Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

Appendisitis Akut

Pembimbing
dr.Diah Asih Lestari, SpB
dr. Michael, SpB
dr. Rino M, SpB

Disusun oleh
Grace Vanny Sayow
11.2015.204

KEPANITERAN KLINIK ILMU KESEHATAN BEDAH


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT TARAKAN
PERIODE 24 April 2017 – 01 Juli 2017
STATUS ILMU KESEHATAN BEDAH

1
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk - Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus :
RUMAH SAKIT: RSUD TARAKAN
JAKARTA

Nama: Grace Vanny Sayow


NIM: 112015204
Periode: 24 April 2017 s/d 1 July 2017
Pembimbing / Penguji : dr. Michael, SpB, dr.Diah Asih Lestari, SpB, dr. Rino M, SpB

Tanda Tangan

...........................

IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : An. T Jenis kelamin : Laki - laki

Tempat/tanggal lahir : Jakarta 13/09/2005 Suku Bangsa : Jawa

Status Perkawinan : Belum Menikah Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar Pendidikan : SD

2
Alamat : Jalan Petojo Utara II Tanggal Masuk RS : 6 Mei 2017

II. ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis,tanggal : 6 Mei 2017

Keluhan utama:

Nyeri di perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Os datang ke UGD RS.Tarakan dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak pagi
hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan mendadak di perut bagian kanan bawah.
Mual, muntah dan demam disangkal oleh pasien. Tidak ada penurunan napsu makan. Pasien
mengaku sulit BAB Karena feses keras, selain itu pasien juga mengaku jarang makan sayuran
dan buah buahan, namun tidak mengeluarkan lendir maupun darah, BAK pasien tidak
mengalami keluhan seperti nyeri pada saat buang air kecil dan mengeluarkan batu maupun
darah pada saat kencing.Os juga masih dapat mengeluarkan kentut. Pasin mengaku riwayat
menstruasinya tidak teratur

Kemudian pasien dibawa ke RSUD tarakan. pasien mengatakan untuk lebih enak
berjalan sambil membungkukan badan dibandingkan harus berjalan tegap. Pasien
sebelumnya pernah mengalami hal yang sama empat tahun lalu di seluruh perut bagian
bawah, tetapi pada saat dilakukan usg tidak terdapat kelainan.

Penyakit Dahulu (Tahun, diisi bila ya ( + ), bila tidak ( - )

(-) Wasir/hemorroid(-) Appendisitis(-) Penyakit jantung bawaan

(-) Batu ginjal / Saluran kemih(-) Tumor(-) Perdarahan Otak

(-) Burut (Hernia)(-) Penyakit prostat(+) Gastritis

(-) Typhoid(-) Diare Kronis(-) Hipertensi

(-) Batu empedu(-) Diabetes mellitus(-) Penyakit pembuluh darah

(-) Tifus abdominalis (-) ISK(-) Kelainan kongenital

3
(-) Ulkus Ventrikulis(-) Colitis(-) Volvulus

(-) Tuberkulosis (-) Tetanus(-) Abses Hati

(-) Invaginasi(-) Hepatitis (-) Patah tulang

(-) Penyakit degeneratif(-) Fistel(-) Luka bakar (-) Struma, tiroid

Lain Lain: (-) Operasi

(-) Kecelakaan

Riwayat Keluarga

Umur Penyebab
Hubungan Jenis Kelamin Keadaan Kesehatan
(Tahun ) Meninggal

Kakek - Laki - laki Sudah meninggal -

Nenek - Perempuan Sudah meninggal -

Ayah Laki – laki Sehat -

Ibu Perempuan Sehat -

Adakah kerabat yang menderita :

Penyakit Ya Tidak Hubungan

Alergi - -

Asma - -

Tuberkulosis - -

Artritis - -

Rematisme - -

Hipertensi -

Jantung - -

4
Ginjal - -

Lambung - -

Riwayat Hidup

Riwayat Kelahiran

Tempat lahir : (+) Di rumah(-) Rumah Bersalin(-) R.S. Bersalin

Ditolong oleh : (-) Dokter(+) Bidan(-) Dukun(-) Lain-lain

Kehidupan keluarga

Adakah kesulitan :

Keuangan: -

Keluarga: -

Lain-lain: -

Riwayat Imunisasi (orang tua tidak mengingat riwayat imunisasi)

(-) Hepatitis(-) BCG(-) Campak(-) DPT(-) Polio(-) Tetanus

Riwayat makanan

Frekuensi/hari: 3x/hari

Jumlah/hari: cukup

Variasi/hari: bervariasi
5
Nafsu makan: baik

II. ANAMNESIS SISTEM

Catat keluhan tambahan positif disamping judul - judul yang bersangkutan

Harap diisi: Bila ya (+), bila tidak (-)

Kulit

(-) Bisul(-) Rambut(-) Keringat malam

(-) Kuku(-) Kuning / Ikterus(-) Sianosis

Kepala

(-) Trauma(-) Sakit Kepala(-) Nyeri pada sinus

Mata

(-) Merah (-) Trauma (-) Kuning/ikterus

(-) Sekret(-) Nyeri(-) Ketajaman penglihatan

Telinga

(-) Nyeri(-) Gangguan pendengaran

(-) Sekret(-) Tinitus

Hidung

(-) Rhinnorhea(-) Trauma(-) Epistaksis

(-) Nyeri(-) Tersumbat(-) Benda asing/foreign body

(-) Sekret(-) Gangguan penciuman

Mulut

(-) Bibir(-) Lidah

(-) Gusi(-) Mukosa


6
Tenggorokan

(-) Nyeri tenggorokan(-) Perubahan suara

Leher

(-) Benjolan(-) Nyeri leher

Thorax (Cor dan Pulmo)

(-) Sesak napas (-) Nyeri dada (-) Batuk darah

(-) Batuk (-) Mengi(-) Berdebar-debar

Abdomen (Lambung/Usus)

(-) Mual(-) Tinja berdarah (-) Konstipasi

(-) Diare(-) Benjolan(+) Nyeri kolik

(+) Nyeri epigastrium(-) Muntah (-) Tinja berwarna dempul, bising usus (+ normal) nyeri
lepas (+) nyeri kontralateral (+)

Saluran kemih/Alat kelamin

(-) Disuria(-) Hematuria (-) Kolik

(-) Hesistancy(-) Nokturia(-) Retensio urin

(-) Kencing batu (-) Urgency

Saraf dan otot

(-) Riwayat Trauma(-) Nyeri(-) Bengkak

Ekstremitas

(-) Bengkak(-) Deformitas

(-) Nyeri(-) Sianosis

BERAT BADAN

7
Berat badan rata-rata (Kg) : 47 kg

Berat badan tertinggi (Kg) : -

Berat badan sekarang: 50 kg

(+) Tetap(-) Turun(-) Naik

III. STATUS GENERALIS

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda-tanda vital :

TD: 110/70 mmHg HR: 99x/menit RR: 18x/menit S: 38C

Kepala: tidak ada deformitas

Mata: pupil isokor, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Telinga: MAE lapang, sekret -/-

Hidung: sekret -

Tenggorokan: T1 – T1 tenang, faring tidak hiperemis

Leher: KGB dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar

Thoraks

Paru-paru

Inspeksi: kedua paru simetris pada keadaan statis dan dinamis

Palpasi: tidak ada nyeri tekan

Perkusi: sonor di kedua lapang paru

Auskultasi: suara nafas vesikuler, ronkhi-/-, wheezing -/-

Jantung
8
Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi: tidak ada nyeri tekan

Perkusi: jantung dalam batas normal

Auskultasi: BJ I dan II reguler, gallop -, murmur -

Abdomen

Inspeksi: tampak datar, lesi (-), benjolan (-), pembuluh darah (-)

Palpasi:

Dinding Abdomen: Nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri tekan McBurney (+), Rovsing’s Sign
(-), Nyeri lepas (-), Psoas Sign (-), Obturator Sign (-), defence muscular (-)

Hati: tidak teraba

Limpa: tidak teraba

Ginjal: ballotement -, nyeri ketok CVA –

Perkusi: timpani

Auskultasi: bising usus (+)

Alat Kelamin (atas indikasi) : tidak ada indikasi

Colok Dubur: tidak diperiksa

Ekstremitas (lengan & tungkai)

Tonus : normotonus

Massa : dalam batas normal

Sendi : dalam batas normal

Kekuatan : + + Sensoris : + +

9
+ + + +

Edema : - - Sianosis : - -

- - - -

Refleks

Kanan Kiri

Refleks Tendon Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Bisep Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Trisep Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Patella Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Achiles Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Kulit Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Refleks Patologis Tidak diperiksa Tidak diperiksa

IV. STATUS LOKALIS

Inspeksi : tampak datar, lesi (-), benjolan (-), pembuluh darah (-)

Palpasi :

Dinding Abdomen : Nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri tekan


McBurney (+), Rovsing’s Sign (-), Nyeri lepas (+), Psoas Sign (-), Obturator
Sign (-), defence muscular (-)

Hati : tidak teraba

Limpa : tidak teraba

Ginjal : ballotement -, nyeri ketok CVA –

Perkusi : timpani

10
Auskultasi : bising usus (+)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

Laboratorium tanggal 1 juli 2017

Nama Test Hasil Flag Unit Nilai Rujukan

11
HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hemoglobin 13,3 g/dL 13 – 18

Hematokrit 39,3 % 40 – 50

Eritrosit 4,42 Juta/uL 4,5 – 5,5

Lekosit 16.790 * /mm3 4.000 – 10.000

Trombosit 267.700 /mm3 150.000 – 450.000

HEMOSTASIS

Bleeding time 2 menit <5 menit

Cloating time 13 menit <15 menit

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 141 mEq/L 135-150

Kalium 3,7 mEq/L 3,6 – 5,5

Klorida 104 mEq/L 94 - 111

Gula Darah

GDS 888 mg/dL <140

Fungsi Ginjal

Ureum 12 mg/dL 15 – 50

Kreatinin 0,65 mg/dL 0,6 – 1,3

12
VI. RINGKASAN (RESUME)

Anamnesis

Seorang wanita berusia 19 tahun datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan bawah sejak
pagi hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri yang diras dirasakan seperti ditusuk – tusuk dan
terus menerus. pasien tidak mengalami mual maupun muntah, juga tidak mengalami demam.
Tidak ada penurunan napsu makan. Pasien memiliki riwayat menstruasi yang tidak teratur
BAB kurang lancar pasien juga mengaku jarang makan makanan yang mengandng serat
seperti sayur dan buah, pasien mengaku sering mengalami konstipasi tetapi BAK pasien tidak
mempunyai keluhan. . pasien mengatakan untuk lebih enak berjalan sambil membungkukkan
badan dibandingkan harus berjalan tegap. pasien sebelumnya pernah mengaku nyeri pada
seluruh perut bawah tetapi pada pemeriksaan penunjang usg tidak ditemukan kelainan,

13
Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum Os tampak sakit sedang dengan
kesadaran compos mentis dengan TD: 110/70 mmHg HR: 99x/menit RR: 18x/menit S:
37C ,Bising Usus (+) nyeri tekan McBurney (+), Rovsing (+), Psoas (-), Obturator(-).

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukositosis dengan leukosit 17.600/mm3

VII. DIAGNOSIS KERJA

Pra bedah : Apendisitis Akut

Dasar Diagnosis :

Pada anamnesis didapatkan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Os merasa nafsu
makan menurun dan saat berjalan terasa lebih enak dengan membungkukkan badan
dibadingkan jalan tegap. Tidak ada keluhan BAB dan BAK.os juga sudah berobat ke
puskesmas tapi keluhan tidak berkurang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
McBurney (+) Rovsing (+) Blumberg (-) Obturator (-) Psoas (-) defans muskular (-).Pada
pemeriksaan penunjang didapati leukositosis dengan leukosit berjumlah 17.600 /mm3 . Menurut
pemeriksaan Skor Alvarado, jumlah total dari klinis OS adalah 7, yang berarti sangat
mungkin apendisitis akut.

Pasca bedah : Post Operasi Appendiktomi ec Appendisitis Akut

Dasar Diagnosis :

Pada saat pembedahan tampak apendiks dengan dilatasi dari a.apendikularis disertai dengan
fekalith (+)

VIII. DIAGNOSIS DIFERENSIAL

1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.7

2. Limfadenitis mesenterica
14
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri
perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-
muntah.7
3. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-
kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada
diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.7
4. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen
atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.7

IX. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

 Ring AS 1000cc/hari

 Cefuroxime 2x1 gram

 Ranitin 2 x ½ ampl

 Ketorolac 3 x 30 mg

Tindakan

 Pro Apendektomi

 Post Operasi Appendiktomi ec Appendisitis Akut

Laporan Pembedahan

Diagnosa Pra Bedah : Appendisitis Akut

Tindakan Operasi : Appendictomy

15
Tanggal Operasi : 6/5/2017

Jam Operasi 13:40 , Selesai Operasi 14.30

Lama Operasi : 50 menit

 Pasien terlentang di atas meja operasi, setelah dibius spinal. Di PF ulang.

 Appendiks letak retrocaecal , colon, jejunum-- appendectomy

 Cuci rongga abdomen dengan NaCl 0,9%.

 Tutup luka operasi lagi dan lagi.

 Operasi selesai

X. PROGNOSIS

 Ad vitam : ad bonam

 Ad fungsionam : ad bonam

 Ad sanationam : ad bonam

XI. FOLLOW UP

7 Mei 2017

S : Nyeri bagian di operasi

O : KU lemah, tampak sakit sedang, flatus (+), BAB (-), BAK (+)

TD : 110/70 mmHg RR : 22x/menit

Nadi : 80x.menit Suhu : 37,20C

Abdomen : datar, nyeri tekan (+), Bising usus (+)lemah, luka operasi terbalut
duoderm, rembes (-)

A : Post operasi appendectomy


16
P :Lanjut intervensi

Ring AS 1000cc/hari

 Cefuroxime 2x1 gram

 Ranitin 2 x ½ ampl

 Ketorolac 3 x 30 mg

Jam 15.00 mulai mobilisasi , duduk s/d jalan

Bila BU (+) –diet lunak (bubur)

8 Mei 2017

S : Sudah mulai bisa jalan, Nyeri di bagian operasi (+)

O : KU compos mentis, tampak sakit ringan, flatus (+), BAB (-)

TD : 120/80 mmHg RR : 21x/menit

Nadi : 80x/menit Suhu : 370C

Abdomen : datar, nyeri tekan (+) tapi dirasakan berkurang, Bising usus (+), luka
operasi terbalut duoderm, rembes (-)

A : Post operasi laparotomi apendisektomi

P : Terapi lanjut & mobilisasi jalan

Aff infus

Rawat jalan

TINJAUAN PUSTAKA

17
Apendisitis Akut

TINJAUAN PUSTAKA

Appendisitis Akut

1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis akut adalah
penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen,
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Apendisitis adalah kondisi dimana
infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi
banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.
Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika
umbai cacing yang terinfeksi hancur atau pecah.5
2. Anatomi dan Fisiologi

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 8-10 cm (kisaran 3-


15cm), dan berpangkal di sekum dengan keterlibatan dari taenia coli. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu.6

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan
mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan
kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan
pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal,
maka tidak tertutup oleh peritoneum viseral.6

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika


superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks
berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene.6

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan
18
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh.6

Gambar 1. Anatomi Apendiks Gambar 2. Histologi Apendik

3. Epidemiologi
Apendisitis akut terjadi dengan kemungkinan 8,6% pada laki-laki dan 6,7% pada
perempuan. Paling sering terjadi pada umur antara 10-30 tahun dengan perbandingan laki-
laki:perempuan 1.4:1. Apendisitis merupakan suatu keadaan yang harus diperhatikan apabila
terdapat nyeri perut kanan bawah. Resiko apendisitis pada setiap orang sekitar 7% dan
biasanya membutuhkan operasi sebagai terapi utama. Insiden apendisitis secara umum sekitar
11 kasus per 10.000 populasi per tahun. Apendisitis dapat terjadi pada semua umur, meskipun
sedikit jarang pada umur yang sudah terlalu tua. Terdapat peningkatan insidens pada kulit
putih di umur 15-30 tahun sebesar 23 orang per 10.000 populasi per tahun.7
4. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetusnya. Di samping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapa menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica.6
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya
appendisitis akut.6
19
5. Patofisiologi
Penyebab dari apendisitis adalah obstruksi dari lumen apendiks dan terjadinya infeksi
dari bakteri. Obstruksi lumen dapat menimbulkan peningkatan dan retensi dari mukus. Jika
terjadi infeksi bakteri, maka selanjutnya akan terjadi peningkatan tekanan intralumen, yang
akan mengarah ke gangguan aliran limfatik yang menyebabkan pembengkakan dari apendiks.
Proses ini mengarah ke apendisitis akut, ditandai dengan distensi dari dinding apendiks dan
sumbatan pembuluh darah (apendisitis catarrhal). Jika proses ini terus berlanjut, apendiks
yang oedem dan sumbatan pada pembuluh darah lama kelamaan akan menimbulkan abses
multipel pada dinding apendiks serta cairan purulen pada permukaan serosa (apendisitis
phlegmonous). Cairan eksudat fibropurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut
ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan seperti usus atau dinding abdomen,
menyebabkan peritonitis lokal.5,8
Jika proses ini terus berlanjut dan terjadi disfungsi pada sirkulasi lokal, akan
mengakibatkan infark pada pertemuan antara mesoapendiks dan apendiks, dimana suplai
pembuluh darah tidak adekuat. Akhirnya, apendiks menjadi menggelap karena tidak
mendapat aliran darah dengan area hitam yang sudah nekrosis (apendisitis gangrenosa). Jika
terjadi perforasi pada jaringan dinding yang nekrosis, apendisitis menjadi lebih sulit dengan
adanya peritonitis perforasi. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi radang proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk
massa periapendikuler. Biasanya peritonitis terlokalisir di bagian ileosekal. Pada anak-anak,
dimana omentum belum berkembang dengan sempurna, komplikasi yang sering terjadi
adalah peritonitis yang difus.8
6. Manifestasi Klinik
Pasien dengan apendisitis biasanya terdapat kemerahan di bagian wajah, dengan lidah
yang kering dan muncul bau mulut. Dapat juga terjadi demam (sampai 38°C) dengan
takikardi. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium dan sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual
dan muntah. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini
nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.5
 Nyeri tekan yang paling maksimal biasanya berada pada titik McBurney, yang
terletak pada 1/3 dari panjang antara SIAS kanan menuju umbilikus.9
 Pemeriksaan lain dengan rovsing sign ialah palpasi pada kuadran kiri bawah akan
menimbulkan nyeri pada kuadran kanan bawah.
 Blumberg sign atau nyeri lepas biasanya positif karena rangsangan periotneum.
Terjadi karena adanya perpindahan tekanan pada periotneum.9
20
 Defans muskuler terjadi karena rangsangan m. Rektus abdominis yang
merupakan nyeri tekan seluruh lapang abdomen yang menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietalis.9
 Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan
penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya
nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.5
 Psoas sign dengan hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi
panggul kanan akan menimbulkan nyeri. Psoas sign terjadi karena adanya
rangsangan m. Psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.5
 Obturatur sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan
kemudia dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif. Terdapat nyeri apabila
apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator interna. Biasanya
nyeri ini terjadi pada apendisitis letak pelvis atau hipogastrium.5
 Pada perkusi akan terdapa nyeri ketok.
 Pada auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada ileus
paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
 Pada pemeriksaan colok dubur akan terdapat nyeri pada jam 9-12.5
Nyeri perut, demam, dan penurunan nafsu makan adalah gejala yang klasik pada
apendisitis.8

Gambar 3. Pemeriksaan Psoas sign dan Obturator sign

7. Diagnosis
Metode skoring untuk menentukan diagnosis bisa menjadi suatu alat dalam pengambilan
keputusan. Pada sebuah penelitian, alvarado score bisa memprediksi apendisitis dengan
meminimalisasikan faktor negatif. Alavardo score merupakan suatu alat ukur yang lebih
akurat, sederhana, dan lebih ekonomis dalam pengambilan keputusan diagnosa. Sistem
penilaian apendisitis yang lain adalah RIPASA yang dipercaya memiliki hasil penilaian yang
lebih baik pada wilayah Asia. Penilaian RIPASA lebih sensitif tetapi kurang spesifik daripada
alvarado score. Prediksi nilai positif pada alvarado score lebih tinggi dibanding RIPASA dan

21
prediksi nilai negatif alvarado score lebih rendah daripada RIPASA. Ketepatan dari diagnosa
non apendisitis lebih tinggi pada RIPASA dibandingkan dengan alvarado. 1,10
Dari anamnesis pada pasien apendisits didapatkan keluhan utama yaitu nyeri perut, ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran
cerna, sehingga nyeri viseral terjadi pada seluruh perut. Pasien mengeluh nyeri di bagian
tengah perut sangat terasa pada 24 jam pertama dengan nyeri yang konstan, tajam, dan
berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri abdomen yang muncul biasanya dipicu dari
persarafan viseral usus. Sedangkan nyeri yang terlokalisir disebabkan oleh keterlibatan dari
peritoneum parietalis setelah terjadinya proses inflamasi. Perpindahan nyeri ini merupakan
suatu ciri khas dari apendisitis dengan sensititvitas dan spesifisitas sekitar 80%. Penurunan
nafsu makan juga merupakan keluhan yang dominan disertai konstipasi dan mual muntah.1,5,9
Muntah biasanya terjadi karena rangsangan viseral yang terjadi akibat aktivasi n.vagus.
Muntah yang berkelanjutan biasanya mengindikasikan perkembangan dari peritonitis setalah
terjadi perforasi, tetapi jarang terjadi pada apendisitis akut. Gejala lain adalah demam yang
tidak terlalu tinggi, antar 37,5-38,5°C. Demam muncul karena adanya proses infeksi akut.
Tanda dan gejala pada apendisitis sangat sulit dibedakan dengan etiologi lain, tetapi
perpindahan nyeri dari bagian tengah abdomen ke kuadran kanan bawah bisa menguatkan
diagnosa apendisitis. Pada inspeksi biasanya penderita berjalan membungkuk sambil
memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian
kanan bawah terlihat pada apendikuler abses.5,9
 Pada apendisitis dengan letak retrosekal (75%), nyeri perut kanan bawah terjadi

disertai dengan nyeri tekan pada pemeriksaan fisik. Nyeri tekan dalam dan kekakuan dari otot
jarang terjadi karena adanya perlindangan dari sekum. Otot psoas mungkin akan terganggu
pada apendistis posisi ini, karena apabila dilakuakn psoas sign, otot psoas akan menyenggol
bagian dari apendisits yang menyebabkan nyeri.9
 Apendisitis subsekal dan pelvis (20%) biasanya akan timbul nyeri suprapubik dan

gangguan frekuensi miksi yang meningkat. (2) Juga mungkin terjadi diare karena adanya
iritasi pada rectum. Nyeri pada perut mungkin tidak terlalu terasa, tetapi nyeri pada saat colok
dubur atau vagina akan sangat terasa di bagian kanan. Hematuri mikroskopis dan leukosit
mungkin akan terdeteksi pada analisis urin.9
 Pada apendiks dengan letak retroileal dan ileosekal (5%), tanda dan gejala mungkin

sangat minimal, manifestasi yang menonjol ialah muntah dan diare yang dihasilkan dari
iritasi pada ileum distal.9

22
Gambar 4. Posisi Apendiks

Tidak ada pemmeriksaan penunjang yang spesifik pada apendisitis. Penentuan


apendisitis lebih ditekankan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan seperti laboratorium darah dan urin menunjukkan adanya proses
inflamasi dan menyingkirkan diagnosis yang lain. Pada pemeriksaan urin 40% menunjukkan
kelainan, tes kehamilan untuk menyingkirkan adanya kehamilan, pemeriksaan darah biasanya
menunjukkan neutrofil >75% akan muncul pada 80-90% apendisitis. Leukosit biasanya
meningkat diatas 10.000/mm3.8,9
Pemeriksaan radiologi apendikogram berupa foto barium usus buntu dapat melihat
terjadinya sumbatan atau adanya kotoran didalam lumen usus buntu. Penggunaan
ultrasonografi (USG) dan computed tomography scan (CT-scan) dalam penegakan diagnosa
apendisitis sudah ditentukan hanya akan dilakukan pada pasien yang keluhan, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratoriumnya tidak mendukung apendisitis. USG adalah
pemeriksaan radiologi yang bergantung pada operatornya dan membutuhkan keahlin khusus,
beberapa penelitian menyarankan CT-scan karena menghasilkan diagnosa yang lebih akurat.
USG bisa mendiagnosa apendisitis dengan sensitivitas 86% dan spesifitas 81%, sedangkan
CT-scan memiliki sentivitas 98,5% dan spesifitas 98% dalam mendiagnosa apendisitis.4,5,9,11
ALVARADO SCORE
Sistem skor alvarado terdiri dari tiga gejala, tiga tanda, dan dua hasil laboratorium.
Alvarado membagi skor ke dalam tiga grup. Skor <=4 bukan apendisitis, 5-6 curiga
apendisitis, >=7 kemungkinan besar apendisitis, sebaiknya dilakukan apendiktomi.1

23
Tabel 1. Skor Alvarado

RIPASA
Sistem skor Alvarado pada populasi Asean hanya memiliki sesnsitivitas dan spesifisitas
sebesar 59% dan 23 %. Pada penilaian RIPASA yang lebih baik pada daerah Asia.
Merupakan corin coring kualitatif yang mudah dengan 14 parameter klinis ( 2 demografi, 5
gejala klinis, 5 tanda klinis, dan 2 investigasi klinis) dan 1 parameter tambahan.

Tabel 2. Skor RIPASA (Rumah Sakit Raja Istri Pengiran Anak Saleha)

8. Klasifikasi Apendisitis2

Klasifikasi apendisitis seperti phlegmon, abses atau peritonitis difus saat ini sudah jarang
digunakan karena ada sistem klasifikasi yang baru berdasarkan manifestasi klinis dan
pemeriksaan penunjang. Pemilihan tatalaksana untuk kasus apendisitis tidak selalu dengan
operasi, maka dari itu dibutuhkan klasifikasi apendisitis yang lebih baik. Sangat ideal apabila
klasifikasi apendisitis disertakan dengan manifestasi klinis, radiologi dan penemuan
laparoskopik.
24
 Grade 0 – Apendiks terlihat normal (Endoapendisits/Periapendisitis)
Grade 0 mengarah kepada kasus yang sering ditemukan, dimana pasien memiliki
diagnosa apendisitis dan laparoskopi menunjukkan “apendisitis terlihat normal”.
Pada kasus seperti ini, apabila apendiks terlihat normal, tetapi penyakit lain
menyebabkan gejala pada pasien, maka apendiks tidak perlu diangkat. Situasi
semakin sulit apabila apendiks terlihat normal, dan tidak ada penyakit lain yang
menyebabkan gejala.
Jika tanda dan gejala mengindikasikan apendisitis, kebanyakan dokter bedah akan
menyarankan dilakukan apendiktomi karena pada apendisitis stadium awal, inflamasi
mungkin hanya terkena pada bagian lapisan intramural.

Gambar 5. Apendiks terlihat normal

 Grade 1 - Apendiks inflamasi


Klasifiikasi derajat 1 menilai inflamasi pada apendiks dan kavum abdomen. Derajat
infeksi pada daerah operasi juga ikut dievaluasi. Sekitar 10% pasien dengan apendiks
yang hiperemis, bengkak dan memiliki eksudat akan menimbulkan peningkatan
eksudat cairan pada kavum abdomen. Eksudat yang diambil dan diperiksa
mengandung bakteri gram-negative pada 10% kasus. Data ini menunjukkan,
setidaknya apendisitis akut dapat memiliki komplikasi berupa peritonoitis setelah
pembedahan dan juga abses intraabdominal setelah apendiktomi sederhana, terutama
bila pasien tidak diberikan antibiotik profilaksis.

Gambar 6. Apendiks Hiperemis dan Edem


 Grade 2 – Nekrosis

25
Apendisitis grade ini ialah apendisitis dengan komplikasi mengarah ke gangren
dan/atau perforasi, yang akan meningkatkan kemungkinan peritonitis. Pada grade 2A,
nekrosis terjadi pada apendiks dengan atau tanpa eksudasi. Kebanyakan pasien tidak
mengalami perbaikan gejala klinis dan akan dioperasi keesokan harinya. Yang lebih
penting ialah, derajat ini memiliki keluhan yang hampir sama dengan derjat 0 dan 1.
Biasanya pasien dengan derajat ini mendapatkan terapi antibiotik 3-5 hari dan
komplikasi post-operasi sangat jarang terjadi. Antibiotik yang diberikan post-
apendiktomi selama 3 hari akan efektif selama 5 hari untuk menurunkan resiko
infeksi. Pada derajat 2B, nekrosis terjadi juga pada bagian dasar dari apendiks yang
memiliki hubungan dengan dinding sekum.

Gambar 7. Apendiks Nekrosis

 Grade 3 - Tumor-Inflamasi
Terkadang, inflamasi dari apendiks tertutupi oleh mekanisme pertahanan dari pasien.
Pertahanan dengan inflamasi phlegmon, abses dengan diameter yang bervariasi yang
muncul beberapa hari setelah gejala timbul. Pada kenyataannya, tumor inflamasi
pada abdomen kuadran kanan bawah menunjukkan setidaknya 3 derajat fisiopatologi
dari apendisitis akut. Phelgmon, tumor inflamasi dengan diameter abses <5cm dan
>5cm. Pertimbangan pasien tergantung dari sudut pandang pasien terhadap penyakit,
patofisiologi, tatalaksana, komplikasi, kekambuhan dan prognosis dari apemdisitis
akut. Karena kita menganalisa pasien dengan penyakit yang akut-subakut, dengan
derajat ini pasien yang bergejala bisa sudah ada keluhan sejak 7 hari atau lebih.
Pasien derajat ini membutuhkan tatalaksana yang lebih panjang. Dengan pemberian
antimikroba selama 5-10 hari tergantung dari penyembuhan post-operasi.

26
Gambar 8. Tumor Inflamasi dan abses <5cm

 Grade 4 – Perforasi
Kontroversi terjadi pada laparoskopi apendisitis derajat 4 dengan peritonitis.
Kemungkinan terjadinya komplikasi cukup tinggi dan biasanya memiliki hasil akhir
yang kurang baik.

Gambar 9. Apendisitis Perforasi dan Peritonitis

9. Penatalaksanaan

Pembedahan apendiks sebagai gold standart dapat mengobati apendisitis dalam 100%
kasus dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang sudah dijelaskan. Secara umum, pada
algoritma tatalaksana dengan antibiotik, antibiotik diberikan secara intravena selama 24-48
jam, dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama kurang lebih 7-10 hari. Kegagalan
tatalaksana dengan pemberian antibiotik sebesar 10-35% dengan berulangnya apendisitis
dalam 1 tahun pertama.3,9

Pemilihan antara antibiotik dan pembedahan membutuhkan panduan yang lebih sepaham
dan lebih objektif. Kerugian dengan pengobatan antibiotik antara lain ialah peningkatan
resistensi dari antibiotik yang digunakan serta kemungkinan terjadinya alergi obat. Pada
pembedahan, operator bisa melihat apa yang terjadi di dalam abdomen. Beberapa keuntungan
dan kerugian diantara kedua tatalaksana ini sulit dibandingkan, karena saat ini sulit untuk

27
menilai rasio perbandingan untung-rugi antara rekurensi apendisitis dalam 1 tahun dengan
kemungkinan terjadinya obstruksi usus pasca operasi.3

Penggunaan antibiotik cukup efektif dan aman sebagai tatalaksana pada pasien dengan
apendisitis tanpa komplikasi. Pada apendisitis catarrhal bisa dilakukan terapi konservatif
dengan rawat inap pasien, diberikan antibiotik, tirah baring dan cairan intravena. Pada
apendisitis phelgmon dan yang lebih parah dilakukan terapi pembedahan apendiktomi.2,8

Penelitian saat ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam komplikasi
apabila pembedahan dilakukan pada 12 jam pertama setelah muncul keluhan atau sampai 24
jam berikutnya. Tetapi semakin lama penanganan dilakukan, maka kemungkinan perforasi
dapat terjadi. Setelah diagnosis apendisitis ditegakkan maka dilakukan appendiktomi segera,
tidak ditunda tanpa alasan yang mendukung.9

Open appendictomy adalah prosedur yang paling sering dilakukan dengan melakukan
insisi di titik McBurney, atau yang lebih kearah kosmetik dengan insisi Lanz’s. Prosedur ini
sudah semakin jarang dilakukan karena banyak yang lebih memilih apendiktomi dengan
teknik laparoskopi. Dibandingkan dengan pembedahan terbuka, laparoskopi appendiktomi
pada dewasa menurunkan komplikasi infeksi luka, nyeri cepat berkurang, menurunkan
lamanya perawatan di RS, dan lebih cepat pulih untuk bekerja meskipun angka kejadian
abses intrabdominal meningkat dengan teknik laparoskopi. Laparoskopi membutuhkan
tenaga bedah yang sudah memiliki kemampuan yang memadai dan juga fasilitas yang
baik.2,8,9

Gambar 10. Titik Insisi Apendiktomi

28
Gambar 11. Laparoskopi Apnediktomi

Setelah dilakukan pengangkatan apendiks, maka dilakukan analisa histologi. Apendisitis


akut dapat dididagnosa dengan penemuan histologis terjadinya inflamasi transmural pada
jaringan apendiks yang terdiri dari infiltrasi neutrofil pada mukosa, submukosa dan lamina
propria. Pemeriksaan histologi juga dapat menemukan perbedaan antara endoapendisitis
(neutrofil pada mukosa dan adanya ulkus pada mukosa) dan periapendisitis (inflamasi pada
bagian serosa dan sub-serosa).2

10. Komplikasi
Setelah 36 jam pertama setelah muncul keluhan, perforasi rata-rata terjadi antara 16-
36%, dan kemungkinan perforasi menigkat sekitar 5% pada setiap 12 jam berikutnya.
Terjadinya infeksi pada luka tergantung pada kontaminasi saat operasi. Rata-rata terjadi pada
<5% pada apendiktomi apendisitis akut dan mencapai 20% pada kasus dengan perforasi dan
gangren. Penggunaan antibiotik post operasi dapat menurunkan kemungkinan infeksi luka.
Abses intraabdomen atau abses pelvis mucul akibat kontaminasi yang masif saat operasi.
Pada pasien terdapat demam naik turun, dan dapat dipastikan dengan USG atau CT-scan.
Penggunaan antibiotik juga dapat menurunkan kejadian abses ini.9
Pada pasien dengan keluhan yang mucul lebih lambat, massa yang keras dan tertutup otot
dapat teraba pada abdomen kuadran kanan bawah. Adanya massa dapat dipastikan dengan
USG dan CT-scan karena dapat menghilangkan kemungkinan neoplasia terutama pada orang
yang sudah tua. Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan ialah dengan pemberian
antibiotik spektrum luas. Pada kebanyakan kasus, massa akan mengecil setelah proses

29
inflamasi mengalami perbaikan. Karena apendisitis dapat berulang, maka penanganan setelah
terjadi perbaikan pada massa ialah dilakukannya apendiktomi.
Pasien dengan abses pada apendiks akan datang dengan keluhan demam naik turun,
takikardi, dan adanya leukositois. Dapat dipastikan dengan USG atau CT-scan. Apendisits
kronik atau yang berulang biasanya mengeluh nyeri di seluruh perut.9
Pada keadaan khusus seperti kehamilan, apendisitis merupakan penyakit yang harus
segera ditatalaksana dengan operasi. Insidens apendisitis pada kehamilan antara 0,15-2,10
orang per 1000 kehamilan. Perubahan posisi apendiks karena tekanan dari uterus yang
membesar kadang menghasilkan gejala klinis yang tidak khas atau bisa juga terjadi
kekeliruan pada perkiraan waktu lahir. Keluhan yang muncul biasanya mual dan muntah
dengan nyeri pada seluruh lapang kanan abdomen. Kematian ibu sangat kecil dengan
apendisitis akut, tetapi apendisitis dengan perforasi sekitar 4%. Kematian janin antara 0-1,5%
pada apendistis akut dan mencapai 20-35% pada kasus perforasi.9
11. Prgonosis

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit, namun
komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan
di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu
tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya
diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28
hari. Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga
perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya.
Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini
bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati secara benar.5

BAB III
KESIMPULAN

Apendisitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada umbai cacing. Resiko
apendisitis pada setiap orang sekitar 7% dan insidens apendisitis lebih tinngi terjadi pada
30
populasi kulit putih. Apendisits terjadi karena adanya sumbatan pada apendiks yang dapat
disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti fekalit, tumor, dan cacing askariasis.
Sumbatan ini yang akan menyebabkan penigkatan mukus dari apendiks yang mempermudah
terjadinya infeksi bakteri.
Diagnosa apendisitis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan nyeri epigastrium yang berpindah
ke kuadran kanan bawah. Dapat disertai mual, muntah, demam dan penurunan nafsu makan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada titik McBurney, dengan pemeriksaan lain
seperti rovsing sign dan blumberg sign dapat positif. Pada pemeriksaan penunjang analisis
darah, didapatkan peningkatan leukosit dan peningkatan neutrofil. Penggunaan pemeriksaan
USG dan CT-scan juga dapat menilai apendisitis. Diagnosa ini lebih mudah dihitung
menggunakan Alvarado score dengan total nilai 10. Selain alvarado score dapat juga
digunakan penilaian RIPASA.
Klasifikasi dari apendisitis dapat dinilai bila apendisitis bisa dilihat menggunakan
laproskopi. Klasifikasi apendisitis dilihat pada apendiks apakah terlihat normal atau sudah
terjadi perforasi. Tatalaksana yang dapat dilakukan pada apendisitis ialah menggunakan
antibiotik pada apendisitis tanpa komplikasi atau pembedahan untuk apendisitis dengan
komplikasi menggunakan open appendictomy atau laparoskopi. Pada penggunaan antibiotik
didapatkan angka kekambuhan dalam 1 tahun pertama sebesar 10-35%. Sementara pada
pembedahan dapat meningkatkan resiko abses intraabdominal apabila terjadi kontaminasi
masif.
Komplikasi yang dapat terjadi pada apendisitis ialah perforasi yang dapat
meningkatkan mortaitas dan morbiditas. Apabila terjadi perforasi apendiks maka penggunaan
antibiotik sebelum dan sesudah operasi memberikan angka perbaikan yang cukup tinggi pada
pasien. Pada keadaan khusus seperti kehamilan, apendisitis ditatalaksana dengan pembedahan
untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas ibu serta janin.
Prognosis apendisitis cukup baik setelah dilakukan apendiktomi. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum
pasien, penyakit penyerta dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28
hari. Penatalaksanaan apendisitis yang baik akan menurunkan angka kematian dan juga
meminimalisasikan komplikasi yang dapat terjadi.

31
Daftar Pustaka

1. Jain AK. A clinical comparative study of different scoring systems in acute appendicitis.
Int Surg J.2016 Feb;3(1):184-188.
2. Gomes CA, Sartelli M, Saverio SD,et al. Acute appendicitis : proposal of a new
comprehensive grading system based on clinical, imaging and laparoscopic findings.
World Journal of Emergency Surgery. 2015. 10:60.
3. Pisano M, Cocolini F, Poiasina E, et al. Conservative treatment for uncomplicated acute
appendicitis in adults. Herbert open access Journals. 2013.
4. Memon ZA, Irfan S, Fatima K, et al. Acute appendicitis : Diagnostic accuracy of
Alvarado scoring system. Asian Journal of Surgery. 2013. 36,144-149.
5. USU institutional repository. Apendisitis. Universitas Sumatera Utara.

6. Sjamsuhidayat R. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke 3. Jakarta: EGC. 2010. h. 755-62.
7. Petroianu A. Diagnosis of acute appendicitis. International Journal of Surgery. 2012. 10
ed. 115-119.
8. Ishikawa H. Diagnosis and treatment of acute appendicitis. JMAJ. 2003. 46(5): 217-221.
9. Humes DJ, Simpson J. Acute appendicitis. BMJ. 2006.. 333;530-534.
10. Verna M, Chancal, Karamveer, et al. Comparison of alvarado and ripasa scoring systems
in diagnosis of acute appendicitis. Indian Journal of Research. Aug 2015. (8) 55-57.
11. Shogilev DJ, Nicolaj D, Odom SR, et al. Diagnosing appendicitis : evidence based
review of the diagnostic approach in 2014. Western Journal of Emergency Care with
Population Health. 2014. 15(7).

32
33

Anda mungkin juga menyukai