Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma leher rahim (Karsinoma serviks) atau biasa disebut kanker serviks
adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim atau serviks (bagian terendah
dari rahim yang menempel pada puncak vagina). Sebanyak 90% dari kanker serviks
berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel
kelenjar penghasil lender pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Kanker
serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Penyakit ini berawal dari
infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel epitel serviks.
Risiko terinfeksi virus HPV dan beberapa kondisi lain seperti perilaku seksual,
kontrasepsi, atau merokok merupakan faktor risiko terjadinya kanker serviks.
Mekanisme timbulnya kanker serviks ini merupakan suatu proses yang kompleks dan
sangat variasi sehingga sulit untuk dipahami.
Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah
kanker payudara. Sementara itu, di Negara berkembang masih menempati urutan
pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada usia produktif. Hampir 80%
kasus berada di Negara berkembang. Di Indonesia, kanker leher rahim bahkan
menduduki peringkat pertama. Sesungguhnya penyakit ini dapat dicegah bila program
skrining sitology dan pelayanan kesehatan diperbaiki. Diperkirakan setiap tahun
dijumpai sekitar 500.000 penderita baru diseluruh dunia umumnya terjadi di negara
berkembang.
Sebelum tahun 1930, kanker serviks merupakan penyebab utama kematian
wanita dan kasusnya turun secara drastic semenjak diperkenalkannya teknik skrining
pap smear. Namun, saying hingga kini program skrining belum lagi memasyarakat di
negara berkembang hingga mudah dimengerti mengapa insiden kanker serviks masih
tetap tinggi.
Hal terpenting menghadapi penderita kanker serviks adalah menegakkan
diagnosis sedini mungkin dan memberikan terapi yang efektif sekaligus prediksi
prognosisnya. Hingga saat ini pilihan terapi masih terbatas pada operasi, radiasi dan
kemoterapi, atau kombinasi dari beberapa terapi ini. Namun, tentu saja terapi ini
masih berupa “simptomatis” karena masih belum menyentuh dasar penyebab kanker
yaitu adanya perubahan perilaku sel. Terapi yang lebih mendasar atau imunoterapi
masih dalam tahap penelitian.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kanker leher rahim adalah kanker yang terdapat pada serviks atau leher
rahim, yaitu area bagian bawah rahim yang menghubungkan rahim dengan
vagina. Kanker leher rahim terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan
membelah secara tidak terkendali. Jenis kanker serviks terbanyak berasal dari
sel skuamosa, yaitu sel gepeng yang melapisi rahim. Urutan berikutnya adalah
kanker jenis adenokarsinoma, berasal dari epitel kelenjar. Jarang ditemukan
sel lain penyebab kanker serviks.1

2.2 Epidemiologi
Di seluruh dunia, kanker serviks adalah kanker paling mematikan kelima
pada wanita. Kanker ini mengenai sekitar 16 dari 100.000 wanita pertahun dan
membunuh sekitar 9 dari 100.000 per tahun dan sekitar 80% kanker serviks
terjadi di negara berkembang. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 473.000
kasus kanker serviks pada tahun 2008 dan 253.500 kematian per tahun.
Di Amerika Serikat (AS), kanker serviks adalah kanker urutan nomor 8
yang ditemukan pada wanita. Pada tahun 1998, sekitar 12.800 wanita di
diagnosis di AS dan 4.800 pasien telah meninggal. Pada tahun 2008 di AS
diperkirakan 11.000 kasus baru didiagnosis dan sekitar 3.870 orang meninggal
dunia akibat kanker serviks. Angka kejadian dan kematian akibat kanker
serviks di Amerika Serikat dapat ditekan menjadi setengah angka kejadian dan
kematian akibat penyakit ini di belahan dunia lain. Keberhasilan menekan
kejadian kanker di atas adalah dicapai dengan melakukan program penapisan
Pap smear.
Terdapat pengurangan angka kematian sebesar 42% pada tahun 1988-
1997 berkat program penapisan National Health Service yang diterapkan pada
kelompok risiko tinggi, yaitu umur 25-49 tahun.
Di Indonesia angka kejadian kanker serviks didapatkan dari rekam medis
Rumah Sakit Kanker Dharmais, pada tahun 2009 dan 2010 dengan prevalensi
masing-masing 16,5% dan 17,2% dan menempati urutan kedua dari 10 kanker
terbanyak pada rumah sakit tersebut.2-4

2
2.3 Faktor Risiko
American Cancer Society mengeluarkan daftar faktor risiko untuk
terjadinya kanker serviks selain infeksi HPV, yaitu merokok, infeksi HIV,
infeksi klamidia, faktor makanan, kontrasepsi hormonal, kehamilan multiple,
paparan terhadap hormon obat dietilstilbestrol, dan riwayat keluarga kanker
serviks.
Hubungan seksual pertama usia muda kurang dari 20 tahun, kehamilan
pertama, diperbesar oleh penggunaan dini kontrasepsi oral, dan faktor risiko
genetic yang mungkin terkait dengan HLA-B7 yang keseluruhannya
dihubungkan dengan risiko menderia kanker serviks.
Belum ada bukti yang mendukung pernyataan bahwa sirkumsisi dari
pasangan akan mengurangi risiko kanker servins, meskipun beberapa peneliti
mengatakan terdapat bukti epidemiologi yang meyakinkan bahwa pria yang
disirkumsisi akan mengurangi paparan terhadap infeksi HPV.5 Pernyataan
diatas tidak berlaku pada pria dengan perilaku seksual berisiko rendah dan
pasangan perempuan monogamy, yang kemudian dapat dibuktikan dengan
adanya hubungan antara sirkumsisi dengan risiko terjadinya kanker serviks.

2.4 Patogenesis
Transmisi HPV terjadi secara primer melalui kontak kulit. Sel basal dari
epitel gepeng berlapis dapat terinfeksi oleh HPV. Sel lainnya lebih resisten.
Terdapat dugaan bahwa siklus repilasi HPV dimulai saat virus memasuki
lapsan basal epitel. Infeksi HPV di lapisan basal epitel cenderung
membutuhkan abrasi ringan atau mikrotrauma epidermis. Seasaat setelah sel
inang, DNA HPV bereplikasi ke permukaan epitel. Pada lapisan basal,
replikasi virus dianggap tidak produktif, dan virus mengembangkan dirinya
sendiri sebagai low-copy-number episome menggunakan mesin replikasi DNA
inang untuk mensisntesis DNA HPV rata-rata satu kali per siklus sel. Pada
keratinosit yang berdiferensiasi di lapisan suprabasal epitel, virus bertukar
menjadi mode siklus HPV ke high-copy-number, mensintesis protein kapsid
dan menyebabkan virus berkumpul.6

3
2.4.1 Biologi Molekular pada Karsinoma Serviks
Kanker serviks merupakan contoh yang paling dapat dimengerti tentang
bagaimana infeksi virus dapat mengarah kepada keganasan. Mekanisme
molecular dari infeksi HPV onkogenik ditunjukkan pada gambar 1. Tipe HPV
risiko tinggi dapat dibedakan dengan HPV risiko rendah melalui struktur dan
fungsi dari E6 dan E7. Pada lesi jinak yang disebabkan HPV, virus DNA
berlokasi pada ekstra kromosom di dalam nucleus.
Pada neoplasma intraepitel tingkat tinggi dan kanker invasive, DNA-HPV
umumnya bergabung dengan genom inang. Integrasi DNA-HPV mengganggu
atau menghabus region E2, dan menyebabkan hilangnya fungsi ekspresi. Hal
ini mengganggu fungsi E2 yang secara normal menghentikan transkripsi gen
E6 dan E7, dan mengarah pada peningkatan ekspresi gen E6 dan E7. Fungsi
produk E6 dan E7 selama infeksi HPV yang produktif adalah untuk menekan
jalur regulasi pertumbuhan sel dan memodifikasi lingkungan seluler untuk
memfasilitasi replikasi virus. Produk E6 dan E7 menderegulasi siklus
pertumbuhan sel inang dengan mengikat dan menginaktivasi 2 protein
penekan tumor; protein penekan tumor (p53), dan produk gen retinoblastoma
(pRb). Produk gen E6 HPV terikat ke p53 dan menargetkannya untuk
degradasi cepat. Sebagai konsekuensi, aktivitias normal p53 yang memerintah
penahanan G1, apoptosis, dan reparasi DNA dihentikan. HPV risiko rendah
protein E6 tidak mengikat p53 pada tingkat yang dapat dideteksi dan tidak
memiliki pengaruh pada stabilitas p53 in vitro. HPV produk gen E7 terikat ke
p53 dan ikatan ini mengganggu kompleks p53 dan faktor transkripsi selular
E2F-1, menghasilkan pembesaran E2F-1, yang memungkinkan terjadinya
transkripsi gen dimana produknya dibutuhkan sel untuk memasuki fase S dari
siklus sel. Produk gen E7 juga berkaitan dengan protein seluler interaktif
secara mitosis, seperti cyclin E. Hasilnya merupakan stimulasi sintesis DNA
seluler dan proliferasi sel. Protein E7 dari tipe HPV risiko rendah mengikat
p53 dengan menurunkan afinitas. Selanjutnya, produk gen E5 menginduksi
peningkatan aktivasi mitogen-teraktivasi protein kinase, oleh karena itu respon
seluler terhadap pertumbuhan dan faktor diferensiasi meningkat. Hasil ini
mengakibatkan proliferasi berkesinambungan dan keterlambanan diferensiasi
dari sel inang.

4
Gambar 1. Mekanisme molecular dari infeksi onkogen HPV

Inaktivasi protein p53 dan pRb dapat memberikan peningkatan proliferasi


dan instabilitas genom. Sebagai konsekuensi, sel inang berakumulasi lebih
banyak dan lebih banyak merusak DNA yang tidak dapat diperbaiki.
Mengarah ke sel kanker yang telah bertransformasi. Sebagai tambahan
terhadap efek dari aktivasi onkogen berkontribusi terhadap transformasi
mtermasuk metilasi virus dan DNA seluler, aktivasi telomerase, serta faktor
hormon dan imunogenetik.

2.5 Patofisiologi
Berdasarkan karsinogenesis secara umum, proses perubahan jaringan
menjadi karsinoma diakibatkan adanya mutasi gen pengendali siklus sel. Gen
tersebut antara lain onkogen, tumor suppressor gene, dan repair gene. Proses
karsinoma serviks diawali dengan bentuk displasia (umumnya ringan) yang
muncul akibat peningkatan aktivitas regenerasi epitel karena trauma mekanik
atau kimiawi, infeksi virus atau bakteri, dan gangguan keseimbangan hormon.7
Bentuk preinvasif tersebut berubah menjadi invasif pada stroma serviks
dalam jangka waktu 7-10 tahun. Proses ini merupakan proses keganasan.
Perluasan lesi tersebut dapat menimbulkan luka, menginfiltrasi kanalis
cerviks, dan bahkan dapat meluas ke forniks, rectum, vesica urinaria, dan

5
jaringan lain sekitar serviks. Dua substansi biomolekuler yang berpengaruh
pada proses keganasan ini antara lain Tumor Necrosis Factors (TNF) dan
Human Papiloma Virus (HPV).8-12
Polimorfisme gen lain yang terlibat dalam proses apoptosis sel dan repair
gen, yaitu gen p53 yang bersifat labil, akan mempengaruhi peningkatan risiko
HPV berkembang menjadi kanker. Gen p53 merupakan protein supressor
tumor yang diduga paling banyak berperan. Oleh karena itu, perubahan mutasi
gen p53 menjadi kompleks p53-E6 (bersifat stabil) akan berjalan proses
karsinogenesis tanpa kontrol.7
Pengaruh HPV sebagai virus heterogen tingkat selular, saat memasuki
fase laten virus ini bersifat epigenetik. Virus ini mengandung rantai double
DNA E1, E2, E3, E4, E6, E7 sebagai segmen opening reading frame. Ketika
fase laten, terjadi ekspresi E1 E2 yang menstimulus terutama L1 L2 yang
berfungsi dalam replikasi dan perakitan virus baru. Virus tersebut akan
menginvasi kembali epitel serviks. Saat fase laten ini pula, muncul reaksi
imunologis tipe lambat, terbentuklah antibodi E1 E2 yang mengakibatkan
penurunan ekspresi E1 E2. Penurunan tersebut mendorong terjadinya integrasi
antara DNA virus dengan DNA sel penjamu. Ekspresi E1 E2 yang hilang
tersebut akan menstimulus onkoprotein E6 E7. Replikasi virus terus terjadi
dan infeksi virus ini bersifat aktif.7
Anomali HLA pada tubuh dapat meningkatkan infeksi HPV yang dapat
berkembang menjadi karsinoma.13-14 Virus akan menyerang epitel sel basal
zona transformasi, yang menyebabkan perubahan gen menetap, kehilangan
sifat serta kontrol pertumbuhan sel normal, sehingga terjadi keganasan.7
Keganasan tersebut menyebabkan serviks membesar, dan mendesak
vesica urinaria, sehingga frekuensi berkemih menjadi lebih sering. Karsinoma
invasive yang bersifat dini dapat menyebabkan perdarahan per-vaginam.
Penekanan saraf lumbo-sacral menyebabkan nyeri punggung bawah atau
tungkai.15

2.6 Gejala dan Tanda


Tidak ada tanda atau gejala yang spesifik untuk karsinoma serviks.
Namun, karsinoma ini dapat menyebabkan sekret vagina atau perdarahan
vagina. Perdarahan adalah gejala yang signifikan, meskipun perdarahan tidak

6
selalu muncul pada saat-saat awal, sehingga karsinoma mungkin sudah dalam
keadaan lanjut pada saat didiagnosis. Adapun tanda dan gejala yang biasanya
terjadi antara lain16-17:
1. Keputihan. Getah yang keluar dari vagina makin lama akan berbau
busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
2. Perdarahan vagina, biasanya post-coitus
3. Anemia
4. Nyeri punggung bagian bawah
5. Nyeri tungkai akibat penekanan saraf lumbosakralis
6. Frekuensi berkemih yang sering dan mendesak
7. Hematuria
8. Perdarahan rektum
9. Konstipasi
10. Edema tungkai
11. Disuria
12. Inkotinensia urin
13. Penurunan berat badan
14. Anorexia

2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang ini meliputi inspeksi,
kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi, rektoskopi, USG, BNO-IVP, foto toraks
dan bone scan, CT scan atau MRI, PET scan.
Pada umumnya, lesi prakanker belum memberikan gejala. Bila telah
menjadi kanker invasif, gejala yang paling umum adalah perdarahan (contact
bleeding, perdarahan saat berhubungan intim) dan keputihan. Pada stadium
lanjut, gejala dapat berkembang menjadi nyeri pinggang atau perut bagian
bawah karena desakan tumor di daerah pelvik ke arah lateral sampai obstruksi
ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi sesuai
dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula vesikovaginal,
fistula rektovaginal, edema tungkai.

7
Pada penderita kanker serviks stadium awal, temuan pemeriksaan fisik bisa relatif
normal. Seiring perkembangan penyakit ini, serviks bisa menjadi abnormal pada
inspeksi, dengan erosi, ulkus, atau massa. Kelainan ini bisa meluas ke vagina.
Pemeriksaan rektal dapat mengungkapkan massa eksternal atau darah dari erosi
tumor. Temuan pemeriksaan panggul bimanual sering mengungkapkan metastasis
panggul atau parametrium. Jika penyakit ini melibatkan hati, hepatomegali bisa
terjadi. Metastasis paru biasanya sulit dideteksi pada pemeriksaan fisik kecuali efusi
pleura atau obstruksi bronkial menjadi jelas. Edema kaki menunjukkan obstruksi
limfatik atau vaskular yang disebabkan oleh tumor.19

2.7.1 Pemeriksaan Skrining


Menjalani tes kanker atau prakanker dianjurkan bagi semua wanita berusia
30-45 tahun. Kanker rahim menempati angka tertinggi diantara kanker lain wanita,
sehingga tes harus dilakukan pada usia di mana lesi pra-kanker lebih mudah
terdateksi, biasanya 10-20 tahun lebih awal. Sejumlah faktor risiko berhubungan
dengan perkembangan kanker serviks sebagai berikut:
a) Usia muda saat pertama kali melakukan hubungan seksual (usia <20 tahun)
b) Memiliki banyak pasangan seksual
c) Riwayat pernah mengalami Infeksi Menular Seksual (IMS)
d) Ibu atau saudara perempuan yang memiliki riwayat kanker serviks
e) Hasil Papsmear sebelumnya yang tidak normal
f) Wanita perokok
g) Wanita yang mengalami masalah penurunan kekebalan tubuh dan (HIV/AIDS)
WHO merekomendasikan interval deteksi dini:
a) Bila deteksi dini hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka sebaiknya
dilakukan pada wanita antara usia 35-45 tahun.
b) Untuk wanita usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan deteksi dini
hendaknya dilakukan 3 tahun sekali
c) Bila 2 kali berturut-turut hasil deteksi dini sebelumnya negatif, perempuan
usia diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani deteksi dini.
d) Tidak semua wanita direkomendasikan melakukan deteksi dini setahun sekali.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes
IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program,

8
yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan
pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah
terlatih. Pada skrining dengan Papsmear, temuan hasil abnormal direkomendasikan
untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi.
Uji Hybrid Capture II untuk tes HPV disetujui oleh FDA pada tahun 2003
sebagai pendekatan baru untuk kanker serviks. Tes ini berguna untuk menafsirkan
hasil samar dari tes Pap. Jika seorang wanita memiliki hasil tes Pap menunjukkan
ASCUS (Atypical Squamous Cells of Undetermined Significance) namun tes HPV
berikutnya negatif, dilakukan skrining ulang dengan tes Pap dalam 3 tahun; Jika tes
HPV positif, maka pemeriksaan tambahan dengan kolposkopi diindikasikan.
Guideline ACS mendukung pengujian HPV dengan sitologi (pap smear) pada wanita
berusia 30 tahun ke atas. Jika kedua tes tersebut negatif, maka tes Pap selanjutnya
bisa ditunda selama 5 tahun. Pemeriksaan sitologi serviks yang abnormal atau tes
HPV berisiko tinggi yang positif harus mengarah pada prosedur kolposkopi dan
biopsi atau eksisional seperti loop electrosurgical excision dan conisation.

Gambar 2. Kolposkopi

A. IVA Test
Pemeriksaan Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan
yang dilakukan oleh dokter/bidan/paramedis dengan mengamati leher rahim yang
telah diberiasam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan
penglihatan mata telanjang. Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami
dysplasia sebagai salah satu metode deteksi dini kanker mulut rahim.

9
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan
cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-
5%. Pemberian asam asetat akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan
meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasekuler. Cairan ekstraseluler yang bersifat
hipertonik ini akan menarik cairan intraseluler sehingga membran akan kolaps dan
jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel
mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan
keluar sehingga permokaan epitel abnormal akan berwarna putih, yang disebut juga
epitel putih (acetowhite). IVA adalah dengan sumber daya sederhana dibandingkan
dengan jenis skrining lain karena:

a) Aman, tidak mahal, dan mudah dilakukan.


b) Akurasi tes tersebut sama dengan tes-tes yang lain yang digunakan
untuk penapisan kanker leher rahim.
c) Dapat dipelajari dan dilakukan oleh hampir semua tenaga kesehatan di
semua jenjang sistem kesehatan
d) Memberikan hasil segera sehingga dapat segera diambil keputusan
mengenai penatalaksanaannya (pengobatan atau rujukan)
e) Suplai sebagian besar peralatan dan bahan untuk pelayanan ini mudah
didapat dan tersedia
f) Pengobatan langsung dengan krioterapi berkaitan dengan penapisan
yang tidak bersifat invasif dan dengan efektif dapat mengidentifikasi
berbagai lesi prakanker
Deteksi dini kanker leher rahim dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah
dilatih dengan pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam asetat yang
sudah di encerkan, berarti melihat leher rahim dengan mata telanjang untuk
mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam asetat 3-5%. Daerah yang tidak
normal akan berubah warna dengan batas yang tegas menjadi putih (acetowhite), yang
mengindikasikan bahwa leher rahim mungkin memiliki lesi prakanker. Tes IVA dapat
dilakukan kapan saja dalam siklus menstruasi, termasuk saat menstruasi, dan saat
asuhan nifas atau paska keguguran. Pemeriksaan IVA juga dapat dilakukan pada
perempuan yang dicurigai atau diketahui memiliki ISR/IMS atau HIV/AIDS.
Bila ditemukan IVA Positif (lesi acetowhite), dilakukan krioterapi,
elektrokauterisasi atau eksisi LEEP/LLETZ.

10
 Krioterapi dilakukan oleh dokter umum, dokter spesialis obstetri dan
ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi
 Elektrokauterisasi, LEEP/LLETZ dilakukan oleh dokter spesialis obstetri
dan ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi

Tabel 1. Interpretasi tes IVA

G
a
m
b
a
r

3
.

A
l
o
g
a
ritma skrining dengan tes IVA

11
Gambar 3. Atlas IVA

B. Pap smear (Papanicolau test)


Tes Papanicolaou, juga dikenal sebagai tes Pap atau Pap smear, dikembangkan
pada tahun 1940-an oleh Georgios Papanikolaou. Ini melibatkan pengelupasan kulit
dari zona transformasi serviks untuk memungkinkan pemeriksaan sel-sel ini secara
mikroskopis untuk mendeteksi lesi kanker atau prakanker. Beberapa penulis
melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi pemeriksaan
ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan negatif palsu 7-40% sebagian
besar kesalahan tersebut disebabkan oleh pengambilan sediaan yang tidak adekuat,
kesalahan dalam proses pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi.
Tes Pap direkomendasikan pada saat mulai melakukan aktivitas seksual atau
setelah menikah. Setelah tiga kali pemeriksaan tes Pap tiap tahun, interval bisa lebih
lama, yaitu setiap tiga tahun sekali. Bagi kelompok perempuan yang berisiko (infeksi
HPV, HIV, kehidupan seksual yang berisiko) dianjurkan pemeriksaan Pap test setiap
tahun.

12
Penggunaan pap smear untuk mendeteksi dan mendiagnosis lesi prakanker
dan kanker leher rahim, dapat menghasilkan interprestasi sitologi yang akurat bila
memenuhi syarat yaitu: a. Bahan pemeriksaan harus berasal dari porsio leher rahim.
b. Pengambilan pap smear dapat dilakukan setiap waktu diluar masa haid, yaitu
sesudah hari siklus haid ketujuh sampai dengan masa pramenstruasi. c. Apabila
klien mengalami gejala perdarahan diluar masa haid dan dicurigai penyebabnya
kanker leher rahim, sediaan pap smear harus dibuat saat itu walaupun ada
perdarahan. d. Pada peradangan berat, pengambilan sediaan ditunda sampai selesai
pengobatan. e. Klien dianjurkan untuk tidak melakukan irigasi vagina (pembersihan
vagina dengan zat lain), memasukkan obat melalui vagina atau melakukan hubungan
seks sekurang-kurangnya 24 jam, sebaiknya 48 jam. f. Klien yang sudah menopause,
pap smear dapat dilakukan kapan saja
Pengelompokan hasil pap smear yaitu:
a. Kelas I identik dengan normal smear, pemeriksaan ulang 1 tahun lagi.
b. Kelas II menunjukkan adanya infeksi ringan non spesifik, terkadang disertai
dengan kuman atau virus tertentu, disertai pula dengan kariotik ringan. Pemeriksaan
akan dilakukan 1 tahun lagi. Pengobatanya disesuaikan dengan penyebabnya. Bila
ada radang bernanah maka akan dilakukan pemeriksaan ulang setelah pengobatan.
c. Kelas III dapat ditemukan sel diagnostik sedang keradangan berat, periksa ulang
dilakukan setelah pengobatan.
d. Kelas IV telah ditemukan sel-sel yang telah mencurigakan dan ganas.
e. Kelas V Ditemukan sel-sel ganas.

Sistem CIN pertama kali dipublikasikan oleh Richart RM tahun 1973 di


Amerika Serikat. Pada sistem ini, pengelompokan hasil uji Pap Semar terdiri dari:
a. CIN/NIS I merupakan displasia ringan dimana ditemukan sel neoplasma pada
kurang dari sepertiga lapisan epitelium.
b. CIN/NIS II merupakan displasia sedang dimana melibatkan dua pertiga epitelium.
c. CIN/NIS III merupakan displasia berat atau karsinoma in situ yang dimana telah
melibatkan sampai ke basement membrane dari epitelium.

Begitu diagnosis ditetapkan, darah lengkap dan kimia serum untuk fungsi
ginjal dan hati harus dilakukan untuk mencari kelainan dari kemungkinan penyakit
metastasis, dan scanning harus dilakukan untuk tujuan stadium. Dalam panduan

13
International Federation of Gynecology and Obstetrics (Federation Internationale de
Gynecologie et d'Obstetrique [FIGO]) untuk menentukan stadium, prosedurnya
termasuk pada hal-hal berikut:
• Kolposkopi
• Biopsi
• Penutupan serviks
• Sistoskopi
• Prokosigmoidoskopi
• Rontgen dada

2.7.2 Klasifikasi Lesi Prakanker hingga karsinoma Invasif


Pemeriksaan sitologi papsmear digunakan sebagai skrining, sedangkan
pemeriksaan histopatologik sebagai konfirmasi diagnostik.
1. Sel skuamosa
a. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US)
b. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL): CIN I, infeksi HPV
c. High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL): CIN II, III, Ca in
situ
d. Squamous Cells Carcinoma

2. Sel glandular
a. Atypical Endocervical Cells
b. Atypical Endometrial Cells
c. Atypical Glandular Cells
d. Adenokarsinoma Endoservikal In situ
e. Adenokarsinoma Endoserviks
f. Adenokarsinoma Endometrium
g. Adenokarsinoma Ekstrauterin
h. Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya (NOS)

Secara histopatologi, kanker serviks terdiri atas berbagai jenis. Dua bentuk yang
sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma, 85% jenis
histopatologik adalah karsinoma sel skuamosa, 10% adenokarsinoma, dan 5%
adenoskuamosa, sel jernih, sel kecil, sel verukosa dan lain-lain. Derajat diferensiasi

14
dengan berbagai metode dapat menunjang diagnosis, tetapi tidak dapat memodifikasi
stadium klinis.

2.8 Stadium
Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan klinik oleh karena itu
pemeriksaan harus cermat kalau perlu dilakukan dalam narkose. Stadium klinik ini
tidak berubah bila kemudian ada penemuan baru. Kalau ada keraguan dalam
penentuan maka dipilih stadium yang lebih rendah.

Stadium 0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif), karsinoma intraepitelial


Stadium I Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus dapat diabaikan)
Stadium IA Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop.
Semua lesi yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya superfisial,
dimasukkan ke dalam stadium IB
IA 1 Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan
lebar horizontal lesi tidak lebih dari 7 mm
IA 2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0mm dengan
penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang
Stadium IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau secara mikroskopik
lesi lebih besar dari IA2
IB1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm atau
kurang
IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih
dari 4,0 cm
Stadium II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding panggul atau
mencapai 1/3 bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium
IIB sudah menginvasi parametrium
Stadium III tumor telah meluas ke dinding panggul dan/atau mengenai sepertiga bawah
vagina dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau todak berfungsinya ginjal
IIIA Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencapai dinding panggul
IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan / atau menimbulkan hidronefrosis
atau afungsi ginjal
Stadium IV tumor meluas keluar organ reproduksi
IVA tumor menginvasi ke mukosa kandung kemih atau rektum dan/atau
ke laur rongga panggul minor
IVB mestastasis jauh penyakit mikroinvasif: invasi stroma dengan kedalaman 3mm atau
kurang dari membrana basalis epitel tanpa invasi ke rongga pembuluh limfe/darah atau
melekat dengan lesi kanker serviks

15
2.9 Tatalaksana
Persiapan pengobatan perlu pemeriksaan darah tepi lengkap, kimia darah.
Pemeriksaan faktor pembekuan darah diperlukan bila rencana pengobatan
dengan operasi. Petanda tumor SCC (untuk skuamosa) atau CEA atau Ca-125
(untuk adenokarsinoma) merupakan pemeriksaan opsional.

2.9.1 Tatalaksana Lesi Prakanker


Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O
dan CO2, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut ditujukan
untuk destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker
yang kemudian pada fase penyembuhan berikutnya akandigantikan dengan
epitel skuamosa yang baru.

a. Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan
metode pembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6
menit (teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2.
Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel‐sel mengalami
dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3)
syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem
mikrovaskular.

b. Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan
melakukan eksisi Loopdiathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada zona
transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi
anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk menentukan
tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.

c. Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan
efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan
anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan

16
serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,
terutama jika lesi tersebut sangat luas.

d. Laser Sinar
Laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu
muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas
helium, gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser
yang mempunyai panjang gelombang 10,6 u. Perubahan patologis yang
terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan
nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan
intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di
bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan
dan lama penyinaran

2.9.2 Tatalaksana Kanker Serviks Invasif

 Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ): Konisasi (Cold knife conization).


Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yang masih
memerlukan fertilitas. Bila tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi. Bila
fertilitas tidak diperlukan histerektomi total. Bila hasil konisasi ternyata
invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif.

 Stadium IA1 (LVSI/ lymphovascular space invasion negatif): Konisasi


(Cold Knife)
Bila free margin (terapi adekuat) apabila fertilitas dipertahankan. Bila
tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi.
Histerektomi total apabila fertilitas tidak dipertahankan .

 Stadium IA1 (LVSI positif)


Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila
fertilitas dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena
kontraindikasi medik dapat dilakukan Brakhiterapi

17
 Stadium IA2,IB1,IIA1
Pilihan:
1. Operatif:
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik. Ajuvan
Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor risiko yaitu
metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak
bebas tumor,deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko
lainnya. Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis
KGB saja. Apabila tepi sayatan tidak bebas tumor/closed margin,
maka radiasi eksterna dilanjutkan dengan brakhiterapi.

2. Non operatif: Radiasi (EBRT dan brakiterapi), Kemoradiasi


(Radiasi: EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi)

 Stadium IB 2 dan IIA2


Pilihan :
1. Operatif:
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi. Tata laksana
selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi
anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.

2. Neoajuvan kemoterapi
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan
massa tumor primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi.
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil
patologi anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau
kemoterapi. Kemoterapi terutama diberikan sebagai gabungan
radio-kemoterapi ajuvan atau untuk terapi paliatif pada kasus
residif. Kemoterapi yang paling aktif adalah Cisplastin atau
Carboplatin. Jenis lainnya yang mempunyai aktivitas yang
dimanfaatkan dalam terapi adalah Ifosfamid dan Paclitaxel.

18
 Stadium IIB
Pilihan :
1. Kemoradiasi
2. Radiasi
3. Neoajuvan kemoterapi. Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal
histerektomi dan pelvik limfadenektomi.
4. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian) Stadium

 III A sampai III B


1. Kemoradiasi
2. Radiasi Stadium

 IIIB dengan CKD


1. Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
2. Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
3. Radiasi Stadium

 IV A tanpa CKD
1. Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi
terlebih dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
2. Kemoradiasi Paliatif, atau
3. Radiasi Paliatif

 Stadium IV A dengan CKD, IVB


1. Paliatif
2. Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif/radiasi paliatif
dapat dipertimbangkan.

2.10 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain:
a) Promosi dan edukasi pola hidup sehat

19
b) Menunda onset aktivitas seksual: Menunda aktivitas seksual sampai usia 20
tahun dan berhubungan secara monogamy akan mengurangi risiko kanker
servks secara signifikan.
c) Penggunaan kontrasepsi barrier. Kontrasepsi metode barier (kondom,
diafrgma dan spermatisida) berperan untuk proteksi terhadap agen virus.
Penggunaan latex lebih dianjurkan daripada kondom yang terbuat dari kulit
kambing berperan menghentikan atau mencegah perubahan keganasan sel-sel,
seperti yang terjadi pada permukaan serviks.

e) Penggunaan vaksinasi HPV Vaksinasi HPV yang diberikan kepada pasien


bisa mengurangi infeksi Human Papiloma karena mempunyai proteksi >90 %.

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan kasus-kasus dini
kanker serviks, sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan.
Pencegahan sekunder termasuk skrining dan deteksi dini.

3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan komplikasi klinik dan
kematian. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan pengobatan yang
tepat berupa operasi, kemoterapi, atau radioterapi serta tindakan paliatif untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.

2.11 Metastasis
Ada dua tipe metastasis atau penyebaran, metastasis hematogen dan
metastasis limfatik. Melalui aliran getah bening, akan bermetastasis ke
kelenjar getah bening iliaka interna/eksterna, obturator, para aorta, duktus
thoraksikus. Penyebaran ke kelenjar getah bening inguinal melalui ligament
rotundum.
Pasien dengan metastasis hematogen memiliki risiko lebih tinggi
kematian dibandingkan dengan metastasis limfatik. Penyebaran hematogen
relatif tidak biasa, dan ini biasanya melibatkan paru-paru, tulang, hati, otak,
dan situs lainnya juga dapat dilibatkan. Setengah dari pasien dengan

20
penyebaran hematogen meninggal dalam waktu 6 bulan. Enam puluh sembilan
koma dua persen pasien dengan metastasis tunggal dan 82,7% pasien dengan
beberapa metastasis meninggal di dalamnya 1 tahun.
Komplikasi neurologis jarang terjadi pada kanker serviks dan hampir
tidak ada dalam penyakit Stadium 0. Komplikasi neurologis metastatik lebih
sering terjadi daripada komplikasi nonmetastatik dan plexopati lumbosakral
yang disebabkan oleh metastase kelenjar getah bening retroperitoneal adalah
komplikasi neurologis yang paling umum.

2.12 Prognosis

Prognosis kanker serviks dibedakan berdasarkan kriteria morfometrik,


penyebaran, serta usia. Ketahanan hidup penderita pada kanker serviks
stadium awal setelah histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis
bergantung pada beberapa faktor:

1. Status KGB Penderita tanpa metastasis ke KGB, memiliki 5-year


survival rate (5-YSR) antara 85 – 90%. Bila didapatkan metastasis ke KGB
maka 5-YSR antara 20 – 74%, bergantung pada jumlah, lokasi, dan ukuran
metastasis.

2. Ukuran tumor Penderita dengan ukuran tumor < 2 cm angka


survivalnya 90% dan bila > 2 cm angka survival-nya menjadi 60%. Bila tumor
primer > 4 cm, angka survival turun menjadi 40. Analisis dari GOG terhadap
645 penderita menunjukkan 94,6% tiga tahun bebas kanker untuk lesi yang
tersembunyi; 85,5% untuk tumor < 3 cm; dan 68,4%
bila tumor > 3 cm.

3. Invasi ke jaringan parametrium. Penderita dengan invasi kanker ke


parametrium memiliki 5-YSR 69% dibandingkan 95% tanpa invasi. Bila
invasi disertai KGB yang positif maka 5-YSR turun menjadi 39-42%.

4. Kedalaman invasi. Invasi < 1 cm memilki 5-YSR sekitar 90% dan


akan turun menjadi 63 – 78% bila > 1 cm.

21
5. Ada tidaknya invasi ke lymph–vascular space. Invasi ke lymph–
vascular space sebagai faktor prognosis masih menjadi kontroversi. Beberapa
laporan menyebutkan 50 – 70% 5-YSR bila didapatkan invasi ke lymph –
vascular space dan 90% 5-YSR bila invasi tidak didapatkan. Akan tetapi,
laporan lain mengatakan tidak ada perbedaan bermakna dengan adanya invasi
atau tidak.

22
BAB III
KESIMPULAN

Karsinoma serviks yang tidak dapat diobati atau tidak memberikan


respons terhadap pengobatan, 95% akan mengalami kematian dalam 2 tahun
setelah timbul gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki rasio
tinggi terjadinya rekurensi harus terus diawasi karena lewat deteksi dini dapat
diobati dengan radioterapi. Setelah histerektomi radikal, terjadinya 80%
rekurensi dalam 2 tahun.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, et al. Robbins Basic Pathology 8th ed.
Saunders Elsevier 2007:718-21.
2. Human Pappilomavirus (HPV) Vaccines: Q&A-National Cancer Institute.
Http://www.cancer.gov/cancertopics/factsheet/risk/HPV-vaccines. Retrieved
2008-07-18.
3. Canavan TP, Doshi NR. Cervical Cancer. Am Fam Physicians.
2007;61(5):1369-76.
4. World Health Organization.
Http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs297/en/index.html. Retrieved
2007-12-01.
5. Daly MB, Rader JS. Gynecologic Cancers. In: DeVita, Hellman, Rosenberg.
Cancer Principles & Practice of Oncology Philadelphia, Lippincott Williams
& Wilkins 2008, vol 2, 8th ed, page 670-5.
6. Franco EL, Franco ED, Ferenczy A. Cervical Cancer Epidemiology,
Prevention and The Role of Human Pappilomavirus Infection. CMAJ
2001;164(7):1017-22.
7. Universitas Sumatera Utara. Kanker Serviks. Dapat diakses pada:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21557/4/Chapter%20II.pdf
(diakses 11 Oktober 2013)
8. Andersson S, Rylander E, Strand A, Sällström J, Wilander E. Oct 19 2001.
The significance of p53 codon 72 polymorphism for the development of
cervical adenocarcinomas. Br J Cancer. 85(8):1153-6
9. Kim JW, Lee CG, Park YG, Kim KS, Kim IK, Sohn YW, et al. May 1 2000.
Combined analysis of germline polymorphisms of p53, GSTM1, GSTT1,
CYP1A1, and CYP2E1: relation to the incidence rate of cervical
carcinoma. Cancer.88(9):2082-91
10. Lee SA, Kim JW, Roh JW, Choi JY, Lee KM, Yoo KY, et al. Apr 2004.
Genetic polymorphisms of GSTM1, p21, p53 and HPV infection with cervical
cancer in Korean women. Gynecol Oncol. 93(1):14-8
11. Storey A, Thomas M, Kalita A, Harwood C, Gardiol D, Mantovani F, et al.
May 21 1998. Role of a p53 polymorphism in the development of human
papillomavirus-associated cancer. Nature. 393(6682):229-34

24
12. Yang YC, Chang CL, Chen ML. 2001. Effect of p53 polymorphism on the
susceptibility of cervical cancer.Gynecol Obstet Invest. 51(3):197-201
13. Wank R, Meulen JT, Luande J, Eberhardt HC, Pawlita M. 1993 May 8.
Cervical intraepithelial neoplasia, cervical carcinoma, and risk for patients
with HLA-DQB1*0602,*301,*0303 alleles. Lancet. 341(8854):1215
14. Engelmark M, Beskow A, Magnusson J, Erlich H, Gyllensten U. Sep 1 2004.
Affected sib-pair analysis of the contribution of HLA class I and class II loci
to development of cervical cancer. Hum Mol Genet.13(17):1951-8
15. Price, Sylvia Anderson., Wilson, Lorraine M. Alih Bahasa: Brahm U. 2006.
“Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6 vol.2”. Jakarta:
EGC
16. Boardman, Cecelia H. 2013. “Cervical Cancer”.
http://emedicine.medscape.com/article/253513-overview (diunduh pada 11
Oktober 2013)
17. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2008
18. Andrijono, Purwoto G, Sekarutami OS, Ranuhardy D, Kurnianda J, Handjari
DR, et al. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Serviks.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2017
19. Bloomfield HE, Olson A, Greer N, et al. Screening pelvic examinations in
asymptomatic, average-risk adult women: an evidence report for a clinical
practice guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med.
2014 Jul 1. 161(1):46-53.
20. Rasjidi I. Panduan Penatalaksanaan Kanker Ginekologi: Berdasarkan
Evidence Base. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
21. Li H,Wu X, Cheng X. Advances in diagnosis and treatment of metastatic
cervical cancer. Department of Gynecological Oncology, Fudan University
Shanghai Cancer Center. J Gynecol Oncol. 2016
22. Miller AB. Cervical cancer, Prognostic Factors. Dalam: Surgical Gynaecology
Oncology. Burghardt E, Webb MJ, Monaghan JM, Kindermann G, eds. New
York: Thieme Medical Publishers, Inc; 1993. h. 315-23.

25

Anda mungkin juga menyukai