ISTISHAB
Disusun:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat-
Nya sehingga makalah yang berjudul “ISTISHAB”dapat di selesaikan. Adapun tujuan
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “USHUL FIQIH”.
Tak ada gading yang tak retak, sebagai sebuah makalah tidak lepas dari kekurangan, oleh
karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang berkepentingan,
guna penyempurnaan makalah ini. Dan kami berharap semoga makalah ini dapat digunakan oleh
pembaca dengan baik.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
BAB I ......................................................................................................... 1
PENDAHULUAN..................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
PENUTUP ................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar bekakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan
hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara umum ada 7 hukum Islam yang tidak
disepakati dan salah satu dia antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini
yaitu Istishab.
Dalam peristilaan ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan juga
sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga
peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
.
1.2 Rumusan masalah
- Apa pengertian Istishab ?
- Apa macam macam istishab ?
- Bagaimana kehujjahan istishab ?
- Bagaimana kehujjahan Istishab ?
1.3. Tujuan
- Agar dapat mengetahui apa itu istishab
- Agar dapat mengetahui apa saja macam macam istishab
- Agar dapat mengetahui bagaimana kehujjahan istishab
- Agar dapat mengetahui seperti bagaimana kehujjahan istishab
2
iii
2
BAB II
PEMBAHASAN
ﺍﻥﺍﻻﺼﻝﻓﻰﺍﻻﺸﻴﺎﺀﺍﻻﺒﺎﺤﺔ
Artinya : Sesugguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah kebolehan.
Dan ini juga sesuai dengan Firman Allah dalam Al-qu’an dalam surah Al-baqarah
ﻫﻭﺍﻠﺫﻯﺨﻠﻕﻠﻜﻡﻤﺎﻔﻰﺍﻻﺭﺽﺠﻤﻴﻌﺎ
Arinya : “Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..”(al-baqarah :29)
Kedua, Istishab yang melangsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil,
dan tidak ada dalil yang lain yang mengubahnya, misal, jika seorang telah berwudhu, kemudian
ragu –ragu apakah wudhunya telah batal atau belum maka ia dihukumi belum batal, dengan
dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakini. Adapun kaedah yang dibangun oleh ulama
yang berhubungan dengan hal ini yaitu :
ﺍﻠﻴﻗﻴﻥﻻﻴﺯﺍﻝﺒﺎﻠﺸﻙ
Artinya : Sesuatu yang meyakinkan tidak hilang karena keraguan.
Walaupu ulama yang lain menberikan tanggapan yang berbeda pula mengenai macam-
macam istishab, mereka ada yang membagi istishab kedalam tiga macam, namun hal ini tidak
menjadi persoalan karena semua macam-macam istishab tersebut yang diungkapkan oleh para
ulam memiliki makna yang sama sama
3
2.2 Macam-macam lain Istishab
Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian disepakati
dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah:
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh selama
belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan di hutan adalah
merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang berhak menebang dan
memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut
telah menjadi milik sesorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini, maka hukum kebolehan
memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli
ushul fiqih dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai
adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya
masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya dianggap masih ada karena
keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasul “ Jika
seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau
tidak, maka sekali- kali janganlah ia keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu
mendengar suara atau mencium bau kentut. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih. Inu Qayyim al-
Jauziyyah berpendapat bahwa Istishab seperti ini dapat dijadikan hujjah.
Ulama’ Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya bisa dijadikan hujjah untuk
menetapkan dan menegaskan hukum yang telah ada, dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk
hukum yang belum ada.
4
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh
nash atau dalil, dan dalil itu merujukkan bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil
yan laing yang membatalkannya2.
Sedangkan Ulama Malikiyah menolak istishab sebagai hujjah dalam beberapa kasus, seperti
kasus orang yang ragu terhadap keutuhan wudhunya. Menurut mereka dalam kasus seperti ini
istishab tidak berlaku, karena apabila sesorang merasa regu atas keutuhan wudhunya sedangkan
sedangkan di dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu kembali dan
mengulangi shalatnya.
3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang menghususkannya
dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh(yang membatalkannya). Contoh istishab
dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya.
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi
umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus
seperti ini menurut Jumhur ulama’ ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut ulama ushul
fiqih lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkankaidah bahasa.
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’. Seperti
tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia,sampai
datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain
bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban
untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup, maka tergugat bebas dri
tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat. Istishab seperti ini
diperselisihkan menurut ulama Hanafiyah, istishab dalambentuk ini hanya bisa menegaskan
hukum yang telah ada, dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syati’iyah, dan Hanabilah, istishab seperti ini juga dapat
menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang
akan datang.
2 Prof., Khallaf Abdul Wahhab Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utam, 1994). Hlm. 12
5
5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Istishab sepeti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujahannya. Misalnya para ulama
fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum
untuk mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat, ia melihat ada air, apakah shalat harus
dibatalkan ?
Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya,
karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka
mengaggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus
membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum
dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya unruk berwudhu. Mereka tidak
menerima ijma’ karena ijma’ menurut mereka hanya terkait denganhukum sanya shalat bagi
orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.
Mengenai kehujjahan Istishhab para ulama berbeda pendapat ada yang menerima al-istishhab
dan ada yang menolak al-istishhab. Argumen ulama yang menerima Istishhab adalah bahwa
dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku di
antara mereka, ia dapat dijadikan dasar menentukan hokum tersebut selama tidak ada dalil yang
mengubahnya, hal ini sesuai dengan Al-quran surah Al-barah ayat 29.
Ulama yang menerima al-istishhab dapat dibedakan menjadi tiga :
a. Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iah dan hanafiah
berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada nas atau dalil dari Al-
quaran,hadist, ijmak,qias. hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang
mengubahnya
6
b.Sebagian ulama Hanafi’ah dan Syafi’ah.berpendapat bahwa istishhab bukankah dalil untuk
menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan untuyk
menentukan hukumnya sekarang ini, ia memerlukan dalil3.
c. Jumhur ulama hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menetapkan (dirinya
sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain.
Sedangkan argument ulama yang menolaknya adalah bahwa penentuan halal, haram, dan
sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil itu tidak dapat kecuali dari “syari’’. Dalil-dalil syari
tercakup dalam nas Alquran dan Sunnah, ijmak, dan Qias. Dan istishhab tidak masuk dalil syari.
Istishhab merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Dan para ahli ilmu ushul figih berkata
seungguhnya istishhab merupakn akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum
terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang
mengubahnya.
Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya
melangsungkan berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-
ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab
terjadinya hukum. Oleh karena itu istishab hanya menjadi hujjah untuk melangsungkan hokum
yang telah ada, tidak untuk menetapkan hukum baru yang sebelumnya belum ada.
3 Prof., Khallaf Abdul Wahhab Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utam, 1994). Hlm. 18
7
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah
dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B
ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah
terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun
mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
8
9
9
BAB II
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Istishab merupakan landasan hukum yang masih diperselisihkan akan tetapi kita sebagai umat
Islam sepatutnya kita mempelajari dan mengatahui setiap hukum-hukum yang ada.
2. Istishab merupakan suatu hukum yang menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaanya
semula selama belum terbukti sesuatu yang mengubahnya.
3.Dalam melihat hukum istishab, kita jangan melihat jangan melihat dari satu sudut pandang
saja, akan tetapi mempejari secara cermat mengenai seluk belukistishab itu sendiri.
3.1. Saran
1. Penulis berharap semoga makalh ini bermanfaat untuk bagi para pembaca, khususnya
mahasiswa, guna dapat meningkatkan pemahaman bagi pembaca dalam membuat makalah.
2. Penulis berharap adanya kritik dan saran dari pembaca, karena penulisan makalah ini tentunya
masih terdapat banyak kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA