STUDI LITERATUR
6
3. Ng‟ang‟a et al. (2002)
“An information system that not only records the interests but also
facilitates the visualisation of the effect of a jurisdiction’s laws on
the marine environment (e.g. spatial extents and their associated
rights, restrictions, responsibilities, and administration)”
4. Monahan et al. (Coastal GIS, 2003)
“A database that would support a GIS layer that at its display level
would show the physical locations of boundaries and limits, and at
a deeper level would be supported by information on legal and
legislative elements of rights, responsibilities, and restrictions to
the areas circumscribed by those boundaries.”
5. BPN & LPPM-ITB (2003)
“Kadaster Kelautan adalah sebuah sistem informasi publik yang
berisi catatan, daftar dan dokumen mengenai kepentingan, hak,
kewajiban dan batasannya, termasuk catatan mengenai nilai, pajak
serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang ada dan
berkaitan dengan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan partisi
atau persil laut dalam rangka mewujudkan tertib hukum, tertib
administrasi, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan ekosistem
laut serta mendukung tertib perencanaan, penataan dan pengelolaan
wilayah laut secara spasial terpadu.”
Secara umum, Kadaster Kelautan dapat dipahami sebagai sebuah sistem informasi
kelautan yang mencakup hak-hak, batas dan tanggung jawab pengelolaan ruang
laut untuk kesejahteraan bersama dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis
dalam skala lokal, regional, dan internasional.
7
- Batas dari zona maritim yang terdapat dalam UNCLOS 1982
(meliputi : perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan
(archipelagic waters), laut teritorial (territorial sea), zona tambahan
(contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas
kontinen).
- Batas laut daerah yang terdapat dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mencakup wilayah yuridis laut provinsi
dan laut kabupaten atau kota.
Untuk lebih memahami lingkup ruang laut tiga dimensi, dapat diperhatikan dalam
ilustrasi pada Gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1 Ruang Laut Tiga Dimensi (Rais, 2002 diadaptasi dari Sutherland,
2001)
8
- Penggunaan ruang laut oleh aktivitas masyarakat, badan usaha dan
pemerintah.
Semua informasi di atas disajikan dalam bentuk peta dan daftar lokasi di laut yang
dapat diperbarui dan terdiri dari identitas yang tidak ambigu antara peta dan di
lapangan.
Subjek dalam konteks Kadaster Kelautan merupakan bagian utama yang harus
dipahami. Keberadaan subjek tersebut berhubungan dengan hak-hak yang
tercantum dalam objek ruang perairan berdasarkan pola kepemilikan dan
penguasaan sumberdaya kelautan. Hanna (1996) mengelompokkan pola
kepemilikan dan penguasaan sumberdaya (property-right regime) kelautan
menjadi 4 (empat) kelompok (Knight, 2002), yaitu:
9
lain. Sumberdaya kelautan ini biasanya terdapat di perairan laut lepas
(high seas).
10
kelautan karena mencakup laut lepas yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang.
Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia bahwa perairan Indonesia mencakup laut teritorial sepanjang 12 mil laut
dihitung dari garis pangkal beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya
disertai hak berdaulat penuh atas ruang udara di atas laut, dasar laut, dan tanah di
bawahnya.
Yang dimaksud dengan objek dari Kadaster Kelautan diuraikan di bawah ini
(BPN – RI dan LPPM – ITB, 2003).
Untuk hak pemanfaatan laut, dapat dilihat dari objek-objek yang teridentifikasi di
dalamnya. Objek-objek tersebut dikenal sebagai objek-objek ruang perairan.
Objek ruang perairan adalah bagian-bagian tertentu dari perairan meliputi estuari
11
(bagian perairan tempat bertemunya air laut dengan air tawar), teluk (perairan
yang menjorok ke darat), laguna (danau asin dekat pantai), dan lain-lain
(Djunarsjah, 2011 dalam BPN, 2011). Pada tabel 2.1 berikut ini, dapat dilihat
hak-hak pemanfaatan ruang laut beserta objek-objek ruang perairan yang
teridentifikasi di dalamnya.
12
a. Informasi mengenai persil-persil itu sendiri (batas-batas, posisi, luas, bahkan
nilai pajak), termasuk batas wilayah yurisdiksi nasional dan internasional,
dimana terdapat hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan
nasional, provinsi, maupun kota/kabupaten,
b. Kepentingan yang melekat pada persil-persil tersebut (hak penggunaan,
kewajiban, batasan, dan lama berlaku hak tersebut), termasuk hak
pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan di
wilayah yurisdiksinya,
c. Data perorangan atau badan hukum sebagai pemegang hak atau subjek di
persil tersebut,
d. dan lain-lain yang diperlukan tergantung kebutuhan.
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui Kadaster Kelautan adalah (BPN-RI,
2003) :
a. Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak dan pemegang ijin atas suatu persil di laut.
b. Menyediakan infrastruktur data spasial yang komprehensif (menyeluruh)
dimana batas-batas persil, hak-hak yang melekat padanya (Right), batasan
pemanfaatan (Restriction), serta kewajiban dan tanggung jawab
(Responsibility) (dikenal dengan istilah Konsep 3R) di lingkungan ruang
perairan dapat diatur, diadministrasikan, dan dikelola dengan baik.
c. Terselenggaranya tertib administrasi kelautan.
13
saling berbagi pakai data/informasi dan dapat dilakukan perubahan data secara
cepat (Syarif, 2012).
1. Kanada
Implementasi Kadaster Kelautan di Kanada hingga saat ini masih
dikembangkan melalui Good Governance of Canada’s Oceans Project
yang secara umum ditangani oleh Department of Fisheries and Oceans
(DFO) dan University of New Brunswick (UNB).
2. Amerika Serikat
Implementasi Kadaster Kelautan di Amerika Serikat dikembangkan
melalui Ocean Planning Information System (OPIS) oleh The Coastal
Services Centre, National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA). Negara bagian yang sudah mengimplementasikan di
antaranya: Florida, Georgia, Carolina Utara, dan Carolina Selatan.
3. Australia
Implementasi Kadaster Kelautan di Australia dimulai dari Marine
Cadastre Project yang dilakukan oleh Australian Research Council
(ARC) pada awal tahun 2002 berkaitan dengan pengembangan Spatial
Data Infrastructure (SDI).
4. Selandia Baru
Implementasi Kadaster Kelautan di Selandia Baru dikembangkan
berdasarkan tujuan strategis dari Land Information New Zealand (LINZ)
untuk membantu pemerintah dalam menyediakan data dan informasi
14
sebagai alat pengambil keputusan menentukan hak-hak di masa datang
terhadap penggunaan tanah di dasar laut. Dalam hal ini, juga diadakan
kerjasama penelitian antara Selandia Baru dan Australia melalui
Australia New Zealand Land Information Council (ANZLIC).
5. Belanda
Implementasi Kadaster Kelautan di Belanda dikembangkan berkaitan
dengan Netherlands’ North Sea Governance untuk mendukung
pengelolaan laut utara (north sea) yang merupakan salah satu perairan
laut yang memiliki aktivitas paling sibuk di dunia.
15
- Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi: “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
- Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 2 Ayat 2
menjelaskan wewenang negara dalam menguasai bumi, air, dan ruang angkasa.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
terutama pasal 18 yang menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut
diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut (ayat 1)
dan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12
(dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota (ayat 4).
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 3 ayat
1 yang menyatakan bahwa wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial
Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terutama
menyangkut rencana tapak yang berada dalam kawasan lindung/konservasi,
untuk melindungi kelestarian hidup.
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, terutama pasal 1 ayat 7 yang menyatakan bahwa
Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan
sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan
pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan
laguna.
- Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Pasal 1 ayat 1
yang berbunyi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya
disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta
ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya. Ayat 2 dijelaskan tentang Wilayah Perairan adalah perairan
pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
16
2.2.2 Aspek Teknis
Peta yang harus dibuat untuk kepentingan kadaster kelautan ini meliputi (Ilova,
2009) :
1. Peta Dasar Pendaftaran Laut, yaitu peta yang memuat semua dasar teknik
dan semua atau sebagian unsur-unsur geografi.
2. Gambar ukur, yaitu dokumen tempat mencantumkan gambar suatu persil
di laut dan situasi sekitar serta data hasil pengukuran persil di laut baik
berupa jarak, sudut, azimuth ataupun sudut jurusan.
3. Peta Pendaftaran Laut, yaitu peta yang menggambarkan satu persil di laut
atau lebih yang batas-batasnya telah ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang untuk keperluan kadaster kelautan. Peta ini berisi informasi
letak, luas dan batas setiap persil laut.
4. Surat Ukur/Gambar Situasi, yaitu dokumen yang membuktikan data fisik
hak suatu persil laut yang telah didaftarkan dalam bentuk peta dan uraian
agar mendapatkan kepastian hukum mengenai letak, batas dan luas persil
laut yang dimohonkan.
17
a. Kerangka Dasar Horisontal
1
𝑑𝑢 = 𝑡𝑣
2
dengan,
18
du = kedalaman dasar laut
t = selang waktu tempuh pemancaran dan pantulan gelombang akustik
v = kecepatan gelombang akustik (secara umum diketahui sebesar 1500 m/s)
Ilustrasi dari pengukuran kedalaman dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini.
b. Pengamatan Pasut
Pengamatan pasut dilakukan untuk mendapatkan data tinggi muka air laut di suatu
lokasi. Pengamatan pasut dapat dilakukan dengan merekam data tinggi muka air
laut setiap interval waktu tertentu menggunakan rambu/palem. Untuk keperluan
praktis, pengamatan pasut dilakukan selama 15 atau 29 piantan (1 piantan = 25
jam) dengan interval perekaman data 15, 30 atau 60 menit. Ini didasarkan pada
Special Publication (SP) No. 44 dari International Hydrographic Organization
(IHO) Edisi ke-5 tahun 2008 dijelaskan bahwa data pasut selama 30 hari sudah
cukup digunakan untuk keperluan pendefinisian titik ketinggian nol (MSL) bagi
keperluan pengukuran ketinggian objek-objek ruang perairan yang diteliti dan
untuk seluruh wilayah perairan di Indonesia.
Hasil pengamatan pasut ini diikatkan terhadap titik referensi yang terdapat di
sekitar stasiun pasut. Dalam ilustrasi yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3 di bawah
19
ini, pengikatan kedudukan muka laut hasil pengamatan pasut diikatkan terhadap
Titik Dasar Teknik (TDT) Ruang Perairan.
Pengukuran batas ruang perairan dan detil situasi bertujuan untuk memperoleh
informasi mengenai detil/situasi daerah dan batas objek ruang perairan yang akan
20
dipetakan. Metode yang dapat dilakukan ada 2 (dua), yaitu Metode Terestris dan
Metode Ekstraterestris.
Pengukuran batas ruang perairan dan titik-titik detil dengan Metode Terestris atau
sering dikenal dengan Metode Trigonometris, besaran yang diukur adalah arah
(sudut) dan jarak dari titik kerangka dasar atau dari titik bantu ke titik-titik detil
dan ujung-ujung dari tapak objek ruang perairan. Pada Gambar 2.4 berikut
diberikan ilustrasi pemetaan detil situasi Metode Trigonometris.
α3
α2 d3
3
BM
α1
d2
d1
1 2
Keterangan gambar :
21
kerangka dasar dan pengukuran titik-titik detil dari titik bantu yang telah diikatkan
ke titik kerangka dasar (Purworaharjo, 1986). Titik bantu harus terlebih dahulu
diikatkan ke titik kerangka dasar atau titik lain yang telah terlebih dahulu
diikatkan pada titik kerangka dasar.
b. Metode Ekstraterestris
4. Pembuatan Peta/Perpetaan
Pembuatan peta yang dilakukan sesuai dengan jenis peta yang dibutuhkan dalam
kadaster kelautan seperti yang telah disebutkan di atas. Peta tersebut juga harus
mencakup spesifikasi yang disesuaikan dengan kadaster pertanahan berikut ini.
- Skala peta
- Sistem proyeksi peta
- Referensi Geografi
Sistem Koordinat
Batas Lembar Peta dan Interval Grid
Penomoran Lembar Peta
- Ukuran Lembar Peta dan Tata Letak Peta
- Bentuk dan Bahan Peta
- Jenis Data yang Disajikan
- Simbol
- Jenis dan Ukuran Huruf
22
- Penggunaan Warna
- Sistem Reproduksi
Hingga saat ini, telah ada beberapa lembaga yang memiliki kewenangan dalam
implementasi Kadaster Kelautan dikaitkan dengan ragam aktivitas kelautan.
Aktivitas kelautan tersebut merupakan lintas sektoral yang membutuhkan
koordinasi antarlembaga dalam mengelola aktivitas kelautan, secara khusus yang
berkaitan dengan objek-objek ruang perairan. Dengan kata lain, aspek
kelembagaan dalam konteks kadaster kelautan tidak mensyaratkan satu lembaga,
tetapi lebih ke arah pengorganisasian lembaga-lembaga (rule of organizations)
yang ada dan memiliki kewenangan dalam pengelolaan kelautan (Ostrom, 1990
dalam Knight, 2002).
Dalam Tabel 2.2 di bawah ini, ditunjukkan lembaga-lembaga yang terkait dengan
aktivitas kelautan.
Tabel 2.2. Marine Stakeholder (diadaptasi dari BPN-RI & LPPM-ITB, 2003)
23
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Eksplorasi dan eksploitasi
(ESDM), KKP, Kementerian Perhubungan, BPN-RI,
mineral lepas pantai
pihak swasta/asing (publik)
Perlindungan lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup, KKP, pihak swasta
laut (taman nasional,
(publik), Kementerian Kehutanan.
marine sanctuary,dll )
24