Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kelinci

Kelinci (Lepus nigricollis ) merupakan kelompok hewan yang sangat

populer dan digemari masyarakat. Budidaya kelinci ini sangat mudah, bahkan

juga pembuatan pakan pun sangat mudah. Kelinci termasuk dalam hewan

mamalia (menyusui) di karenakan mempunyai kelenjar susu(Anonim, 2007).

Selain itu, jenis kelinci sangat beragam mulai dari kelinci potong

(konsumsi), kelinci hias dan kelinci penghasil bulu. Namun, setiap kelinci

memiliki bobot yang hampir sama mencapai 1 – 7 kg tergantung dengan jenisnya.

Kelinci memiliki struktur badan yang sangat sempurna mulai dari anatomi dan

juga histologinya(Anonim, 2007). Menurut Damron (2003), kelinci dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom/Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata (mempunyai penyokong tubuh dalam)

Subfilum : Vertebrata (hewan bertulang balakang)

Kelas : Mammalia (mempunyai kelenjar susu)

Ordo : Lagomorpha (kaki depan pendek)

Famili : Leporidae (telinga panjang)

Genus : Oryctolagus

Spesies : Oryctolagus cuniculus

Kelinci sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama di daerah

pegunungan, sebagai penghasil pupuk kandang, pemenuhan gizi atau daging bagi
keluarga dan di kota-kota sebagai ternak hias atau hewan kesayangan (Whendrato

dan Madyana, 1986 yang disitasi Hascaryo 2010). Kelinci adalah hewan herbivora

termasuk binatang malam, oleh karena itu aktivitas hidup seperti makan, minum,

kawin dan lain sebagainya dilakukan pada malam hari, maka bila hari menjelang

malam, pakan atau minum harus disediakan (Ciptadi et al., 1998). Berdasarkan

bobotnya, ternak kelinci dewasa dibedakan atas tiga tipe, yaitu tipe kecil, sedang

dan berat. Kelinci tipe kecil berbobot badan antara 0,9 – 2,0 kg, tipe sedang 2,0 –

4,0 kg dan tipe berat 5,0 – 8,0 kg. Ras kelinci memiliki ukuran, warna dan

panjang bulu, pertumbuhan dan pemanfaatan berbeda-beda antara satu dan

lainnya (Sarwono, 2003).

Hewan in dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan

bakteri yang hidup di dalam sekumnya (Farrel dan Raharjo, 1984 yang disitasi

Brahmantiyo et al., 2014). Kelinci banyak digunakan sebagai hewan peliharaan,

penghasil kulit bulu (fur) dan penghasil daging (fryer). Kelinci mampu mengubah

hijauan berprotein rendah, yang berasal dari bahan makanan yang tidak

dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan makanan menjadi protein hewani yang

benilai tinggi. Hewan ini mampu mengembalikan 20% protein yang

dikonsumsinya menjadi daging (Lebas et al., 1986 yang disitasi Brahmantiyo et

al., 2014). Selain itu, ternak ini mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi,

cepat berkembangbiak, interval kelahiran yang pendek dan tidak membutuhkan

lahan luas dalam pemeliharaannya (Damron, 2003).

Dilihat dari komposisi kimianya, daging kelinci mempunyai kualitas yang

baik. Kadar protein daging kelinci cukup tinggi yaitu 20% dan setara dengan
daging ayam (Farrel dan Raharjo, 1984), bahkan proteinnya bisa mencapai 25%

(Ensminger et al.,1990 yang disitasi Lestari 2005), sedangkan kadar lemak,

kolesterol dan energinya rendah dibandingkan daging dari ternak lain (Diwyantoet

al., 1985 yang disitasi Lestari 2005). Ouhayoun (1998) yang disitasi Lestari (2005)

menyatakan bahwa daging kelinci mempunyai kadar kolesterol yang rendah yaitu

50 mg/100 g dan lemak kelinci relatif kaya asam lemak esensial. Melalui

manipulasi pakan, daging kelinci dapat ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan

50% kadar lisin dari ransum kontrol, mampu menurunkan kadar kolesterol daging

sebesar 8% (Lestariet al., 2005), sedangkan penambahan sebesar 20% lisin dari

ransum kontrol dapat meningkatkan kadar kalsium daging sampai sekitar 27%

(Wahyuniet al., 2005).

Ternak kelinci mempunyai 2 jenis macam feses, yaitu feses normal yang

biasa ditemukan di bawah sangkarnya, dan feses berbentuk lebih kecil dan lunak

serta menggumpal. Feses lunak adalah feses yang tidak mengalami

pengabsorbsian di dalam usus, artinya berlalu dengan cepat dari caecum langsung

ke anus, yang kemudian ternak kelinci akan mengkonsumsinya (coprophage)

(Kartadisastra, 2001). Kelinci biasanya melakukan coprophagy fesesnya yang

lunak (lembek) dan dimakan secara langsung dari anusnya.Feses tersebut

berwarna hijau muda dan memiliki konsistensi lembek. Hal ini memungkinkan

kelinci mampu memanfaatkan kerja bakteri di saluran pencernaan yaitu

mengkonversi protein asal hijauan menjadi energi yang berkualitas tinggi,

mensintesis vitamin B dan memecah selulosa atau serat menjadi energi. Jadi sifat

coprophagy menguntungkan bagi proses pencernaan, sedangkan feses yang


dikeluarkan pada siang hari berwarna coklat dan mengeras (Blakely dan Bade,

1998 yang disitasi Hascaryo 2010).

Pencernaan merupakan rangkaian proses yang terjadi di dalam saluran

pencernaan baik secara mekanik maupun kimia. Pencernaan pakan secara

mekanik dilakukan dengan cara mastikasi dan kontraksi otot saluran pencernaan.

Pencernaan pakan secara kimia dilakukan dengan bantuan zat-zat kimia, mikrobia

dan enzim yang terdapat pada saluran pencernaan ternak. Pencernaan dimulai

dengan memecah bahan pakan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan dari

senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, sehingga dapat larut dan

diabsorbsi melalui dinding saluran pencernaan dan masuk ke dalam peredaran

darah untuk diedarkan ke seluruh bagian tubuh (Kamal, 1994). Lambung

merupakan bagian paling penting dalam sistem pencernaan. Ransum masuk

melalui kontraksi otot pada pylorus, kemudian dicerna dalam usus halus. Kelinci

termasuk ternak pseudo ruminant yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat

kasar dengan baik. Kelinci memfermentasikan ransum di caecum (bagian pertama

dari colon) yang kurang lebih merupakan 50 persen dari seluruh kapasitas saluran

pencernaannya. Walaupun mempunyai sekum yang besar, kelinci ternyata tidak

mampu mencerna bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat

dicerna oleh ternak ruminansia (Sarwono, 2003).

Menurut Sandford (1996) yang disitasi Sanusi (2006), ransum yang tidak

tercerna (serat kasar) masuk ke caecum dimana terdapat bakteri perombak yang

akan mencernanya. Caecum merupakan organ yang sangat panjang dengan bagian

akhir adalah appendix.Caecum dalam keadaan normal mengandung cairan dan


pada periode tertentu berkontraksi untuk merombak bahan ransum tersebut sampai

bagian pertama pada colon. Hasil akhir adalah feses normal yang dikeluarkan

melalui anus.

Aktivitas mikrobia di dalam lambung ternak non ruminansia sangat

terbatas karena populasi bakteri relatif sedikit dan retensi pakan hanya sebentar

dibandingkan ternak ruminansia. Hasil fermentasi dalam lambung (kuda, babi dan

kelinci) terutama adalah asam laktat (Parakkasi, 1986). Menurut de Blas dan

Wiseman (1998) yang disitasi Hascaryo (2010) kelinci adalah hewan yang unik,

karena selain membutuhkan nutrien yang tinggi, kelinci juga membutuhkan serat

kasar yang tinggi guna mendapatkan penampilan yang optimum dan untuk

mengurangi gangguan pencernaan. Karakteristik sistem pencernaan kelinci yang

paling penting dibandingkan spesies lain terletak pada usus besar dan sekum,

aktifitas mikrobia di dalam usus besar dan sekum sangat penting dalam

pencernaan dan pemanfaatan nutrien.

Kelinci merupakan ternak pseudoruminant, dimana fermentasi pakan

dilakukan di daalam (caecum) dan usus besarnya, yang kapasitasnya 50% dari

seluruh saluran pencernaannya. Menurut Parker (1976) yang disitasi Sarwono

(2003) bahwa asam-asam lemak terbang volatile fatty acid (VFA) hasil fermentasi

mikrobia di dalam sekum diperkirakan menyumbang 30% kebutuhan energi untuk

pemeliharaan tubuh. Kautson dkk.(1977) yang disitasi Sarwono (2003)

menjelaskan bahwa populasi mikrobia yang terdapat di dalam caeum sangat aktif

dalam memanfaatkan nitrogen dari urea darah yang masuk di dalam caecum.

Menurut de Blase and Wiseman (1998) yang disitasi Hascaryo (2010) bahwa
karakteristik sistem pencernaan kelinci yang penting adalah sekum dan kolon bila

dibandingkan dengan ternak lain, karena adanya mikrobia yang penting untuk

proses pencernaan dan penggunaan nutrien.

Kelinci Rex

Kelinci jenis Rex merupakan salah satu jenis kelinci yang dikenal sebagai

penghasil fur. Kelinci jenis Rex juga memiliki proporsi tubuh yang baik sehingga

dapat dijadikan sebagai penghasil daging (dwiguna). Beberapa penelitian potensi

kelinci Rex telah dilakukan pada produksi kulit bulu (Purnomo,

1999),pertumbuhandan sifat kualitatif (warna bulu) dan kuantitatif (sifat

reproduksi) (Fafarita, 2006). Namun, data tentang performa karkas dari jenis

kelinci Rex masih sedikit sekali (Brahmantiyo, 2014).

Rex merupakan salah satu dari berbagai macam jenis kelinci. Jenis Rex

pertama kali ditemukan oleh seorang petani bernama M. Caillon yang berasal dari

Perancis, kemudian diteruskan oleh Pat Abbe pada tahun 1919. Jenis Rex ini

kemudian diketahui sebagai hasil dari mutasi gen. mutasi gen ini menyebabkan

bulu sebelah dalam sama panjang dengan bulu luarnya, sehingga bulunya lebih

padat dan panjangnya seragam. Bulu kelinci Rex sifatnya halus, panjangnya

seragam dan mempunyai variasi warna bulu yang menarik dan beragam sehingga

sangat cocok untuk dijadikan fur (kulit bulu) (Cheeke et al., 1987 yang disitasi

Damron, 2003). Kelinci Rex pertama kali masuk ke Indonesia melalui importasi

oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi pada bulan Februari 1988, dengan tujuan

untuk mengkaji pertumbuhan badan dan pemanfaatan fur.


Kelinci Rex juga baik dan proporsional untuk produksi daging. Jenis ini

mempunyai panjang tubuh medium, hips yang bulat dan loin yang berisi, sehingga

cocok pula untuk dijadikan sebagai kelinci pedaging. Bobot badan ideal untuk

kelinci Rex jantan adalah 3.6 kg, sedangkan untuk betina adalah 4.08 kg (ARBA,

1996 yang disitasi Murtisari, 2012). Kelinci Rex sangat bervariasi dengan

produksi daging berkualitas sangat baik (exellent), tetapi produktivitas daging

pada kelinci Rex lebih rendah dibandingkan dengan kelinci pedaging jenis New

Zealand (Raharjo, 1994 yang disitasi Murtisari, 2012).

Bangsa kelinci Rex dapat dikembangkan di daerah dataran tinggi tempat

penghasil sayuran karena suhu ideal untuk pertumbuhan badan dan

perkembangbiakan adalah 16 oC – 18 oC, makin dingin suhu udara makin baik

kualitas rambut yang dihasilkan. Suhu udara 5 oC – 15 oC adalah suhu untuk

menghasilkan rambut berkualitas terbaik (Raharjo, 1994). Keistimewaan kelinci

Rex yaitu pada rambutnya yang halus seperti beludru, tumbuh tegak, dengan

panjang rambut yang sama antara rambut kasar dan rambut halus (Cheeke at al.,

1987).

Ampas Tahu Kering

Ampas tahu diperoleh dari hasil pembuatan tahu yang dimulai dari

perendaman kedelai selama 24 jam, kemudian dicuci dan digiling. Hasil gilingan

kedelai itu merupakan bubur pada proses pembuatan tahu yang kemudian dimasak

lebih kurang 10 menit dan disaring sehingga diperoleh bagian filtrat yang berupa

susu kedelai dan ampas tahu (Sudigno, 1983 yang disitasi Gustina 2012).
Ampas tahu merupakan limbah dalam bentuk padatan dari bubur kedelai

yang diperas dan tidak berguna lagi dalam pembuatan tahu dan cukup potensial

dipakai sebagai bahan makanan ternak karena ampas tahu masih mengandung gizi

yang baik dan dapat digunakan sebagai ransum ternak besar dan kecil.

Penggunaan ampas tahu masih sangat terbatas bahkan sering sekali menjadi

limbah yang tidak termanfaatkan sama sekali (Wiriano 1985 yang disitasi

Tarmidi, 2009).

Ampas tahu dalam keadaan segar berkadar air sekitar 84,5% dari bobotnya.

Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan umur simpannya pendek. Ampas tahu

kering mengandung air sekitar 10,0-15,5%, sehingga umur simpannya lebih lama

dibandingkan dengan ampas tahu segar (Widyatmoko,1996 yang disitasi Tarmidi,

2009). Ampas tahu basah akan segera menjadi asam dan busuk dalam 2-3 hari

sehingga tidak disukai oleh ternak. Masalah itu dapat ditanggulangi dengan cara

menjemur di bawah panas matahari atau dimasukkan dalam oven.

Ampas tahu merupakan hasil sampingan dari pengolahan kedelai menjadi

tahu.Pengolahan kedelai biasanya menimbulkan bau langu yang khas. Bau langu

adalah bau yang khas pada kedelai yang disebabkan oleh oksidasi asam lemak tak

jenuh (PUFA) pada kedelai. Bau langu merupakan salah satu faktor utama yang

menyebabkan rendahnya tingkat penerimaan orang terhadap produk dari kedelai.

Dari hasil penelitian Wansink (2003), bau langu ini telah menjadi stigma bagi

kebanyakan orang yang telah mengkonsumsi kedelai. Ampas tahu merupakan

residu hasil perasan kedelai. Umumnya, kandungan protein pada limbah tahu

masih tinggi.Sampai saat ini, ampas tahu hanya digunakan sebagai pakan ternak
(Raharjo, 2004), padahal kandungan protein yang tinggi memungkinkan ampas

tahu diolah menjadi tepung, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pangan.

Protein ampas tahu mempunyai nilai biologis lebih tinggi daripada protein

biji kedelai dalam keadaan mentah, karena bahan ini berasal dari kedelai yang

telah dimasak. Ampas tahu juga mengandung unsur-unsur mineral mikro maupun

makro yaitu untuk mikro; Fe 200-500 ppm, Mn 30-100 ppm, Cu 5-15 ppm, Co

kurang dari 1 ppm, Zn lebih dari 50 ppm (Sumardi dan Patuan, 1983 yang disitasi

Tarmidi, 2009).

Pengeringan ampas tahu dilakukan dengan cara memeras ampas tahu yang

masih banyak mengandung air kemudian ampas tahu yang sudah diperas lalu

dijemur selama kurang lebih 3 hari. Berikut perbandingan komposisi nutrient

ampas tahu basah dengan ampas tahu kering (tabel 1).

Tabel 1. Komposisi NutrienAmpas Tahu


Ampas tahu
Nutrisi
Basah (%) Kering (%)
Bahan. Kering 14,69 88,35
Protein Kasar 2,91 23,39
Serat. Kasar 3,76 19,44
Lemak kasar 1,39 9,96
Abu 0,58 4,58
BETN 6,05 30,48
Sumber : Suprapti (2005).

Konsumsi Pakan

Ransum yang dikonsumsi oleh ternak harus dapat memenuhi kebutuhan

hidup pokok, pertumbuhan dan produksi. Jika konsumsi energi berasal dari pakan

tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok, menyebabkan penurunan berat

badan (Mugiyono dan Karmada,1989). Konsumsi pakan merupakan faktor


penting yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Dari

pengetahuan tingkat konsumsi dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam

ransum untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi (Parakkasi, 1999).

Tinggi rendahnnya konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan)

dan faktor internal (kondisi ternak sendiri). Faktor eksternal meliputi temperatur

lingkungan, palatabilitas pakan, konsentrasi nutrien pakan, bentuk pakan,

sedangkan faktor internal meliputi selera, status fisiologi (umur, jenis kelamin dan

kondisi tubuh), bobot tubuh dan produksi (Kartadisastra, 1997).

Ternak yang mempunyai sifat dan kapasitas konsumsi pakan yang tinggi,

produksinya relatif akan lebih tinggi dibandingkan dengan ternak (yang sejenis)

dengan kapasitas sifat dan konsumsi pakan rendah (Parakkasi, 1999). Banyaknya

pakan yang dikonsumsi oleh kelinci tergantung pula pada jenis kelinci, berat

badan kelinci dan umur kelinci. Kelinci jenis sedang memerlukan pakan lebih

banyak dibandingkan jenis kelinci kecil. Pakan kelinci dewasa rata-rata 120-180

g/ekor/hari dengan berat badan sekitar 2-4 Kg (Whendarto dan Madyana,1983

yang disitasi Hascaryo, 2010).

Pertumbuhan Bobot Badan

Pertumbuhan ternak biasanya dinyatakan dengan adanya perubahan bobot

hidup, perubahan tinggi atau panjang badan. Pengukuran secara praktis adalah

dengan melakukan penimbangan bobot badan. Makin tinggi kenaikan bobot badan

per hari makin baik pertumbuhannya. Untuk dapat mencapai bobot badan optimal

ditentukan oleh manajemen pada saat periode pertumbuhan. Hal ini dipengaruhi

oleh faktor genetik, lingkungan, dan manajemen. Dari faktor tersebut yang
mempunyai pengaruh nyata adalah faktor pakan, karena bila pakan yang diberikan

dapat menyediakan zat makanan yang sesuai dengan imbangan dan kebutuhannya,

maka pertumbuhannya akan optimal. Kecepatan pertumbuhan ditentukan oleh

jumlah pakan yang dimakan dan zat makanan yang dikonsumsi (Mugiyono dan

Karmada, 1989). Nutrien berhubungan langsung dengan laju pertumbuhan serta

komposisi tubuh ternak selama pertumbuhan. Energi yang tersedia dimanfaatkan

untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan, pertumbuhan protein dan deposisi

lemak. Pertumbuhan mencerminkan ketersediaan substrat untuk pemeliharaan dan

batas-batas untuk pertumbuhan protein (Soeparno,1992).

Kecepatan pertumbuhan sangat ditentukan oleh jumlah nutrien yang

dikonsumsi atau oleh mutu dan jumlah pakan yang dimakan (Mugiyono dan

Karmada, 1989). Nugroho (1982), menyatakan bahwa kelinci mempunyai

kecepatan pertumbuhan yang relatif cepat, dalam waktu 56 hari mencapai berat

badan 1,8 kg. Pertambahan bobot badan kelinci lokal yang ideal sebesar 4 – 21

gram per ekor per hari (Sangare, et al., 1992).

Konversi Pakan

Menurut Kartadisastra (2001) konversi pakan adalah imbangan antara

berat pakan yang diberikan dengan berat daging yang dihasilkan. Hal ini terhitung

mulai dari saat ternak disapih hingga dipotong sampai umur 4 bulan.Konversi

pakan yang terbaik diperoleh ketika berumur 2-3 bulan. Jadi, konversi pakan ini

merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan untung rugi peternakan

kelinci. Konversi pakan merupakan parameter yang digunakan untuk mengetahui

efisiensi penggunaan pakan. Konversi pakan dapat dihitung dengan membagi


antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan yang

dihasilkan (de Blas dan Wiseman, 1998 yang disitasi Hascaryo, 2010).

Konversi pakan merupakan pembagian antara konsumsi pada minggu itu

dengan berat badan yang dicapai pada minggu itu. Konversi ransum digunakan

sebagai pegangan berproduksi karena melibatkan bobot badan dan konsumsi

pakan (Rasyaf ,1994 yang disitasi Hascaryo, 2010).

Konsumsi pakan merupakan salah satu indikator untuk menggambarkan

tingkat efisiensi penggunaan ransum. Semakin rendah angka konversi pakan

berarti semakin baik efisiensi penggunaan pakannya (Anggorodi,1990 yang

disitasi Hascaryo, 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi pakan kelinci yang diberi

pakan secara ad libitum meliputi faktor dari kelinci yaitu berat potong dan sifat

genetis dan faktor dari pakan, yang meliputi konsumsi energi, pakan tambahan

dan sebagainya (de Blass dan Wiseman, 1998 yang disitasi Hascaryo, 2010).

Feed Cost per Gain


Feed cost per gain adalah besarnya biaya pakan yang diperlukan ternak

untuk menghasilkan 1 kg pertambahan bobot badan (gain) (Suparman, 2004).

Feed costpergain dinilai baik apabila angka yang diperoleh serendah mungkin,

yang berarti dari segi ekonomi penggunaan pakan efisien. Untuk mendapatkan

feed cost per gain rendah maka pemilihan bahan pakan untuk menyusun ransum

harus semurah mungkin dan tersedia secara kontinyu atau dapat juga

menggunakan limbah pertanian yang tidak kompetitif (Basuki, 2002 yang disitasi

Fianti, 2004).
Feed cost per gain apabila dikaitkan dengan kurva pertumbuhan akan

diperoleh angka feed cost per gain yang semakin tidak efisien. Hal ini disebabkan

dengan bertambahnya umur ternak, dan setelah ternak dewasa maka pertambahan

berat badan menurun, padahal konsumsi pakan relatif tetap (Suparman, 2004).

Secara teknis angka konversi pakan sebenarnya sudah cukup untuk menilai

sejauh mana kemampuan ternak dalam penggunaan pakan. Namun dari aspek

ekonomi juga harus diperhatikan feed cost per gainnya (Cord dan Nesheim, 1973

yang disitasi Fianti, 2004).

Hipotesis

Semakin tinggi penggunaan ampas tahu kering dalam ransum kelinci

potong akan meningkatkan kinerjanya.

Anda mungkin juga menyukai