
berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain, dapat diterima sebagai
penjelasan yang benar atau kemungkinan benar.
3
Indonesia. Pancasila sendiri terinspirasi oleh konsep humanisme, rasionalisme,
universalisme, sosio-demokrasi, sosialisme, demokrasi parlementer, dan
nasionalisme. Menurut Soekarno sendiri Pancasila merupakan filsafat asli
Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya
India (hindu), Barat (kristen), dan Arab (Islam). Filsafat Pancasila secara umum
adalah hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang
dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu kenyataan dan nilai-nilai yang
paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi
bangsa Indonesia.
Tentang fungsi filsafat pancasila bagi kita adalah Pancasila merupakan
pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak
yang sudah berurat berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia lahir sesudah melampaui perjuangan yang sangat panjang, dengan
memberikan segala pengorbanan dan menahan segala macam penderitaan, sebab
itu bangsa Indonesia lahir dengan kepribadiannya sendiri yang bersamaan
lahirnya bangsa dan negara itu sendiri. Pancasila sendiri selalu menjadi pegangan
bersama saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa
Indonesia, merupakan bukti sejarah sebagai dasar kerohanian negara, dikehendaki
oleh bangsa Indonesia karena sebenarnya ia telah tertanam di kalbunya rakyat.
Oleh karena itu Pancasila merupakan dasar yang mampu mempersatukan seluruh
rakyat Indonesia.
4
d. Dasar Filsafat Negara RI yang berkedaulatan rakyat (PPKI, 18 Agustus
1945).
e. Dasar Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (RIS dan UUDS, 1950–1959).
f. Dasar Filsafat Negara RI (Dekrit Presiden RI, 5 Juli 1959).
Penerapan Teori Kausal Aristoteles (Notonagoro dalam Suhadi, 1986) untuk
menjabarkan bahan, proses, dan hasil Pancasila adalah sebagai berikut :
a. Kausa Materialis artinya faktor bahan, Pancasila digali dari nilai budaya
bangsa yang telah berusia ribuan tahun oleh para pendiri negara Indonesia
seperti: Ir.Sukarno, Muh.Yamin, dan sebagainya melalui pembahasan
bersama.
b. Kausa Formalis artinya faktor bentuk, Pancasila yang terdiri atas lima nilai
dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945.
c. Kausa Efisien artinya faktor proses, Pancasila digali dan dibahas secara
bersama oleh BPUPKI untuk kemudian disahkan perumusannya oleh PPKI
pada tanggal 18 Agustus 1945.
d. Kausa Finalis artinya faktor tujuan, Pancasila bertujuan untuk dijadikan
sebagai dasar negara Indonesia.
Pandangan dari Drijarkoro (1957), Muh. Yamin (1962), Roeslan
Abdoelgani (1962), Soediman Kartohadiprodjo (1969), dan Notonagoro (1976),
menyatakan bahwa Pancasila memenuhi syarat dikatakan sebagai sebuah Filsafat,
tepatnya Filsafat Negara, karena Pancasila merupakan hasil sebuah pemikiran
secara mendalam, sistematis dan komprehensif tentang dasar kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Sunoto, 1985).
5
Pancasila belum pernah dilahirkan, maksudnya bahwa Pancasila belum terwujud
secara utuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sesuai makna
filosofis yang dikandungnya.
Pendekatan Logis untuk memahami Pancasila akan menemukan kaitan yang
abstrak dan sistematis dari pola pemikiran yang ada dalam sila Pancasila. Sebagai
contoh sila Pancasila adalah satu-kesatuan yang bulat. Hal ini merupakan
keharusan logis yang terkandung dalam pengertian Pancasila, meskipun
sebenarnya bisa saja dipahami bahwa sila dalam Pancasila dapat berdiri sendiri-
sendiri. Namun karena pada dasarnya kelima unsur sila tersebut merupakan
cerminan budaya, sebagai satu kesatuan relasi antar komponen yang terdapat di
dalamnya, demikian halnya dengan Pancasila merupakan satu-kesatuan antar
komponen yang terdapat di dalamnya.
6
Adapun pengimplementasian Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dapat dirinci dalam berbagai bidang sebagai berikut:
1. Implementasi Pancasila dalam bidang Politik
Kehidupan politik harus benar-benar merealisasikan tujuan demi harkat dan
martabat manusia. Pengembangan politik Negara terutama dalam proses
reformasi dewasa ini mencerminkan kepada moralitas sebagaimana tertuang
dalam sila-sila Pancasila dan esensinya, sehingga praktek-praktek politik
yang menghalalkan segala cara harus segera diakhiri.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sistem filsafat adalah suatu kesatuan yang saling berkaitan yang
didasarkan pada pemikiran fundamental manusia dan dijadikan
pandangan hidup.
2. Pancasila Sebagai Filsafat adalah suatu kesatuan yang saling
berhubungan dengan satu tujuan tertentu, dan saling berkualifikasi yang
terpisahkan satu dengan yang lainnya. Jadi, pada hakikatnya pancasila
merupakan satu bagian yang saling berhubungan satu dengan yang
lainnya, dan fungsi serta tugas masing-masing.
3. Dengan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maka pancasila merupakan sebuah kompromi dan
konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia. Pancasila harus
dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap
sila dalam Pancasila tidak dapat di-antitesis-kan satu sama lain. Selain
itu, Pancasila merupakan intelligent choire karena mengatasi keaneka-
ragaman masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya
perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar filsafat Negara tidak
hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum
semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan
dalam seloka “Bhineka Tunggal Ika.”
4. Perbedaan pancasila sebagain sistem filsafat dengan sistem filsafat
lainnya :
a. Komunisme: Komunisme menitik beratkan pada hak negara atau hak
bersama, dengan kata lain bahwa hak individu dihilangkan
sebagaimana yang di jelaskan pada filsafat Pancasila, bahwa hak
asasi manusia dimiliki sejak lahir dan mutlak, “manusia atau setiap
individu berhak memiliki kebebasan dalam mengejar kepuasan
lahiriah dan batiniah”.
b. Liberalisme: Meskipun sama seperti di Indonesia yang
mementingkan persatuan, namun liberalisme tidak mendasarkan
pada persatuan yang ada pada negara mereka yang ada pada
Pancasila yang menyatukan antar suku, budaya, agama dan negara,
tetapi didominasi persatuan negara mereka dengan negara lain.
c. Materialisme: materialisme tidak mengakui entitas-entitas
nonmaterial seperti roh, hantu, setandan malaikat. Realitas satu-
satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari
aktivitas materi. Sangat jelas berbeda dengan filsafat Pancasila yang
mengakui adanya Tuhan, roh, hantu dan sebagainya.
8
d. Kapitalisme: kapitalisme menekankan pada persaingan antar
individu dengan menghalalkan segala cara (kecuali melanggar
peraturan negara) agar dapat memperkaya diri masing-masing tanpa
memikirkan individu yang lain. Berbeda dengan filsafat Pancasila
yang mengutamakan kebersamaan agar di peroleh kesamarataan
dalam berbagai aspek kehidupan.
e. Idealisme: Bisa disimpulkan bahwa idealisme menekankan pada
kenyataan yang kita dapatkan dari alat indra kita dan masuk di akal
pikiran manusia. Ini berarti sama saja tidak menganggap adanya
sang pencipta/ Tuhan dan berarti bertentangan dan berbeda dengan
filsafat yang ada di Indonesia, yaitu Filsafat Pancasila.
B. Saran
1. Bahwa ketika Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai Dasar Filsafat
Negara, sesungguhnya nilai-nilainya telah ada dan melekat dalam diri
seluruh rakyat Bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup yaitu
berupa nilai-nilai adat-istiadat dan kebudayaan serta sebagai kausa
materialis Pancasila. Dalam pengertian inilah tentu kita harus memahami
dan mengakui bahwa antara pancasila dengan bangsa Indonesia tidak
dapat dipisahkan sebab Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia.
2. Bahwa setiap anak-anak bangsa dituntut untuk mengamalkan dan
menghayati serta melaksanakan nilai-nilai yang terkandung di dalam
Pancasila, sehingga kita tidak mudah terpeleset dari perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama dan norma
kesusilaan.
3. Didalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya
kita menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa kita sangat
membutuhkan Pancasila sebagai pedoman, acuan dan pegangan di segala
aktivitas kita, terutama dalam menghadapi persoalanpersoalan bangsa
yang cukup pelik serta multidimensi di berbagai sendi kehidupan.
Sehingga atas semua permasalahan yang dihadapi, kita dapat
menyelesaikan dan mengatasinya secara lebih dewasa, arif dan bijaksana
demi untuk kesejahteraan dan kebahagiaan anak-anak bangsa Indonesia.
9
DAFTAR PUSTAKA
10
LAMPIRAN
11