Anda di halaman 1dari 11

Nama: Naufal Vidi Erlangga

NPM: 200110170109

Kelas:E

Saatnya Bertindak Menghadapi Perubahan Iklim

Sumber: Detik.com

Penulis: Wenas Ganda Kurnia

Jakarta - Perubahan iklim tengah menjadi pembahasan dunia, dan sekarang saatnya bertindak.
Menghadapi perubahan iklim, apa maksudnya? Dari dulu iklim selalu menentukan cara hidup
kita. Saat iklim berubah, kita juga beradaptasi. Jadi, apa bedanya adaptasi dengan perubahan
iklim yang terjadi sekarang dengan yang dulu? Ya, tentu saja iklim selalu berubah. Namun, kini
perubahan yang disebabkan gas-gas rumah kaca mengakibatkan peningkatkan efek rumah kaca
di atmosfer, dan terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Akibatnya, bumi semakin panas.

Bumi yang semakin panas mulai berdampak pada mencairnya lapisan es di wilayah Kutub. Hal
ini akan mengakibatkan pertambahan massa air di lautan termasuk wilayah Indonesia, sehingga
tinggi muka air laut akan meningkat. Dampak dari peristiwa ini adalah banyak wilayah pantai
yang mengalami kebanjiran, erosi, dan hilangnya daratan di pulau–pulau kecil, serta masuknya
air laut ke wilayah air tawar.

Beberapa wilayah di Indonesia sudah mengalami dampak dari hilangnya pulau-pulau kecil akibat
naiknya tinggi muka laut. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan
bahwa selama ini telah terjadi peningkatan tinggi muka air laut sebesar 1–2 meter dalam kurun
waktu sekitar 100 tahun terakhir. Jika kondisi ini terus berlanjut maka negara kita yang memiliki
sekitar 13.600 pulau akan mengalami dampak yang cukup serius. Masyarakat dan nelayan yang
berdomisili di sekitar garis pantai akan semakin terdesak, bahkan kemungkinan kehilangan
tempat tinggal.

Sedangkan, diprediksi cuaca ekstrem akan semakin terjadi. Contohnya kekeringan, puting
beliung, banjir, dan longsor. Peristiwa semacam ini dapat menghancurkan rumah dan kehidupan
manusia termasuk merusak infrastruktur, jalur komunikasi, dan lebih parahnya dapat
menghambat pembangunan nasional. Kemudian, beberapa spesies yang tidak bisa menyesuaikan
dengan kondisi sekarang akan sulit untuk bertahan di habitatnya. Oleh karena itu tidak jarang
banyak binatang dan tanaman yang mati karena tidak bisa beradaptasi dengan habitatnya saat ini.

Perubahan iklim saat ini memang nyata. Namun, apakah perubahan ini akan semakin cepat?
Jawabannya, itu semua tergantung pada gaya hidup kita. Jadi, apakah kita cukup mengurangi
emisi gas-gas rumah kaca? Jawabannya adalah tidak. Andai kita dapat mengurangi emisi gas-gas
rumah kaca sekarang juga, bumi tidak akan berhenti memanas dengan segera karena banyak gas
yang telah teremisi dari dulu. Itu sebabnya kita harus melakukan dua hal yaitu mengurangi
penggunaan alat-alat yang menghasilkan gas-gas rumah kaca, dan adaptasi.

Mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dimulai dari diri kita sendiri dengan cara mengurangi
penggunaan kendaraan bermotor. Jangan membakar hutan, dan pegang prinsip dasar 3R (Reuse,
Reduce dan Recycle). Reuse berarti menggunakan benda yang bisa digunakan lagi. Reduce
berarti berhemat, dan wajar dalam memakai produk yang merusak lingkungan. Dan, Recycle
berarti mendaur ulang sampah yang masih bisa kita manfaatkan.

Pemerintah juga telah mengambil beberapa kebijakan seperti penggunaan energi alternatif dalam
kehidupan sehari-hari. Energi alternatif ini dinilai aman terhadap atmosfer, dan tidak
menimbulkan polusi yang berlebihan. Contohnya penggunaan bahan bakar gas pada kendaraan
bermotor. Saat ini sudah banyak kendaraan transportasi umum yang menggunakan bahan bakar
gas. Selain itu, upaya lainnya adalah reboisasi hutan.

Proyeksi iklim tak dapat memperkirakan masa depan secara pasti, karena sebagian itu tergantung
dari cara bagaimana kita hidup dan memperlakukan alam. Namun, dari semua itu, apakah kita
hanya bergantung pada kepastian untuk bertindak? Tidak. Kita sering mengambil tindakan
berdasarkan pengalaman dan fakta, tanpa mengetahui kepastian yang akan terjadi di masa depan.
Meskipun kita tidak tahu yang akan terjadi pada iklim, kita cukup tahu bagaimana kita akan
bertindak. Kita harus mampu memperhatikan dampak perubahan iklim sekarang dan masa
depan.

Proyeksi iklim tidak serta merta diterjemahkan dalam strategi yang nyata, namun dapat menjadi
acuan dalam perencanaan. Kita harus mempertimbangkan bahkan dampak perubahan iklim
terhadap rencana pembangunan serta mempertimbangkan, apakah hal ini malah akan
memperburuk perubahan iklim. Salah satu konsekuensi yang akan terjadi adalah perubahan
curah hujan, banjir dan kekeringan dapat terjadi pada satu tempat yang sama.

Apakah rancangan tata kota harus diperbaiki atau diubah agar dapat fleksibel dalam menghadapi
tantangan masa depan? Bagaimana cara rencana adaptasi yang dapat meminimalkan efek
terhadap ekonomi lokal dan kehidupan manusia? Kota pantai di seluruh dunia terancam dampak
dari perubahan iklim, dari kenaikan air laut, dan cuaca ekstrem. Apakah yang perlu
dipertimbangkan perencana tata kota untuk menjadikan kota-kota ini menjadi kota yang lebih
tanguh? Apa pilihan adaptasi yang paling tepat?
Yang jelas, jawabannya adalah soal biaya, potensi, dan dukungan sosial politik dari pembuat
kebijakan sehingga dapat membantu menyusun prioritas metode adaptasi. Contohnya persiapan
mengatasi banjir, restorasi lahan basah, perbaikan sistem drainase, dan pengelolaan pantai.
Contoh dalam bidang lain, para petani bersama pemerintah mengganti padi biasa dengan padi
bibit unggul.

Adaptasi adalah proses belajar. Kita semua perlu memperbaiki strategi adaptasi. Kita harus
mengurangi gas-gas rumah kaca, dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Kita harus mulai
dari sekarang bersama-sama. Libatkan pembuat kebijakan, tingkatkan pemahaman tentang
perubahan iklim, ciptakan kesadaran dalam masyarakat untuk adaptasi. Lebih baik bersiap untuk
segala kemungkinan daripada menanggung dampak perubahan iklim tanpa perlindungan apapun.
Ingat, kita tidak mewarisi bumi ini dari nenek moyang kita; kita meminjamnya untuk anak cucu
kita. Ayo, bertindak!
Komentar:Perubahan iklim memang sangat berpengaruh bagi kehidupan,saya setuju dengan
pendapat penulis.Kita harus segera melakukan sesuatu agar dampak dari perubahan iklim ini bisa
diminimalisir.Karena kalau tidak bencana besar seperti banjir besar bisa saja terjadi.

Iklim Dunia Tergantung Pada Hutan Indonesia


Sumber:analisadaily.com
Penulis: Presli Panusunan Simanjuntak

Hutan dan pohon berperan besar dalam memberikan perlindungan kepada manusia. Hutan dan
pohon menyediakan udara bersih dan air, menjaga keanekaragaman hayati dan mencegah
perubahan iklim. Bagi banyak orang, hutan dan pohon juga menawarkan makanan, tempat
tinggal dan pekerjaan. Hutan juga menjadi habitat dan tempat hidup berbagai jenis tumbuhan dan
hewan (termasuk tumbuhan dan hewan langka).

Luas hutan di Indonesia mencapai 133 juta hektar yang membuat Indonesia naik podium di 3
besar luas hutan tropis terbesar di dunia. Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terluas
ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire. Namun hal ini dicoreng dengan buku Rekor Dunia
Guinness yang menempatkan Indonesia menjadi negara dengan laju kerusakan hutan tercepat di
dunia. Akibat kerusakan hutan tersebut, dari 133 juta ha luas hutan Indonesia, hanya 23 % saja
yang masih berupa hutan primer dan terbebas dari kerusakan. Kerusakan itu sebagian besar
diakibatkan oleh kegiatan industri (terutama kayu) dan pengalihan fungsi hutan menjadi
perkebunan melalui perambahan liar maupun pembakaran hutan (kebakaran hutan yang
disengaja).
Deforestasi menyebabkan hilangnya ekosistem di dalamnya, termasuk spesies tumbuhan dan
hewan langka. Padahal 80% keanekaragaman hayati terdapat di dalam hutan. Deforestasi juga
menyebabkan berkurangnya kemampuan menyerap emisi karbon dunia yang tentunya berimbas
pada meningkatnya ancaman pemanasan global.

Tiap menit, Indonesia kehilangan hutan seluas tiga kali lapangan bola

Nasib hutan di Indonesia, bak telur di ujung tanduk alias sungguh memprihatinkan. Periode
2009-2013, negeri ini kehilangan tutupan hutan alias mengalami deforestasi sebesar 4,5 juta
hektar atau 1,13 juta hektar per tahun. Fakta ini terungkap dalam laporan Forest Watch
Indonesia dalam buku berjudul Potret Keadaan Hutan Indonesia periode 2009-2013 yang dirilis
tahun 2014.

Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta mencengangkan bahwa Hutan Indonesia
berkurang secara drastis. Dalam kurun waktu 2009-2013, Indonesia kehilangan hutan seluas 4,6
juta hektar atau seluas Provinsi Sumatera Barat, tujuh kali luas Provinsi DKI Jakarta. Dalam
kurun waktu itu dapat dikatakan dengan kasarnya bahwa Indonesia kehilangan hutan seluas tiga
kali lapangan sepakbola dalam waktu hanya 1 menit saja. Sungguh fakta yang dapat membuat
jantung kita hampir copot tentunya.

Indonesia mengalahkan Brasil dalam perebutan jawara kehilangan hutan terbesar di dunia. Di
Brazil sebanyak 460 ribu hektare hutan hilang, sedangkan Indonesia mencapai hampir tiga kali
lipatnya, yakni 1,13 juta hektar per tahun. Area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan
hujan tropis di Amazon, Brasil.

Berdasarkan data itu, laman The Age memberikan Indonesia gelar sebagai negara dengan
kehilangan hutan terbesar di dunia.

Hutan Indonesia paru-paru dunia

Apa jadinya jika paru-paru manusia telah rusak? Atau bahkan, telah kehilangan fungsinya?
Sungguh sangat dapat ditebak, manusia itu tidak akan bertahan lama untuk hidup.

Indonesia mengklaim dirinya adalah paru-paru dunia lewat hutannya dan hal itu dibenarkan oleh
PBB lewat FAO dan Greenpeace. Lalu jika Indonesia telah banyak kehilangan hutan- hutannya,
apa yang akan terjadi?

Deforestasi juga mengarah pada meningkatnya perubahan iklim. Sebab, pohon yang telah lama
tumbuh mampu menyimpan emisi karbon lebih banyak ketimbang pohon baru. Gas tersebut,
juga bisa disimpan dalam kurun yang lama, serta mampu mengurangi pemanasan global.

Degradasi hutan dan deforestasi memicu peningkatan emisi gas rumah kaca. Menurut Bank
Dunia, rata-rata kerusakan hutan di Indonesia yang berlangsung sangat cepat akan membuat
negara ini memiliki gelar baru, sebagai produsen emisi gas rumah kaca terbesar ketiga, di bawah
Tiongkok dan Amerika.
"Hutan hujan adalah paru-paru bumi. Anda memiliki paru-paru untuk bernapas dan jika Anda
menyingkirkan paru-paru itu, bumi akan menderita," ujar Matthew Hansen, anggota tim penulis
lainnya dalam jurnal Bank Dunia tersebut.

Perubahan iklim dunia bergantung hutan Indonesia

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) menyoroti tingkat deforestasi atau penebangan hutan Indonesia yang tertinggi di
dunia, yakni mencapai sekitar 1 juta hektare per tahun.

Dunia kembali menaruh perhatian pada tingkat deforestasi dan degradasi lahan Indonesia yang
cukup mengkhawatirkan. Setengah dari daratan di Indonesia adalah hutan.

Kondisi itu meletakkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terpenting di
dunia, yang secara signifikan menyuplai oksigen yang cukup besar pada bumi. Hutan Indonesia
juga berperan penting di saat negeri ini semakin rentan terhadap perubahan iklim.

"Tidak mungkin kita dapat memenangkan perang melawan perubahan iklim tanpa
melipatgandakan upaya kita untuk mengurangi deforestasi di Indonesia," kata Kepala Perwakilan
FAO di Indonesia, Mark Smulders.

Pada tahun 2009, pemerintah Indonesia berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26
persen secara mandiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2020.
Pemerintah Indonesia menegaskan kembali janji itu dalam sebuah pertemuan pejabat
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan perwakilan dari lembaga internasional.

FAO telah setuju memberi bantuan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
berupa tenaga ahli dan juga dalam hal keuangan. FAO sangat berharap melalui hutan Indonesia
peruhabaan iklim dapat ditekan.

FAO telah mengembangkan sebuah pendekatan yang disebut climate smart agriculture, forestry
and fisheries atau pemberdayaan pertanian, kehutanan dan perikanan yang bijak. Pendekatan ini
menggabungkan upaya peningkatan produktivitas dengan mengadaptasi perubahan iklim dan
pengurangan emisi gas rumah kaca.

FAO telah memberi pelatihan kepada pegawai negeri dan petani di Kalimantan Tengah agar bisa
menerapkan konsep itu, di antaranya, untuk mencegah kebakaran hutan.

Pohon sebagai salah satu sumber hidup dalam kehidupan kita memiliki peran penting untuk
menjaga keseimbangan yang berlangsung dalam kehidupan di bumi. Karena, setiap tahun satu
pohon saja bisa menghasilkan 260 pon O2. Selain itu, pohon juga bisa menyerap gas CO2
sebanyak satu ton tiap tahun. Menanam pohon merupakan kontribusi kita terhadap lingkungan.
Pohon bisa membantu menurunkan emisi gas rumah kaca, sehingga turut membantu menurunkan
pengaruh global warming.
Hal itu harusnya tidak hanya dilakukan saat Peringatan Hari Pohon Sedunia atau Peringatan Hari
Menanam Pohon Indonesia setiap 28 November. Tetapi harus setiap saat ditingkatkan kesadaran
akan pentingnya hutan, karena dengan dilestarikannya pohon-pohon dan hutan akan terjadi
keharmonisan serta keseimbangan ekologis yang manfaatnya tentu saja kembali kepada manusia.

Di tengah kondisi hutan Indonesia yang kini benar-benar sakit, tidak perlu terlalu muluk.

Dimulai dari diri sendiri, setiap warga Negara Indonesia berkontribusi satu pohon saja di
pekarangan rumah masing-masing dan lingkungan umum di sekitar. Tindakan sederhana ini akan
jadi suatu sumbangsih yang sangat berarti bagi masa depan hutan dan generasi kita.

Jadikan hutan Indonesia paru-paru yang sehat!

Dari data-data dan fakta-fakta yang mencengangkan tersebut, Mari kita menjadikan Indonesia
sebagai paru- paru dunia. Kita harus dapat mebuktikan Indonesia bisa menjadi penopang
kehidupan di dunia ini walaupun dari aspek lain seperti ilmu dan teknologi kita masih sedang
berkembang. Mari kita tunjukkan bahwa Indonesia dapat menjadi penopang dunia. Pemerintah
dan kita harus saling bersinergi menciptakan hutan dengan bantuan dari negara lain tentunya.

Komentar: Sebaiknya pemerintah harus bertindak tegas kepada setiap penebangan


hutan secara liar. Karena hutan sangat berpengaruh pada kehidupan manusia.
Hutan dapat menghasilkan banyak sekali oksigen dan dapat menyerap
CO2.Dindonesia ini penebangan hutan secara liar belum dapat dikendalikan oleh
pemerintah

Perubahan Iklim Meminta Perubahan Sikap Penduduk Bumi


Sumber: Detik.com
Penulis: Andi Superi

Jakarta - Cuaca yang membalut Kota Jakarta di beberapa pekan terakhir ini terasa semakin tak
bersahabat. Suhu udara dalam kondisi berawan yang rata-rata hampir mecapai 35 derajat celcius.
Tajamnya angin malam membuat sebagian masyarakat enggan untuk melakukan aktivitas di luar
ruangan.

Ketidakpastian musim dan peningkatan suhu saat ini berdampak pada melemahnya daya tahan tubuh
sehingga masyarakat sangat potensial terjangkit berbagai macam virus penyakit. Dampak perubahan
iklim yang telah menjadi isu di beberapa tahun terakhir ini seolah kian nyata.
Peringatan pemanasan global yang dihembuskan para ahli dan berbagai lembaga penelitian iklim bumi
telah menampakkan kebenarannya. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca yang dihasilkan dari
aktivitas manusia telah mengakibatkan banyaknya radiasi panas dari bumi yang terperangkap di
atmosfer dan kemudian dipancarkan kembali ke bumi. Dan, tentu saja kita sama-sama mengetahui jika
ketergantungan dan konsumsi energi yang dihasilkan dari sumber-sumber energi fosil merupakan salah
satu faktor penyebab terbesarnya.

Ungkapan yang menyatakan bahwa dampak perubahan iklim lebih mengerikan daripada perang nuklir
sepertinya bukanlah sebuah ungkapan kosong. Jika para peneliti, Panel Antarpemerintah tentang
Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa suhu
permukaan bumi dalam 25 tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 0,18 derajat celcius per
dekade, dan sementara itu perkiraan peningkatan temperatur bumi pada tahun 2050 mencapai 2 hingga
3 derajat celcius, maka dapat dibayangkan seperti apa hari-hari esok yang akan kita dan anak cucu kita
lalui.

Dan, inilah fakta ironinya. Jika negeri ini negeri tropis yang sepatutnya menyuplai oksigen dan menjaga
lapisan ozon, ternyata merupakan negara yang menempati urutan ketiga di dunia dalam hal
menyumbangkan emisi gas rumah kaca terbesar. Namun, sekali lagi kita harus mengurut dada dan
mengakui bahwa kenyataan ini bukanlah suatu hal yang mencengangkan. Mengingat betapa kurangnya
pengetahuan dan kesadaran masyarakat kita dalam menciptakan perilaku cinta lingkungan dan
pemanfaatan energi secara bijak.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas hal ini. Adalah kesalahan besar jika kita terus hidup dalam
budaya mencari kambing hitam atas setiap permasalahan. Negeri ini tidak membutuhkan wacana dan
retorika belaka.

Negeri ini menginginkan kita untuk bersatu dan bersama-sama melakukan tindakan nyata dalam
menghadapi kondisi yang terjadi. Bukan untuk terus menerus bergumul dengan kepentingan pribadi dan
golongan semata. Mari kita bersikap atas nama penghuni bumi untuk berjuang bersama-sama
menghadapi perubahan iklim yang mengancam bumi ini.

Komentar: Kita sebagai manusia harus sadar bahwa perubahan iklim memiliki
dampak yang merugikan bagi kehidupan manusia.Kita harus sadar dan mengurangi
penggunaan rumah kaca karena itu dapat memicu terjadinya emisi gas rumah kaca
yang berdampak pada menipisnya lapisan ozon.

Mewujudkan Kedaulatan Pangan Di Era Perubahan Iklim


Sumber: apikindonesia.or.id
Penulis: Suryani Amin

Politik global dewasa ini mulai  menepikan diskursus perubahan iklim. Kecenderungan ekonomi
populis, nasionalisme sempit, dan penguatan politik kanan di negara-negara
utama  meminggirkan pembahasan perubahan iklim di lingkaran utama politik dunia.

Langkah internasional  dan nasional harus terus didorong untuk mengurangi laju dan dampak
perubahan iklim akibat perilaku peradaban modern tak ramah lingkungan. Apalagi, dampak
perubahan iklim telah nyata terjadi dan terbukti memapar masyarakat yang melewati lintas batas
negara.

Mayoritas penduduk Indonesia adalah para petani kecil, masyarakat adat dan nelayan tradisional.
Karena itu, diperlukan langkah nasional yang menyeluruh untuk mengurangi dampak kolosal
perubahan iklim kepada kelompok masyarakat ini.

Kelompok-kelompok ini, meskipun penyumbang emisi terendah, — dan selama berabad-abad


menjadi penyelamat pangan dan  ekologis yang tangguh,  adalah mereka yang paling dirugikan.
Kegagalan  panen, menurunnya produktivitas lahan, berkurangnya hasil tangkapan, dan
kemunculan berbagai hama baru, adalah kejadian yang sering dikaitkan dengan  perubahan
iklim.

Dalam konteks pertanian, konsep bercorak nasionalistik yang mendukung


ketangguhan   terhadap  perubahan iklim adalah kedaulatan pangan. Secara legal, kedaulatan
pangan adalah tujuan dari UU Nomor 18/2012. Kedaulatan pangan merupakan hak negara dan
bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin pemenuhan  hak atas
pangan bagi rakyat, dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan
yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Saat ini, pangan lokal yang  dihasilkan oleh petani, masyarakat adat dan nelayan tradisional
mengalami tekanan besar akibat  perubahan iklim, perdagangan pangan yang tidak adil serta
modernisasi pertanian yang melupakan kearifan lokal. Tak mengherankan, negara kita masih
tertatih dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. 

Meski cenderung turun, impor pangan masih cukup tinggi.  Sejak Januari hingga Juni 2017 BPS
mencatat nilai impor pangan sejumlah US$ 1,078 miliar. Ketergantungan ini menempatkan
indeks ketahanan pangan Indonesia dari 113 negara yang dinilai berada pada peringkat 71.
Bandingkan dengan peringkat negara ASEAN lainnya seperti Vietnam yang berada di posisi 57,
Malaysia 35, serta Thailand 51 (Global Food Security Index; 2016).

Kedaulatan Pangan
Indonesia penting  untuk mewujudkan kedaulatan pangan.  Selain mengurangi dampak
perubahan iklim,  juga dikarenakan potensi kekuatannya yang merupakan bagian dari upaya
adaptasi dan mitigasi lokal, juga karena kekhasan geografis bentang alam nasional yang berada
pada wilayah rentan bencana.

Pendekatan ini juga bagian dari menghindari perubahan lanskap wilayah-wilayah daratan, pesisir
kelautan dan pulau-pulau kecil yang selama ini diarahkan dan didominasi oleh pertanian dan
perkebunan monokultur. Tantangan domestik dengan demikian adalah untuk mengubah kiblat
sistem monokultur dan model usaha skala besar ini.

Pemerintah  Jokowi-JK saat ini  mulai menyadari kekeliruan tersebut.  Pemerintah telah


melakukan moratorium izin perkebunan sawit dan moratorium izin lahan gambut yang dibarengi
dengan program redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar dan perhutanan sosial seluas 12,7 juta
hektar kepada masyarakat.

Langkah ini adalah upaya besar mencegah ketidakadilan akibat orientasi lama usaha skala besar
monokultur. Tentu saja hal ini akan berkorelasi positif dalam mendorong perwujudan kedaulatan
pangan yang lebih kokoh.

Langkah berikut adalah mewujudkan kedaulatan pangan yang mengintegrasikan faktor iklim,
termasuk mendorong pengembangan dan penggunaan varietas lokal, serta aplikasi teknologi
pertanian berorientasi adaptif iklim.

Ini merupakan perangkat penting untuk membantu petani meningkatkan kuantitas dan kualitas
produksi, dalam rangka lebih mengenal secara dini gejala perubahan iklim. Karenanya
mendekatkan dunia pendidikan dan riset teknologi yang semakin membumi dengan kebutuhan
masyarakat, lalu menjadi prioritas.

Langkah ketiga, adalah membangun kelembagaan ekonomi produksi masyarakat. Di sini terdapat
beberapa regulasi kunci, namun dijalankan dengan semangat sektoral.  Seperti UU Pangan, UU
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan, UU
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, serta UU Desa.

Penting untuk merangkum implementasi beberapa UU ini kedalam sebuah Peraturan Pemerintah
yang bertujuan mewujudkan ekonomi produksi petani dan nelayan dalam bentuk usaha modern
dan ramah lingkungan yang berformat koperasi atau badan usaha.

Langkah kolektif menyatukan  regulasi tersebut dalam satu strategi dan rencana aksi nasional
pada akhirnya akan memungkinkan tercapainya upaya resiliensi dampak perubahan iklim, yang
tertuang dalam kerangka pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat yang berkelanjutan.

Dengan demikian, kedaulatan pangan bukan hanya sekedar gagasan.


Komentar: Pemerintah sudah cukup bagus dalam menanggapi masalah ini.Karena
mayoritas penduduk Indonesia bekerja sebagai petani dan nelayan dan itu sangat
berpengaruh di bidang pangan.

Ekonomi dan Politik Ekologi Perubahan Iklim


Sumber: Detik.com
Penulis: Laurens Bahang Dama
Jakarta - Kurang lengkap rasanya, jika ketika kita bicara tentang Eknomi dan Ekologi Politik Perubahan
Iklim, tanpa bersandar pada basis hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karena
dengan bersandar pada Undang-Undang terkait, pembicaraan kita tentang ekonomi dan ekologi
perubahan iklim memiliki argumentasi yang kuat dalam mempengaruhi suatu kebijakan terkait jejak
keekologian di Indonesia. Dalam rangka menicptakan suatu keseimbangan lingkungan, yang memiliki
perspektif ekonomi yang mensejahterakan rakyat dan berkeadilan.

Sinergisitas aspek ekonomi dan ekologi ini, secara jelas tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 4 yang
berbunyi: Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efesiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Dengan berpijak pada UUD 1945 Pasal 33 Ayat 4 di atas, maka dalam rencana penyelenggaraan
pembangunan, pemerintah menterjemahkannya dalam 11 program prioritas RPJMN 2010-2014 yakni
pembangunan berbasiskan lingkungan hidup dan bencana. Dengan pengertian bahwa, kehidupan
manusia secara ekonomi dan ekologis, adalah dua entitas yang saling berhubungan. Artinya, proses
membangun tidak mestinya merusak alam secara membabi-buta yang pada akhirnya menjadi ancaman
(musibah) bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Bertolak dari kerangka di atas, maka yang perlu kita fahami adalah, perubahan iklim disebabkan oleh
timpangnya relasi kebijakan kekuasaan dan ekspansifnya perusahaan-perusaan multinasional dalam
penguasaan sumber daya alam menjadi mata rantai utama perubahan iklim.

Sinergisitas gagasan ekonomi dan politik ekologi perubahan iklim, memberikan makna bahwa
lingkungan tidak bisa lepas dari perbaikan parktek kekuasaan dan politik yang mengabaikan hak dan
keadilan. Praktek politik ekologi yang tidak mengarusutamakan keseimbangan ekologi, hanya akan turut
merusak lingkungan sebagai tempat manusia melangsungkan kontinuitas kehidupan ekonominya.
Ancaman kemiskinan akibat krisis sumber daya alam (SDA) pun sulit ditampik.

Sederhananya, bila lingkungan rusak, keseimbangan ekologi tidak tercipta, sumber daya alam turut
terpengaruh (rusak). Akibatnya, ancaman kemiskinan pun tak dapat dihindari. Peran DPR dalam konteks
perubahan iklim adalah memainkan peran kelegislatifan.

Khususnya mewujudkan politik \\\"anggaran hijau\\\" berupa alokasi anggaran yang berpihak pada
keberlangsungan ekologi dan kehidupan ummat manusia serta makhluk penghuni bumi lainnya.
Anggaran APBN tidak hanya tergerus untuk kebutuhan pembangunan melulu, tapi juga mewujudkan
Indonesia yang jauh lebih hijau dimasa-masa mendatang.

Kapitalisasi lingkungan, dengan cara menggerus SDA habis-habisan, hanya akan membuat kita
memandang lingkungan dengan cara pandang pragmatis an sich. Dengan demikian keseimbangan
lingkungan sebagai titik nadir kehidupan menjadi tercampakkan dalam mind-set kita tentang lingkungan.
Kebutuhan ekonomi, membuat kita rakus dan buas terhadap alam.

Akibatnya, lingkungan dieksploitasi secara bringas demi kepentingan meng-kapitalkan alam. Padahal
tanpa kita sadari, konsekuensi dari cara pandang yang demikian, mengakibatkan lingkungan sebagai
ancaman musibah yang mematikan.

Lihatlah bencana banjir Wasior, tanah longsor di Jawa Barat, Lumpur Mangan di Manggarai NTT,
bencana yang datang berderet itu, tak lain sebagai akibat dari rusak dan terkikisnya hutan sebagai sebab
pokoknya. Kita berharap, kelak dengan ekonomi dan politik ekologi yang berbasiskan keseimbangan
alam dan keadilan, akan mewujudkan kehidupan manusia dan makluk lainnya jau lebih baik dimasa-
masa mendatang.

Komentar: Pemerintah harus memperhatikan praktek politik ekologi.Karena


praktek ekologi yang sekarang belum seimbang akibatnya lingkungan akan rusak
dan keseimbangan ekologi tidak akan tercipta.

Anda mungkin juga menyukai