Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TANTANGAN DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEJURUAN DI INDONESIA


DALAM MENGHADAPI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Landasan Pendidikan Kejuruan yang diampu oleh
Prof. H. Ahmad Sonhadji K.H., M.A, Ph.D

DISUSUN OLEH
Bias Damiasa (180551855008)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEJURUAN
2018
TANTANGAN DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEJURUAN DI INDONESIA
DALAM MENGHADAPI ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN

Bias Damiasa
Program Studi S2 Pendidikan Kejuruan, Fakultas Pascasarjana, Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No.5, Sumbersari, Kec. Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65145
Telp. (0341) 551334
Email: biasd30@gmail.com

ABSTRAK
Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA adalah bentuk kerjasama yang disepakati oleh negara-negara
di kawasan Asia Tenggara untuk menciptakan pasar tunggal. Dengan adanya pasar tunggal, maka
tidak ada batasan terhadap arus barang, investasi, modal, jasa, dan tenaga profesional antar negara-
negara ASEAN. Ini artinya, era Masyarakat Ekonomi ASEAN juga memberikan tantangan bagi
penyelenggara pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan, untuk menciptakan lulusan yang terampil
dan kompeten di bidangnya sehingga siap memasuki dunia kerja bahkan bersaing secara ketat di pasar
tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada kenyataannya, SMK masih menghadapi banyak kendala
atau tantangan dalam upayanya mempersiapkan lulusan untuk bersaing di era MEA. Berikut ini
dipaparkan beberapa tantangan yang dihadapi, di antaranya: (1) Adanya perubahan keterampilan
yang diperlukan oleh pasar kerja, (2) Karakteristik peserta didik yang senantiasa berubah dari waktu
ke waktu, (3) Kurangnya guru dan tenaga pendidik yang berkualitas, (4) Masih banyak program
kejuruan di SMK dan lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan lain yang belum terakreditasi, (5)
Pendekatan yang masih bersifat supply-driven yang seolah-olah masih dilakukan secara sepihak oleh
penyelenggara pendidikan (6) Minat DUDI yang belum optimal untuk mengembangkan kegiatan
magang guru. Untuk menjawab tantangan global MEA, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Pembinaan
SMK telah menetapkan lima area revitalisasi yang terdiri atas kurikulum, guru dan tenaga
kependidikan, kerjasama dengan DUDI, sertifikasi dan akreditasi, serta sarpras dan kelembagaan.
Masing-masing dari area revitalisasi tersebut perlu diimplementasikan sebagai langkah nyata demi
terwujudnya sumber daya manusia yang unggul di setiap bidang
.
Kata kunci: tantangan, strategi, MEA, pendidikan kejuruan, revitalisasi

1. Posisi Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN


Salah satu tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam arus globalisasi saat ini
adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA, yang mulai diberlakukan sejak akhir tahun
2015. MEA adalah bentuk kerjasama yang disepakati oleh negara-negara di kawasan Asia
Tenggara, khususnya di bidang ekonomi, untuk menciptakan pasar tunggal. Dengan adanya
pasar tunggal, maka tidak ada batasan terhadap arus barang, investasi, modal, jasa, dan tenaga
profesional antar negara-negara ASEAN. Melalui kerjasama ini, diharapkan kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi antar negara dapat dikurangi.

2
Berdasarkan hasil survei Global Competitiveness Index tahun 2013 – 2014, tingkat
persaingan Indonesia masih lemah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN.
Dari delapan negara, Indonesia berada di peringkat kelima, satu tingkat di bawah Thailand
dan di atas peringkat Filipina. Sedangkan untuk posisi puncak ditempati oleh Singapura,
disusul oleh Malaysia dan Brunei Darussalam. Dari segi infrastruktur, kualitas infrastruktur
Indonesia berada di peringkat 92 dari 144 negara. Jika dibandingkan kembali dengan negara-
negara ASEAN, posisi Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia.
Artinya, Indonesia sebenarnya memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat besar.
McKinsey Global Institute mengemukakan prediksi bahwa Indonesia akan menempati
peringkat 7 besar ekonomi dunia pada tahun 2030. Dengan jumlah penduduk yang besar,
prediksi tersebut dapat menjadi kenyataan jika pendidikan di Indonesia mampu menghasilkan
sumber daya manusia yang unggul. Ini artinya, era Masyarakat Ekonomi ASEAN juga
memberikan tantangan bagi penyelenggara pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan,
untuk menciptakan lulusan yang terampil dan kompeten di bidangnya sehingga siap
memasuki dunia kerja bahkan bersaing secara ketat di pasar tunggal Masyarakat Ekonomi
ASEAN.

2. Tantangan Pendidikan Kejuruan Menghadapi MEA


Menurut Baldwin dan Wyplosz (2004), salah satu dampak dari pembentukan ekonomi
di suatu integrasi kawasan adalah dampak lokasi (location effect), yaitu integrasi ekonomi
akan mendorong suatu negara untuk melakukan spesialisasi sesuai dengan keunggulan
komparatif yang dimiliki (specialization). Berdasarkan paparan tersebut, kaitannya dengan
pendidikan, sekolah menengah kejuruan (SMK) sebagai penyelenggara pendidikan kejuruan
dituntut untuk mampu mencetak lulusan yang memiliki skill atau spesialisasi sesuai bidang
atau kompetensi yang dipilih. Dengan bekal skill tersebut, diharapkan lulusan SMK dapat
menjawab kebutuhan dunia industri atau dunia kerja.
Pada kenyataannya, SMK masih menghadapi banyak kendala atau tantangan dalam
upayanya mempersiapkan lulusan untuk bersaing di era MEA. Berikut ini dipaparkan
beberapa tantangan yang dihadapi.
Pertama, adanya perubahan keterampilan yang diperlukan oleh pasar kerja. Era MEA
dan persaingan bebas ditandai dengan memudarnya batasan antar negara dan terbukanya
banyak kesempatan pembukaan pasar regional. Akibatnya, jenis pekerjaan dapat berubah
dengan cepat sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan penyediaan tenaga kerja serta
3
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Pekerjaan yang
semula dilakukan secara manual dengan mengandalkan tenaga manusia, kini digantikan oleh
mesin dan teknologi informasi. Diperkirakan 35% keterampilan dasar pada dunia kerja akan
berubah pada tahun 2020 sehingga hampir 2 miliar pekerja berisiko kehilangan pekerjaan.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pendidikan kejuruan perlu memberi banyak pilihan
keterampilan yang sesuai dengan minat siswa serta perkembangan kebutuhan pasar kerja.
Kedua, karakteristik peserta didik yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu.
Karakteristik siswa di abad ke-21 tentu berbeda dengan karakteristik siswa di abad
sebelumnya. Yang paling menonjol adalah kecenderungan siswa untuk menyukai
pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan
kejuruan perlu menyesuaikan proses pembelajaran dengan tidak lagi menerapkan model
konvensional, tetapi memadukan kegiatan tatap muka dengan teknologi informasi. Selain itu,
kebutuhan belajar siswa juga berubah dari menyesuaikan dengan definisi peran sosial atau
profesi tertentu, menjadi mengembangkan kapasitas siswa untuk menciptakan profesi yang
berpusat pada keunggulan personalnya. Selain itu, adanya perubahan pada tingkat
kebekerjaan lulusan SMK menandakan adanya dua tantangan bagi SMK sebagai
penyelenggara pendidikan kejuruan. Tantangan pertama, yaitu pendidikan kejuruan harus
mampu mencetak lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Sedangkan, tantangan
kedua adalah bahwa pendidikan kejuruan harus dilaksanakan dengan memperhatikan
karakteristik peserta dididiknya.
Ketiga, kurangnya guru dan tenaga pendidik yang berkualitas. Guru dan tenaga
pendidik memiliki peran sebagai pelaksana kegiatan pembelajaran di sekolah sehingga
dituntut untuk mampu beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang cepat dan standar
yang semakin tinggi. Tantangan pendidikan kejuruan, kaitannya dengan guru, tidak hanya
mengenai kurangnya kualitas tetapi juga distribusi yang tidak merata untuk seluruh wilayah
di Indonesia, tetapi juga belum terpenuhinya guru produktif sesuai kebutuhan di lapangan.
Fenomena-fenomena ini diakibatkan beberapa faktor, di antaranya belum terpenuhinya
kualifikasi akademik seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru.
Berdasarkan peraturan tersebut, kualifikasi akademik bagi guru adalah S1 atau D-IV. Namun,
pada kenyataannya, pada tahun 2015 sekitar 12% guru masih memiliki kualifikasi akademik
dibawah S-1/ D-IV. Selain itu, adanya keraguan terhadap kompetensi guru karena hasil uji
kompetensi menunjukkan masih banyak guru yang belum mencapai standar kompetensi yang
ditetapkan. Guru juga tidak selalu memiliki kompetensi keahlian yang sesuai dengan mata
4
pelajaran yang diampu serta tidak menguasai penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK). Pembelajaran di SMK yang mengutamakan penguasaan kompetensi
membutuhkan guru yang memahami perkembangan DUDI. Oleh karena itu, pengalaman
para guru pendidikan vokasi untuk terjun langsung dalam kegiatan di industri menjadi sangat
penting.
Keempat, masih banyak program kejuruan di SMK dan lembaga pendidikan dan
pelatihan kejuruan lain yang belum terakreditasi. Hal ini menumbuhkan keraguan terhadap
kualitas penyelenggaraan pendidikan di SMK atau lembaga tersebut. Hal ini juga berdampak
pada keraguan akan kualitasnya. Untuk menghindari hal tersebut, satuan pendidikan kejuruan
harus menjalani proses akreditasi demi memberi jaminan kepada masyarakat mengenai
kelayakan proses pembelajaran serta kualitas output yang dihasilkan. Untuk mewujudkan
pendidikan kejuruan yang tepat sasaran, perlu adanya kolaborasi yang baik dan komitmen
penuh dari lembaga-lembaga terkait, seperti Kementerian dan Dinas Pendidikan,
Kementerian dan Dinas Tenaga Kerja, asosiasi-asosiasi profesi, perusahaan swasta dan
instansi pemerintah (sebagai pengguna output) serta lembaga pendidikan vokasi (formal dan
nonformal). Salah satu penyebab kacaunya penyelenggaraan pendidikan kejuruan di
Indonesia adalah tatanan kelembagaan yang tambal sulam sehingga tidak menghasilkan
kesepakatan antar lembaga untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Kelima, pendekatan yang masih bersifat supply-driven yang seolah-olah masih
dilakukan secara sepihak oleh penyelenggara pendidikan. Penyebabnya adalah masih
kakunya perubahan kejuruan sehingga sekolah tidak mampu mengikuti perkembangan
industri yang sangat pesat. Akibatnya, industri mengeluhkan lulusan SMK yang tidak sesuai
dengan kebutuhan mereka. Menurut Stephen M. dan Agus (2010), prinsip yang melekat
dalam sistem pendidikan dan pelatihan terutama kejuruan supaya dapat berdaya saing adalah
penyelerasan relevansi SMK dengan pasar tenaga kerja (salah satunya yang memenuhi
kebutuhan pengusaha dan harapan).
Pada hakikatnya, pendidikan kejuruan seharusnya menekankan pada pendidikan yang
mampu menyesuaikan dengan (1) permintaan pasar (demand driven);
(2) kebersambungan (link) antara pengguna lulusan dan penyelenggara pendidikan kejuruan;
dan (3) kecocokan (match) antara karyawan (employee) dengan pengusaha (employer).
Ukuran keberhasilan penyelenggaraan pendidikan vokasi dilihat dari tingkat mutu dan
relevansi, yaitu jumlah keterserapan lulusan dan kesesuaian bidang pekerjaan dengan bidang
keahlian. Oleh karena itu, reorientasi kejuruan yang bersifat permintaan pasar (demand
driven) menjadi penting untuk dilakukan. Penjurusan kejuruan harus bersifat fleksibel dan
5
dapat menyesuaikan permintaan dan perkembangan dunia kerja. Di samping itu, dunia kerja
diharapkan berperan aktif dan bekerja sama dengan lembaga pendidikan dalam menentukan,
mendorong, dan menggerakkan penyelenggaraan pendidikan kejuruan, mulai dari
perencanaan hingga pelaksanaan.
Perencanaan yang bersifat demand driven diawali dengan keterlibatan dunia kerja
dalam menentukan program dan bidang keahlian serta standar kompetensi sesuai kebutuhan
serta dimana lembaga pendidikan akan didirikan, hingga ke proses penyusunan
kurikulumnya. Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pendidikan vokasi yang bersifat
demand driven diperlukan kerjasama permanen antara Pemerintah dan industri.
Keenam, minat DUDI yang belum optimal untuk mengembangkan kegiatan magang
guru. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, pembelajaran di lembaga pendidikan
kejuruan yang mengutamakan penguasaan kompetensi membutuhkan para pendidik yang
memahami perkembangan DUDI. Oleh karena itu, pengalaman para guru SMK untuk terjun
langsung ke dunia industri menjadi sangat penting.
Salah satu cara yang ampuh untuk peningkatan kompetensi guru adalah melalui
kegiatan magang. Kerjasama pendidikan kejuruan dan DUDI dalam bentuk magang guru
sebenarnya telah terintegrasi dalam instrumen akreditasi pendidikan vokasi (dalam Standar
Pengelolaan). Akan tetapi, data tentang pengalaman guru pendidikan kejuruan untuk terjun
ke industri belum tersedia secara sistematis. Data ini dibutuhkan untuk memetakan kebutuhan
pembinaan guru agar mampu menyampaikan pengetahuan serta keterampilan sesuai dengan
perkembangan teknologi terbaru di DUDI. Selain itu, minat dari DUDI masih belum optimal
untuk mengembangkan kegiatan magang guru menjadi kegiatan yang bermanfaat untuk
perusahaan. Pada banyak kasus, manajemen sekolah tidak selalu mampu melaksanakan
kegiatan magang guru walaupun kesadaran untuk menjadikan magang guru sebagai kegiatan
yang terstruktur sudah muncul. Kendala utama adalah masih terbatasnya peluang bagi guru
untuk melaksanakan magang di DUDI. Akibatnya, pelaksanaan kegiatan ini menjadi tidak
berkala serta tergantung pada inisiatif dari DUDI atau guru.
Enam tantangan yang telah dipaparkan sebelumnya mencerminkan keadaan nyata
penyelenggaraan pendidikan kejuruan di Indonesia. Demi menjawab tantangan tersebut,
diperlukan suatu strategi untuk meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia
di Indonesia, khususnya para lulusan SMK. Untuk mewujudkan hal tersebut, Presiden Joko
Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 untuk mempersiapkan
pendidikan kejuruan dalam menghadapi tantangan global Masyarakat Ekonomi ASEAN.

6
3. Strategi Pendidikan Kejuruan dalam Menghadapi MEA
Untuk menjawab tantangan global MEA, Presiden Joko Widodo mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan,
disusul dengan nota kesepahaman antar kementerian terkait. Sebagai pilot implementasi
Revitalisasi SMK, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merintis 125
SMK dengan bidang bidang keahlian yang sesuai dengan prioritas pembangunan nasional,
yaitu Kemaritiman, Pariwisata, Pertanian, dan Industri Kreatif yang tersebar di seluruh
Indonesia. Empat sektor unggulan tersebut diharapkan dapat memperkuat daya saing bangsa
dan menyerap sejumlah besar tenaga kerja. Selain itu, Kemdikbud juga merintis 94 SMK
bidang keahlian lainnya, seperti Teknologi dan Rekayasa, Bisnis dan Manajemen, Teknik
Informatika dan Komunikasi, Kesehatan dan Pekerjaan Sosial, serta Energi dan
Pertambangan, sebagai rujukan dan pendukung prioritas pembangunan nasional.
Adapun secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai dari program Revitalisasi SMK
sesuai Buku Strategi Implementasi Revitalisasi SMK, di antaranya:
1. Mewujudkan link and match sekolah dengan Dunia Usaha/Industri
2. Mengubah paradigma dari push menjadi pull. Artinya paradigma SMK yang dulunya
hanya mendorong untuk mencetak lulusan saja tanpa memperhatikan kebutuhan pasar
kerja berganti menjadi paradigma mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan
pasar kerja mulai dari budaya kerja dan kompetensi yang diperlukan dalam pasar kerja
dan menariknya ke dalam SMK untuk disusun kurikulum SMK yang diselaraskan
dengan kurikulum industri
3. Mengubah pembelajaran dari supply driven ke demand driven
4. Menyiapkan lulusan SMK yang adaptable terhadap perubahan dunia untuk menjadi
lulusan yang dapat bekerja, melanjutkan, dan berwirausaha
5. Mengurangi/menghilangkan kesenjangan antara pendidikan kejuruan dengan kebutuhan
DUDI baik dari aspek teknologi, administratif, maupun kompetensi. kebutuhan DUDI
baik dari aspek teknologi, administratif, maupun kompetensi.

Direktorat Pembinaan SMK telah menetapkan lima area revitalisasi yang terdiri atas
kurikulum, guru dan tenaga kependidikan, kerjasama dengan DUDI, sertifikasi dan
akreditasi, serta sarpras dan kelembagaan. Masing-masing dari area revitalisasi tersebut
perlu diimplementasikan sebagai langkah nyata demi terwujudnya sumber daya manusia yang
unggul di setiap bidang. Perwujudan langkah nyata tersebut dilakukan
dengan sepuluh langkah revitalisasi SMK.
7
Langkah pertama, yaitu revitalisasi sumber daya manusia. Meningkatnya kinerja
sumber daya manusia akan berdampak pada kinerja pendidikan yang semakin baik
dalam menjalankan perannya di DUDI dan masyarakat. Revitalisasi sumber daya manusia
dilakukan mulai dari kepala sekolah sebagai pimpinan dan penanggung jawab, guru,
karyawan, serta siswa agar semua komponen sekolah tersebut dapat menghasilkan lulusan
yang mampu menjawab perubahan dunia di era Masyarakat Ekonomi ASEAN ini.
Langkah kedua, yaitu SAS (Sistem Administrasi Sekolah) berbasis SIM (Sistem
Informasi Manajemen) Sekolah Menengah Kejuruan. Menurut McLeod (2001) sistem
informasi manajemen adalah suatu sistem penghasil informasi yang mendukung sekelompok
manajer yang mewakili suatu unit organisasi seperti tingkat manajemen atau bidang
fungsional. Adapun faktor yang menjadi syarat kesuksesan sistem informasi manajemen
suatu sekolah, di antaranya: (1) Ketersediaan; (2) Mudah untuk dipahami; (3) Kesesuaian (4)
Kelengkapan; (5) Ketepatan waktu; (6) Terorganisir; (7)Meningkatkan produktivitas
Langkah ketiga, link and match dengan antara dunia pendidikan dan industri. Adanya
kerjasama dan keterlibatan DUDI membuat penyelenggara pendidikan kejuruan, dalam hal
ini SMK, untuk menyusun kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Adapun
bentuk pelaksanaan kerjasama dengan DUDI dapat diwujudkan dalam bentuk:
1. Kerjasama dengan DUDI
Tujuan kegiatan ini adalah menunjang tercapainya program sekolah serta
mengoptimalkan kerjasama dengan instansi yang relevan dengan kompetensi keahlian
2. Pembentukan Kelas Industri
Siswa dapat menguasai sepenuhnya aspek-aspek kompetensi yang dituntut kurikulum,
serta mengenal lebih dini dunia industri yang menjadi bidang keahliannya
3. Pelaksanaan guru magang
Magang guru dapat meningkatkan relevansi kompetensi keahlian guru, khususnya
guru produktif, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di
DUDI. Melalui kegiatan ini, guru SMK dapat mengamati secara nyata, kompetensi
seperti apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja tersebut.
4. Prakerin
Praktik Kerja Industri yang disingkat dengan “Prakerin” merupakan bagian dari program
pembelajaran yang ditempuh oleh setiap siswa di dunia kerja. Program ini disusun bersama
antara sekolah dan DUDI dalam rangka memenuhi kebutuhan belajar siswa dan sebagai
kontribusi DUDI terhadap pengembangan program pendidikan SMK.

8
Langkah keempat, yaitu penyelarasan kurikulum SMK dengan DUDI. Melalui kegiatan
ini diharapkan dapat menghasilkan kualitas lulusan atau pencari kerja yang dapat memenuhi
kualifikasi dan persyaratan yang dibutuhkan dunia kerja atau dapat melakukan wirausaha
secara mandiri. Tujuan akhir dari penyelarasan ini adalah tercipta paradigma The right man
on the right place, memperkaya lapangan pekerjaan melalui wirausaha dan sekaligus
memperkecil angka penggangguran.
Langkah kelima, yaitu teaching factory. Konsep pembelajaran berbasis teaching factory
menekankan pendidikan yang lebih demand oriented dengan membekali siswa dengan
karakter kewirausahaan (technopreneurship) dan melibatkan DUDI sebagai mitra utama.
Melalui pola teaching factory, kerjasama pendidikan dengan industri berdampak pada proses
pembelajaran yang semakin berorientasi pada kebutuhan industri. Kerjasama yang dibangun
secara sistematis menjadikan Teaching Factory sebagai penghubung antara dunia pendidikan
dengan DUDI guna meningkatkan kualitas guru dan softskill bagi peserta didik.
Langkah keenam, yaitu penggunaan media video tutorial dan portfolio berbasis video e-
report skill. Video E-report skill adalah video yang dibuat oleh peserta didik pada saat
melaksanakan praktik sesuai dengan skema kompetensi melalui rekaman yang dilakukan oleh
teman belajar. Hasil rekaman ini dapat dievaluasi oleh guru atau instruktur dengan mengacu
pada video tutorial terkait persiapan praktik, penggunaan keselamatan kerja, pengoperasian
peralatan/ mesin, langkah kerja, sikap kerja, dan hasil akhir.
Langkah ketujuh, yaitu lembaga sertifikasi profesi. Sertifikasi adalah suatu proses
pengakuan keahlian dan kewenangan seorang dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjan
tertentu, melalui sesuatu proses sistem pengujian keahlian yang mengacu kepada standar
keahlian yang berlaku dan diakui oleh lapangan pekerjaan (Depdikbud:2007). Sertifikat
profesi ini meningkatkan keterserapan siswa di dunia kerja sebagai sarana meyakinkan
industri tentang potensi yang dimiliki oleh lulusan SMK. Bahkan, dengan sertifikat profesi
yang dimiliki, dimungkinkan justru DUDI yang mencari lulusan SMK.
Langkah kedelapan, yaitu pemenuhan sarana dan prasarana. Penentuan kebutuhan sarana
dan prasarana didasarkan pada Link and Match, Kurikulum, Teaching Factory, Media
Tutorial/Video E-Report Skill dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Melalui kerja sama
dengan Dunia Industri yang disusun dalam bentuk kurikulum untuk pembelajaran yang
berbasis Teaching Factory, diperlukan media tutorial yang bertujuan untuk menghasilkan
portofolio dari siswa dalam bentuk E- Report Skill. Dari E-Report Skill, diharapkan akan
mempermudah proses percepatan sertifikasi profesi lulusan SMK yang sesuai dengan standart
LSP.
9
Langkah kesembilan adalah mengembangkan kearifan lokal. Menurut Rahyono, kearifan
lokal merupakan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta lembaga strategi kehidupan
yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Pengembangan SMK di daerah selayaknya
memiliki acuan pengembangan kearifan lokal. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan
pengembangan yang berprinsip pada kebutuhan dan keberlanjutan penyelenggaraan
pendidikan kejuruan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan SMK
berbasis kearifan lokal, di antaranya:
1. Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah
2. Menentukan fungsi dan tujuan
3. Menentukan kriteria bahan kajian
4. Menyusun kurikulum berbasis kearifan lokal
5. Menentukan kriteria bahan kajian
6. Menyusun kurikulum berbasis kearifan lokal

Langkah kesepuluh adalah menggerakkan ekonomi lokal. Peran SMK sebagai


penggerak ekonomi lokal adalah mengembangkan ekonomi kreatif, sebagai penggerak
industri masyarakat, meningkatkan kemampuan dan keterampilan serta aksebilitas sehingga
masyarakat dalam mengaplikasikan prinsip agrobisnis dan agroindustri yang dapat
memecahkan persoalan sehari-hari, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan SMK untuk menggerakkan ekonomi lokal di
antaranya:
1. Kolaborasi dengan UMKM
Dalam rangka memgembangkan UMKM, SMK berperan sebagai pusat penggerak
UMKM, dimana produk yang dihasilkan UMKM dapat didistribusikan melalui siswa
lewat jaringan Binaan SMK yang berbasis IT, yaitu UPJ (Unit Produksi dan Jasa) SMK.
UPJ SMK merupakan salah satu bentuk wadah pembelajaran praktik siswa dimana siswa
terjun langsung dengan ilmu yang dimiliki, mulai dari sistem packaging, sistem
desain/labeling, sistem controling atau pengendali dan sebagai konsultan.
2. Kolaborasi dengan retail
Salah satu kolaborasi yang dapat dilakukan oleh SMK yaitu dengan Bumdes Mandiri
Binaan SMK, dimana SMK berperan sebagai distributor serta sebagai pengendali
manajemen kontrol yang berbasis IT untuk kegiatan transaksi penjualan barang,

10
penerimaan barang dan stock serta laporan keuangan yang dapat dilakukan secara online
oleh manajemen SMK yaitu bagian accounting.
3. Kolaborasi dengan kelompok tani
SMK mampu mengedukasi siswa dengan mengajarkan bagaimana cara mengolah limbah
pertanian, mengolah jerami dengan menggunakan alat teknologi yang dimiliki atau
diciptakan SMK.
4. Kolaborasi dengan industri besar
Kolaborasi SMK dengan industri besar dapat diwujudkan melalui kegiatan Pendidikan
Sistem Ganda (PSG). Sesuai dengan konsepnya, PSG merupakan bentuk
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan yang memadukan program
pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui bekerja
langsung di dunia kerja. Melalui PSG, siswa belajar tentang manajemen dan
organisasi industri untuk belajar tentang dunia usaha dan cara pengelolaan usaha,
sehingga mereka memiliki wawasan dan pengetahuan tentang dunia usaha.

Daftar Rujukan
Baldwin, R; Dan C.Wyplozs. 2004. The Economic Of European Integration. Mcgraw Hill
F.X, Rahyono. (2009). Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama.
Stephen M., et al. (2010). Principles And Strategies Of A Successful TVET Program. MTC
Institute. October 2010. 1-16.
Tim Penyusun Kemendikbud. 2016. Revitalisasi Pendidikan Vokasi. Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
Tim Penyusun Kemendikbud. 2017. Strategi Implementasi Revitalisasi SMK. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.

11

Anda mungkin juga menyukai